Effendi 2003 : CO
2 gas
↔ CO
2 aq
CO
2
+ H
2
O ↔
H
2
CO
3
H
2
CO
3
↔ H
+
+ HCO
3 -
HCO
3 -
↔ CO
2
+ OH
-
Nilai pH air limbah sejak awal hingga akhir pengamatan masih berada pada kisaran baku mutu berdasarkan KepMen LH No. 112 Th. 2003 tentang
baku mutu air limbah domestik. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95
α 0,05 didapat nilai signifikan p untuk keempat perlakuan sebesar 0,026 atau Sig. p 0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai pH berbeda
nyata antar perlakuan. Begitu pula dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pH berbeda nyata
antar waktu lamanya aerasi Lampiran 4.
4.2.2.2. Oksigen terlarut Dissolve Oxigen DO dan Biochemical Oxygen Demand BOD
Limbah kantin umumnya mengandung bahan organik yang mudah terurai oleh bakteri salah satunya Bacillus sp.. Bakteri aerob membutuhkan oksigen
dalam proses penguraian atau dekomposisi bahan organik dalam air limbah. Kandungan oksigen terlarut untuk semua perlakuan mengalami penurunan
pada jam ke – 12. Kondisi ini diduga disebabkan pemanfaatan oksigen terlarut yang sangat tinggi oleh bakteri dalam proses dekomposisi bahan organik. Hal ini
ditunjukkan oleh penurunan yang tajam untuk nilai BOD pada jam ke – 12. Oksigen terlarut yang masih ada dalam air limbah pada jam ke – 12 diduga
disebabkan aerasi, karena jika melihat kandungan BOD yang sangat tinggi dalam air limbah kemungkinan besar ketersediaan oksigen terlarut akan habis anaerob
jika air limbah ini tidak diaerasi. Effendi 2003 menyebutkan bahwa dekomposisi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga
mencapai nol anaerob. Jika dibandingkan dengan baku mutu Golongan C menurut PPRI No. 82
Th. 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, secara umum kandungan oksigen terlarut air limbah olahan masih berada pada
kisaran aman bagi kegiatan perikanan, kecuali pada jam ke – 12 Gambar 14.
Waktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
DO mg l
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
Bacillus sp. Batas minimum Gol. C berdasarkan PPRI No. 82 Th. 2001
Kontrol Kangkung air - Bacillus sp.
Kangkung air
Nilai 95 Convident limit
Gambar 14. Grafik nilai rataan DO selama penelitian
Waktu aerasi jam ke-
12 24
48 72
BO D
m g
l
50 100
150 200
250 600
800 1000
Bacillus sp. Kontrol
Kangkung air Kangkung air - Bacillus sp.
kadar maksimum berdasarkan KepMen LH No. 112 Th. 2003
Nilai 95 Convident limit
Gambar 15. Grafik nilai rataan BOD selama penelitian
Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 α 0,05 didapat
nilai signifikan p untuk keempat perlakuan sebesar 0,072 atau Sig. p 0,05. Hal ini berarti dapat dikatakan bahwa nilai DO tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Sedangkan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Lampiran 4. Semakin lama diaerasi kandungan oksigen terlarut dalam air yang
diolah cenderung meningkat, tapi tidak pernah melampaui nilai kejenuhannya sekitar 8 mgl.
Nilai BOD pada semua perlakuan setelah aerasi selama 12 jam memiliki kecenderungan menurun tajam Gambar 15. Persentase penurunan BOD pada
jam ke – 12 untuk perlakuan kangkung – Bacillus sp. adalah yang paling besar yaitu 96,68 , kemudian diikuti oleh perlakuan Bacillus sp. 94,34 , kangkung
82,44 dan kontrol 40,13 . Penurunan yang tajam pada ketiga perlakuan selain kontrol disebabkan aktivitas bakteri dalam mendekomposisi limbah
organik yang lebih besar dibandingkan kontrol. Adanya penambahan Bacillus sp. menyebabkan agen pengolah bahan organik menjadi lebih banyak dan intensif,
sementara keberadaan mikroorganisme pada akar kangkung juga merupakan agen tambahan yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik pada air
limbah. Nilai BOD untuk semua perlakuan kecuali kontrol setelah diaerasi selama 12 jam telah memenuhi baku mutu menurut KepMen LH No. 112 Th.
2003 tentang baku mutu air limbah domestik Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95
α 0,05 didapat nilai signifikan p untuk keempat perlakuan 0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa
nilai BOD berbeda nyata antar perlakuan, dimana perlakuan Bacillus sp. – kangkung air Ipomoea aquatica dan kontrol memberikan pengaruh yang lebih
nyata terhadap nilai BOD. Begitu pula dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu lamanya aerasi adalah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai BOD
berbeda nyata antar waktu lamanya aerasi, dimana waktu aerasi selama 12 jam memberikan pengaruh lebih nyata terhadap nilai BOD Lampiran 4.
Beberapa penelitian mengenai kemampuan agen biologi dalam mengolah air limbah menunjukkan hasil penurunan nilai BOD yang berbeda. Hal ini
disebabkan perbedaan sumber pencemar, nilai BOD sebelum diolah, lama pengolahan dan agen biologi yang digunakan, seperti tercantum pada Tabel 6 di
bawah ini.
Tabel 5. Beberapa penelitian pengolahan air limbah secara biologi dan penurunan BOD yang terjadi
No Sumber
limbah dan Peneliti
Agen biologi Awal
mgl Akhir
mgl Awal –
akhir mgl
Penurunan BOD
Lama pengolahan
jam 141,00 21,30 119,70 84,96
24 153,33 38,91 114,42 74,62
72 1.
PT. INAGRO
Rini 1998 Kangkung air
Ipomoea aquatica
119,67 30,54 89,13 63,73 144
Eceng gondok Eichhornia
crassipes 291,76 155,23 136,53 46,79
24 Kayu apu
Pistia stratiotes
155,23 113,45 41,78 26,92 24
2. Kantin
buatan Ismanto
2005 Kangkung air
Ipomoea aquatica
113,45 87,71 25,74 22,69 24
3. Domestik
Ishartanto 2008
Bacillus sp. 304,43 10,14 294,29 96,67
12 Bacillus
sp. 994,63 56,28 938,35 94,34
12 Kangkung air
Ipomoea aquatica
994,63 174,65 819,98 82,44 12
4. Kantin
buatan Penulis
2008 Bacillus
sp.- Kangkung air
Ipomoea aquatica
994,63 32,98 961,65 96,68 12
Sistem pengolahan air limbah yang dilakukan penulis membutuhkan biaya listrik untuk aerasi, namun hasil penurunan nilai BOD 96,68 yang terjadi jauh
lebih besar dibandingkan dengan sistem pengolahan yang dilakukan penelitian lain. Selain itu dari sistem pengolahan air limbah yang dilakukan penulis dapat
diperoleh hasil sampingan berupa penambahan bobot kangkung air. Beberapa hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan jika sistem ini akan diaplikasikan di
lapangan.
4.2.2.3. Chemical Oxygen Demand COD