Metodologi Pengembangan Sistem
2.9. Metodologi Pengembangan Sistem
Metodologi Pengembangan Sistem Informasi dapat didefinisikan sebagai: “A collection of procedures, techniques, tools, and documentation aids which will help the systems developers in their efforts to implement a new information systems. A methodology will consist of phases, themselves consisting of subphases, which will guide the systems developers in their choice of the techniques that might be appropriate at each stage of the project and also help them plan, manage, control, and evaluate information systems projects.” (Avison & Fitzgerald, 2006: 24) Metodologi pengembangan sistem informasi adalah mengumpulkan prosedur, teknik, alat dan alat bantu dokumentasi yang akan membantu pengembang sistem dalam usahanya untuk mengimplementasikan (menerapkan) sistem informasi baru. Metodologi akan terdiri dari beberapa tahap dan setiap tahap akan terdiri dari beberapa sub, yang akan membantu pengembang sistem di dalam mereka memilih teknik yang tepat untuk Metodologi Pengembangan Sistem Informasi dapat didefinisikan sebagai: “A collection of procedures, techniques, tools, and documentation aids which will help the systems developers in their efforts to implement a new information systems. A methodology will consist of phases, themselves consisting of subphases, which will guide the systems developers in their choice of the techniques that might be appropriate at each stage of the project and also help them plan, manage, control, and evaluate information systems projects.” (Avison & Fitzgerald, 2006: 24) Metodologi pengembangan sistem informasi adalah mengumpulkan prosedur, teknik, alat dan alat bantu dokumentasi yang akan membantu pengembang sistem dalam usahanya untuk mengimplementasikan (menerapkan) sistem informasi baru. Metodologi akan terdiri dari beberapa tahap dan setiap tahap akan terdiri dari beberapa sub, yang akan membantu pengembang sistem di dalam mereka memilih teknik yang tepat untuk
a. Sistem yang dihasilkan harus dapat menghasilkan informasi yang cermat dan tepat waktu.
b. Pengembangan sistem harus dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang layak.
c. Sistem harus memenuhi kebutuhan informasi organisasi.
d. Sistem harus dapat memberikan kepuasan kepada penggunanya. Metode pengembangan yang dipilih oleh penulis adalah metode prototyping . Metode ini menerapkan teknik yang disebut prototype. Metode ini memberikan ide bagi analis sistem atau pemrogram untuk menyajikan gambaran yang lengkap. Dengan demikian, pengguna (user) sistem akan dapat melihat pemodelan dari sistem itu baik dari sisi tampilan maupun teknik prosedural yang akan dibangun. (Oetomo, 2002: 147) Jadi, metode prototyping mencoba mengatasi permasalahan yang terdapat pada sistem analisis tradisional, dimana kenyataannya, komplain dari pelanggan (users) atas sistem informasinya hanya dapat dilihat pada saat implementasinya berjalan, dimana hal ini sudah terlambat untuk melakukan suatu perubahan. Pendekatan prototyping dapat merespon kekecewaan user (pengguna), yang barangkali ditemukan saat menggunakan pendekatan tradisional. (Avison & Fitzgerald, 2006: 123) Karena dalam metode prototyping analis akan melakukan pengumpulan kebutuhan dan perbaikan, analis menetapkan
segala kebutuhan untuk membangun software, mendesain dengan cepat dan melakukan penerjemahan atas kebutuhan atau data yang telah dianalisis ke dalam bentuk yang mudah dimengerti oleh pengguna. Prototipe (prototype) adalah suatu versi sistem informasi atau bagian dari sistem yang sudah dapat berfungsi, tetapi dimaksudkan hanya sebagai model awal saja. Setelah beroperasi prototype akan lebih jauh diperhalus hingga cocok sekali dengan kebutuhan penggunanya. (Laudon, 2008: 220- 221) Prototype membuat proses pengembangan sistem informasi menjadi lebih cepat dan lebih mudah, terutama pada keadaan kebutuhan pemakai sulit untuk diidentifikasi. (Kadir, 2003: 416) Ada dua jenis prototype yaitu throwaway (or expendable) prototype dan evolutionary prototype . (Avison & Fitzgerald, 2006: 124) Throwaway prototype mengacu pada pembuatan model yang hasil akhirnya tidak berguna sebelum menjadi sistem software yang sempurna, sedangkan evolutionary prototype bertujuan membangun prototype yang sangat sempurna didalam struktur sistem yang konstan dimana sistem dapat dikembangkan dan mudah dipahami disaat pengoperasian sistem sulit digunakan oleh pengguna (user). Penulis akan menfokuskan pada model evolutionary karena model ini sederhana sehingga pengguna sistem nantinya akan mudah untuk mengerti dengan sistem yang dibangun dan akan dijalankan. Model evolutionary ini dikembangkan karena adanya kegagalan yang terjadi akibat pengembangan aplikasi menggunakan sistem waterfall model . Kegagalan yang terjadi tersebut biasanya dikarenakan
adanya kekurangpahaman atau bahkan sampai kesalahpahaman pengertian pengembang aplikasi mengenai kebutuhan pengguna yang ada. Yang membedakan model ini, apabila dibandingkan dengan waterfall model, yaitu adanya pembuatan prototype dari sebuah aplikasi sebelum aplikasi tersebut memasuki tahap desain. Dan fase ini, prototype yang telah dirancang oleh pengembang akan diberikan kepada pengguna (user) untuk mendapatkan evaluasi. Tahap ini akan terus menerus diulang sampai kedua belah pihak benar – benar mengerti tentang kebutuhan dari aplikasi yang akan dikembangkan. Apabila prototype telah selesai, maka tahapan aplikasi akan kembali berlanjut ke tahap desain dan kembali mengikuti langkah – langkah pada waterfall model. Menurut Laudon (2008), tahapan-tahapan pengembangan sistem dengan menggunakan prototype adalah:
1. Identifikasi kebutuhan pengguna. Perancang sistem (biasanya spesialis sistem informasi) bekerja cukup lama dengan pengguna untuk mendapatkan informasi kebutuhan dasar pengguna.
2. Mengembangkan prototype awal. Perancang sistem dengan cepat membuat prototype yang fungsional, menggunakan perangkat- perangkat untuk menciptakan peranti lunak (software) dengan cepat.
3. Menggunakan prototype (menentukan apakah prototype bisa diterima atau tidak). Pengguna didorong untuk bekerja dengan sistem tersebut untuk menentukan seberapa baik prototype itu 3. Menggunakan prototype (menentukan apakah prototype bisa diterima atau tidak). Pengguna didorong untuk bekerja dengan sistem tersebut untuk menentukan seberapa baik prototype itu
4. Merevisi dan memperbaiki prototype. Pembuat sistem mencatat semua perubahan yang diminta pengguna dan memperhalus prototype berdasarkan permintaan tersebut. Setelah prototype direvisi, siklusnya kembali ke langkah 3. Langkah 3 dan 4 diulangi terus hingga penggunanya merasa puas.
Tahap pertama sampai tahap ketiga dalam metode ini dilakukan secara berulang-ulang sampai pengembang dan pengguna mencapai kesepakatan. Karena pengulangan itulah, metode evolutionary prototyping dapat digambarkan berbentuk obat nyamuk (spiral).
Menurut Kadir (2003), metode prototyping memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dan kelemahan tersebut terurai sebagai berikut: Kelebihan dengan kita menggunakan metode prototyping (teknik prototype), yaitu:
1. Pendefinisian kebutuhan pemakai menjadi lebih baik karena keterlibatan pemakai yang lebih intensif.
2. Meningkatkan kepuasan pemakai dan mengurangi risiko pemakai tidak menggunakan sistem, mengingat keterlibatan mereka yang sangat 2. Meningkatkan kepuasan pemakai dan mengurangi risiko pemakai tidak menggunakan sistem, mengingat keterlibatan mereka yang sangat
3. Mempersingkat waktu pengembangan.
4. Memperkecil kesalahan disebabkan pada setiap versi prototype, kesalahan segera terdeteksi oleh pemakai.
5. Pemakai memiliki kesempatan yang lebih banyak dalam meminta perubahan – perubahan.