IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kualitas fisika – kimia air limbah kantin buatan sebelum diolah
Hasil analisis kualitas fisika – kimia air limbah kantin buatan sebelum diolah pada penelitian ini memiliki nilai parameter TSS, BOD dan COD melebihi
baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Nilai TSS, BOD dan COD yang terkandung dalam air limbah menggambarkan tingginya kandungan bahan
tersuspensi dan organik dalam air limbah, dan juga tecermin dari rendahnya nilai oksigen terlarut. Air limbah semacam ini jika langsung dibuang ke perairan
umum berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan sekitarnya, sehingga diperlukan pengolahan terlebih dahulu. Percobaan ini ditujukan untuk
menurunkan kadar bahan pencemar organik melalui kombinasi perlakuan aerasi, penambahan Bacillus sp. dan kangkung air Ipomoea aquatica. Kualitas air
limbah kantin buatan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kualitas air limbah buatan sebelum proses pengolahan
Mutu Air Limbah Parameter Unit
Limbah Kantin Buatan Baku Mutu
Fisika
Suhu C
26,22 - 26,78 deviasi 3
DHL µScm
146,77 - 167,07 2250
TSS mgl
493,81 - 638,07 100
Kimia
pH -
6,34 - 6,51 6 – 9
DO mgl
4,34 - 4,82 3
BOD mgl
921,66 - 1073,39 100
COD mgl
1296,32 - 1782,81 100
Keterangan : Berdasarkan PPRI No. 82 Th. 2001 Golongan C tentang pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air Berdasarkan Perda Jabar
No. 39 Th. 2000 Golongan C
tentang peruntukan air dan baku mutu air pada Sungai Citarum dan anak-anak sungainya di
Jawa Barat Berdasarkan KepMen LH No. 112 Th. 2003 tentang baku mutu air limbah
domestik Berdasarkan KepMen LH No. 52 Th. 1995 tentang baku mutu limbah cair
bagi kegiatan hotel
4.2. Kualitas fisika – kimia air limbah kantin buatan setelah diolah
Hasil pengamatan parameter kualitas fisika – kimia air limbah untuk masing-masing perlakuan dan waktu lamanya aerasi sejak sebelum diolah hingga
setelah diolah dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.2.1. Parameter fisika air limbah 4.2.1.1. Suhu
Kehidupan bakteri dalam air limbah sangat tergantung pada suhu. Bakteri melakukan aktivitas secara optimal pada kisaran suhu 15 – 35
C Hindarko 2003. Hasil pengamatan yang dilakukan selama percobaan menunjukkan bahwa
suhu air limbah mendukung kehidupan dan aktivitas dekomposisi bahan organik oleh bakteri.
W aktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
Suh u
C
0.00 22.00
23.00 24.00
25.00 26.00
27.00 28.00
29.00 30.00
B a c illu s sp. K on trol
kan gkung air K a ngkung air - B acillus sp.
B atas m aksim um - m inim um G ol. C b erdasarkan P P R I N o. 82 Th . 2001
N ilai 95 C onvident lim it
Gambar 9. Grafik nilai rataan suhu selama penelitian
Apabila dibandingkan dengan baku mutu Golongan C menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air,
suhu air limbah olahan jika dibuang ke perairan umum masih berada dalam kisaran aman bagi kegiatan perikanan Gambar 9. Penurunan suhu saat jam ke –
12 disebabkan waktu pengamatan yang dilakukan pada malam hari sekitar pukul 21.00 WIB. Sementara peningkatan suhu untuk jam selanjutnya disebabkan
waktu pengamatan pada siang hari. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95
α 0,05 didapat nilai signifikan p untuk keempat perlakuan sebesar 0,135 atau Sig. p 0,05. Hal
ini berarti bahwa nilai suhu tidak berbeda nyata antar perlakuan. Sedangkan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai suhu berbeda nyata antar waktu lamanya aerasi Lampiran 4.
4.2.1.2. DHL Nilai Daya Hantar Listrik DHL menunjukkan kandungan garam – garam
terlarut terionisasi dalam air limbah. Semakin tinggi kandungan garam – garam terlarut, maka nilai DHL semakin tinggi.
0.00
W aktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
DHL µ S
cm
120.00 140.00
160.00 180.00
200.00 2200.00
2300.00
B acillus sp. Kontrol
Kangkung air Batas M aksim um Gol. C berdasarkan Perda Jabar No 39 Th. 2000
Kangkung air - Bacillus sp.
Nilai 95 Convident lim it
Gambar 10. Grafik nilai rataan DHL selama penelitian
Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada jam ke – 12 nilai DHL untuk semua perlakuan dan kontrol mengalami sedikit penurunan. Hal ini diduga karena
adanya pemanfaatan mineralbahan anorganik terlarut oleh bakteri dalam jumlah yang lebih besar daripada yang dihasilkan dalam proses dekomposisi. Namun
pada pengamatan jam ke 48 terjadi kondisi yang sebaliknya. Jika dibandingkan dengan nilai baku mutu berdasarkan Perda Jabar No. 39 Th. 2000 tentang
peruntukan air dan baku mutu air pada Sungai Citarum dan anak-anak sungainya di Jawa Barat untuk golongan C 2250
μScm, nilai DHL air limbah olahan masih berada pada kisaran aman untuk kegiatan perikanan. Grafik hasil
pengukuran DHL selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95
α 0,05 didapat nilai signifikan p untuk keempat perlakuan sebesar 0,385 atau Sig. p 0,05. Hal
ini dapat dikatakan bahwa nilai DHL tidak berbeda nyata antar perlakuan. Sedangkan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai DHL berbeda nyata antar waktu lamanya aerasi Lampiran 4.
4.2.1.3. TSS
Total Suspendeed Solid TSS merupakan jumlah padatan tersuspensi yang
terkandung dalam air. Nilai TSS air limbah kantin buatan sebelum diolah 565 mgl melebihi nilai baku mutu berdasarkan KepMen LH No. 112 Th. 2003
tentang baku mutu air limbah domestik 100 mgl. Tingginya nilai TSS pada suatu perairan dapat menyebabkan peningkatan kekeruhan sehingga menghalangi
intensitas cahaya yang masuk dan menghambat proses fotosintesis, selain itu dapat menyebabkan pendangkalan pada perairan. Nilai TSS selama pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 11. Adanya kecenderungan penurunan nilai TSS air limbah yang tajam setelah jam ke-12 pada semua perlakuan dan kontrol
menunjukkan bahwa pengaruh aerasi sangat berperan penting dalam menurunkan TSS.
W aktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
TSS m
g l
0.00 25.00
50.00 75.00
100.00 400.00
500.00 600.00
B acillus sp. Kontrol
kangkung air Kangkung - Bacillus sp.
Nilai 95 Convident lim it
Kadar m aksim um berdasarkan KepM en LH No. 112 Th. 2003
Gambar 11. Grafik nilai rataan TSS selama penelitian
Penurunan TSS paling besar setelah jam ke – 12 dihasilkan oleh perlakuan kangkung air – Bacillus sp. yaitu 98,07 diikuti oleh perlakuan Bacillus sp.
96,27 , kangkung air 96, 27 dan kontrol 92,29 . Air limbah olahan keempat perlakuan sejak jam ke-12 memiliki nilai TSS yang telah memenuhi baku
mutu. Penurunan nilai TSS secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air limbah sebelum dan setelah diolah Gambar 12. Saat proses pengolahan air
limbah, sebagian partikel – partikel tersuspensi diduga menempel pada sel bakteri dan sebagian lagi organik terlarut terabsorpsi ke dalam sel bakteri Gambar 5.
Ketika aerator dimatikan, sel bakteri yang telah ”kenyang” danatau berat, kemudian mengendap di dasar bak pengolahan, akibatnya nilai TSS dalam
supernatant menurun. Meningkatnya nilai TSS setelah waktu aerasi selama 24 jam diduga terkait jumlah koloni bakteri yang meningkat pada waktu aerasi
tersebut lihat Gambar 17.
Kondisi air limbah awal sebelum pengolahan Setelah diaerasi selama 12 jam
Setelah diaerasi selama 48 jam
Setelah diaerasi selama 48 jam Setelah diaerasi selama 72 jam
Keterangan : K :
Kontrol B : Perlakuan
Bacillus sp.
Ka : Perlakuan kangkung
KB : Perlakuan kangkung – Bacillus sp.
Gambar 12. Foto kondisi air limbah sebelum dan setelah diolah
Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 α 0,05 didapat
nilai signifikan p untuk keempat perlakuan sebesar 0,032 atau Sig. p 0,05. Hal ini berarti bahwa nilai TSS berbeda nyata antar perlakuan, dimana perlakuan
Bacillus sp. – kangkung air Ipomoea aquatica dan kontrol memberikan
pengaruh yang lebih nyata terhadap nilai TSS. Begitu pula dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai TSS berbeda nyata antar waktu lamanya aerasi, dimana waktu aerasi selama 12 jam memberikan pengaruh lebih nyata terhadap nilai TSS
Lampiran 4. B
Ka KB
K B
Ka KB
K B
Ka KB
K B
Ka KB
K
4.2.2. Parameter kimia air limbah 4.2.2.1. pH
Kondisi pH yang tidak netral pada air limbah akan menyulitkan proses biologis sehingga mengganggu proses penjernihannya Sugiharto, 1987. Bakteri
pada umumnya tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis. Oleh karena itu, proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral
dan alkalis Boyd, 1988.
N ila i 9 5 C o n v id e n t lim it
W a k tu a e ra s i ja m k e -
1 2 2 4
4 8 7 2
pH
0 .0 0 5 .6 0
6 .0 0 6 .4 0
6 .8 0 7 .2 0
7 .6 0 8 .0 0
8 .4 0 8 .8 0
9 .2 0
B a c illu s s p . K o n tro l
K a n g k u n g a ir K a n g k u n g a ir - B a c illu s s p .
B a ta s m a k s im u m - m in im u m b e rd a s a rk a n K e p M e n L H N o . 1 1 2 T h . 2 0 0 3
Gambar 13. Grafik nilai rataan pH selama penelitian
Nilai pH air limbah selama pengamatan mengalami kenaikan Gambar 13. Hal itu menunjukkan bahwa adanya kecenderungan setiap perlakuan untuk
mencapai pH normal. Penambahan aerasi pada semua perlakuan menyebabkan kandungan oksigen terlarut dalam air limbah meningkat. Oksigen terlarut
kemudian dimanfaatkan mikroorganisme untuk respirasi dan dihasilkan CO
2
. Karbon dioksida yang terlarut dalam air kemudian akan mengalami reaksi
kesetimbangan menghasilkan ion OH
-
penyebab meningkatnya nilai pH. Hal itu dapat dilihat pada reaksi kesetimbangan di bawah ini Mackereth dkk 1989 dalam
Effendi 2003 : CO
2 gas
↔ CO
2 aq
CO
2
+ H
2
O ↔
H
2
CO
3
H
2
CO
3
↔ H
+
+ HCO
3 -
HCO
3 -
↔ CO
2
+ OH
-
Nilai pH air limbah sejak awal hingga akhir pengamatan masih berada pada kisaran baku mutu berdasarkan KepMen LH No. 112 Th. 2003 tentang
baku mutu air limbah domestik. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95
α 0,05 didapat nilai signifikan p untuk keempat perlakuan sebesar 0,026 atau Sig. p 0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai pH berbeda
nyata antar perlakuan. Begitu pula dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pH berbeda nyata
antar waktu lamanya aerasi Lampiran 4.
4.2.2.2. Oksigen terlarut Dissolve Oxigen DO dan Biochemical Oxygen Demand BOD
Limbah kantin umumnya mengandung bahan organik yang mudah terurai oleh bakteri salah satunya Bacillus sp.. Bakteri aerob membutuhkan oksigen
dalam proses penguraian atau dekomposisi bahan organik dalam air limbah. Kandungan oksigen terlarut untuk semua perlakuan mengalami penurunan
pada jam ke – 12. Kondisi ini diduga disebabkan pemanfaatan oksigen terlarut yang sangat tinggi oleh bakteri dalam proses dekomposisi bahan organik. Hal ini
ditunjukkan oleh penurunan yang tajam untuk nilai BOD pada jam ke – 12. Oksigen terlarut yang masih ada dalam air limbah pada jam ke – 12 diduga
disebabkan aerasi, karena jika melihat kandungan BOD yang sangat tinggi dalam air limbah kemungkinan besar ketersediaan oksigen terlarut akan habis anaerob
jika air limbah ini tidak diaerasi. Effendi 2003 menyebutkan bahwa dekomposisi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga
mencapai nol anaerob. Jika dibandingkan dengan baku mutu Golongan C menurut PPRI No. 82
Th. 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, secara umum kandungan oksigen terlarut air limbah olahan masih berada pada
kisaran aman bagi kegiatan perikanan, kecuali pada jam ke – 12 Gambar 14.
Waktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
DO mg l
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
Bacillus sp. Batas minimum Gol. C berdasarkan PPRI No. 82 Th. 2001
Kontrol Kangkung air - Bacillus sp.
Kangkung air
Nilai 95 Convident limit
Gambar 14. Grafik nilai rataan DO selama penelitian
Waktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
BO D
m g
l
50 100
150 200
250 600
800 1000
Bacillus sp. Kontrol
Kangkung air Kangkung air - Bacillus sp.
kadar maksimum berdasarkan KepMen LH No. 112 Th. 2003
Nilai 95 Convident limit
Gambar 15. Grafik nilai rataan BOD selama penelitian
Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 α 0,05 didapat
nilai signifikan p untuk keempat perlakuan sebesar 0,072 atau Sig. p 0,05. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa nilai DO tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Sedangkan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Lampiran 4. Semakin lama diaerasi kandungan oksigen terlarut dalam air yang
diolah cenderung meningkat, tapi tidak pernah melampaui nilai kejenuhannya sekitar 8 mgl.
Nilai BOD pada semua perlakuan setelah aerasi selama 12 jam memiliki kecenderungan menurun tajam Gambar 15. Persentase penurunan BOD pada
jam ke – 12 untuk perlakuan kangkung – Bacillus sp. adalah yang paling besar yaitu 96,68 , kemudian diikuti oleh perlakuan Bacillus sp. 94,34 , kangkung
82,44 dan kontrol 40,13 . Penurunan yang tajam pada ketiga perlakuan selain kontrol disebabkan aktivitas bakteri dalam mendekomposisi limbah
organik yang lebih besar dibandingkan kontrol. Adanya penambahan Bacillus sp. menyebabkan agen pengolah bahan organik menjadi lebih banyak dan intensif,
sementara keberadaan mikroorganisme pada akar kangkung juga merupakan agen tambahan yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik pada air
limbah. Nilai BOD untuk semua perlakuan kecuali kontrol setelah diaerasi selama 12 jam telah memenuhi baku mutu menurut KepMen LH No. 112 Th.
2003 tentang baku mutu air limbah domestik Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95
α 0,05 didapat nilai signifikan p untuk keempat perlakuan 0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa
nilai BOD berbeda nyata antar perlakuan, dimana perlakuan Bacillus sp. – kangkung air Ipomoea aquatica dan kontrol memberikan pengaruh yang lebih
nyata terhadap nilai BOD. Begitu pula dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai BOD
berbeda nyata antar waktu lamanya aerasi, dimana waktu aerasi selama 12 jam memberikan pengaruh lebih nyata terhadap nilai BOD Lampiran 4.
Beberapa penelitian mengenai kemampuan agen biologi dalam mengolah air limbah menunjukkan hasil penurunan nilai BOD yang berbeda. Hal ini
disebabkan perbedaan sumber pencemar, nilai BOD sebelum diolah, lama pengolahan dan agen biologi yang digunakan, seperti tercantum pada Tabel 6 di
bawah ini.
Tabel 5. Beberapa penelitian pengolahan air limbah secara biologi dan penurunan BOD yang terjadi
No Sumber
limbah dan Peneliti
Agen biologi Awal
mgl Akhir
mgl Awal –
akhir mgl
Penurunan BOD
Lama pengolahan
jam 141,00 21,30 119,70 84,96
24 153,33 38,91 114,42 74,62
72 1.
PT. INAGRO
Rini 1998 Kangkung air
Ipomoea aquatica
119,67 30,54 89,13 63,73 144
Eceng gondok Eichhornia
crassipes 291,76 155,23 136,53 46,79
24 Kayu apu
Pistia stratiotes
155,23 113,45 41,78 26,92 24
2. Kantin
buatan Ismanto
2005 Kangkung air
Ipomoea aquatica
113,45 87,71 25,74 22,69 24
3. Domestik
Ishartanto 2008
Bacillus sp. 304,43 10,14 294,29 96,67
12 Bacillus
sp. 994,63 56,28 938,35 94,34
12 Kangkung air
Ipomoea aquatica
994,63 174,65 819,98 82,44 12
4. Kantin
buatan Penulis
2008 Bacillus
sp.- Kangkung air
Ipomoea aquatica
994,63 32,98 961,65 96,68 12
Sistem pengolahan air limbah yang dilakukan penulis membutuhkan biaya listrik untuk aerasi, namun hasil penurunan nilai BOD 96,68 yang terjadi jauh
lebih besar dibandingkan dengan sistem pengolahan yang dilakukan penelitian lain. Selain itu dari sistem pengolahan air limbah yang dilakukan penulis dapat
diperoleh hasil sampingan berupa penambahan bobot kangkung air. Beberapa hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan jika sistem ini akan diaplikasikan di
lapangan.
4.2.2.3. Chemical Oxygen Demand COD
COD menggambarkan banyaknya kandungan bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimiawi, baik yang bersifat biodegradable maupun non
biodegradable di suatu perairan. Nilai COD yang tinggi menggambarkan
tingginya tingkat pencemaran suatu perairan.
Waktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
CO D m
g l
0.00 200.00
400.00 600.00
800.00 1000.00
1200.00 1400.00
1600.00 1800.00
Bacillus sp. Kontrol
Kangkung air Kangkung air - Bacillus sp.
Batas maksimum berdasarkan KepMen LH No. 52 Th. 1995
Nilai 95 Convident limit
Gambar 16. Grafik nilai rataan COD selama penelitian
Nilai COD pada semua perlakuan setelah diaerasi selama 12 jam memiliki kecenderungan menurun tajam. Perlakuan Bacillus sp. – kangkung air Ipomoea
aquatica mampu menurunkan nilai COD lebih besar dibandingkan perlakuan
lainnya setelah diaerasi selama 12 jam yaitu sebesar 74,39 . Persentase penurunan COD untuk perlakuan Bacillus sp., kangkung air Ipomoea aquatica
dan kontrol setelah aerasi selama 12 jam adalah masing-masing sebesar 66,82 , 54,22 dan 32,36 .
Nilai COD air limbah sebelum dan setelah diolah hingga jam ke – 72 belum memenuhi baku mutu berdasarkan KepMen LH No. 52 Th. 1995 tentang
baku mutu limbah cair bagi kegiatan hotel. Hal ini diduga kandungan bahan pencemar organik yang sangat tinggi pada awal perlakuan. Grafik kandungan
COD pada air limbah dapat dilihat pada Gambar 16.
Beberapa penelitian mengenai kemampuan agen biologi dalam mengolah air limbah menunjukkan hasil penurunan nilai COD yang berbeda, seperti
ditunjukkan pada Tabel 6. Hal ini disebabkan perbedaan sumber pencemar, nilai COD sebelum diolah, waktu lamanya aerasi, dan agen biologi yang digunakan.
Tabel 6. Beberapa penelitian pengolahan air limbah secara biologi dan penurunan COD yang terjadi
No Sumber
limbah dan Peneliti
Agen biologi Awal
mgl Akhir
mgl Awal –
akhir mgl
Penurunan COD
Lama pengolahan
jam 411,00 256,27 154,73 37,67
24 416,17 282,41 178,76 32,65
72 1.
PT. INAGRO
Rini 1998 Kangkung air
Ipomoea aquatica
240,67 133,47 107,20 25,01 144
Eceng gondok Eichhornia
crassipes 613,02 192,81 420,21 68,04
24 Kayu apu
Pistia stratiotes
192,81 129,87 62,94 32,22 24
2. Kantin
buatan Ismanto
2005
Kangkung air Ipomoea
aquatica 129,87 89,43 40,44 31,69
24 Kayu apu
Pistia stratiotes
100,00 9,00 91,00 91,00 72
Kiambang Salvinia
molesta 100,00 8,00 92,00 92,00
72 3.
Kegiatan domestik
Mursalin 2007
Lemna sp.
100,00 11,00 89,00 89,00 72
Bacillus 41,43 10,83 30,60 73,86
72 Chromobacteri
um 41,43 12,11 29,32 70,77
72 Lemna
41,43 8,29
33,14 79,99
72 Lemna
– Bacillus
sp. 41,43 5,74 35,69 86,15
72 4.
Kegiatan domestik
Apriadi 2008
Lemna –
Chromobacteri um
41,43 7,65 39,78 81,54 72
5. Kegiatan
domestik Ishartanto
2008 Bacillus
sp. 514,71 94,06
420,65 81,65 12
Bacillus sp. 1520,23
504,37 1015,86
66,82 12
Kangkung air Ipomoea
aquatica 1520,23 696,00 824,23 54,22
12 6.
Kantin buatan
Penulis 2008
Bacillus sp. –
Kangkung air Ipomoea
aquatica 1520,23 389,30 1130,93 74,39
12
Sistem pengolahan air limbah yang dilakukan penulis membutuhkan biaya listrik untuk aerasi, namun hasil penurunan nilai COD yang terjadi 74,39 jauh
lebih besar dibandingkan dengan sistem pengolahan yang dilakukan oleh para peneliti lainnya. Hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan jika sistem ini akan
diaplikasikan di lapangan. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95
α 0,05 didapat nilai signifikan p untuk keempat perlakuan adalah sebesar 0,001 atau Sig. p
0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai COD berbeda nyata antar perlakuan, dimana perlakuan Bacillus sp. – kangkung air Ipomoea aquatica dan kontrol
memberikan pengaruh yang lebih nyata terhadap nilai COD. Begitu pula dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai COD berbeda nyata antar waktu lamanya aerasi, dimana waktu aerasi selama 12 jam memberikan pengaruh lebih nyata terhadap
nilai COD Lampiran 4.
4.3. Koloni bakteri
Bakteri memiliki peranan penting dalam mendekomposisi bahan organik yang terdapat dalam air limbah. Koloni bakteri yang terkandung dalam air limbah
dihitung menggunakan metode total count, sehingga jumlah koloni bakteri yang terhitung bukan hanya dari jenis Bacillus sp. saja. Pada penelitian ini tidak
dibahas mengenai jenis maupun jumlah bakteri lain yang terkandung dalam air limbah.
Bakteri mengalami fase log growth hingga jam ke – 24, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah koloni bakteri pada jam tersebut. Hal
ini disebabkan adanya kandungan bahan organik yang tinggi dalam air limbah awal yang kemudian dimanfaatkan bakteri sebagai makanan yang menghasilkan
energi untuk membentuk sel baru dan memperbanyak diri Metcalf dan Eddy 2003. Grafik jumlah koloni bakteri selama penelitian dapat dilihat pada Gambar
17. Saat proses dekomposisi, bakteri membutuhkan oksigen yang digunakan untuk mengkonversi bahan organik menjadi lebih sederhana misalnya berupa
karbondioksida dan uap air. Hal itu dapat dilihat dari menurunnya oksigen terlarut pada jam ke – 12 serta penurunan kandungan bahan organik BOD dan
COD pada jam yang sama
Nilai 95 Convident limit
Waktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
K o
loni b a
kt eri CFU
m l
Bacillus sp.
1.00 x 10
Kontrol Kangkung air
Kangkung air - Bacillus sp.
1.00 x 10
14
1.00 x 10
13
1.00 x 10
12
1.00 x 10
11
1.00 x 10
10
1.00 x 10
9
1.00 x 10
7
1.00 x 10
6
1.00 x 10
5
1.00 x 10
4
1.00 x 10
8
Gambar 17. Grafik nilai rataan koloni bakteri selama penelitian
Penurunan jumlah koloni bakteri pada jam ke – 48 dan 72 disebabkan bakteri telah mengalami fase log death. Kandungan bahan organik yang semakin
berkurang pada air limbah mengakibatkan adanya kompetisi bakteri untuk mendapatkan makanan, yang kalah dalam kompetisi kemudian mati. Bahan
organik terlarut yang diserap secara absorpsi dan partikel bebas yang menempel pada sel bakteri menyebabkan peningkatan bobot bakteri bertambah berat
sehingga lama kelamaan bakteri akan mengendap di dasar. Hal ini juga terlihat dari penurunan nilai TSS setelah air limbah kantin diolah setelah aerasi
dimatikan. Bakteri yang mengendap di dasar bak pengolahan air limbah kemudian jika terangkat ke kolom air akan menjadi sumber bahan organik.
Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 α 0,05 didapat
nilai signifikan p untuk keempat perlakuan adalah 0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa jumlah koloni bakteri tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Begitu pula dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini menunjukkan jumlah koloni bakteri tidak berbeda nyata antar waktu
lamanya aerasi Lampiran 5.
4.4. Perubahan bobot kangkung air Ipomoea aquatica