Kendala dalam Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional di

BAB IV KENDALA PELAKSANAAN PROGRAM PROYEK PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL DI KABUPATEN SIMALUNGUN

A. Kendala dalam Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional di

Kabupaten Simalungun Pada tahun 2007 adalah tahun yang dijanjikan sebagai tahun pelaksanaan program redistribusi lahan melalui PPAN yang sudah disebut-sebut sejak Oktober 2006. Bahkan, diawal tahun 2007, pemerintah mengumumkan kembali jumlah penambahan luas lahan yang akan dibagikan yang tadinya seluas 8.15 juta hektar saja ditambah lagi sejumlah 1.1 juta hektar menjadi total 9.25 juta hektar. Kondisi ini dinilai sebagai suatu kebijakan yang tangap terhadap peningkatan jumlah petani gurem yang selama dua puluh tahun terakhir mengalami peningkatan mencapai 2.2 persen tiap tahunnya. Namun dalam implementasinya, PPAN tak kunjung terealisasi. Bahkan PPAN ditunda hingga dua kali dan hingga saat ini masih belum ada kejelasan kapan akan mulai dilaksanakan. Selain cacat dari sisi keinginan politik pemerintah, PPAN juga dinilai sebagai fasilitas ekslusif untuk investor mengingat sejumlah 40 persen dari total 9.25 juta hektar lahan tersebut adalah jatah mereka. Prediksi ke depan mengenai sengketa pertanahan jika tidak ditangani dengan baik, akan melahirkan “revolusi agraria”. Oleh karena itu akar konflik dan sengketa pertanahan bersifat multi-dimensional sehingga tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan agraria atau aspek hukum semata tetapi juga terkait variabel- variabel non hukum. Aspek hukum meliputi antara lain kelemahan regulasi, 66 Universitas Sumatera Utara sertifikasi tanah secara nasional yang baru mencapai 30 persen, pengaturan tata ruang yang tak kunjung tuntas, serta lemahnya penegakan hukum dan HAM. Variabel-variabel non hukum antara lain politik pertanahan, ledakan jumlah penduduk, kemiskinan ekonomi, tuntutan pembangunan, perkembangan kesadaran hukum dan HAM masyarakat, faktor budaya, adat istiadat hukum adat, kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, khususnya teknologi informasi. Sulit dipungkiri bahwa kondisi agraria Indonesia yang mencuat selama ini adalah konflik agraria yang semakin mengeras. Tragedi berdarah akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia HAM datang silih berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat adat, dan kaum tani, tak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi bulan-bulanan penggusuran. Kasus-kasus sengketa agraria ini mencakup sektor-sektor agraria penting seperti pertambangan dan perkebunan besar, kehutanan, fasilitas umum, konservasi, pertanian, perkotaan, transmigrasi, serta kelautan dan pesisir. Melihat kompleksitas sengketa agraria, menyadarkan kita bahwa kondisi agraria di era reformasi belumlah berubah signifikan. Ketimpangan penguasaan tanah serta kekayaan alam lainnya, yang dibumbui konflik agraria dengan dimensi pelanggaran hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya, masih menjadi menu sehari-hari yang belum mampu dituntaskan penyelenggara negara. Sengketa agraria yang diwarnai kekerasan ini seolah menegaskan kembali perlunya pelaksanaan Pembaharuan agraria nasional sebagai jawaban kunci atas problem agraria. Gagasan mengenai pembentukan mekanisme dan kelembagaan Universitas Sumatera Utara alternatif yang khusus untuk menyelesaikan konflik agraria terasa semakin relevan. Akar dari sengketa agraria yang menampilkan wajah ketidakadilan merupakan ekspresi politik agraria yang otoriter sebagai benteng dari politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria gaya Orba ini masih kuat diterapkan dalam rangka mengamankan “pembangunan”. Puncak dari otoritarianisme adalah penggunaan senjata dan alat kekerasan negara bahkan premanisme dalam mengusir rakyat dari tanahnya sehingga korban di pihak rakyat berjatuhan. Mengerasnya sengketa agraria menjadikan problem pokok agraria di Indonesia makin mendesak untuk diselesaikan. Dalam konteks ini, kita perlu Pembaharuan agraria nasional untuk memastikan tanah dan kekayaan alam sungguh dikuasai, dikelola, dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kehendak pemerintah untuk menjalankan Pembaharuan agraria nasional, revitalisasi pertanian dan pembangunan pedesaan hendaknya diterjemahkan, salah satunya dalam bentuk mengupayakan secara serius pembentukan dan pembenahan mekanisme serta kelembagaan khusus untuk penyelesaian konflik agraria. Sebenarnya lahirnya UUPA, diharapkan hanya ada satu hukum tanah unifikasi yang berlaku di seluruh Indonesia dan menghapus dualisme hukum bahkan pluralisme hukum yang berlaku sebelumnya, akibat penerapan Pasal 131 dan Pasal 163 IS Indische Staatsregeling. Disamping itu juga diharapkan UUPA untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi seluruh masyarakat Indonesia. Universitas Sumatera Utara Sebelum lahirnya UUPA, ketentuan Hukum Agraria Pemerintahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet 1870 yang tidak memberikan kepastian hukum terhadap hak masyarakat hukum adat yang disebut dengan hak ulayat. Padahal keberadaan hak ulayat ini diakui didalam Batang Tubuhnya, dapat dilihat pada Pasal 5 UUPA 41 a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan, bumi, air dan ruang angkasa tersebut, . Pengakuan hak ulayat tersebut mengakibatkan adanya pembatasan terhadap hak menguasai dari negara. Hal ini juga dapat dilihat dari Penjelasan Umum UUPA bagian II yang menyatakan bahwa: “ ….kekuasaan negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan- kesatuan hukum, sepanjang kenyataannya masih ada…”. Undang-Undang Pokok Agraria UUPA sebagai ketentuan yang mengatur masalah tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menyatakan negara sebagai penguasa atas seluruh wilayah Republik Indonesia. Hak menguasai dari negara ini memberikan wewenang kepadanya Pasal 2 ayat 2 untuk : b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 41 Pasal 5 UUPA: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan kepada persatuan bangsa, sosialisme Indonesia serta dengan peratutan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan peratutan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama”. Universitas Sumatera Utara Dengan adanya kewenangan dari negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa maka diakui adanya macammacam hak atas tanah Pasal 16 UUPA, dan hak atas tanah ulayat Pasal 3 UUPA, yang mempunyai konsep berbeda dengan pembatasan fungsi sosial Pasal 6 UUPA. Meskipun UUPA mengakui adanya hak ulayat Pasal 3, namun dalam prakteknya sering menimbulkan konflik 42 Perdebatan mengenai kedudukan hukum adat dalam hukum agraria nasional menimbulkan polemik seperti : bahwa hukum agraria nasional tidak bisa dipertemukan dengan hukum adat karena keduanya saling bertentangan . 43 ; bahwa hukum agraria nasional, utamanya UUPA didasarkan pada asas-asas hukum adat 44 ; bahwa hukum adat sebagai pelengkap bagi hukum agraria nasional 45 Pelaksanaan pensertipikatan tanah melalui PPAN merupakan salah satu kegiatan pembangunan pertanahan yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Pasal 19 UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut BPN-RI yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, ditugaskan untuk . 42 Konsep penguasaan Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah menjadi suatu alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan masyarakat adat. Berbagai UU UUPA,UU No.5 Tahun 1967, UU No.11 Tahun 1967, mendasarkan diri pada konsep hak menguasai negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya, Noer Fauzi Rachman, Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya, makalah, Kongres AMAN ke-4, 19 April 2012, Tobelo, Halmahera Utara 43 Kartohadiprojo dalam Abdurrahman, Kedudukan hukum adat dalam perundang- undangan Agraria di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1994, hal.11. 44 Hazairin dan Muhammad Koesnoe dalam Rikardo Simarmata , Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta: UNDP, 2006, hal.1. 45 Sudargo Gautama dan Boedi Harsono dalam Rikardo Simarmata, ibid dan “bagi mereka hukum adat yang dimaksud oleh UUPA adalah hukum adat yang telah disaring dan dibersihkan dari unsur feodalisme dan kolonialisme.” Universitas Sumatera Utara melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan, antara lain melanjutkan penyelenggaraan percepatan pendaftaran tanah sesuai dengan amanat Pasal 19 tersebut, terutama bagi golongan ekonomi lemah sampai menengah melalui kegiatan PPAN yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1981. Pensertipikatan tanah melalui PPAN merupakan salah satu kegiatan pembangunan pertanahan yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Pasal 19 UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut BPN-RI yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, ditugaskan untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan, antara lain melanjutkan penyelenggaraan percepatan pendaftaran tanah sesuai dengan amanat Pasal 19 tersebut, terutama bagi golongan ekonomi lemah sampai menengah melalui kegiatan PPAN yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara PPAN bertugas memproses pensertipikatan tanah secara masal sebagai perwujudan daripada program Catur Tertib di Bidang Pertanahan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa dalam pelaksanaan PPAN di Kabupaten Simalungun sudah sesuai dengan aturan yang ada, dalam pelaksanaan PPAN lebih mengedepankan masyarakat kecil yang tidak mampu mensertipikatkan tanahnya dengan cara individu. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Kusno 35 , beliau mengatakan bahwa pelaksanaan PPAN sangat membantu masyarakat miskin, karena dengan adanya pelaksanaan PPAN Universitas Sumatera Utara masyarakat dapat mensertipikatkan tanahnya dengan harga yang relatif murah, sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak. Dalam rangka mencapai tujuan Catur Tertib di Bidang Pertanahan, yang meliputi tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup yang diusahakan dengan cara pensertipikatan massal bagi masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah yaitu PPAN dengan alokasi dana oleh pemerintah. Pelaksanaan PPAN dengan program sertipikasi tanah melalui PPAN pada Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun yang dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2015 ini, dimaksudkan untuk memperoleh jaminan kepastian hukum Hak Atas Tanah berupa sertipikat tanah bagi masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah. Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN Simalungun Ismed Syah Alam ST MT mengungkapkan hingga September 2015, realisasi pengurusan sertifikat PPAN yang telah diselesaikan mencapai 875 bidang dari 2.800 target pensertifikatan program PPAN untuk tahun 2015. Namun pihaknya optimis, di akhir tahun 2015, seluruhnya akan selesai. Pihaknya berupaya dan bekerja dengan optimal untuk menyelesaikan seluruh sertifikat khususnya yang termasuk dalam program PPAN. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan seperti pengukuran, pengumpulan data yuridis, pembuatan SKH dan penerbitan sertifikat. Universitas Sumatera Utara Namun ada beberapa kendala yang masih dihadapi seperti kelengkapan surat menyurat, alas hak, KTP Pemohon, PBB objek tanah dan lainnya. Permasalahan tanah masih cukup komplek, terutama menyangkut waris cukup tinggi . Juga pergesekan antara masyarakat dengan perkebunan. Untuk itulah dimintakannya bagi masyarakat yang sudah punya sertifikat senantiasa menjaga dan memasang tanda-tandabatas-batas. 46 Minat masyarakat dalam hal pengurusan sertifikat tanah saat ini cukup tinggi. Untuk Kabupaten Simalungun sudah mencapai 40 persen hingga 50 persen, hal inilah yang sangat direspon dan didukung pihaknya. Masyarakat sudah mengetahui pentingnya pensertifikatan tanah yang dimilikinya. Namun yang menjadi masalah bagi pihaknya, masih banyaknya dokumen maupun persyaratan yang telah ditentukan belum lengkap, sehingga menjadi kendala bagi BPN Kabupaten Simalungun. 47 Faktor penghambat dari pemerintah dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Kabupaten Simalungun: 48 a. Jumlah tenaga pelaksana yang terbatas. Kurangnya jumlah tenaga baik tenaga pelaksana maupun tenaga administrasi di Kantor BPN Simalungun, terutama tenaga ukur, bila dibandingkan dengan luas daerah Kabupaten Simalungun 4.386,60 km 2 6,12 Terdiri dari 31 kecamatan, 22 Kelurahan dan 345 Nagori, maka tenaga dimaksud dirasakan sangat kurang. Demikian juga halnya dengan tenaga administrasi yang kurang 46 Hasil wawancara dengan Partomuan Tambunan, selaku Kepala Seksi Pengaturan, Penguasaan Tanah, Koordinator Program Pembaharuan Agraria Nasional Kabupaten Simalungun, tanggal 1 September 2016. 47 Ibid Universitas Sumatera Utara bisa melayani kebutuhan masyarakat dengan baik. Hal ini dapat kita lihat dengan seringnya atau banyaknya kejadian-kejadian yang dapat menghambat pendaftaran tanah, seperti dengan alasan karena banyaknya kesibukan di kantor, maka akta jual beli yang syaratnya kurang atau tidak lengkap, tidak dengan sesegera mungkin dikembalikan kepada si pembuat akta atau kepada yang bersangkutan. Dari hal-hal tersebut di atas, jelas dapat menghambat pelaksanaan pendaftaran tanah, sedangkan pemerintah sendiri belum dapat menyediakan tenaga sebagaimana idealnya yang dibutuhkan. b. Sarana dan prasarana yang belum memadai. Fasilitas yang masih sangat terbatas pada seksi pendaftaran tanah maka petugas dalam melakukan tugasnya banyak mengalami hambatan terutama dalam hal pemetaan dan pengukuran. Dalam hal pemetaan dan pengukuran disamping memerlukan tenaga ahli juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tenaga ahli atau juru ukur demikian pula dengan alat ukur dirasakan masih sangat kurang. Akibat alat yang kurang maka untuk melakukan pengukuran akan memerlukan waktu yang relatif lama. Dengan lamanya waktu pengukuran, mengakibatkan biaya yang dikeluarkanpun juga akan semakin bertambah besar. Hal itu juga disebabkan jauhnya lokasi bdang tanah yang akan diukur. Pengukuran untuk daerah Kabupaten Simalungun hanya terbatas pada tanah-tanah yang akan didaftarkan saja, baik pendaftaran secara rutin, PPAN dan yang lainnya. 48 Ibid Universitas Sumatera Utara c. Kurangnya penerangan yang diberikan kepada masyarakat. Penerangan merupakan hal yang sangat penting untuk dapat lebih mendorong terhadap masyarakat khususnya pemilik hak atas tanah untuk mendaftarkan tanahnya. Dengan adanya penerangan dari pemerintah, masyarakat akan menjadi mengerti akan arti pentingnya sertifikat hak atas tanah. Kurangnya penerangan dari pemerintah ini, tidak terlepas dari kurangnya dana dan tenaga dari Kantor BPN itu sendiri, dan walaupun ada penerangan dilakukan secara bersama-sama dengan instansi lain. B. Solusi dalam Mengatasi Kendala Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional di Kabupaten Simalungun Badan Pertanahan Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988. Dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional telah ditetapkan Peraturan Persiden No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Kebijakan ini memandatkan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. BPN-RI harus mampu memberikan pelayanan di bidang pertanahan kepada masyarakat secara berkualitas, bebas KKN, efektif dan efisien, terjangkau, akuntabel, adil, serta tidak diskriminatif. Untuk itu BPN-RI harus melaksanakan penataan dan penguatan kelembagaan melalui reformasi birorasi. Universitas Sumatera Utara Reformasi birokrasi sudah bergulir pada setiap instansi pemerintah pusat dan daerah. Reformasi birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Hal yang penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi harus diwujudkan dalam perubahan secara signifikan evolusi yang dipercepat melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pembaharuan secara komprehensif, sistematis, dan berkelanjutan. Solusi dalam mengatasi kendala pelaksanaan PPAN di Kabupaten Simalungun, antara lain : 49 1. Peningkatan sumber daya manusia. 2. Peningkatan pelayanan publik. 3. Peningkatan Pelayanan Administrasi Pertanahan. 4. Menambah jumlah tenaga pelaksana dilapangan 5. Menambah sarana dan prasarana di Kantor BPN Kabupaten Simalungun 6. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat. 7. Prosedur yang tidak berbelit-belit. 8. Mengadakan jemput bola kepada masyarakat Kabupaten Simalungan dan sekitarnya. 49 Ibid Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan