Tujuan Penelitian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kompetensi

9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti mengemukakan rumusan masalah:

1. Apakah terdapat hubungan antara kompetensi interpersonal dengan

kepuasan layanan di lihat dari sudut pandang para pengungsi yang dilayani oleh Yayasan Jesuit Refugee Service JRS?

2. Apakah pelayanan JRS yang diberikan saat ini memuaskan karena belum

ada alat ukur yang pasti mengenai hal tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis variabel kompetensi interpersonal terhadap kepuasan layanan dari sudut pandang pengungsi yang dilayani oleh Yayasan Jesuit Refugee Service JRS dan membuat alat ukur mengenai kepuasan pengungsi terhadap Yayasan Jesuit Refugee Service JRS.

D. Manfaat Penelitian

Terdapat dua kategori manfaat dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini akan dapat menjadi bahan referensi dan sebagai penambah bahan kajian ilmiah untuk menganalisis tentang hubungan kompetensi interpersonal dengan kepuasan layanan dalam psikologi sosial, komunikasi dan konsumen. 2. Manfaat Praktis 10 Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi Yayasan Jesuit Refugee Service JRS sebagai alternatif bahan training atau pelatihan para relawan yang akan bekerja di Yayasan JRS tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengungsi sebagai penilaian kepuasan layanan yang diberikan JRS. 11

BAB II LANDASAN TEORI

1. Pengungsi

a. Pengertian Pengungsi

Pengertian pengungsi dapat di bagi dalam 3 kategori atau instrumen yaitu pengertian pengungsi menurut kategori atau instrumen internasonal, regional, dan menurut para pakar. Menurut kategori atau instrumen internasonal penulis mengambil 4 sumber, yaitu menurut UNHCR, Menurut konvensi 1951, Menurut Protokol 1967, dan Menurut JRS. Pengertian pengungsi menurut UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees, UNHCR memberikan pengertian pengungsi dengan menggunakan dua istilah yaitu pengungsi mandat dan pengungsi statuta. Pengungsi Mandat adalah orang-orang yang diakui sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi dan wewenang atau mandat yang ditetapkan oleh statuta UNHCR. Sedangkan Pengungsi Statuta adalah orang-orang yang berada di wilayah negara-negara pihak pada konvensi 1951. Jadi menurut UNHCR pengertian pengungsi adalah orang-orang yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan oleh UNHCR dalam konvensi 1951 Achmad, 2003 Pengertian pengungsi menurut “Convention relating to the status of refugee” atau penandatangan convensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 12 tetang status pengunsi dalam Achmad,2003, pengungsi terdiri dari 3 pasal, yaitu: pasal penyertaan, pasal pengecualian, dan pasal pemberhentian. Pasal penyertaan adalah pasal yang menentukan kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang individu dapat dianggap pengungsi. Pasal-pasal ini merupakan dasar penentuan apakah seseorang layak diberi status pengungsi. Dalam pasal penyertaan ini diatur bahwa untuk memperoleh status pengungsi, seseorang harus mempunyai ketakutan yang beralasan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaannya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dimilikinya, berada diluar Negara kebangsaannyabekas tempat menetapnya, dan tidak dapat atau dikarenakan ketakutannya itu, memperoleh perlindungan dari negaranya atau kembali kenegaranya. Kedua, Pasal pengecualian. Pasal ini merupakan pasal yang menolak pemberian status pengungsi kepada seseorang yang memenuhi syarat pada pasal penyertaan atas dasar orang tersebut tidak memerlukan atau tidak berhak mendapatkan perlindungan internasonal. Di dalam pasal pengecualian ini diatur bahwa walaupun kriteria pasal penyertaan seperti yang telah dijelaskan diatas dipenuhi, permohonan status pengungsi seseorang akan ditolak jika ia sudah menerima perlindungan atau bantuan dari lembaga PBB selain UNHCR, atau diperlakukan sebagai sesama 13 warga di tempatnya menetap, dan melakukan pelanggaran yang serius sehingga ia tidak berhak menerima status pengungsi. Ketiga, pasal pemberhentian, pasal ini menerangkan kondisi-kondisi yang mengakhiri status pengungsi karena tidak lagi diperlukan atau dibenarkan. Di dalam pasal pemberhentian ini diatur bahwa konvensi juga menerangkan keadaan-keadaan yang dapat menghentikan status pengungsian seseorang karena sudah tidak diperlukan lagi atau tidak dapat dibenarkan lagi karena tindakan sukarela dari pihak individu, atau perubahan fundamental pada keadaan di Negara asal pengungsi. Jadi menurut konvensi 1951, pengungsi adalah seseorang yang harus mempunyai ketakutan yang beralasan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaandi dalam kelompok tertentu atau pendapat politik yang dimilikinya, berada di luar Negaranya kebangsaan atau bekas tempat menetapnya, dan tidak dapat atau tidak ingin dikarenakan ketakutannya itu, memperoleh perlindungan dari negaranya atau kembali kenegaranya. Pengertian pengungsi menurut Protokol 1967 atau aturan tentang status pengungsi 1967 yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2, yaitu : “for the purpose of the present Protocol, the term “refugee” shall, except as regards the application of paragraph 3 of this Article, mean any person within the definition of Article 1 of the Convention as if the words “As a result of events occurring before 1 January 1951 and…”and the words”… a result of such events; in Article 1 A 2 were committed”. …. dikarenakan ketakutan yang beralasan akan menerima 14 penganiayaan karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaanya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya, berada di luar negaranya dan tidak dapat, dikarenakan ketakutan tersebut, atau tidak ingin untuk memperoleh perlindungan dari negara tersebut; atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara tempatnya menetap sebagai akibat dari peristiwa tertentu, tidak dapat, atau dikarenakan ketakutannya tersebut, tidak ingin kembali ke negaranya. Achmad, 2003. Jadi menurut protokol 1967 pengertian pengungsi adalah seseorang atau kelompok yang karena ketakutan yang beralasan akan menerima penganiayaan karena ras, agama, kebangsaan, dan keanggotaannya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya, dan karena ketakutan itu,tidak ingin kembali ke negaranya Menurut JRS, JRS me nggunakan definisi “pengungsi de facto” yang mencakup semua “orang dianiaya berdasarkan ras, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial atau politik” dan “ mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru atau korban bencana alam; serta demi “alasan kemanusiaan.” termasuk juga dalam definisi ini adalah mereka yang disebut pengungsi internal yakni warga negara yang “terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena alasan-alasan yang sama dengan pengungsi pada umumnya 15 namun mereka tidak melintasi batas negaranya. Jadi pengungsi menurut JRS adalah orang-orang yang dianiaya berdasarkan ras, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial atau politik dan mereka yang menjadi korban dari konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru atau korban bencana alam; pengungsi ini bisa keluar dari negaranya maupun masih tinggal di negaranya jrs.or.id, 2014. Pengertian pengungsi menurut kategori atau instrumen regional. Dalam UU no 24 tahun 2007 pasal 55 menyebutkan pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Jadi intinya adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa meninggalkan tempat tinggalnya dan dalam jangka waktu yang belum pasti Achmad, 2003. Pengertian pengungsi menurut Malcom Proudfoot dalam Achmad, 2003 memberikan pengertian pengungsi dengan melihat keadaan para pengungsi akibat Perang Dunia II. Walaupun tidak secara jelas dalam memberikan pengertian tentang pengungsi, pengertiannya yaitu : “These forced movements, …were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bombardment from the air and under the threat or pressure of advance or retreat of armies over immense areas of Europe; the forced removal of populations from coastal or 16 defence areas underv military dictation; and the deportation for forced labour to bloster the German war effort’. pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa, pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian, penentuan tapal batas secara sepihak sebelum perang terjadi; perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari para militer di beberapa wilayah Eropa; pindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer, serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang Jerman Achmad,2003. Jadi menurut Malcom Proudfoot pengungsi adalah orang-orang yang diusir secara paksa, harus pindah, dianiaya, dan karena perang. Menurut Pietro Verri dalam Achmad, 2003 definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi pasal 1 UN Convention on the Status of Refugees tahun 1951 adalah “applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat ofpersecution”. Jadi menurut Pietro Verri pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa ketakutan akan penyiksaan 17 atau ancaman penyiksaan. Jadi terhadap mereka yang mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut sebagai pengungsi menurut Konvensi Tahun 1951 Achmad, 2003 Menurut Haryomataram, Haryomataram membagi dua macam “Refugees”, yaitu Human Rights Refugees dan Humanitarian Refugees Haryomataram, 1998. Human Rights Refugees adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari Human Rights Refugees ini. sedangkan Humanitarian Refugess adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik bersenjata yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi, dianggap sebagai “alien”, menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik daam Konvensi Geneva 1949. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, menurut peneliti pengertian pengungsi adalah sekelompok orang yang meninggalkan negaranya melewati batas negara karena terpaksa yang disebabkan adanya rasa takut akan penganiayaan, penyiksaan atau ancaman penyiksaan, pengusiran, adanya perlawanan politik atau pemberontak 18 dengan alasan ras, agama, kebangsaan, dan keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu. Dalam penelitian ini, secara spesifik peneliti membatasi pengertian pengungsi tersebut yang berada di beberapa wilayah di indonesia dan batasan status mereka yaitu orang yang sedang mencari status pengungsi atau pencari suaka sampai orang yang telah mendapatkan status pengungsi dan sudah mendapatkan ijin ke tempat yang baru.

b. Penentuan Status Pengungsi

Penentuan status pengungsi yang dijelaskan di bawah ini berdasarkan Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees. Untuk menentukan status pengungsi dapat digunakan kriteria yang terdiri dari unsurfaktor, yaitu faktor subjektif dan obyektif. Faktor subyektif ialah faktor yang terdapat pada diri pengungsi itu sendiri yang minta status pengungsi, faktor inilah yang menentukan apakah pada diri orang tersebut ada rasa ketakutan atau rasa kekhawatiran akan adanya persekusipenuntutan, maka jika ada alasan ketakutan maka dapat dikatakan orang tersebut eligibility, ketakutan itu dinilai dari takut terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya. Faktor Objektif adalah keadaan asal pengungsi, di Negara tersebut apakah benar-benar terdapat persekusi terhadap orang-orang tertentu. Misalnya: akibat perbedaan Ras, perbedaan Agama, karena 19 suatu pandangan politik atau yang lainnya. Kalau keadaan tersebut pada negaranya memang demikian, maka keadaan ini bisa membuat seseorang menjadi Eligibility. Seseorang tidak dapat dinyatakan sebagai Eligibility ialah : a. Orang-orang yang melarikan diri ke Luar Negeri, karena alasan ekonomi agar bisa lebih baik, mereka ini tidak bisa disebut sebagai pengungsi. b. Kaum Imigran, yaitu kaum yang pindah dari suatu negara ke lain negara tidak bisa disebut sebagai pengungsi. c. Pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi. d. Tidak bisa menyetujui kebijaksanaan pemerintah atau politik pemerintahnya tidak diakui. Kekeliruan yang terjadi dalam penetapan Egilibility ialah: 1. Bilamana orang-orang tersebut tidak jujurtidak terus terang faktor- faktor subjektif tidak wajar. 2. Kekeliruan fatal dikarenakan petugas yang tidak cermat. Sehubungan dengan hal itu, ada prinsip yang disebut: Benefit Of The Doubt keuntungan keraguan maksudnya adalah: untuk menetapkan apakah seseorang bisa dikatakan pengungsi atau tidak, ada kemungkinan petugas dihadapkan pada suatu keraguan, mungkin didasarkan unsur subjektif orang tersebut, untuk itu apakah benar-benar ada rasa takut atau tidak pada orang tersebut, atau keragu-raguan ini apakah petugas tidak tahu di Negara asalnya terdapat keadaan yang dihadapi ini, menurut 20 prinsip ini maka petugas harus mengambil keputusan yang paling menguntungkan orang tersebut. orang tersebut diterima atau diberi status pengungsi. Eligibility pengungsi harus ditetapkan satu persatu secara individual, jadi tidak ditetapkan secara bersama-sama, juga tidak bisa secara berkelompok, akan tetapi ini hanya sesuai dengan keadaan sebelum 1951, sesudah 1951 keadaan pengungsi tidak lagi dalam jumlah yang sedikit tapi banyak sekali, maka sering diambil suatu keputusan tentang eligibility iu secara prima facie Pandangan Pertama keputusan semacam ini seharusnya diadakan penelitian ulang seharusnya dilakukan secara individual, akan tetapi dalam Praktek tak pernah dilakukan karena praktek tersebut memerlukan petugas dan waktu yang banyak. Sehubungan dengan penelitian secara Individual dikaitkan dengan prinsip kesatuan keluarga Prinsip Of The Family Unity, maka persoalan yang timbul adalah “apakah seorang suami diterima sebagai pengungsi dari suatu negara apabila anak dan istrinya datang?” Menurut prinsip tersebut anak dan istrinya diberi status sama dengan suaminya sebagai pengungsi supaya mereka bersatu. Dalam prinsip tersebut pengertian Family adalah keluarga dalam arti yang luas diakui dalam Konvensi yaitu: Istri dan anak-anak juga orang tua yang lanjut usia, tetapi dengan syarat orang ini tadinya satu kehidupan keluarganya hause hold. Mengenai prinsip kesatuan keluarga juga terdapat dalam 21 Declaration of Human Right juga terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang menyangkut Human Right, di dalam Final Act yang menerima Konvensi 1951 mengenai kesatuan keluarga juga diakui dan dianjurkan supaya negara-negara menghormati prinsip ini. Dari proses penentuan seseorang atau kelompok mendapat status pengungsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyak orang yang pergi keluar dari negaranya dan berpindah ke tempat lain tidak langsung mendapatkan status pengungsi. Diperlukan serangkaian proses yang panjang untuk mendapat status sebagai pengungsi. Hal ini tentu saja mempengaruhi kondisi psikologis mereka. Kondisi psikologi mereka akan rentan mengalami masalah psikologis seperti, depresi, cemas, ketakutan, kerinduan, dsb. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat kepada mereka UNHCR, 1992. Dari pengertian pengungsi yang telah di jelaskan di atas beserta proses penentuan status pengungsi, peneliti menjelaskan bahwa pengungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengungsi yang dilayani oleh JRS.

B. Kepuasan JasaLayanan

1. Pengertian Kepuasan

Kata kepuasan atau satisfaction menurut Edwardson dalam Tjiptono, 2000 berasal dari bahasa latin yang berarti satis cukup baik, memadai dan facio melakukan atau membuat, sehingga secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu. Namun, 22 ditinjau dari perspektif perilaku konsumen, istilah kepuasan pelanggan menjadi sesuatu yang kompleks bahkan sampai saat ini belum dicapai kesepakatan apakah kepuasan merupakan respon emosional ataukah evaluasi kognitif. Kepuasan menurut Kotler 2004 “merupakan tingkat perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsikesannya terhadap kinerja hasil suatu produk dan harapan- harapannya”. Pengertian kepuasan dikemukakan oleh Oliver dalam Supranto, 1997 yaitu tingkat dimana perasaan seseorang setelah membandingkan kinerjahasil yang dirasakan dengan harapannya. Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Bila kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas. Maka, secara keseluruhan kepuasan adalah usaha untuk memenuhkan sesuatu baik itu secara emosional maupun kognitif dengan cara membandingkan kenerja atau hasil yang dirasakan dengan harapan seseorang.

2. Pengertian JasaLayanan

Kotler 2000 mendefinisikan jasa atau layanan sebagai ”setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak lain yang pada dasarnya bersifat intagible dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Walaupun demikian, produk layanan bisa berhubungan dengan 23 produk fisik maupun non fisik.

3. Komponen JasaLayanan

Layanan merupakan suatu sistem yang terdiri atas dua komponen utama, yaitu: operasi layanan service operation dan penyampaian layanan service delivery. Layanan sebagai sebuah sistem operasi layanan merupakan sistem back room dari sebuah produk yang mendukung produk atau jasa tersebut terjamin kehandalan dan ketersediaannya. Sedangkan layanan sebagai sistem penyampaian layanan merupakan sistem penyampaian produk yang berhubungan langsung dengan pelanggan. John 1999 menegaskan terdapat perbedaan yang signifikan antara perspektif penyedia layanan dan persektif pelanggan terhadap konsep layanan. Berdasarkan perspektif penyedia layanan, proses layanan meliputi elemen penyampaian inti elemen pendukung sistem operasi layanan dan kinerja interpersonal. Sedangkan perspektif pelanggan, layanan dilihat sebagai pengalaman yang porsinya berbeda-beda antar output layanan dan moment of truth yang dialami. Hal ini mempengaruhi sikap dan tindakan pelanggan yang berdampak terhadap kelangsungan penerimaan jasa.

4. Klasifikasi JasaLayanan

Layanan yang diberikan oleh organisasi atau perusahaan dapat diklasifikasikan dalam 7 kriteria pokok Lovelock, 1987 yaitu: a. Segmen Pasar Berdasarkan segmen pasar dibedakan atas jasa yang ditujukan 24 kepada konsumen akhir dan jasa ditujukan bagi konsumen organisasional. b. Tingkat Keterwujudan Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen. Pada tingkat keberwujudan interaksi pelanggan dengan penyedia layanan secara langsung dengan produk jasa yang diberikan berwujud dan tidak berwujud. c. Keterampilan Penyedia JasaLayanan Pada tingkat ketrampilan penyedia jasalayanan memiliki karakteristik semakin tinggi ketrampilan yang dibutuhkan dalam proses operasinya, pelanggan akan selektif memilih penyedia jasanya dan kecenderungannya akan mengikat untuk loyal. d. Tujuan Organisasi Jasa Tujuan organisasi jasa dibedakan atas commersial services profit service dan non profit service. Tujuan ini akan berpengaruh terhadap kebijakan atas produk dan jasa yang diberikan. e. Regulasi Regulasi mengikat jenis jasalayanan yang diberikan dalam proses opersionalnya. Jasa layanan yang terikat dengan regulasi akan menjalankan usahanya mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh badan yang berwenang. Sedangkan unregulated services tidak ada regulator yang mengaturnya. 25 f. Tingkat Intensitas Karyawan Hal ini terkait dengan keterlibatan karyawan dalam proses pembuatan, operasional, dan penyampaiannya. g. Tingkat Kontak Penyedia Jasa dan Pelanggan Tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan terkait dengan intensitas pertemuan dengan pelanggan. Menurut Lovelock 1987 intensitas ini dibedakan menjadi dua yaitu layanan kontak tinggi high contact services dan layanan kontak rendah low contact services. Untuk jasa layanan kontak tinggi ketrampilan karyawan penyedia jasa sangat krusial karena karyawan menjalankan fungsi strategik. Mereka yang melakukan operasi jasa, memasarkan jasa dan disamakan oleh konsumen sebagai jasa Bowen Schnider,1988.

5. Karakteristik JasaLayanan

Jasalayanan menurut Kotler 2004 memiliki karakteristik yang bermacam-macam. Secara garis besar karakteristik jasalayanan dibedakan menjadi 4 macam, yaitu: 1. Intangibility Jasalayanan bersifat intagible, tidak dapat lihat, dirasakan, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli atau dikonsumsi. Karena sifatnya yang intangible penyedia jasa harus membuat pelanggan merasakannya sebagai sesuatu yang tangible 2. HeterogenityVariabilityInkonsistensi Jasalayanan bersifat heterogem karena tidak adanya standar 26 yang mengaturnya sehingga outputnya bisa bervariasi. 3. Inseparability Jasalayanan diberikan tidak dapat dipisahkan antara jasalayanan tersebut dengan pelanggan. Pelanggan terlibat dalam aktivitas produksi jasa dan cenderung bersifat interaktif. 4. Perihability Jasalayanan bersifat tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu datang, dijual kembali, atau dikembalikan sehingga penyedia jasa harus menyiasati penawaran jasalayanan melalui strategi khusus untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan.

C. Kepuasan Konsumen Terhadap JasaLayanan

Kotler dan Keller 2003 mendefinisikan kepuasan konsumen sebagai perasaan konsumen, baik itu berupa kesenangan atau kekecewaan yang timbul dari membandingkan pelayanan jasa yang dihubungkan dengan harapan konsumen atas jasa tersebut. Apabila pelayanan jasa yang diharapkan oleh konsumen tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, maka dapat dipastikan konsumen akan merasa tidak puas dan apabila pelayanan jasa tidak sesuai atau lebih baik dari yang diharapkan konsumen, maka kepuasan atau kesenangan akan dirasakan konsumen. Kepuasan konsumen merupakan keseluruhan sikap yang ditunjukkan konsumen atas jasa setelah mereka memperolehnya. Ini merupakan penelitian evaluatif pascapemilihan yang disebabkan oleh seleksi pembelian khusus dan 27 pengalaman menggunakan barang atau jasa tersebut Mowen dan Minor, 2002. Jadi Kepuasan konsumen adalah persepsi individu terhadap performansi suatu produk atau jasa dikaitkan dengan harapan konsumen tersebut Sciffman dan Kanuk, 2004. Kepuasan layanan didefinisikan sebagai penilaian evaluasi pasca pemberian dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberi hasil sama atau melampaui harapan konsumen. Dalam penelitian ini, yang nantinya akan disebut dengan konsumen adalah para pengungsi yang mendapatkan layanan dari JRS. Maka dari itu, kata konsumen dapat diartikan dan dikaitkan sebagai para pengungsi yang dilayani oleh JRS. Sedangkan yang nantinya disebut dengan penyedia layanan adalah JRS sendiri.

1. Tipe-tipe Kepuasan

Stauss dan Neuhaus dalam Tjiptono dan Gregorius, 2005 membedakan tiga tipe kepuasan dan dua tipe ketidakpuasan, yakni : Demanding customer satisfaction Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Adanya emosi positif dari konsumen, yakni optimisme dan kepercayaan. Stable customer satisfaction Konsumen dengan tipe ini memiliki tingkat aspirasi pasif dan perilaku yang menuntut. Emosi positifnya terhadap penyedia jasa bercirikan steadiness dan trust dalam relasi yang terbina saat ini. Konsumen menginginkan segala sesuatunya tetap sama. Resigned customer satisfaction Konsumen dalam tipe ini juga merasa puas. Namun, 28 kepuasannya bukan disebabkan oleh pemenuhan harapan, namun lebih didasarkan pada kesan bahwa tidak realistis untuk berharap lebih. Stable customer dissatisfaction Konsumen dalam tipe ini tidak puas terhadap kinerjanya, namun mereka cenderung tidak melakukan apa-apa. Demanding dissatisfaction Tipe ini bercirikan tingkat aspirasi aktif dan perilaku menuntut. Pada tingkat emosi, ketidakpuasannya menimbulkan protes dan oposisi.

2. Ciri-ciri Konsumen yang Puas

Hawkins, Mothersbaugh dan Best 2007 menyebutkan bahwa outcome atau hasil yang diharapkan dari adanya kepuasan konsumen adalah peningkatan penggunaan, pembelian ulang, loyalitas dan word of mouth. Sedangkan menurut Kotler dan Amstrong 2000 ciri-ciri konsumen yang puas adalah sebagai berikut : 1. Loyal terhadap produk Konsumen yang terpuaskan cenderung akan menjadi loyal. Konsumen yang puas terhadap produk yang dikonsumsinya akan mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang sama. Keinginan untuk membeli ulang karena adanya keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik dan menghindari pengalaman yang buruk. 2. Adanya komunikasi dari mulut ke mulut yang bersifat positif Kepuasan adalah merupakan faktor yang mendorong adanya 29 komunikasi dari mulut ke mulut word of mouth communication yang bersifat positif. Hal ini dapat berupa rekomendasi kepada calon konsumen yang lain dan mengatakan hal-hal yang baik mengenai produk dan perusahaan yang menyediakan produk. 3. Perusahaan menjadi pertimbangan utama ketika membeli produk lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Konsumen

Zeithaml dan Bitner 1996 mengemukakan bahwa kepuasan konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: a. Kualitas Produk Konsumen puas jika setelah membeli dan menggunakan produk, ternyata kualitas produknya baik. Kualitas barang yang diberikan bersama-sama dengan pelayanan akan mempengaruhi persepsi konsumen. Ada delapan elemen dari kualitas produk, yakni kinerja, fitur, reliabilitas, daya tahan, pelayanan, estetika, sesuai dengan spesifikasi, dan kualitas penerimaan. b. Harga Pembeli biasanya memandang harga sebagai indikator dari kualitas suatu produk. Konsumen cenderung menggunakan harga sebagai dasar menduga kualitas produk. Maka konsumen cenderung berasumsi bahwa harga yang lebih tinggi mewakili kualitas yang tinggi. c. Faktor situasi dan personal Faktor situasi atau lingkungan dan pribadi, mempengaruhi 30 tingkat kepuasan seseorang terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya. Faktor situasi seperti kondisi dan pengalaman akan menuntut konsumen untuk datang kepada suatu penyedia barang atau jasa, hal ini akan mempengaruhi harapan terhadap barang atau jasa yang akan dikonsumsinya. Efek yang sama terjadi karena pengaruh faktor personal seperti emosi konsumen. d. Kualitas Pelayanan Kualitas pelayanan sangat bergantung pada tiga hal, yaitu sistem, teknologi dan manusia. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa sangat bergantung pada kualitas jasa yang diberikan. Menurut Kotler 2002, ada lima dimensi kualitas pelayanan penjualan yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen, sebagai berikut: 1 Keandalan Reliability Kemampuan untuk melaksanakan pelayanan pada konsumen yang dijanjikan secara terpercaya dan akurat. 2 Daya Tanggap Responsiveness Kemampuan untuk membantu, melayani dan memberikan pelayanan dengan cepat dari perusahaan kepada konsumen. 3 Kepastian Confidence Pengetahuan dan kesopanan yang dimiliki karyawan perusahaan, serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pada konsumen. 4 Empati Empathy 31 Kesediaan untuk peduli kepada konsumen, dan memberikan perhatian secara pribadi kepada konsumen yang membutuhkan pelayanan. 5 Berwujud Tangible Penampilan fisik yang dimiliki perusahaan, peralatan, petugas, karyawan dan materi komunikasi yang ada pada perusahaan.

4. Pengukuran Kepuasan

Menurut Kotler dan Amstrong 1997, ada empat metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepuasan konsumen, yaitu: a. Sistem Keluhan dan Saran Setiap perusahaan yang berorientasi pada konsumen customer oriented akan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi konsumen untuk menyampaikan pendapat, saran dan keluhan konsumen. Media yang bisa digunakan antara lain adalah kotak saran, guest comment. b. Survei Kepuasan Konsumen Penelitian mengenai kepuasan konsumen banyak dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos, telepon maupun wawancara pribadi. Keuntungan dari menggunakan metode survei adalah perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari konsumen dan sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan memperhatikan konsumennya. Metode ini dapat 32 dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: a. Directly Reported Satisfaction Survei kepuasan konsumen dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti “Seberapa puaskah Saudara terhadap produk X? Apakah sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas dan sangat puas?”. b. Derived Reported Dissatisfaction Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yaitu besarnya harapan konsumen terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang dirasakan konsumen. c. Problem Analysis Konsumen yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok, yaitu masalah-masalah yang dihadapi oleh konsumen yang berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan saran-saran untuk melakukan perbaikan. d. Importance Performance Analysis Responden diminta untuk mengurutkan berbagai atribut dari penawaran, mulai dari yang paling penting hingga yang kurang penting. Selain itu, responden juga diminta untuk mengurutkan kinerja perusahaan dalam masing-masing atribut dari yang paling baik hingga yang kurang baik. c. Ghost Shopping Metode ini dilaksanakan dengan cara memperkerjakan 33 beberapa orang ghost shopper untuk bersikap sebagai konsumen di perusahaan pesaing. d. Lost Custumer analisys Metode ini dilaksanakan dengan cara perusahaan menghubungi para konsumennya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok dan perusahaan menanyakan penyebab konsumen berhenti membeli atau beralih pemasok. Menurut Tjiptono 1997, metode yang digunakan untuk mengukur kepuasan konsumen dapat dengan cara: a. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pertanyaan. b. Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang dirasakan. c. Responden diminta untuk menuliskan masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahan dan juga diminta untuk menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahan dan juga diminta untuk menuliskan perbaikan yang mereka sarankan. d. Responden dapat diminta untuk meranking berbagai elemen dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa baik kinerja perusahan dalam masing-masing elemen. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode survei kepuasan konsumen dengan cara Directly Reported Satisfaction untuk mengukur kepuasan layanan. 34

D. Kompetensi

1. Pengertian Kompetensi

Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan ditempat kerja termasuk diantaranya seseorang untuk mentrasfer dan mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru. Pengertian kompetensi yang dikemukakan oleh para ahli, menurut Wibowo 2007 kompetensi adalah Suatu kemampuan untuk malaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan itu tersebut. Spencer and Spencer dalam Wibowo, 1993 kompetensi adalah: Karakter sikap dan perilaku, atau kemauan dan kemampuan individual yang relatif stabil ketika menghadapi situasi dan tempat kerja yang terbentuk dari sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan konseptual. Dapat disimpulkan dari kedua pengertian diatas bahwa kompetensi adalah karakteristik dari suatu kemampuan seseorang yang dapat di buktikan sehingga memunculkan suatu prestasi kerja.

2. Karakteristik Kompetensi

Kompetensi merupakan karekteristik yang mendasar pada setiap individu yang dihubungkan dengan criteria yang dideferensiasikan 35 terhadap kinerja yang unggul atau efektif dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Spencer and Spencer 1993 menyatakan bahwa Kompetensi merupakan landasan dasar karekteristik orang dan mengindikasikan cara berprilaku atau berfikir, menyamakan situasi, dan mendukung untuk periode waktu cukup lama. Terdapat lima tipe Karakteristik Kompetensi, yaitu sebagai berikut: 1 Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan orang yang menyebabkan tindakan. Motif mendorong, mengarahkan, dan memilih perilaku menuju tindakan atau tujuan tertentu. 2 Sifat adalah karakteristik fisik dan respons yang konsisten terhadap situasi atau informasi. 3 Konsep diri adalah sikap, nilai-nilai, atau citra diri seseorang. Percaya diri merupakan keyakinan orang bahwa mereka dapat efektif dalam hampir setiap situasi adalah bagian dari konsep diri orang. 4 Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki orang dalam bidang spesifik. Pengetahuan adalah kompetensi yang kompleks. 5 Keterampilan adalah kemampuan mengerjakan tugas fisik atau mental tertentu.kompetensi mental atau keterampilan kognitif termasuk berfikir analitis dan konseptual. 36

3. Kompetensi Interpersonal

Spitxzberg dan Cupach dalam DeVito, 1992 mengungkapkan bahwa kempetensi interpersonal adalah kemampuan seseorang individu untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Kompetensi interpersonal ini terdiri atas kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif. Kemampuan ini ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik psikologis yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, perilaku non verbal orang lain, kemampuan menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari interaksi yang sedang berlangsung, serta menyesuaikan dengan orang lain. Reardon dalam Gouran dkk, 1994 mengatakan individu yang kompeten secara interpersonal mampu mencapai tujuan-tujuan yang diinginkannya dalam sebuah relasi dan berperilaku secara tepat dalam menghadapi situasi tersebut. Hal serupa juga disampaikan oleh Trenholm dan Jensen dalam Gouran dan Dolger, 1994 menyatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan berkomunikasi diri secara efektif dan bergaul denga cara yang tepat. Selanjutnya Buhrmester, Wittenberg dan Reis 1998 menemukan adanya beberapa hal seperti kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk membentuk persahabatan, mengatasi permasalahan yang timbul dalam berhubungan dengan orang lain, yang semuanya 37 merupakan gambaran dari kompetensi interpersonal. Buhrmester mengemukakan lima dimensi interpersonal, yaitu: kemampuan berinisiatif dalam memulai suatu hubungan interpersonal, kemampuan membuka diri, kemampuan bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampan untuk mengelola dan mengatasi konflik. Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi interpersonal yang dimaksukan dalam penelitian ini adalah kemampuan individu untuk berinisiatif, bersikap terbuka, bersikap asertif, memberikan dukungan emosional, dan mampu mengatasi konflik untuk melakukan komunikasi dan menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain.

4. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal

a. Kompetensi untuk Berinisiatif

Inisiatif menurut Bee 1981 yakni kemampuan untuk memulai suatu bentuk usaha tertentu dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Pendapat ini dipertegas oleh Buhrmester, dkk 1998 yang mengemukakan bahwa inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Tahap awal untuk menjalin relasi dengan orang lain adalah dengan memperkenalkan diri atau menyapa orang lain. Smart dan Smart 1972 mengemukakan tiga hal tentang inisiatif, yaitu: 38 i. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru untuk memperkaya diri ii. Pencarian pengalaman baru dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui dengan tujuan untuk dapat lebih memahaminya. iii. Dorongan yang penuh semangat dalam rangka mencari infromasi yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sendiri. Perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya inisiatif menurut Buhrmester, dkk 1998, yaitu: 1 Mengenalkan diri pada seseorang baru yang ingin dikenal. 2 Menjadi individu yang menarik dan menyenangkan ketika berkenalan dengan orang lain. 3 Menawarkan sesuatu pada kenalan baru yang terlihat menarik dan atraktif. 4 Meminta dan mengusulkan pada kenalan baru untuk melakukan aktivitas bersama-sama 5 Melanjutkan percakapan dengan kenalan baru yang lebih ingin dikenal. Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berinisiatif adalah usaha untuk memulai sesuatu bentuk interaksi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar dengan tahap awalnya adalah dengan 39 memperkenalkan diri atau menyapa orang lain.

b. Kemampuan Bersikap Terbuka

Menurut Jourard 1964 mengemukakan bahwa self disclosure adalah suatu kemampuan untuk membicarakan diri sendiri dan kemampuan ini sangat penting artinya dalam membentuk suatu persahabatan. Ia juga menyebutkan bahwa keterbukaan sama maknanya dengan keintiman atau pendektan yang mana hal tersebut membedakan antara hubungan persahabatan dan hubungan formal. Dalam pengungkapan diri, Wrightsman dan Deaux 1981 mengungkapkan bahwa informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain, sebagai bentuk penghargaan yang akan memperluas kesempatan menjadi sharing. Keterbukaan seseorang tercermin dalam perilaku individu tersebut. Menurut Buhrmester, dkk 1998 menunjukkan contoh- contoh perilaku adanya keterbukaan diri, yakni: 1 Memberi kesempatan kepada kenalan baru untuk lebih mengenal diri kita yang sebenarnya. 2 Mengungkapkan pada sahabat bahwa kita menghargai dan menyayanginya. 3 Mengungkapkan pada sahabat hal-hal yang mencemaskan, menakutkan dan membuat kita merasa malu. 4 Mengetahui cara mengemukakan percakapan dengan kenalan baru untuk lebih mengenal masing-masing pihak. 40 5 Melepaskan pertahanan diri kita dan mempercayai seorang sahabat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self disclosure merupakan kemampuan seseorang untuk membuka diri, memperkenalkan dirinya kepada orang lain, dan sebaliknya menerima oranglain, memberi penghargaan sehingga keterbukaan adalah kunci dari self disclosure.

c. Kemampuan untuk Bersikap Asertif

Menurut Pearlman dan Cozby dalam Nashori, 2003 asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Charhoun dan Acoccella 1990 mengatakan bahwa kemampuan bersikap asertif merupakan kemampuan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu yang diinginkan dan menolak untuk melakukan hal yang tidak diinginkan. Kemampuan bersikap asertif ini dapat mempermudah individu dalam melakukan komunikasi interpersonal yang efektif. Menurut Nashori 2003, kemampuan bersikap asertif adalah kemampan untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas, meminta orang lain melakukan sesuatu, dan menolak melakukan hal yang tidak dinginkan tanpa melukai perasaan orang lain. Perilaku-perilaku asertif menurut Buhrmester, dkk 1998, yaitu: 41 a. Mengatakan kepada orang lain bahwa kita tidk bekenan dengan cara dia memperlakukan kita. b. Mengatakan ”tidak” ketika teman menyuruh kita melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. c. Menolak permintaan teman yang tidak masuk akal d. menegur sahabat kita yang ingkar janji. e. mengatakan pada orang lain bahwa dia telah melukai perasaan, mempermalukan, dan membuat kita marah. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bawa kemampan bersikap asertif adalah kemampuan untuk mengatakan hak-hak pribadi kita, mengungkapakan pikiran dan gagasan serta perasaan kita secara jujur dengan cara yang baik dan tidak menyakiti hati.

d. Kemampuan Memberikan Dukungan Emosional

Cohen Wills dalam Hill, 1991 menyatakan bahwa dukungan emosional adalah kemampuan untuk mengespresikan perhatian, kesabaran, dan simpati kepada orang lain. Barker dan Lemle dalam Buhrmester, 1998 menjelaskan bahwa dukungan emosional mencakup kemampuan untuk memberikan perasaan nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut sedang mengalami kesusahan dan ditimpa masalah. Penguasaan atas aspek ini memudahkan individu untuk masuk kedalam lingkup pergaulan atau untuk mengenali dan merespon dengan tepat perasaan dan 42 keprihatinan orang lain Goleman, 2000. Lukman dalam Almesa, Widyastuti Mardiana, 2007 mengungkapkan bahwa kemampuan memberikan dukungan emosional sangat bermanfaat dalam hubungan antar pribadi. Memberi dukungan emosional berarti memberikan dukungan yang bersifat afektif. Salah satu bentuk dukungan yang bersifat afektif adalah empati. Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Almesa et al, 2007 mengatakan bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Sikap empati ini akan dapat mempererat hubungan interpersonal individu. Perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya dukungan emosional dinyatakan oleh Buhrmester, dkk 1998 yaitu: 1 Mendengarkan dengan sabar ketika sahahat menceritakan masalahnya. 2 Membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi sahabat berkaitan dengan keluarga atau teman lain. 3 Mengatakan atau melakukan sesuatu dalam rangka memberikan dukungan emosional pada saat sahabat kita menjalani kesusahan. 4 Menunjukkan siap penuh empati 5 Memberikan nasehat yang baik ketika seorang teman membutuhkannya. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memberikan dukungan emosional adalah kemampuan 43 untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain ketika orang lain tersebut sedang mengalami masalah, memberikan empati dan bersikap hangat kepada orang lain adalah salah satu teknik untuk membuat orang lain tenang dan merasa nyaman dengan kita.

e. Kemampuan dalam Mengatasi Konflik

Kemampuan mengatasi konflik meliputi sikap-sikap untuk menyusun strategi penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atau suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru. Menyusun strategi penyelesaian masalah adalah bagaimana individu yang bersangkutan merumuskan cara untuk menyelesaikan konflik dengan sebaik-baiknya. Grasha 1987 mengatakan bahwa konflik akan selalu ada dalam setiap hubungan antar manusia dan bisa disebabkan oleh berbagai hal. Kemampuan mengatasi konflik diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baik. Konflik akan memberi makna positif bila konflik dikomunikasikan secara terbuka untuk memperoleh penanganan secara efektif. Menurut Buhrmester, dkk 1998, perilaku-perilaku yang menunjukkan adanya kemampuan dalam mengatasi konflik, adalah 44 sebagai berikut: 1 Pada saat memiliki masalah dengan sahabat, kita benar-benar mendengarkan keluhannya dan tidak berusaha menebak apa yang dipikirkannya. 2 Tidak mengulang ucapan atau perbuatan yang dapat memperparah konflik. 3 Dapat menerima bahwa orang lain memiliki pandangan sendiri terhadap suatu kejadian meskipun kita tidak setuju dengan cara pandang tersebut. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengatasi konflik diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kompetensi

Interpersonal Berbagai penelitian menemukan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kontak dengan orang tua, interaksi dengan teman sebaya, dan partisipasi sosial. Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor tersebut di atas, yaitu: 1 Kontak dengan orang tua Menurut Hetherington dan Parke 1979, kontak anak dengan orang tua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak di antara mereka menjadikan anak belajar dengan lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat 45 mempengaruhi perilaku sosialnya. 2 Interaksi dengan teman sebaya Lefrancois dalam Mulyati, 1993 mengemukakan bahwa teman sebaya mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan sosial anak. Hal ini dipertegas juga oleh Kramer dan Gottman 1992 bahwa anak yang memiliki kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk lebih meningkatkan perkembangan sosial dan perkembangan emosinya, serta lebih mudah dalam membina hubungan interpersonal. 3 Partisipasi sosial Hurlock 1997 menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Individu yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial akan lebih berpeluang untuk mengasah keterampilan- keterampilan sosial yang dimiliki termasuk kompetensi interpersonalnya. Dengan kata lain, semakin besar partisipasi sosial seorang individu maka semakin besar pula kompetensi interpersonal yang dimilikinya.

F. Dinamika Hubungan Antara Kompetensi Interpersonal Relawan JRS