dikenal sebagai Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM. Pada awal pelaksanaannya yaitu pada tahun 1973, lembaga ini dikeluhkan oleh para
penanam modal baik asing maupun domestik Dumairy, 2009. Keluhannya adalah karena masalah prosedur investasi yang rumit yang membuat para
investor tidak tertarik. Oleh karena itu pada tahun 1984 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa prosedur perijinan penanaman modal.
Walupun telah melakukan berbagai kebijakan untuk mempermudah dan menarik para investor, Indonesia belum dapat dikatakan sukses dalam
hal tersebut. Berdasarkan data dari World Bank, dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia lainnya, proporsi investasi terbesar terhadap
GDP sepanjang tahun 1968-2008 hanyalah mencapai 29,60 tahun 1996, sedangkan China, Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan berturut-turut
mencapai 42,54 2008, 43,59 1995, 37,12 1973, 38,89 1991. Kondisi tersebut menandakan bahwa kegiatan investasi di Indonesia belum
intensif. Faktor-faktor penyebabnya antara lain adalah masalah keamanan, tidak adanya kepastian hukum, kondisi infrastruktur yang buruk, hingga
kondisi perburuhan yang semakin buruk Tambunan, 2006.
4.1.2 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Menurut WW. Rostow dan RA.
Musgrave, perkembangan pengeluaran pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari
suatu negara. Hal itu juga dialami oleh Indonesia dimana baik nilai nominal
maupun riil dari total pengeluaran pemerintah terus meningkat sepanjang tahun lihat Tabel 4.1.
Dengan menggunakan klasifikasi belanja negara terbaru
5
, belanja negara digolongkan menjadi belanja pemerintah pusat dan transfer ke
daerah. Selanjutnya, belanja pemerintah pusat dibedakan menjadi belanja KL dan Non KL yang secara keseluruhan meliputi belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, belanja hibah, bantuan sosial, pembayaran bunga utang, subsidi, dan belanja lainnya. Sementara itu, transfer ke daerah
dibagi menjadi dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan dana penyesuaian.
Apabila dibandingkan dengan pos transfer ke daerah, pos belanja pemerintah pusat selalu lebih besar. Dalam pos belanja pemerintah ini,
belanja pegawai, subsidi, pembayaran bunga utang, dan belanja barang hampir selalu lebih besar daripada belanja modal yang juga digunakan untuk
mendukung pemenuhan sarana dan prasarana kegiatan investasi. Sama halnya apabila membandingkan pengeluaran pemerintah
dengan tidak menggunakan format uniffied budget, atau dengan kata lain dengan menggunakan format lama, dimana pengeluaran pemerintah pusat
dibedakan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dari kedua pos tersebut, pos pengeluaran rutin juga selalu lebih besar daripada
pengeluaran pembangunan. Besarnya pos pengeluaran pembangunan yang
5
Sesuai dengan UU No. 172003
relatif kecil ini juga dapat mengindikasikan nilai investasi dari pemerintah lihat Tabel 4.2.
Tabel 4. 1 Total Pengeluaran Pemerintah dalam Milyar Rupiah
Sumber : Nota Keuangan dan APBN. Diolah.
Tahun Nilai Nominal
Nilai Riil
1986 18.881,51
1.269,77 1987
18.092,25 1.053,71
1988 21.246,98
1.097,47 1989
26.188,00 1.230,06
1990 32.760,31
1.428,09 1991
38.295,65 1.534,28
1992 44.129,53
1.677,93 1993
50.269,63 1.755,22
1994 55.228,81
1.789,08 1995
57.299,81 1.692,26
1996 66.682,34
1.809,07 1997
92.804,38 2.236,79
1998 167.555,53
2.303,80 1999
229.108,97 2.759,68
2000 282.585,75
2.825,86 2001
341.600,00 2.988,63
2002 322.200,00
2.662,15 2003
376.500,00 2.948,78
2004 437.700,00
3.158,24 2005
507.400,00 3.202,07
2006 699.100,00
3.867,13 2007
752.400,00 3.739,93
2008 1.022.600,00
4.297,90
Tabel 4. 2 Pengeluaran Pembangunan dalam Rupiah Tahun
Nilai Nominal Nilai Riil
1986 10.317.256.250.000
693.830.279.085,41 1987
9.288.262.500.000 540.958.794.408,85
1988 11.505.193.750.000
594.276.536.673,55 1989
14.575.093.750.000 684.598.109.441,05
1990 17.557.181.250.000
765.352.277.680,91 1991
21.684.187.500.000 868.757.512.019,23
1992 26.041.340.625.000
990.165.042.775,67 1993
28.264.212.500.000 986.878.928.072,63
1994 30.055.796.875.000
973.624.777.291,87 1995
29.649.053.125.000 875.636.536.473,72
1996 31.668.156.250.000
859.146.941.128,60 1997
42.741.062.500.000 1.030.153.350.204,87 1998
78.222.281.250.000 1.075.516.035.336,18 1999
65.810.875.000.000 792.711.093.712,36
2000 28.017.218.750.000
280.172.187.500,00 2001
34.350.000.000.000 300.524.934.383,20
2002 40.259.375.000.000
332.639.634.801,29 2003
55.796.875.000.000 437.005.599.937,34
2004 70.965.625.000.000
512.054.441.157,37 2005
45.749.687.500.000 288.714.423.198,28
2006 43.944.718.750.000
243.083.962.551,17 2007
63.154.500.000.000 313.920.369.818,07
2008 70.736.218.750.000
297.298.443.870,05
Sumber : Nota Keuangan dan APBN. Diolah.
Nilai pengeluaran pembangunan secara nominal cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan yang signifikan terjadi pada saat krisis
tahun 1997-1998 dan kembali menurun pada tahun 2000. Pengeluaran pembangunan yang meningkat tersebut diperlukan pemerintah untuk
menstabilkan perekonomian yang pada waktu itu sedang resesi. Setelah kondisi perekonomian membaik, pengeluaran untuk pembangunan mulai
meningkat walau pada tahun-tahun tertentu mengalami penurun. Akan tetapi secara riil, nilai pengeluaran pemerintah setelah krisis 1997-1998 justru
mengalami penurunan, dimana nilai pada saat sebelum krisis cenderung
lebih besar daripada pasca krisis. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pemerintahan pada rejim Orde Baru terus berupaya meningkatkan
pertumbuhan dengan peningkatan pengeluaran pembangunan. Walau demikian sangat disayangkan karena pengeluaran pembangunan tersebut
ternyata dibiayai oleh utang luar negeri yang pada akhirnya membawa Indonesia pada ketergantungan IMF.
4.1.3 Perkembangan Defisit Anggaran