4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Kitosan
Karakteristik kitosan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada
Tabel 2. Kadar air, kadar abu, derajat deasetilasi dan logam berat pada kitosan masih berada pada angka yang masih diijinkan oleh BPOM RI. Menurut No dan
Meyers 1995 produk kitosan komersial memiliki kadar air 10, kadar abu 2 dan derajat deasetilasi 70.
Tabel 2. Karakteristik kitosan
Parameter Deskripsi
a b
Kadar air 2,77
10,0 Kadar Abu bk
0,5 2,0
Total Nitrogen bk 4,85
- Derajat Deasetilasi
80,45 80
Warna larutan bening
- Viskositas cps 1
210 -
Kandungan logam ppm As
Cd Hg
Pb Cu
Zn 0,003
0,002 0,001
0,1 3,38
6,48 5
5 5
5
- -
a. Kitosan produksi PT Araminta Sidhakarya Maulana 2007 b. Berdasarkan SK Badan POM RI No. HK.00.05.52.6581 tentang kitosan dalam produk pangan
Pengukuran kadar abu merupakan indikator keefektifan proses demineralisasi untuk membuang kalsium karbonat dari kulit udang sebagai bahan
baku. Kadar abu pada kitosan merupakan parameter penting yang dapat mempengaruhi kelarutan mengakibatkan viskositas yang rendah atau dapat
mempengaruhi karakteristik pada produk akhir No dan Meyers 1995. Adanya kandungan nitrogen pada kitosan kemungkinan disebabkan
adanya residu protein. Protein terikat secara kovalen dengan kitosan membentuk struktur yang stabil dengan kitin dan kitosan sehingga sulit untuk menghasilkan
produk yang bebas dari residu protein Austin et al. 1981, dan jika proses deproteinasi lengkap, nitrogen masih terdapat pada kitosan yang memiliki gugus
amino No dan Meyers 1995.
26
4.2. Aktivitas Antibakteri pada Kitosan dan Kombinasinya dengan Kalium Sorbat, Natrium Benzoat dan Ekstrak
Solanum sp.
Penelitian aktivitas antibakteri menggunakan E. coli dan S. aureus sebagai bakteri uji. Kedua jenis ini mewakili jenis bakteri Gram-negatif dan Gram-positif,
selain ikut berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. E. coli merupakan bakteri Gram-negatif yang berasal dari kotoran hewan maupun
manusia, sehingga sering dijadikan bakteri indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi Fardiaz 1993. Tidak semua jenis E. coli menyebabkan penyakit
pada manusia, namun ada potensi bahaya bila jenis bakteri ini terdeteksi pada makanan dan dikonsumsi manusia Batt 1999. Bakteri S. aureus merupakan
bakteri Gram-positif berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm dan tumbuhnya secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang
menyebabkan keracunan dan sering ditemukan pada jenis makanan yang mengandung protein tinggi seperti ikan, telur dan daging. Enterotoksin yang
diproduksi oleh S. aureus bersifat tahan panas dan masih aktif setelah dipanaskan pada suhu 100
o
C selama 30 menit Fardiaz 1993. Bahan antibakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan dan
kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. Perlakuan yang digunakan adalah: kitosan 0,1; kitosan 0,05; kombinasi
kitosan 0,05 dengan kalium sorbat 0,05; kombinasi kitosan 0,05 dengan natrium benzoat 0,05; dan kombinasi kitosan 0,05 dengan terung pungo 20
µgml. Dilakukan juga pengujian untuk kontrol tanpa diberi perlakuan; kalium sorbat 0,1; natrium benzoat 0,1; ekstrak Solanum sp. 20 µgml; dan asam
asetat 0,07. Hasil pengujian aktivitas antibakteri disajikan pada Gambar 4 dan hasil perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Kombinasi kitosan dengan kalium sorbat, natrium benzoat maupun ekstrak Solanum sp., tidak memberikan efek antibakteri yang sinergis. Hal ini terlihat
pada kitosan 0,05 yang memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi daripada kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat maupun ekstrak Solanum
sp., yang memiliki jumlah bakteri sebesar 2,21 ± 0,07 log cfuml terhadap S. aureus dan 3,94 ± 0,63 log cfuml terhadap E. coli. Kitosan 0,1 memiliki
aktivitas antibakteri paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain dengan
27
jumlah bakteri paling sedikit, baik terhadap S. aureus yaitu 1,17 ± 0,06 log cfuml maupun terhadap E. coli yaitu 1,43 ± 0,27 log cfuml.
Gambar 4. Hasil pengujian aktivitas antibakteri. Aktivitas antibakteri pada kitosan 0,05 yang dikombinasikan dengan
kalium sorbat 0,05 memiliki jumlah bakteri sebesar 2,65 ± 0,01 log cfuml terhadap S. aureus dan 4,38 ± 0,20 log cfuml terhadap E. coli, sedangkan
Bakteri uji: Escherichia coli d
cd cd
cd c
b b
b b
a 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10
0,1 0,05
KS KB
KT S
B T
AA C
Perlakuan antibakteri Jum
la h
b ak
te ri
log c
fu m
l
Keterangan: Perlakuan: 0,1 = kitosan 0,1; 0,05 = kitosan 0,05; KS = kitosan 0,05 + kalium sorbat
0,05; KB = kitosan 0,05 + natrium benzoat 0,05; KT = kitosan 0,05 + ekstrak Solanum sp. 20 µgml; S = kalium sorbat 0,1; B = natrium benzoat 0,1; T = ekstrak Solanum sp. 20
µgml; AA = asam asetat 0,07; dan C =kontrol tanpa diberi perlakuan. Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan uji Tukey
α = 5.
Bakteri uji: Staphylococcus aureus reus
f f
e d
d
bc bc
c b
a
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
0,1 0,05
KS KB
KT S
B T
AA C
Perlakuan antibakteri Jum
la h
b ak
te ri
log c
fu m
l
28
kombinasi kitosan 0,05 dengan natrium benzoat 0,05 memiliki jumlah bakteri sebesar 2,58 ± 0,11 log cfuml terhadap S. aureus dan 4,31 ± 0,10 log cfuml E.
coli. Kombinasi yang dilakukan antara kitosan dengan kalium sorbat ataupun natrium benzoat tidak memberikan efek sinergis karena diduga terjadi reaksi saat
kedua bahan dikombinasikan. Kitosan yang memiliki gugus muatan positif NH
3 +
pada struktur molekulnya diduga bereaksi dengan gugus sorbat dan benzoat yang bermuatan negatif membentuk garam. Hal ini dapat diamati secara visual saat
mencampurkan kitosan dan kalium sorbat maupun natrium benzoat pada media cair yang terlihat keruh dan membentuk flokulan berwarna putih susu pada media.
Percobaan yang dilakukan dengan menambahkan kalium sorbat lebih banyak pada media yang mengandung kitosan di luar metode penelitian, memperlihatkan
terbentuknya gumpalan-gumpalan berwarna putih yang lebih besar. Proses inilah yang diduga melemahkan aktivitas antibakteri pada kitosan, sehingga kombinasi
kitosan dengan kalium sorbat dan natrium benzoat justru memiliki aktivitas antibakteri yang tidak sinergis.
Kombinasi kitosan 0,05 dengan ekstrak terung pungo Solanum sp. 20 µgml memperlihatkan aktivitas antibakteri dengan jumlah bakteri sebesar 2,36 ±
0,01 log cfuml terhadap S. aureus dan 4,20 ± 0,09 log cfuml terhadap E. coli. Aktivitas penghambatan bakteri dari kombinasi ini tidak berbeda nyata
dibandingkan kitosan 0,05. Hal ini menunjukkan kedua bahan ini tidak memberikan efek antibakteri yang sinergis bila dikombinasikan. Hasil ini
memperlihatkan kemampuan aktivitas antibakteri pada kitosan lebih baik dibandingkan kombinasi kitosan dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan
ekstrak Solanum sp. Penelitian ini juga melakukan pengujian aktivitas antibakteri pada kalium
sorbat 0,1, natrium benzoat 0,1, asam asetat 0,07 dan kontrol tanpa perlakuan sebagai pembanding. Pengujian aktivitas antibakteri pada kalium
sorbat 0,1 memiliki jumlah bakteri sebesar 7,35 ± 0,04 log cfuml terhadap S. aureus dan 7,89 ± 0,26 log cfuml terhadap E. coli, sedangkan pada natrium
benzoat 0,1 memiliki jumlah bakteri sebesar 7,24 ± 0,07 log cfuml terhadap S. aureus dan 7,92 ± 0,26 log cfuml terhadap E. coli. Hal ini menunjukkan
kemampuan kalium sorbat dan natrium benzoat kurang kuat dalam menghambat
29
pertumbuhan bakteri bila dibandingkan kitosan 0,1. Pengujian aktivitas antibakteri pada terung pungo 20 µgml memperlihatkan kemampuan yang
rendah, dengan jumlah bakteri sebesar 7,75 ± 0,25 log cfuml terhadap S. aureus dan 8,42 ± 0,05 log cfuml terhadap E. coli. Dilakukan juga pengujian aktivitas
antibakteri terhadap asam asetat, karena senyawa ini digunakan dalam melarutkan kitosan. Konsentrasi 0,07 dihitung dari jumlah asam asetat untuk melarutkan
kitosan 0,1. Aktivitas antibakteri asam asetat 0,07 menunjukkan rendahnya aktivitas penghambatan bakteri dari senyawa ini dengan jumlah bakteri sebesar
8,46 log cfuml terhadap S. aureus dan 8,87 ± 0,04 log cfuml terhadap E. coli, sedangkan kontrol adalah 8,66 ± 0,04 log cfuml terhadap S. aureus dan 8,95 ±
0,09 log cfuml terhadap E. coli. Mekanisme antibakteri pada kitosan telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Menurut Tsai dan Su 1999, aktivitas antibakteri pada kitosan tergantung pada muatan positif pada kitosan dan muatan negatif pada permukaan mikroba
yang diperlihatkan oleh kekuatan elektrostatis antara proton gugus NH
2
pada kitosan dan residu negatif pada permukaan sel bakteri. Oleh karena itu, kitosan
yang memiliki derajat deasetilasi DD tinggi akan memiliki muatan positif yang tinggi menyebabkan adanya aktivitas antibakteri yang tinggi pula, dimana
keberadaan sejumlah gugus NH
2
terprotonasi pada kitosan akan meningkat dengan meningkatnya DD Tsai et al. 2002. Aktivitas antibakteri pada kitosan
tergantung pada beberapa faktor antara lain DD, suhu dan berat molekul. Kitosan dengan DD yang tinggi lebih efektif melawan mikroorganisme. Kitosan dengan
berat molekul yang rendah dapat masuk dalam sel-sel mikroba dan merusak metabolisme pada sel, dan pada kitosan dengan berat molekul tinggi akan
membentuk film di sekitar sel, sehingga menghambat masuknya nutrisi dalam sel Zheng dan Zhu 2003.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kitosan juga memiliki kemampuan menghambat S. aureus bakteri Gram-positif lebih baik
dibandingkan terhadap E. coli bakteri Gram-negatif. Zheng dan Zhu 2003 menjelaskan adanya mekanisme antibakteri yang berbeda pada kitosan terhadap
dua jenis bakteri yang diamati, yaitu E. coli dan S. aureus. Mekanisme pertama adalah kitosan pada permukaan sel bakteri dapat membentuk suatu membran
30
polimer film sehingga menghambat absorbsi nutrisi ke dalam sel. Mekanisme kedua adalah kitosan dengan berat molekul yang rendah mampu menembus
masuk ke dalam sel sehingga mampu mengabsorbsi senyawa elektronegatif dan memflokulasinya, mengakibatkan terjadi kerusakan pada aktivitas fisiologis
bakteri dan akhirnya membunuhnya. Mekanisme pertama lebih dominan terhadap S. aureus dan mekanisme kedua terhadap E. coli.
Tsai dan Su 1999 melaporkan bahwa kitosan menyebabkan lepasnya glukosa dan laktat dehidrogenase dari sel E. coli. Menurut Liu et al. 2004,
kitosan dapat meningkatkan permeabilitas membran luar outer membrane dan membran dalam inner membrane dan akhirnya merusak membran sel pada
bakteri dengan melepaskan kandungan seluler. Kerusakan ini diduga disebabkan oleh interaksi elektrostatis antara gugus NH
3 +
pada kitosan asetat dengan gugus fosforil dari komponen fosfolipida pada membran sel.
4.3. Penggunaan Kitosan terhadap Daya Awet Bandeng Presto