BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Era globalisasi telah membuat kesadaran akan pentingnya tanggung jawab dunia usaha terhadap lingkungan dan sosial semakin meningkat. Hal ini didukung
dengan semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan para pemangku kepentingan akan ketersediaan
informasi mengenai aktivitas operasional perusahaan. Dalam tata kelola suatu organisasi korporasi, terdapat dua pemangku kepentingan, yaitu shareholders dan
stakeholders . Kedua pemangku kepentingan ini memperoleh informasi tersebut
melalui laporan keuangan yang diterbitkan secara kontinu oleh perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk dapat menyediakan informasi yang
dibutuhkan baik dalam bentuk laporan keuangan maupun laporan non-keuangan. Hal ini disebabkan karena dewasa ini dalam membuat suatu keputusan baik pihak
shareholders atau para pemegang saham dan stakeholders atau para pemangku
kepentingan tidak hanya berdasarkan laba akuntansi yang dihasilkan oleh perusahaan.
Corporate Social Responsibility CSR dewasa ini menjadi isu yang
sedang hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat luas, konsumen, LSM, asosiasi kerja dan pemerintah sebagai stakeholders perusahaan. Kerusakan
lingkungan dianggap sebagai dampak dari aktivitas operasional yang dilaksanakan
oleh perusahaan sehingga perusahaan diharapkan untuk memberi kontribusi secara langsung untuk lingkungannya terlepas dari kewajiban perusahaan dalam
membayar pajak dan retribusi kepada pemerintah. Secara internasional, pada tanggal 1 November 2010 telah diterbitkan ISO 26000 oleh The International
Organization for Standardization sebagai Guidance Standard on Social
Responsibility . Sedangkan di Indonesia sendiri sebelumnya telah menetapkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 74 yang berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”. Merujuk pada standar Bank Dunia, terdapat beberapa unsur-unsur penting
dalam CSR, yaitu 1 perlindungan lingkungan, 2 jaminan kerja, 3 Hak Asasi Manusia, 4 interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, 5 standar
usaha, 6 pasar, 7 pengembangan ekonomi dan badan usaha, 8 perlindungan kesehatan, 9 kepemimpinan dan pendidikan, dan 10 bantuan bencana
kemanusiaan. Unsur-unsur yang disebutkan diatas haruslah mendapat perhatian khusus oleh perusahaan dalam melaksanakan CSR.
Pengimplementasian CSR sendiri masih dianggap tidak berintergrasi langsung dengan aktivitas operasional dan dianggap tidak memberikan
keuntungan tersendiri bagi perusahaan dan hanya akan mengurangi laba akuntansi yang telah diperoleh. Hal ini tentunya akan bertentangan dengan tujuan ekonomi
perusahaan yang menginginkan laba akuntansi yang tinggi. Paradigma berpikir konservatif seperti inilah yang kerap kali berkembang dalam industri
pertambangan yang masih lebih cenderung mengutamakan profit oriented daripada corporate image.
Corporate image terbentuk dari gambaran perusahaan yang didapat
dengan menghubungkan sekumpulan atribut positif maupun negatif Susanto, 2009. Misalnya, perusahaan digambarkan dengan atribut-atribut: bermutu,
layanan baik, tetapi kurang memiliki tanggung jawab sosial Susanto, 2009. Jadi sejatinya corporate image adalah gambaran mengenai perusahaan yang selalu
berada dalam benak para stakeholder-nya Susanto, 2009. Dari sisi individu, atribut-atribut yang menonjol salience inilah yang menentukan apakah sebuah
perusahaan dinilai mempunyai reputasi baik atau buruk Susanto, 2009. Atribut-atribut yang akan membentuk persepsi stakeholder tentang
reputasi perusahaan didapatkan melalui penyajian informasi perusahaan dan pengalaman-pengalaman perusahaan di masa lalu Susanto, 2009. Seperti kasus
tumpahnya minyak dari kapal supertanker yang dimiliki oleh perusahaan minyak terbesar di dunia, Exxon, di lepas pantai Alaska pada tahun 1989. Bencana ini
menyebabkan turunnya reputasi Exxon karena perusahaan tersebut gagal membuktikan bahwa mereka memiliki sistem yang efektif dalam mengatasi
masalah yang sedang dihadapinya. Lambatnya respon perusahaan dan sikap perusahaan yang cenderung menutupi informasi serta menyalahkan media yang
memberitakan informasi mengenai bencana tersebut membuat stakeholder-nya merasa dirugikan karena sebelumnya pihak perusahaan telah berjanji akan
memberi respon cepat apabila terjadi bencana seperti ini.
Melalui kasus ini, kerugian yang dialami oleh Exxon cukup besar yaitu mencapai kurang lebih tujuh miliar Dolar, termasuk biaya untuk membersihkan
tumpahan minyak dan ganti rugi kepada nelayan serta pihak-pihak yang merasa dirugikan karena bencana tersebut. Di sisi lain jika kita telaah lebih dalam, hal
yang paling merugikan bagi Exxon bukanlah besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi dampak bencana tersebut, tetapi hal yang tidak ternilai
adalah turunnya reputasi Exxon sebagai perusahaan minyak terbesar di dunia karena dinilai gagal dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
Di Indonesia sendiri, ada beberapa perusahaan pertambangan yang tersandung kasus yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial, antara lain PT
Freeport Indonesia yang telah terbukti melanggar hak asasi manusia HAM dalam peristiwa runtuhnya terowongan Big Gossan pada 14 Mei 2013 dan kasus
PT Newmont Nusa Tenggara yang melakukan pembuangan tailing ke Teluk Senunu, pencemaran sungai Sekongkang dan sungai Tongo Sejorong, membuka
198,65 Ha hutan lindung dan CSR yang diberikan perusahaan yang dinilai hanya untuk meredam tuntutan warga.
Oleh sebab itu, seharusnya perusahaan khususnya yang bergerak di industri pertambangan sudah dapat mulai menyadari manfaat-manfaat yang
diberikan CSR. Adapun manfaat-manfaat tersebut adalah; 1 mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan, 2 mendapatkan lisensi
untuk beroperasi secara sosial, 3 mereduksi resiko bisnis perusahaan, 4 melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha, 5 mereduksi biaya,
misalnya terkait dampak pembuangan limbah, 6 memperbaiki hubungan dengan
stakeholders, 7 meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan dan 8 peluang mendapatkan penghargaan Rahmi, 2011.
Selain itu, harus dapat dipahami bahwa dalam mengimplementasi usahanya, pihak investor tidak hanya mementingkan keuntungan semata bagi
dirinya sendiri, tetapi juga harus berkewajiban memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat Daniri, 2008 dalam Utami, 2013. Hal ini harus benar-benar
mendapat perhatian dari perusahaan pertambangan yang dalam aktivitasnya bersinggungan langsung dengan lingkungan dan berpotensi untuk merusak
lingkungan tempat penambangan tersebut. Oleh karena itu, mengingat telah terjadinya perubahan paradigma shareholders yang tidak hanya
mempertimbangkan laba perusahaan saja namun juga mempertimbangkan aspek- aspek keberlangsungan usaha maka perusahaan perlu menjadikan CSR sebagai
bukan bagian terpisah dari kewajibannya sehingga perlu menyajikan informasi mengenai sudah sejauh mana pelaksanaan CSR yang dilakukan dalam laporan
keberlanjutan sustainability report. Menurut Elkington 1997, sistem pelaporan yang menyertakan informasi
CSR adalah termasuk ke dalam triple bottom line reporting, yaitu pelaporan yang menyajikan informasi tentang kinerja ekonomi profit, lingkungan planet dan
sosial people dari suatu entitas perusahaan. Sustainability report tidak hanya berisi mengenai manajemen, operasional, produk, tetapi juga membahas dampak
lingkungan dan juga keterlibatan dengan komunitas sekitar Chapra, 1983 dalam Resturiyani, 2012. Tujuan pelaporan ini adalah agar stakeholder bisa
mendapatkan informasi yang lebih komprehensif untuk menilai kinerja, risiko dan prospek bisnis, serta kelangsungan hidup suatu perusahaan Lako, 2011.
Penyajian informasi mengenai CSR ini masih bersifat sukarela sehingga perusahaan dapat memutuskan untuk menyajikan informasi mengenai pelaksanaan
CSR mereka dalam laporan tahunan perusahaan atau tidak. Namun ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam penyajian costs dan
benefits dari aktivitas CSR perusahaan yang secara langsung berdampak pada
profitabilitas bottom-line laba serta yang berdampak langsung terhadap lingkungan dan masyarakat Lako, 2011. Hal ini diperlukan agar stakeholders
semakin mengapresiasi perusahaan karena mereka mendapatkan informasi yang lebih komprehensif tentang kinerja, risiko, intangible values dan prospek
perusahaan Lako, 2011. Meskipun penyajian informasi mengenai CSR masih bersifat sukarela,
BAPEPAM-LK dalam Keputusan Ketua Badan Pengawa Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-431BL2012 tentang Penyampaian Laporan
Tahunan Emiten Atau Perusahaan Publik telah menghimbau emiten atau perusahaan publik untuk menyajikan bahasan mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan corporate social responsibility meliputi kebijakan, jenis program, dan biaya yang dikeluarkan, antara lain terkait aspek: a lingkungan hidup, b
praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan kerja, c pengembangan sosial dan kemasyarakatan, dan d tanggung jawab produk. Berdasarkan
keputusan tersebut, perusahaan dapat mengungkapkan informasi CSR pada laporan tahunan atau membuat laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan
dengan laporan tahunan kepada Bapepam dan LK, seperti laporan keberlanjutan sustainability report atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan corporate
social responsibility report .
Ikatan Akuntan Indonesia IAI juga sudah memberikan pernyataan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan PSAK No.1 Revisi 2009 paragraf
sembilan yang menghimbau perusahaan yang berhubungan erat dengan faktor- faktor lingkungan hidup dan menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna
laporan yang memegang peranan penting untuk menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah value added
statement .
Beberapa penelitian mengenai pengaruh penyajian informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan yang telah dilakukan sebelumnya dilakukan oleh :
1. Resturiyani 2012 meneliti tentang pengaruh pengungkapan
Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan pada
perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI pada tahun 2011. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
pengungkapan informasi CSR berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan indikator Return On
Investment ROI.
2. Utami 2013 meneliti tentang pengaruh pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap kinerja keuangan pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI pada tahun
2008-2010. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pengungkapan tanggung jawab sosial berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan indikator Return
On Equity satu tahun kedepan ROE
t+1
dan tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk menggunakan indikator yang berbeda yaitu Koefisien Respon Laba Earning Response
Coefficient , ERC. ERC didefinisikan oleh Scott 2009 sebagai ukuran atas
tingkat return abnormal saham dalam merespon komponen unexpected earnings. Perbedaan respon pasar terhadap laba dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti
persistensi laba, beta, struktur permodalan perusahaan, kualitas laba, growth opportunities
, dan informativeness of price Scott, 2009. Peluang terjadinya perbedaan Earning Response Coefficient sebagai akibat penyajian informasi CSR
ini yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul: “PENGARUH PENYAJIAN INFORMASI CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY CSR DALAM LAPORAN TAHUNAN PERUSAHAAN
TERHADAP EARNING RESPONSE COEFFICIENT ERC STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAN PERTAMBANGAN YANG TERCATAT DI BURSA
EFEK INDONESIA BEI TAHUN 2012”
1.2 Perumusan Masalah