Penulis menggunakan kelompok remaja sebagai Subyek dalam penelitian ini karena pada usia ini seseorang memulai kemandirian dan kestabilan emosi
yang mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi suatu hal sesuai dengan pemikiran mereka sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain. Selain itu juga
karena masa ini adalah masa mereka mencapai peran jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan dan terbentuknya identitas seksual yang menetap.
G. Heteroseksual Remaja
Pada awalnya, remaja mengelakkan bergaul dengan lawan jenis, dan lebih ingin ada bersama dengan kawan sejenisnya. Kebersamaan ini memberikan
perasaan kebanggaan, dan kenikmatan tersendiri. Akan tetapi keadaan ini tidak akan terus demikian. Setelah gejolak sekitar haid dan ejakulasi pertama, mereka
mulai merasa tertarik kepada lawan jenisnya. Inilah tahap perkembangan heteroseksual Riberu, 1985.
Ketika mereka secara seksual sudah matang, laki-laki maupun perempuan mulai mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya dan mengembangkan
minat pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat yang baru ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk
memperoleh dukungan dari lawan jenis Hurlock, 1996. Tugas perkembangan berikutnya yang harus dikuasai remaja adalah
belajar memerankan peran seksual yang diakui Hurlock, 1996. Peran seksual pada hakikatnya adalah bagian dari peran sosial pula. Sama halnya dengan anak
yang harus mempelajari perannya sebagai anak terhadap orang tua atau sebagai
murid terhadap guru, maka ia pun harus memepelajari perannya sebagai anak sebagai jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Jadi, peran
seksual ini tidak hanya ditentukan oleh jenis kelamin yang bersangkutan tetapi juga oleh lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Dengan demikian tidak otomatis
seorang laki-laki harus bermain mobil-mobilan dan robot-robotan sedangkan anak perempuan bermain boneka dan rumah-rumahan. Kenyataan menunjukkan bahwa
banyak anak laki-laki tertarik pada boneka-boneka dan anak perempuan pada robot-robotan dan akhirnya mereka tetap menjadi orang dewasa pria atau wanita
yang normal atau tidak menjadi banci Sarwono, 1989. Pada masa remaja, perkembangan kebutuhan seks dan pembentukan
peranan jenis berjalan sejajar dan menentukan akan menjadi wanita atau pria bagaimanakah kelak. Pada suatu saat tertentu terlihat bahwa para remaja
mengalami keraguan tentang peranan jenisnya masing-masing. Sering timbul keraguan mengenai bakat kelaki-lakian atau kewaniaannya. Apakah mereka
tertarik pada jenis laki-laki atau wanita. Tambahan pula pengaguman pada terhadap seorang yang sama jenisnya, akhirnya menyebabkan timbulnya ikatan
dan terbentuknya tingkah laku yang terwujud dalam perilaku seksual yang menyimpang: wadam, bencong, homoseks dan lesbian Gunarsa dan Gunarsa,
1984. Sebagai contoh adalah kasus anak keenam dari enam bersaudara yang
semuanya laki-laki. Pada waktu anak keenam ini lahir ibunya kecewa karena ibunya sangat menginginkan anak wanita. Sejak masa bayi, ibunya sudah
mengeluarkan pakaian bayi yang telah disiapkan untuk bayi perempuan. Sampai
agak besar ia masih mengenakan baju perempuan hingga saat SD seakan-akan terpaksa memakai celana dan kemeja laki-laki. Ternyata pada umur 12 tahun,
kukunya dipelihara dan diberi pewarna kuku. Demikian pula matanya diberi make up khusus di mana akhirnya ia menjadi “korban” homoseksualitas.
Dari contoh di atas terlihat pada mulanya hanya keinginan untuk memakai pakaian dari lawan jenis, kemudian terjadi peralihan dari tingkahlaku ini ke hal-
hal yang seksual. Bahkan selanjutnya terjadi peralihan peranan jenis yang berganti-ganti sebagai akibat lingkungan termasuk lingkungan keluarganya.
Contoh penyimpangan seperti di atas ternyata banyak ditemukan. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa pengalaman seseorang dapat menjadi
faktor penyebab timbulnya penyimpangan perkembangan heteroseksual Gunarsa dan Gunarsa, 1984.
H. Pengertian Waria