Conflict management of bulls (Bos javanicus d’Alton 1832) conservation with community in Meru Betiri National Park and Alas Purwo National Park East Java

(1)

MANAJEMEN KONFLIK KONSERVASI BANTENG (Bos

javanicus d’Alton 1832) DENGAN MASYARAKAT DI

TAMAN NASIONAL MERU BETIRI DAN TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO JAWA TIMUR

R. GARSETIASIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Manajemen Konflik Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Dengan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur” adalah karya saya dengan arahan komsi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Juli 2012

R. Garsetiasih E. 361070054


(4)

(5)

ABSTRACT

R Garsetiasih. Conflict Management of Bulls (Bos javanicus d’Alton 1832) Conservation with Community in Meru Betiri National Park and Alas Purwo National Park East Java. Supervised by HADI S ALIKODRA as a chairman, RINEKSO SOEKMADI and M BISMARK as a members

Study on conflict management of bulls (Bos javanicus d’Alton 1832) conservation with community in Meru Betiri National Park and Alas Purwo National Park East Java was conducted on 2008 to 2010. The aims of study were to analyze the potency of habitat to know carrying capacity of bulls feeding ground, perception and social economic of community around national park and to identify stakeholders who have conflict with bulls conservation .The main aim of the study to formulate conservation strategy of bulls with used collaborative management as solution management of wildlife conflict. The method of study were used food source productivity and carrying capacity analysis, stakeholders grid, analysis hierarchy process (AHP) and SWOT analysis. The result showed that the main stakeholders who have interested on bulls management in Meru Betiri National Park are plantation company (MBNT), Production Forest of Perum Parhutani (APNP), community around national park, NGO KAIL and national park management. The research showed that the carrying capacity of feeding ground relatively low to support bulls population in national park. How ever the community perception to national park was very positive, unfortunately the perception of the community to the bulls benefit in the park was negative. The level income of community around MBNP were between Rp.332.000,- to Rp.617.000,- per month and Rp. 885.000,- to Rp.1.445.000,- at APNP. The model of wildlife conflict management solution is co-management by develop program activity and level of co-management existing and hope i.e habitat management of grazing area (consultative and cooperative), development of captive breeding (instructive and informative), ecotourism (consultative and advocacy) and development of medicine and fruits tree (cooperative and advocacy).

Key words : national park, bos javanicus, conservation, conflict, , stakeholder, co- management


(6)

(7)

RINGKASAN

R Garsetiasih. Manajemen Konflik Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Dengan Masyarakat Di Taman Nasional Meru Betiri Dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur

Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA sebagai ketua komisi pembimbing, RINEKSO SOEKMADI, dan M BISMARK sebagai anggota komisi pembimbing

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) merupakan kawasan yang dilindungi karena mempunyai potensi keanekaragaman hayati yang tinggi diantaranya berfungsi sebagai habitat banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) . Populasi banteng di ke dua taman nasional tersebut akhir-akhir ini mengalami ancaman karena meningkatnya perburuan. Di TNMB, sebagian besar perburuan terjadi di luar kawasan taman nasional yaitu di kawasan Perkebunan dan sekitarnya, dan di TNAP terjadi di kawasan Hutan Produksi Perum Perhutani yang letaknya berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional. Di luar TN banteng merusak dan memakan tanaman pertanian masyarakat, tanaman perkebunan dan tanaman di kawasan Perum Perhutani sehingga masyarakat mengalami kerugian antara 30% sampai 50% dari hasil panennya. Perburuan juga terjadi pada saat – saat hari besar keagamaan atau saat musim hajatan. Adanya gangguan banteng pada lahan masyarakat menimbulkan perbedaan kepentingan dan mengakibatkan konflik antara banteng dan masyarakat serta masyarakat dan pengelola TN. Permasalahan konflik yang dicirikan oleh meningkatnya perburuan perlu segera diselesaikan dalam rangka meminimalisir terjadinya ancaman yang lebih besar terhadap banteng. Salah satu solusi penyelesaian konflik konservasi banteng adalah melalui pengelolaan secara kolaboratif dengan melibatkan pihak-pihak seperti masyarakat sekitar kawasan serta stakeholders lainnya yang terkait dengan pengelolaan banteng. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan strategi konservasi banteng dengan pendekatan kolaboratif dengan tujuan antaranya menganalisis dukungan habitat banteng di dalam dan di luar kawasan; menganalisis aspek sosial, ekonomi serta persepsi masyarakat sekitar kawasan dari manfaat taman nasional dan banteng; menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai konservasi taman nasional dan banteng; serta menganalisis tingkat co-management konservasi banteng faktual dan harapan.

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai dengan Desember 2010, penelitian menggunakan pendekatan kuantitaif dan kualitatif. Pengumpulan data potensi habitat dilakukan melaui analisis vegetasi , produktivitas hijauan pakan dan populasi banteng. Survey lapangan untuk mengetahui aspek sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat terhadap manfaat kawasan taman nasional dan banteng dilakukan melalui wawancara dengan masyarakat sekitar kawasan dan tokoh masyarakat. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner secara terstruktur dengan panduan dan wawancara secara mendalam (indepth interview). Untuk mengetahui pengaruh dan kepentingan stakeholders dilakukan wawancara dengan stakeholders terkait konflik yaitu Perum Perhutani, Perkebunan Bandealit, BTMB, BTNAP dan masyarakat (kelompok masyarakat dan individu) . Analisa data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif


(8)

terhadap potensi habitat, kondisi sosial, ekonomi serta persepsi masyarakat terhadap manfaat taman nasional dan banteng. Persepsi pakar dilakukan melalui pengisian kuesioner dengan menggunakan teknik AHP untuk merumuskan urutan prioritas faktor, aktor dan program kegiatan . Penentuan strategi dalam mengimplementasikan program kegiatan dilakukan melalui analisis SWOT serta analisis tingkat co-management untuk masing-masing program kegiatan berdasarkan karakteristik tingkat atau level co-management .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi hijauan pakan di padang penggembalaan dalam kawasan TNMB dan TNAP secara kuantitas maupun kualitas tidak dapat mendukung populasi banteng terutama pada saat musim kemarau. Hal tersebut menyebabkan banteng ke luar kawasan dan memakan tanaman pertanian, perkebunan dan tanaman kehutanan yang dikelola oleh masyarakat, perkebunan maupun Perum Perhutani. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan TN termasuk rendah yang ditunjukkan oleh kecilnya pendapatan per bulan yang nilainya dibawah Upah Minimal Regional (UMR) setempat . Persepsi masyarakat terhadap manfaat banteng rendah, lebih dari 60 % masyarakat menganggap bahwa banteng tidak mempunyai manfaat. Hal ini berhubungan dengan tidak diperbolehkannya masyarakat memanfaatkan banteng, karena banteng dilindungi. Berdasarkan hasil analisis pemetaan stakeholders diketahui bahwa stakeholders yang mempunyai pengaruh dan kepentingan terhadap pengelolaan taman nasional dan banteng yaitu BTNMB , LSM KAIL, masyarakat dan Perkebunan Bandealit, sedangkan di TNAP yaitu BTNAP, LSM binaan KAIL, masyarakat dan Perum Perhutani. Stakeholders yang tidak terkait langsung dalam konflik tetapi dapat berkontribusi dalam pengelolaan kolaboratif konservasi banteng yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB), Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Dinas Pariwisata. Dari hasil AHP dan SWOT serta hasil analisis berdasarkan survey lapangan diketahui bahwa di TNAP dan TNMB dalam pengelolaan kolaborasi konservasi banteng yang akan dibangun, faktor yang menjadi urutan pilihan prioritas yaitu faktor ekologi dengan kegiatan prioritas yaitu peningkatan kualitas habitat. Prioritas program yang dapat dikolaborasikan dalam pengelolaan banteng di TNMB dan TNAP secara berurutan yaitu: (1) peningkatan kualitas habitat dengan tingkat kolaborasi faktual dan harapan secara berurutan yaitu konsultatif dan kooperatif dengan strategi kegiatan pengamanan kawasan, pembinaan habitat dan penyuluhan; (2) pengembangan penangkaran tingkat kolaborasi faktual dan harapan yaitu instruktif dan informatif dengan strategi prioritas kegiatan pemanfaatan sumberdaya banteng, teknologi dan pasar, pembuatan demplot, kerjasama para pihak; (3) pengembangan ekowisata tingkat kolaborasi faktual dan harapan yaitu konsultatif dan advokatif dengan strategi kegiatan pembangunan sarpras, peningkatan pendanaan, koordinasi dan penyamaan persepsi; (4) pengembangan tanaman obat dan buah tingkat kolaborasi faktual dan harapan yaitu kooperatif dan advokatif dengan strategi kegiatan pemanfaatan SDA, diversifikasi jenis tanaman, kerjasama para pihak.

Kata kunci: taman nasional, bos javanicus, konservasi, konflik, stakeholder, ko-manajemen


(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(10)

(11)

MANAJEMEN KONFLIK KONSERVASI BANTENG (Bos

javanicus d’Alton 1832) DENGAN MASYARAKAT DI

TAMAN NASIONAL MERU BETIRI DAN TAMAN NASIONAL

ALAS PURWO JAWA TIMUR

R. GARSETIASIH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Dosen penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.

Prof. Dr. Ir. Gono Semiadi, M.Sc.

Dosen penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. R Iman Santoso, M.Sc.

Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.


(13)

Judul : Manajemen Konflik Konservasi Banteng ( Bos javanicus d’Alton1832 ) Dengan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur Nama : R. Garsetiasih

NRP : E.361070054

Program Studi : Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. DR. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS Ketua

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Anggota

Prof. Dr. M. Bismark, MS Anggota

Diketahui : Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(14)

(15)

i

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan kehendak dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul “Manajemen Konflik Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) Dengan Masyarakat Di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian disertasi ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F dan Bapak Prof Ris. Dr. M. Bismark sebagai anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Amzu, MS selaku Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor dan Bapak Dr. Ir. Machmud Thohari, DEA.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Herry Subagja, MSc dan Bapak Ir. Hartono, MSc beserta staf TNMB dan TNAP yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Adi Susmianto, MSc selaku Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bapak Ir. Anwar, MSc , Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan Dr. Iman Santoso dan Dr. Tachir Fathoni yang telah memberi ijin dan membantu penulis selama mengikuti pendidikan pada program doktor di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada orang tua R. Garsoeroso Bratadidjaya (Almarhum) dan Ibunda tercinta Hj Kartini Aman Ardiwinata yang tidak pernah kenal lelah memberikan doa kepada penulis untuk kelancaran studi ini. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta Ir. Toni Kartiman, MP dan anakku tersayang Isti Utami yang selalu memberikan doa serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini.


(16)

ii

ii Ucapan yang sama penulis haturkan kepada kakak-kakak dan adik-adik dari penulis yang selalu memberikan doa untuk kelancaran penyelesaian studi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman di Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, teman-teman program S3 KVT serta rekan dan handai taulan semua yang selalu memberikan dorongan, semangat dan membantu penulis dalam penyelesaian program studi doktor ini, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan teman-teman semua. Amin.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu masukan dan saran dari pihak-pihak yang berhubungan dengan tema disertasi ini sangat penulis harapkan untuk hasil yang lebih baik. Penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengelolaan taman nasional dalam mengatasi konflik satwaliar dan berguna bagi keilmuan di bidang manajemen satwaliar. Amin Yaa Rabbal ‘Alamin.

Bogor, Juni 2012


(17)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat pada tanggal 22 Januari 1963, penulis merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak R. Garsoeroso Bratadidjaya (Almarhum) dan Ibu Hj Kartini Aman Ardiwinata. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Purwaganda Kabupaten Purwakarta, Sekolah Menengah Pertama di SMPN I Purwakarta dan Sekolah Menengah Atas di SMAN I Purwakarta. Pada tahun 1983 penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang dan lulus pada tahun 1987.

Penulis menikah dengan Ir. Toni Kartiman, MP pada tahun 1990, dan dikaruniai satu orang putri yaitu Isti Utami, yang lahir pada tanggal 28 Nopember 1991 . Sejak tahun 1987 sampai tahun 1993 penulis bekerja pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang sebagai peneliti bidang konservasi sumberdaya hutan dan tahun 1993 penulis mendapat tugas belajar di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada jurusan Ilmu Kehutanan dan selesai pada tahun 1996. Pada tahun 1997 penulis di alih tugaskan pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam di Bogor yang sekarang berganti nama institusinya menjadi Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi.

Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan dari Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, untuk melanjutkan pendidikan S3 melalui program Research School pada Sekolah Pasca Sarjana dengan Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor.


(18)

(19)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 5

1.3. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 12

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Bioekologi Banteng ... 13

2.1.1. Klasifikasi Banteng (Bos javanicus) ... 13

2.1.2. Deskripsi Banteng ... 13

2.1.3. Populasi dan Penyebaran Banteng ... 14

2.1.4. Habitat ... 14

2.2. Taman Nasional ... 15

2.3. Masyarakat Sekitar Taman Nasional ... 17

2.4. Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 19

2.5. Manajemen Kolaboratif ... 22

2.6. Pembangunan Berkelanjutan ... 27

2.7. Analisis Kebijakan ... 29

2.8. Analysis Hierarchy Process (AHP) ... 30

2.9. Analysis SWOT ... 31

2.10. Contoh Penyelesaian Konflik dengan Co-management di Luar Negeri ... 33

III. METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

3.2. Batasan Studi ... 37

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 38

3.4. Cara Pengumpulan Data ... 39

3.5. Teknik Pengambilan Sampel Responden ... 40

3.6. Analisis Data ... 41


(20)

v

3.6.2. Analisis Daya Dukung Habitat ... 44

3.6.3. Sebaran Banteng ... 46

3.6.4. Analisis Sosial, Ekonomi dan Persepsi Masyarakat ... 46

3.6.5. Analisis Kelembagaan Kolaboratif ... 47

3.6.6. Analisis SWOT ... 49

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 53

4.1. Kawasan Taman Nasional Alas Purwo ... 53

4.1.1. Sejarah Kawasan TNAP ... 53

4.1.2. Letak dan Luas ... 54

4.1.3. Iklim dan Topografi ... 54

4.1.4. Keragaman Ekosistem ... 55

4.1.5. Keragaman Fauna ... 55

4.1.6. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 56

4.1.7. Aksesibilitas ... 56

4.2. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri ... 57

4.2.1. Sejarah Kawasan TNMB ... 57

4.2.2. Letak dan Luas ... 58

4.2.3. Topografi ... 59

4.2.4. Tipe Iklim ... 59

4.2.5. Keragaman Ekosistem ... 60

4.2.6. Keragaman Fauna ... 62

4.2.7. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 63

4.2.8. Aksesibilitas ... 64

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65

5.1. Dukungan Habitat Banteng di Dalam dan di Luar Kawasan TN Alas Puro dan TN Meru Betiri ... 65

5.1.1. Vegetasi dan Produktivitas Hijauan Pakan ... 65

5.1.2. Nilai Kandungan Gizi dan Palatabilitas Hijauan Pakan ... 70

5.1.3. Populasi dan Daya Dukung ... 74

5.1.4. Sebaran Banteng TNAP dan TNMB ... 80

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan TNAP dan TNMB ... 85

5.2.1. Kelas Umur ... 85

5.2.2. Tingkat Pendidikan Responden ... 86

5.2.3. Luas Lahan Garapan ... 88

5.2.4. Gangguan Satwaliar ... 89

5.2.5. Tingkat Pendapatan Masyarakat Petani Sekitar TNAP dan TNMB ... 93


(21)

vi

5.2.6. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Taman Nasional

dan Banteng ... 99

5.2.6.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional .. 99

5.2.6.2. Persepsi Masyarakat Terhadap Manfaat Banteng . 101 5.2.7. Faktor-Faktor Penyebab Konflik ... 102

5.3. Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder terhadap Konservasi Taman Nasional dan Banteng ... 105

5.3.1. Pemetaan Stakeholder di TNAP ... 105

5.3.2. Peran Stakeholder di TNAP ... 106

5.3.3. Pemetaan Stakeholder di TNMB ... 108

5.3.4. Peran Stakeholder TNMB ... 110

5.4. Manajemen Kolaborasi dalam Upaya Konservasi Banteng ... 112

5.4.1. Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng TNAP ... 112

5.4.2. Prioritas Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Kolaborasi Banteng di TNMB ... 116

5.4.3. Strategi dalam Implementasi Program Kegiatan ... 120

5.4.3.1. Strategi Implementasi Program Kegiatan Peningkatan Kualitas Habitat ... 123

5.4.3.2. Strategi Implementasi Program Kegiatan Pengembangan Penangkaran ... 127

5.4.3.3. Strategi Implementasi Program Kegiatan Pengembangan Ekowisata ... 130

5.4.3.4. Strategi Implementasi Program Kegiatan Pengembangan Tanaman Obat dan Buah-buahan . 134 5.4.4. Organisasi Pengelolaan TNAP dan TNMB dan Lembaga Pendukung ... 137

5.4.5. Pengembangan Co-management dalam Konservasi Banteng ... 140

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 157

6.1. Simpulan ... 157

6.2. Saran ... 159

DAFTAR PUSTAKA ... 160

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 169


(22)

(23)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jenis dan sumber data ... 38 Tabel 2. Jumlah sampel responden dan stakeholder di lokasi penelitian ... 41 Tabel 3. Matriks resultante posisi masing-masing stakeholder pada kuadran 48 Tabel 4. Skala perbandingan nilai dan definisi pendapat kualitatif ... 49 Tabel 5. Matriks SWOT dan Kemungkingan Strateginya ... 50 Tabel 6 Produktivitas hijauan pakan banteng di Sumbergedang pada

musim hujan dan kemarau ... 66 Tabel 7. Produktivitas hijauan pakan banteng di Sadengan pada musim

hujan dan kemarau ... 66 Tabel 8. Produktivitas hijauan pakan banteng di Padang Perumputan

Pringtali TNMB ... 68 Tabel 9. Produktivitas hijauan pakan banteng di Kebun Pantai Perkebuanan

Bandealit ... 68 Tabel 10. Kandungan nutrisi pakan banteng di TNAP ... 70 Tabel 11. Kandungan nutrisi pakan banteng di kawasan TNMB perkebunan

Bandealit ... 72 Tabel 12. Proporsi jenis pakan rumput yang terdapat dalam feses banteng ... 73 Tabel 13. Palatabilitas jenis hijauan pakan banteng di TNMB ... 73 Tabel 14. Fluktuasi populasi banteng di padang penggembalaan sadengan

TNAP ... 75 Tabel 15. Kerugian akibat gangguan banteng di TNMB per hektar lahan ... 92 Tabel 16. Pendapatan pesanggem di sekitar TNAP per tahun per 0,25 ha ... 94 Tabel 17. Pendapatan petani pesanggem di sekitar TNMB per tahun ... 97 Tabel 18. Tingkat potensi konflik dan masyarakat di TNMB dan TNAP ... 104 Tabel 19. Analisis SWOT pelaksanaan kolaborasi empat progran kegiatan

konservasi banteng di TNAP dan TNMB ... 121 Tabel 20. Program kegiatan, bentuk manajemen kolaborasi dan stakeholder

terkait ... 122 Tabel 21. Kriteria dan karakteristik, peran pemerintah dan stakeholders

dalam lima tingkatan co-management konservasi banteng ... 141 Tabel 22. Kondisi eksisting dan harapan tingkat co-management dalam

program kegiatan konservasi banteng ... 144 Tabel 23. Matrik teknis pengelolaan dalam kelembagaan co-management di

TNMB dan TNAP ... 154 Tabel 24. Matrik peran lembaga dan stakeholders dalam manajemen


(24)

(25)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka teoritis penelitian (Coser, 1956; Fisher et al, 2001; Knight dan Tighe, 2003; dan NRTEE, 1999) ... 8 Gambar 2. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian (Fisher et al. 2001;

Alikodra, 2009; Suporahardjo, 2005. Mod.) ... 9 Gambar 3. Perumusan masalah penelitian (Alikodra 1990; Claridge dan

O’Callaghan 1995; Suporahardjo 2005; Nikijuluw 2002) ... 10 Gambar 4. Level hierarki co-management (Nikijuluw, 2002) ... 26 Gambar 5. Arah kerja Co-management (Borrini-Feyerabend; 1996) ... 26 Gambar 6. Kuadran faktor eksternal dan faktor internal ... 32 Gambar 7. Lokasi penelitian TN Meru Betiri ... 36 Gambar 8. Lokasi penelitian TN Alas Purwo ... 37 Gambar 9. Struktur Level Hirarki dengan Metode Analisis AHP dan

SWOT ... 42 Gambar 10. Diagram alir informasi ... 42 Gambar 11. Metode analisis data ... 43

Gambar 12. Matrik hasil analisis stakeholder (Sumber : Suporaharjo, 2005 dan Reed et al. 2009) ... 47

Gambar 13. Grafik dinamika populasi banteng di TNAP ... 75 Gambar 14. Grafik dinamika populasi banteng di Kebun Pantai Bandealit ... 77 Gambar 15. Banteng induk dan anak mati kena jebakan lubang ... 78 Gambar 16. Banteng dalam aktivitas kawin di Kebun Pantai Bandealit... 80 Gambar 17. Peta sebaran banteng di sekitar kawasan TNAP ... 81 Gambar 18. Home range Banteng Bos javanicus pada kawasan hutan

produksi (Murdyatmaka, 2008) ... 81 Gambar 19. Penyebaran banteng di Kebun Pantai Bandealit TNMB ... 82 Gambar 20. Sungai tempat minum banteng ... 84 Gambar 21. Sebaran dan tempat tidur banteng di Kebun Pantai Bandealit

TN Meru Betiri ... 84 Gambar 22. Persentase distribusi kelas umur ... 85 Gambar 23. Persentase distribusi tingkat pendidikan ... 86 Gambar 24. Persentase distribusi luas lahan garapan... 88 Gambar 25. Persentase gangguan satwaliar di lahan garapan ... 90


(26)

ix

Gambar 26. Persentase tingkat gangguan satwa ... 91 Gambar 27. Nilai produktivitas lahan garapan per 0,25 ha di lokasi PHBM

sekitar TNAP ... 93 Gambar 28. Persentase distribusi jenis komoditas tanaman sekitar TNMB ... 96 Gambar 29. Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat taman

nasional ... 99 Gambar 30. Persentase persepsi masyarakat terhadap manfaat Banteng ... 101 Gambar 31. Areal Perum Perhutani (HP) yang berbatasan langsung dengan

TN Alas Purwo ... 105 Gambar 32. Matriks resultante hasil analisis stakeholder di TNAP ... 106 Gambar 33. Matriks resultante hasil analisis stakeholder di TNMB ... 110 Gambar 34. Struktur hirarki pengelolaan kolaboratif konservasi banteng di

TNAP (Mod. Saaty, 1993) ... 112 Gambar 35. Tingkat peranan aktor terhadap pelaksanaan program kegiatan

dalam rangka konservasi banteng di TNAP... 113 Gambar 36. Prioritas bentuk pengelolaan kolaboratif dalam konservasi

banteng di TNAP ... 115 Gambar 37. Struktur hierarki pengelolaan kolaborasi banteng di TNMB

(Mod. Saaty, 1993) ... 117 Gambar 38. Prioritas bentuk pengelolaan kolaboratif banteng di TNMB ... 118 Gambar 39. Diagram matrik space peningkatan kualitas habitat banteng ... 123 Gambar 40. Diagram matrik space pengembangan penangkaran... 127 Gambar 41 Diagram matrik space pengembangan ekowisata ... 130 Gambar 42. Diagram matrik space pengembangan tanaman obat dan buah .. 134 Gambar 43. Organisasi tata kerja UPT TNAP dan TNMB ... 138


(27)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Panduan wawancara (Kuesioner) ... 170 Lampiran 2. Daftar pertanyaan dan tabel skor hasil identifikasi dan

pemetaan stakeholder ... 174 Lampiran 3. Daftar kuesioner Analisis Hierarki Proses ... 178 Lampiran 4. Analisa Vegetasi di Blok Sadengan dan Sumbergedang,

TNAP ... 195 Lampiran 5. Analisis Statistik Kandungan Nutrisi Pakan di Dalam dan di

Luar Kawasan ... 197 Lampiran 6. Gambar histrogram hasil analisis hierarki proses

Perumperhutani di TN Alas Purwo ... 200 Lampiran 7. Gambar histrogram hasil analisis hierarki proses Perkebunan

di TN Meru Betiri ... 205 Lampiran 8. Faktor-faktor strategis internal dan eksternal dalam analisis

SWOT ... 210 Lampiran 9. Matrik SWOT peningkatan kualitas habitat banteng ... 212 Lampiran 10. Matrik SWOT pengembangan penangkaran ... 213 Lampiran 11. Matrik SWOT pengembangan ekowisata ... 214 Lampiran 12. Matrik SWOT pengembangan tanaman obat dan buah ... 215 Lampiran 13. Stakeholder terkait dalam manajemen kolaboratif banteng

dan peluang kontribusinya di TNAP dan TNMB ... 216 Lampiran 14. Stakeholder pendukung pengelolaan TNAP dan TNMB tahap

pengembangan program kegiatan ... 218 Lampiran 15. Daftar Isi Disertasi ... 219


(28)

(29)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Degradasi ekosistem hutan dengan laju penurunan dalam kurun waktu 1990-2000 sebesar 1,6 juta hektar per tahun menyebabkan penurunan kualitas dan luasan habitat satwaliar, dampaknya berlanjut terhadap populasi satwaliar yang terus menurun (Bismark et al. 2003). Jika keadaan ini terus dibiarkan akan berakibat buruk terhadap kelestarian plasma nutfah hidupan liar. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1974 telah memperhatikan masalah konservasi alam termasuk kelestarian plasma nutfah yang kegiatannya diawali dengan dibentuknya Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tahun 1971 dibawah Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tersebut selanjutnya menyusun rencana pengembangan dan penetapan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/ UNDP (Food and Agriculture Organization/United Nation Development Programme) dan usaha penyelamatan satwaliar yang terancam kepunahan atas bantuan WWF (World Wildlife Fund for Nature) (Alikodra 1990).

Upaya penetapan jenis-jenis satwa yang dilindungi hingga usaha perlindungan terhadap satwaliar dan ekosistemnya ditindaklanjuti dengan ditetapkannya lima taman nasional pada tahun 1981 yaitu TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Leuseur, TN Gunung Gede Pangrango, dan TN Komodo. Secara keseluruhan pemerintah telah menetapkan 535 lokasi kawasan konservasi dengan luas 28.260150,56 ha, luasan tersebut meningkat dari sebelumnya yang hanya 23.210.348,57 ha. Dari luasan yang ada diantaranya 57,9% mempunyai status sebagai taman nasional (Ditjen PHKA 2007).

Hingga tahun 2007, kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional berjumlah 50 Unit mencakup luas 16.384.594,45 ha (Ditjen PHKA 2007). Kawasan taman nasional ditetapkan berdasarkan kriteria IUCN (1994) adalah kawasan luas relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestariaan yang tinggi, mempunyai potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan bermanfaat bagi wilayah tersebut. Departemen Kehutanan mengimplementasikan kriteria IUCN tersebut untuk


(30)

2

penetapan taman nasional yaitu: a. harus mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; b. memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; d. memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; e. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

Penetapan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) tahun 1993 dan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) tahun 1997 adalah berdasarkan potensi ekosistem, flora dan fauna langka dilindungi yang ada dalam kawasan taman nasional tersebut, diantaranya habitat dan populasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1832). Banteng masuk dalam ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Bos dan species Bos javanicus d’Alton 1832. Banteng dinyatakan IUCN (2008) sebagai satwa dalam katagori genting (endangered) yaitu populasi di alam berada pada tingkat resiko kepunahan sangat tinggi , jika tidak ada usaha penyelamatan habitat dan populasinya. Secara ekologis banteng berperan penting dalam sistem regenerasi vegetasi ekosistem hutan, melalui buah dan biji tumbuhan yang dimakan dan disebarkan melalui fesesnya. Manfaat banteng lainnya sebagai sumber plasma nutfah untuk pengembangan dan pemurnian sapi bali melalui perkawinan silang dengan banteng liar sehingga akan meningkatkan ketahanan dan nilai- nilai keunggulan (Alikodra 2011).

Keterancaman populasi dan habitat banteng disebabkan sebarannya yang terbatas hanya pada beberapa kawasan konservasi seperti TN Meru Betiri, TN Baluran, TN Alas Purwo, TN Ujung Kulon, dan CA Leuweung Sancang di Jawa, serta TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan. Habitat banteng di kawasan konservasi mengalami degradasi sekitar 17% sampai 30%. Populasinya mengalami penurunan yang cukup drastis seperti di TN Baluran jumlah populasi tahun 2002 sebanyak 126 ekor dan tahun 2006 tinggal 15 ekor (Pudyatmoko et al. 2007). Populasi di TNMB tahun 2007 diperkirakan 174 ekor, tahun 2009 menjadi


(31)

3

69 ekor (BTNMB 2009), di TNAP tahun 2004 sebanyak 340 ekor, tahun 2006 tinggal 163 ekor (BTNAP 2006). Banteng di Jawa masuk dalam sub spesies Bos javanicus javanicus dan di Kalimantan Bos javanicus lowi ( Lydekker 1912, diacu dalam Alikodra 1983).

Banteng sebagai satwa herbivora yang lebih condong sebagai pemakan rumput (grazer) dibanding sebagai pemakan semak (browser) sangat membutuhkan padang penggembalaan sebagai habitatnya (Alikodra 1983). Habitat banteng di kawasan konservasi sebagian besar sudah mengalami penurunan yang disebabkan oleh pembukaan lahan, adanya enclave dan masuknya tumbuhan invasive species. Invasi dari jenis invasif seperti kirinyuh (Chromolaena odorata), kacangan (Cassia tora), telean (Lantana camara) dan Acacia nilotica telah menginvasi padang penggembalaan banteng lebih dari 50%, seperti yang terjadi di TNMB, TNAP, TNUK dan TN Baluran, sehingga keberadaan populasi banteng terancam karena kurangnya ketersediaan pakan.

Banteng telah dilindungi sejak tahun 1931 dan dipertegas dengan PP No. 7 tahun 1999 karena keberadaan populasinya yang terancam kepunahan. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga menjadi landasan pokok untuk meningkatkan upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan arahan pemanfaatan yang lestari.

Upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Cq Kementerian Kehutanan ternyata belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga ancaman terhadap satwaliar beserta ekosistemnya termasuk banteng terus meningkat. Ancaman tersebut muncul karena dorongan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang sejatinya bertumpu pada sumberdaya hutan di sekitarnya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup di desa-desa sekitar taman nasional umumnya masih di bawah UMR (Upah Minimum Regional) dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perburuan dan penebangan pohon secara illegal (Alikodra 2011).

Pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional seringkali memicu terjadinya konflik dengan masyarakat. Terutama karena adanya keterbatasan masyarakat dalam kepemilikan lahan ataupun adanya satwaliar yang keluar dari


(32)

4

kawasan konservasi ke lahan masyarakat seperti terjadi di sekitar TN Way Kambas, TN Gunung Leuseur, TN Tesso Nilo dan TN Bukit Barisan Selatan (Alikodra 2011).

Indikasi adanya konflik dalam konservasi banteng terjadi di TNMB dan TNAP. Banteng sebagai satwaliar yang dilindungi, tetapi masyarakat ingin memanfaatkan banteng dan habitatnya untuk meningkatkan ekonomi yang masih rendah karena keterbatasan lahan khususnya lahan untuk kegiatan bertani yang mereka garap. Konflik meningkat karena dipicu oleh keluarnya banteng dari kawasan taman nasional dan masuk ke dalam areal perkebunan Bandealit di TNMB dan kawasan Perum Perhutani di TNAP, serta merusak tanaman yang ada pada kedua lokasi tersebut. Keluarnya banteng dari taman nasional diduga karena sumber pakan di dalam kawasan tidak dapat memenuhi kebutuhan banteng baik secara kualitas maupun kuantitas. Keluarnya banteng mengganggu tanaman masyarakat dan menyebabkan konflik yang diindikasikan dengan peningkatan perburuan.

Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004). Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dengan satwaliar.

Keberhasilan pengelolaan taman nasional sangat tergantung pada dukungan berupa partisipasi aktif dan penghargaan terhadap nilai sumberdaya hutan oleh masyarakat sekitar. Apabila masyarakat memandang taman nasional sebagai faktor pembatas, maka masyarakat tersebut dapat menggagalkan program dan upaya konservasi yang diindikasikan dengan terjadinya konflik. Namun jika upaya pelestarian dianggap sebagai sesuatu hal yang memberi manfaat, maka masyarakat setempat akan melindungi kawasan tersebut (MacKinnon et al. 1993). Sehingga arah pengelolaan taman nasional termasuk spesies di dalamnya harus dapat memberikan petunjuk model kemanfaatan bagi masyarakat sekitarnya.

Taman Nasional dapat dimanfaatkan dalam bentuk ekowisata, pemanfaatan plasma nutfah sebagai sumber genetik dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi sangat memungkinkan dilakukan pengelolaan kolaborasi yang dapat meningkatkan pemanenan berupa HHBK seperti madu dan


(33)

5

tanaman obat dalam meningkatkan pendapatan tanpa mengancam biodivesitas (Fisher 1995). Di TNMB ditemukan tidak kurang 239 jenis tanaman yang terbagi dalam 78 famili dan 77 jenis diantaranya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai obat tradisional. Heriyanto (2007) menyatakan di TNMB ditemukan 28 jenis tumbuhan obat asli setempat dan telah dibudidayakan di zona rehabilitasi, bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat yaitu daun, buah, biji, batang, kulit batang, kulit buah, kecambah biji dan getah. Pemanfaatan tanaman obat tersebut oleh masyarakat masih dalam tahap pengambilan tanaman untuk dijual langsung atau dibuat ramuan.

Pemanfaatan plasma nutfah berupa sumber genetik untuk satwa dalam rangka memperbanyak individu untuk restocking atau pemanfaatan secara lestari dapat dilakukan melalui konservasi situ seperti penangkaran. Konservasi ek-situ banteng sudah dilakukan di beberapa kebun binatang seperti Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Ragunan serta di Taman Safari Indonesia dan Taman Safari Prigen yang sudah mulai melakukan inseminasi buatan.

Hingga saat ini konflik dalam konservasi banteng belum dapat diselesaikan secara tepat karena arah kebijakan pengelolaan banteng masih pada aspek perlindungan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Selain itu pengelolaannya belum optimal karena masih sentralistik hanya dikelola oleh Balai Taman Nasional mulai dari perencanaan sampai evaluasi tanpa melibatkan stakeholders yang berkepentingan lainnya. Sehingga perlu dicarikan solusinya secara optimal melalui penelitian sesuai dengan prinsip dasar konservasi yaitu: a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Penelitian ini dirancang atas dasar analisis permasalahan yang dapat menyebabkan konflik banteng yaitu aspek populasi dan potensi habitat, kesejahteraan masyarakat, kepentingan stakeholders serta aspek kelembagaan dalam rangka membangun pengelolaan banteng secara kolaboratif.

1.2 Kerangka Pemikiran

Pada saat ini semakin disadari bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam baik berupa kawasan maupun spesies tidak cukup hanya diputuskan oleh


(34)

6

lembaga-lembaga pemerintah dengan aturan-aturan yang dibuat secara sentralistik. Kebijakan yang sentralistik tidak menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kawasan maupun spesies. Hal tersebut dibuktikan dengan timbulnya berbagai konflik di hampir seluruh kawasan hutan termasuk kawasan konservasi. Sumber konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan pengelolaan hutan disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumberdaya hutan tidak tertampung dalam kegiatan pengelolaan hutan, sedangkan konflik satwaliar disebabkan karena keluarnya satwaliar dari kawasan konservasi ke wilayah kegiatan masyarakat (Alikodra 2009).

Mengatasi konflik di kawasan taman nasional dengan kebijakan yang sentralistik, perlu perubahan paradigma pengelolaan yaitu dari manajemen sentralistik ke manajemen kolaboratif. Manajemen kolaboratif adalah membangun atau menetapkan kesepakatan seluruh pihak terkait melalui kerjasama yang saling menguntungkan dengan mekanisme aturan-aturan yang disepakati oleh seluruh stakeholders. Kolaborasi adalah suatu kondisi dua atau lebih aktor sosial bernegosiasi, memperjelas dan memberikan garansi di antara mereka serta membagi secara adil fungsi, hak dan tanggung jawab dari suatu pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang diberi mandat untuk dikelola (Borrini-Feyerabend et al. 2000).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan pengelolaan kolaborasi adalah kemitraan diantara berbagai pihak yang berkepentingan dan menyetujui untuk berbagi fungsi/peran, wewenang dan tanggung jawab manajemen dalam mengelola sumberdaya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi. Pengelolaan kolaborasi yang akan dikaji yaitu pengelolaan berbasis kemitraan atau kerjasama antara pihak terkait melalui pembagian peran, wewenang, berbagi keuntungan serta pembangunan kapasitas melalui peningkatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan ada beberapa faktor pendukung manajemen kolaboratif (co-management) yaitu pembagian otoritas dan tanggung jawab, kerjasama, partisipasi, saling percaya dan menghargai, pembangunan kapasitas serta integrasi konservasi dan pembangunan. Di antara elemen penting yang terintegrasi dalam strategi pengelolaan kolaboratif adalah untuk tujuan sosial, budaya, dan ekonomi.


(35)

7

Konflik satwaliar banteng dan masyarakat di TNMB dan TNAP mulai memuncak sejak tahun 2003. Dalam kurun waktu tujuh tahun ditemukan 11 kasus kematian banteng di lokasi Perum Perhutani yang berbatasan dengan TNAP yaitu di blok Sumbergedang, blok Kepuhngantuk dan di Dusun Kuterejo Desa Kalipait (Murdyatmaka 2008). Di kawasan yang berbatasan dengan areal perkebunan Bandealit wilayah kerja Seksi Ambulu TNMB dalam kurun waktu empat tahun ditemukan enam kasus kematian banteng karena perburuan. Masyarakat dimaksud adalah masyarakat desa sekitar kawasan taman nasional dan perkebunan baik yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah. Konflik terjadi karena masuknya banteng ke areal perkebunan dan kawasan perhutani serta kebun masyarakat , yang menyebabkan keterancaman banteng oleh perburuan.

Di TNAP banteng masuk dan merusak kawasan hutan produksi Perum Perhutani BKPH Blambangan yang menyebabkan matinya tanaman mahoni dibawah umur 5 tahun karena kulit batangnya dimakan banteng, selain itu merusak kebun masyarakat/pesanggem. Di TNMB banteng merusak kebun masyarakat/pesanggem dan perkebunan Bandealit yang menyebabkan rusaknya 10 ha tanaman vanili dan tanaman kopi.

Untuk mengetahui lebih jelas siapa saja yang terkait dalam konflik konservasi banteng dengan masyarakat serta bagaimana pengaruh dan kepentingannya perlu dilakukan suatu analisis stakeholders. Stakeholders adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kepentingan dalam suatu sistem manajemen sumberdaya (Suporahardjo 2005). Stakeholders dapat berupa perorangan, komunitas, kelompok sosial, atau organisasi. Analisis stakeholders dapat digunakan secara progresif (cepat) untuk memberdayakan kelompok yang sebenarnya penting namun terpinggirkan serta untuk meningkatkan kebijakan dan lembaga (Suporahardjo 2005). Pendekatan penelitian manajemen konflik satwaliar banteng dan masyarakat menggunakan teori konflik dan teori co-management. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Coser 1956).

Pengelolaan kolaboratif adalah suatu kesepakatan dimana wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan


(36)

8

Stakeholder

lain Masyarakat*)

Taman Nasional Konservasi

Banteng *) Masyarakat sekitar kawasan Perum Perhutani Perkenunan Bandealit

stakeholders lain yang terkait dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam (NRTEE 1999). Pengelolaan kolaboratif dianggap paling ideal karena bersifat partisipatif, seluruh stakeholders dapat terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan hingga pengawasan (Suporahardjo 2005). Pengelolaan kolaboratif merupakan metode resolusi konflik yang menempatkan setiap stakeholders sederajat (Tajudin 2000).

Teori konflik dan kolaboratif dipergunakan sebagai landasan untuk meredam konflik dengan memperhatikan secara detail berbagai aspek konservasi banteng, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan manajemen taman nasional (Gambar 1), diagram kerangka penelitian dan faktor yang perlu menjadi sasaran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Kerangka teoritis aspek penelitian manajemen konflik konservasi banteng (Coser 1956; Fisher et al. 2001; Knight dan Tighe 2003; UU No 5/1990 dan NRTEE 1999).

Gambar 2 menerangkan bahwa penggunaan lahan yang tidak sesuai dalam kawasan taman nasional maupun penataan pemanfaatan areal berupa enclave dapat memicu timbulnya perubahan dan gangguan biofisik kawasan, yang berakibat pada perubahan ekologi kawasan dan banteng. Pemanfaatan lahan berupa enclave untuk pembangunan perkebunan, pertanian atau kegiatan penunjang ekonomi masyarakat lainnya dengan berbagai kebijakan sebelumnya dirasa kurang relevan dengan kebijakan dan aturan saat ini. Hal ini terlihat dari adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan lahan dan kawasan maupun konflik ekologis antara banteng dan masyarakat pengguna dan pengelola lahan (Fisher et al. 2001; Malik et al. 2003 ; Alikodra 2009).


(37)

9

Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian (Fisher et al. 2001; Alikodra 2009; Suporahardjo 2005. Mod.)

Sehubungan dengan adanya konflik dalam konservasi banteng yang diindikasikan dengan keluarnya banteng dari kawasan dan terjadinya perburuan yang mengancam populasi banteng, maka pihak taman nasional perlu mengelola konflik tersebut. Aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek kepentingan masyarakat , habitat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkait dengan persepsi masyarakat terhadap konservasi banteng melalui kelembagaan, seperti pada TN Ujung Kulon (TNUK), TN Way Kambas (TNWK) dan TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Adanya keterkaitan konflik dengan pemanfaatan sumberdaya lahan, sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat atau lembaga (stakeholders) yang terlibat, maka pengelolaan sumberdaya dan masyarakat di daerah penyangga memerlukan pengelolaan terpadu dalam bentuk kolaboratif ( IUCN 1997; Suporahardjo 2005).

1.3 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Dari latar belakang dan kerangka pemikiran yang dijelaskan sebelumnya (Gambar 2), bahwa keluarnya banteng dari kawasan TN menyebabkan terganggunya tanaman masyarakat, tanaman Perum Perhutani dan tanaman Perkebunan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi seperti yang terjadi di TNAP dan TNMB. Terganggunya masyarakat oleh banteng menyebabkan

Kegiatan Yang Membuat Gangguan Gangguan Biofisik

Penyelesaian Masalah

Gangguan Secara Fisik Konflik

Perbedaan Aturan dan Kepentingan Pengelolaan Konflik

Manajemen Habitat Manajemen Populasi Sosek dan Kelembagan

•Teknik Pemanfaatan (Penambahan atau

Pengurangan)

•Sosek dan Persepsi Masyarakat Sekitar Kawasan

•Kepentingan Stakeholders

•Kegiatan antar Stakeholders

•Kelembagaan 

•Pengelolaan Habitat (Pembinaan Padang Penggembalaan)

Pengelolaan Kolaboratif

Konservasi Banteng Perlindungan, Pelestarian, dan


(38)

10

Masyarakat

Masyarakat Banteng

Konflik

Potensi habitat Ruang gerak

TN Daerah

Penyangga

Integrasi Integrasi

Pakan/Air

Ekonomi Sosial

Sektor lain

Manajemen Kolaboratif (Upaya resolusi konflik)

konflik kepentingan antara masyarakat dengan pengelola. Keluarnya banteng juga memudahkan akses untuk terjadinya perburuan yang berakibat pada terancamnya populasi banteng. Banteng keluar kawasan dimungkinkan oleh kurangnya ketersediaan pakan dalam kawasan, yang dikarenakan adanya gangguan dari berbagai kegiatan seperti adanya enclave, selain itu pengelolaan kawasan dan biodiversitas termasuk banteng belum berjalan secara optimal.

Pengelolaan dalam upaya konservasi banteng akan optimal jika melibatkan berbagai stakeholders terkait, terutama yang terlibat dalam konflik konservasi banteng dengan menggunakan pendekatan manajemen konflik melalui pengelolaan kolaboratif yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Prinsip dasar pengelolaan kolaboratif yaitu: 1) pemberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan transparan, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7) pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe 2003). Diagram perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Perumusan masalah penelitian (Alikodra 1990; Claridge dan O’Callaghan 1995; Suporahardjo 2005; Nikijuluw 2002)


(39)

11

Prinsip-prinsip dasar pengelolaan kolaboratif dalam upaya menyelesaikan konflik konservasi banteng dalam penelitian ini adalah pendekatan aspek sosial dan ekonomi masyarakat, aspek pengelolaan habitat dan populasi, aspek ruang seperti zonasi taman nasional, ruang daerah penyangga dan sektor lainnya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Aspek-aspek tersebut diintegrasikan dalam rangka menentukan manajemen kolaboratif konservasi banteng yang melibatkan stakeholders terkait. Sesuai dengan kerangka pemikiran dan perumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

1. Bagaimana daya dukung habitat banteng di dalam kawasan dan di luar kawasan (daerah penyangga)

2. Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman nasional

3. Bagaimana persepsi, pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai konservasi taman nasional dan banteng (manfaat, perlindungan, pelestarian) 4. Bagaimana efektivitas manajemen taman nasional mengelola populasi banteng 5. Bagaimana kelembagaan kolaborasi konservasi dan pemanfaatan banteng di

Taman Nasional

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: memformulasikan strategi konservasi banteng di Taman Nasional dengan pendekatan pengembangan pengelolaan kolaboratif , untuk mencapai tujuan tersebut terdapat tujuan antara yaitu:

1. Menganalisis dukungan habitat banteng di dalam dan di luar kawasan (daya dukung dan ruang habitat)

2. Menganalisis aspek sosial, ekonomi serta persepsi masyarakat sekitar kawasan dari manfaat taman nasional dan banteng

3. Menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai (value) konservasi taman nasional dan banteng (manfaat, perlindungan, kelestarian) 4. Menganalisis tingkat co-management konservasi banteng di Taman


(40)

12

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah:

1. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang manajemen konflik konservasi satwaliar khususnya banteng dengan masyarakat

2. Memberikan acuan dalam kebijakan konservasi banteng di TNMB dan TNAP melalui pengelolaan secara kolaboratif dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan dan stakeholders terkait lainnya

3. Memberikan perubahan paradigma terhadap manajemen konservasi banteng yang tidak terbatas pada perlindungan saja, tetapi pemanfaatan secara berkelanjutan perlu dikembangkan seperti pengembangan penangkaran sebagai sumber bibit dan ekowisata

1.6 Kebaruan (Novelty)

Hingga saat ini belum ada satu penelitian penyelesaian konflik konservasi banteng melalui pendekatan manajemen kolaboratif, sehingga hasil penelitian ini merupakan kebaruan yang dapat dipakai sebagai acuan ilmiah bagi penyelesaian konflik satwaliar di berbagai kawasan konservasi.


(41)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Banteng

2.1.1 Klasifikasi Banteng (Bos javanicus)

Menurut Slijper (1948); Lekagul & Mc. Neely (1977) diacu dalam Alikodra (1983), bahwa klasifikasi Banteng adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata Sub phylum : Craniata Class : Mamalia Sub class : Theria Super order : Eutheria Order : Artiodacthyla Sub order : Ruminantia Famili : Bovidae Sub familia : Bovinae Tribe : Bivini Genus : Bos

Species : Bos javanicus d’Alton ,1832

Sub species : Bos javanicus javanicus d’Alton, 1832(Jawa) Bos javanicus lowi Lydekker, 1912 (Kalimantan) Bos javanicus birmanicus Lydekker, 1898 (Thailand)

2.1.2 Deskripsi Banteng

Banteng memiliki tubuh tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi daripada bagian belakang tubuhnya (Hoogerwerf 1970, diacu dalam Alikodra 1983). Pada kepala banteng terdapat sepasang tanduk, pada banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil. Pada bagian dadanya terdapat gelambir (dewlap) yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Panjang badan 190-225 cm, tinggi bahu 160 cm, panjang ekor 65–70 cm, dan berat badan 600–800 kg (Grzimek 1975; Lekagul and Mc. Neely 1977, diacu dalam Alikodra 1983) .


(42)

14

2.1.3 Populasi dan Penyebaran Banteng

Banteng adalah satwaliar yang hidupnya berkelompok, jumlah setiap kelompok berkisar antara 10-12 ekor yang terdiri dari jantan dewasa, induk dan anak-anaknya (Hoogerwerf 1970, Helder 1976, diacu dalam Alikodra 1983). Kelompok-kelompok banteng tersebut kadang-kadang bersatu menjadi kelompok yang lebih besar dengan jumlah mencapai 35 – 40 ekor.

Wilayah penyebaran banteng meliputi: Burma, Thailand, Indo China dan Indonesia yang sebarannya di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Bali (Lekagul & Mc Neely 1977). Selain itu banteng juga tersebar di Malaysia Barat (Hoogerwerf 1970, diacu dalam Alikodra 1983). Penyebaran banteng meliputi wilayah yang cukup luas mulai dari daerah pantai sampai daerah pegunungan dengan ketinggian 2132 m di atas permukaan laut. Penyebaran banteng di Indonesia meliputi beberapa taman nasional dan cagar alam seperti Taman Nasional Baluran (TNB), Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), Taman Nasional Kutai (TNK) serta CA Leuweung Sancang, CA Pangandaran dan SM Cikepuh.

2.1.4 Habitat

Habitat adalah daerah yang sangat penting bagi populasi satwa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan cover (Djuwantoko 1986). Habitat adalah kompleksitas berbagai komponen antara lain iklim, fisiografi, vegetasi dengan kualitasnya dan merupakan tempat hidup organisme (Alikodra 1979). Menurut Moen (1972) habitat satwa sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik biotik maupun non biotik. Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup dalam kawasan atau habitat fisik yang terorganisasi dalam satu kesatuan. Habitat satwa merupakan kombinasi vegetasi dan satwa yang hidup di dalamnya. Vegetasi merupakan salah satu faktor biotik yang sangat penting sebagai penyedia makan, tempat berlindung dan tempat tinggal atau bersarang.

Habitat satwa sering secara sederhana diinterpretasikan sebagai tipe vegetasi karena umumnya syarat-syarat hidup suatu jenis satwa selalu melibatkan aspek vegetasi (Dashman 1981). Banteng adalah jenis satwa yang menyukai tipe


(43)

15

habitat yang lebih terbuka (Lekagul and McNeely 1977, diacu dalam Alikodra 1983). Satwa banteng lebih bersifat sebagai pemakan rumput (grazer) dari pada pemakan daun dan semak (browser). Seperti satwa lainnya banteng membutuhkan pakan, mineral, sumber air dan tempat berlindung. Kerusakan habitat dapat mempengaruhi daya dukung dan aktivitas makan yang berimplikasi pada penyebaran banteng. Di TNMB kekurangan sumber pakan, rendahnya kualitas padang penggembalaan menyebabkan banteng keluar kawasan dan menuju ke areal perkebunan dan lahan masyarakat (Heriyanto et al. 2001). Kondisi ini dapat memicu terjadinya aktivitas perburuan dan konflik dengan masyarakat (Murdyatmaka 2008).

Di TN Baluran, kerusakan habitat banteng khususnya savana Bekol disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan Acacia nilotica sebagai tumbuhan jenis invasif . Akibat kerusakan habitat ini diindikasikan terjadinya penurunan populasi banteng, termasuk karena keluar kawasan dan terjadinya perburuan (Siubelan dan Garsetiasih 2003).

Pakan banteng di alam sebagian besar terdiri dari jenis rumput-rumputan, sedangkan untuk jenis tumbuhan hutan hanya sebagian kecil yang dicirikan oleh bekas gigitan banteng dan dalam jumlah yang terbatas (Hoogerwerf 1970). Pakan banteng yang ditemukan di TNB terdiri dari 13 jenis rumput, 1 jenis tumbuhan merambat, 3 jenis semak dan 13 jenis pohon (Komarudin 1993), sedangkan di TNAP jenis-jenis pakan banteng yang ditemukan terdiri dari 8 jenis rumput dan 4 jenis tumbuhan hutan (Nugroho 2002).

2.2 Taman Nasional

Taman Nasional adalah suatu kawasan yang diperuntukan bagi perlindungan kawasan alami dan berpemandangan indah, serta secara nasional atau internasional memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alam ini luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung, mempunyai fungsi dan manfaat bagi kawasan sekitarnya (MacKinnon et al. 1993). Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 1 ayat (14), menyebutkan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang


(44)

16

mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (ekowisata).

Ekowisata yaitu perjalanan terencana ke daerah-daerah yang alami dengan tujuan untuk memahami sejarah budaya dan alamnya; menjaga keutuhan ekosistem alamnya; menghasilkan peluang untuk kepentingan ekonomi yang membuat konservasi alam menjadi menguntungkan bagi masyarakat lokal (Wood et al. 1991). Ekowisata sebagai bentuk pembangunan pariwisata, manajemen, aktivitas yang dapat menjaga keutuhan lingkungan, sosial, dan ekonomi serta kelangsungan sumberdaya alam dan budaya secara berkelanjutan (Furze et al. 1997). Dalam rangka implementasi pembangunan berkelanjutan, ekowisata merupakan strategi yang paling tepat dalam mengurangi kerusakan SDA dan keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat (Alikodra 2011).

Fungsi dari taman nasional mencakup tiga aspek, yaitu konservasi, penelitian dan rekreasi (Suratmo 1980). Fungsi konservasi berupa pelestarian terhadap plasma nutfah yang terdapat di dalamnya, perlindungan terhadap proses-proses ekologis sistem penyangga kehidupan, dan menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara lestari (MacKinnon et al. 1993). Alikodra (1987) menyatakan bahwa taman nasional dapat digunakan sebagai tempat penelitian, terutama untuk memberikan masukan terhadap pengelolaan sehingga diharapkan pengelolaannya lebih terarah, efektif dan efisien. Sedangkan fungsi rekreasi dari taman nasional adalah dapat dimanfaatkan oleh pengunjung dengan pola pengaturannya yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Suratmo (1980) menyatakan bahwa biasanya dari ke tiga fungsi tersebut taman nasional hanya menonjol salah satu fungsi saja dengan tanpa melupakan fungsi lainnya.

Pelestarian plasma nutfah banteng dilakukan melalui pemanfaatan semen banteng sebagai sumber genetik. Pemanfaatan semen sekarang mulai dilakukan oleh Taman safari Prigen (TSP) dan bekerjasama dengan Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) yang hasilnya akan dimanfaatkan oleh beberapa Pemda Provinsi (Ivan Oktober 2010, komunikasi pribadi). Menurut PP No 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam memperbanyak individu satwa dapat dilakukan dengan cara mengawinkan secara alami maupun buatan (inseminasi buatan), apabila cara


(45)

17

reproduksinya adalah kawin, dan dengan cara lain apabila cara reproduksinya adalah tidak kawin baik di dalam maupun di luar habitatnya. Pemanfaatan genetik banteng dapat menunjang budidaya yaitu memanfaatkan potensi satwa liar sebagai sumber bibit atau plasma nutfah untuk dikembangkan dan dibudidayakan di luar kawasan taman nasional (UU No.5/1990).

Fungsi dan manfaat taman nasional sebagai penyedia plasma nutfah lainnya yaitu sebagai penyedia tanaman obat. Setyowati (2006) menyatakan bahwa masyarakat Kluet yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser masih sangat tergantung pada kelestarian sumber daya alam sebagai bahan pangan, bahan obat-obatan, tali-temali, bahan bumbu dan keperluan lainnya. Tidak kurang dari 133 jenis tumbuhan dari 52 famili, dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari jumlah tersebut, 60% nya masih diambil dari alam, masyarakat mencari sejenis kayu medang yang dimanfaatkan sebagai bahan obat nyamuk dan juga getah damar. Dalam satu hari dapat dikumpulkan kulit kayu medang antara 5 hingga 10 kg dan getah damar sekitar 20 hingga 30 kg, dengan harga jual Rp. 150,- per kg untuk kulit kayu medang basah dan Rp. 200,- per kg untuk damar.

Di Taman Nasional Baluran (TNB) dan desa sekitarnya terdapat sekitar 194 jenis dari 71 keluarga tumbuhan obat. Tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan sebagai ramuan obat tradisional oleh masyarakat sekitar 53 jenis dari 35 famili. Jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di dalam TNB tersebut dapat menyembuhkan 64 jenis penyakit dalam dan luar (Suyono 2002). Menurut Zuhud dan Haryanto (1991) TNMB merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki potensi tumbuhan obat yang besar, tidak kurang dari 364 jenis (70 famili) plasma nutfah tumbuhan obat ditemukan disini.

2.3 Masyarakat Sekitar Taman Nasional

Menurut Alikodra (1987), yang dimaksud dengan masyarakat sekitar khususnya bagi taman nasional atau areal kawasan hutan lindung lainnya adalah masyarakat pedesaan yang bermukim di sekitar kawasan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional yang relatif rendah merupakan faktor pendorong kuat untuk melakukan tekanan pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional terutama masyarakat yang mempunyai ketergantungan hidup dengan


(46)

18

kawasan. Ketergantungan mereka dapat dikatagorikan sebagai kegiatan legal dan tidak legal. Pemanfaatan kawasan atau sumberdaya yang tidak legal berpotensi merusak kawasan jika tidak dilakukan pengamanan atau aturan, sedangkan ketergantungan yang legal dapat dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap kelestarian taman nasional. Peran pengelolaan taman nasional ke arah peningkatan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan secara langsung masih rendah (Alikodra 1987).

Kegiatan pengelolaan taman nasional masih menghadapi berbagai masalah yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor eksternal yang dirasakan dominan dalam pelaksanaan pengelolaan taman nasional adalah tekanan masyarakat dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan berupa flora dan fauna secara illegal. Kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar di satu pihak dan kepentingan konservasi di pihak lain mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan. Konflik kepentingan akan meningkat menjadi konflik terbuka jika harapan masyarakat tidak sejalan dengan pengelolaan taman nasional yang diterapkan oleh pemerintah.

Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dan menekan penggunaan kawasan yang bersifat eksploitatif oleh masyarakat perlu dicarikan jalan keluar dengan cara mengakomodir harapan-harapan masyarakat terhadap manfaat kawasan taman nasional. Menurut Mackinnon et al. (1993), ada 16 cara utama dimana kawasan yang dilindungi dapat memberi manfaat bagi masyarakat sekitar kawasan yaitu: 1) menstabilkan fungsi hidrologi, 2) melindungi tanah, 3) stabilitas iklim, 4) pelestarian sumberdaya pulih yang dapat dipanen, 5) perlindungan sumberdaya plasma nutfah, 6) pelestarian untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi dan keanekaragaman biologis, 7) pengembangan kepariwisataan, 8) menyediakan fasilitas rekreasi, 9) menciptakan kesempatan kerja, 10) menyediakan fasilitas bagi penelitian dan pemantauan, 11) menyediakan fasilitas pendidikan, 12) memelihara kualitas lingkungan hidup,13) keuntungan dari perlakuan khusus, 14) pelestarian nilai budaya dan tradisional, 15) keseimbangan alam lingkungan dan 16) nilai warisan dan kebanggaan regional.


(47)

19

2.4 Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengelolaan sumberdaya hutan termasuk satwaliar umumnya diarahkan atau identik dengan pengelolaan dari aspek ekologi, sedangkan aspek sosial terutama yang berhubungan dengan masyarakat sekitar hutan kurang mendapat perhatian. Hal tersebut telah berdampak pada sumberdaya hutan dan penurunan keragaman jenis akibat intervensi masyarakat ke dalam kawasan yang menimbulkan konflik, dengan demikian aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan termasuk pengelolaan konflik. Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004). Konflik adalah suatu situasi yang menunjukkan terjadinya penghilangan hak seseorang atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi konflik menurut (Malik et al. 2003) :

(a) Hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi, budaya (tingkah laku) dan cara berkomunikasi.

(b) Masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya, fisik, dan waktu), tata cara (sikap), dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan).

(c) Perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi dan menyajikan data.

(d) Pemaksaan nilai dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut data.

Alikodra (2009) menyatakan bahwa banyak alasan yang menjadi sumber konflik, misalnya konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan kehutanan, yang disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumberdaya hutan tidak ditampung dalam kegiatan kehutanan. Padahal status lahan dan kegiatan mereka telah dianut lama secara turun temurun dan tertuang dalam norma adat mereka.

Teori penyebab konflik lainnya yaitu teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia berupa fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan


(48)

20

(Fisher et al. 2001). Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah : membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak adanya kehidupan. Maka konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan yang dapat bersifat positif ataupun negatif. Aspek positif konflik muncul, ketika konflik membantu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalah fahaman. Konflik juga akan bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan statusquo, maka sebuah pendekatan kreatif muncul. Sebaliknya konflik dapat bersifat negatif jika diabaikan. Konflik yang tidak terselesaikan merupakan sumber kesalah fahaman, ketidak percayaan serta bias. Konflik menjadi buruk apabila menyebabkan semakin meluasnya hambatan-hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai pihak (Johnson dan Duinker 1993; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009).

Perbedaan dan pertentangan kepentingan seringkali terjadi dan muncul dalam pengalokasian sumberdaya dan pengambilan keputusan. Pertentangan ini seringkali merefleksikan perbedaan pandangan, ideologi, dan harapan. Hal tersebut merupakan tantangan bagi para pengelola lingkungan atau sumberdaya hutan untuk dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan tersebut serta mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak (Zen 1979; Mitchell et al. 2000, diacu dalam Alikodra 2009). Hal tersebut telah dilakukan di Australia dengan membangun suatu kesepakatan antara pemerintah dan stakeholders yang menyarankan aturan-aturan baru dalam pengambilan keputusan untuk jangka panjang dalam penyelesaian konflik keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam (Brown 2002).

Konflik sangat terkait dengan value (nilai) yang difahami oleh masyarakat terhadap sumberdaya dan lingkungannya. Value mereka apakah dilandasi oleh


(49)

21

pemahaman mereka terhadap ekologi dalam atau pemahaman ekonomi jangka pendek (Alikodra 2009). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwaliar. Pada kondisi tertentu konflik tersebut dapat merugikan semua pihak yang berkonflik. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwaliar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi. Kerugian yang umum terjadi akibat konflik diantaranya seperti rusaknya tanaman pertanian dan atau perkebunan serta pemangsaan ternak oleh satwaliar, atau bahkan menimbulkan korban jiwa manusia. Disisi lain tidak jarang satwaliar yang berkonflik mengalami kematian akibat berbagai tindakan penanggulangan konflik yang dilakukan ( Kepmenhut, No. P.48/Menhut-II/2008).

Dalam pelaksanaan penanggulangan konflik antara manusia dengan satwaliar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Manusia dan satwaliar sama-sama penting; konflik manusia dan satwaliar menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwaliar yang terlibat konflik.

2. Site spesific; secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau menyempitnya habitat satwaliar yang disebabkan salah satunya karena aktifitas pembukaan areal dan konversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri. Disamping itu, berkurangnya satwa mangsa (khsususnya untuk harimau) karena perburuan liar, juga sering menimbulkan konflik. Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi, dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pilihan kombinasi solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik. Solusi yang efektif di suatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya.


(50)

22

3. Tidak ada solusi tunggal; Konflik antara manusia dan satwaliar dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang komprehensif.

4. Skala lansekap; Satwaliar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based mitigation) .

5. Tanggungjawab multi pihak; Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah. Sehingga penanggulangan konflik antara manusia dan satwaliar ini harus melibatkan berbagai pihak yang terkait termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk berbagi tanggungjawab.

Beberapa contoh tahapan yang harus dilakukan dalam menghadapi konflik satwaliar harimau dan manusia di Sumatra (Tilson et al. 1994), diacu dalam (Nyhus & Tilson 2004 ) adalah: 1. Pengumpulan data observasi dan test hipotesis; 2. Diskusi antara stakeholders terkait dan 3. Jika terjadi konflik harus langsung direspons misalnya dengan translokasi, pemanfaatan dan menjinakkannya.

2.5 Manajemen Kolaboratif

Gagasan dasar pengelolaan kolaboratif adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumberdaya, lembaga non pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumberdaya. Hubungan kemitraan dalam pengelolaan disebut sebagai co-management (IUCN 1997 dalam Resolusi 142 Tahun 1996).

Manajemen kolaboratif merupakan terjemahan dari istilah collaborative management. (Marshall 1995, diacu dalam Tajudin 2000) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang tinggi (nilai positif). Kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang menghasilkan situasi ”menang-menang” dan sama sekali tidak mempertimbangkan suatu keputusan atau kesepakatan yang bersifat zero-sum (kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangkan alokasi


(51)

23

sumberdaya langka). Manajemen kolaboratif didefinisikan sebagai bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholders secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholders sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama (Tajudin 2000). Co-management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholders bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggung jawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholders adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan (Borrini-Feyerabend et al. 2000).

Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan bahwa pengelolaan kolaboratif adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok yang mempunyai keterkaitan atau kepentingan dengan sumberdaya tersebut, sehingga dapat mengatasi kerusakan yang menjadi penyebab konflik. Dikemukakan pula bahwa ada tiga elemen penting dari pengelolaan kolaboratif yaitu:

1. Pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya berdasarkan rencana yang dipahami dan disetujui oleh semua pihak.

2. Tujuan sosial, budaya, dan ekonomi merupakan bagian yang terintegrasi dari strategi pengelolaan.

3. Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya merupakan tujuan utama.

Partisipasi penuh dari masyarakat akan menentukan keberhasilan co-management. Pemberian insentif, kepercayaan dan penguatan kelembagaan dan kepedulian masyarakat serta institusi akan mendukung keberlanjutan sumberdaya alam (Rodgers et al. 2002). Co-management dapat meningkatkan produktivitas sumber-sumber dan kreasi dari kondisi yang ada untuk memacu pengembangan masyarakat (Bowen 2005). Co-management merupakan pengembangan lapangan dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi .

Pada dasarnya tujuan utama yang ingin dicapai dari setiap pelaku dalam pengelolaan sumberdaya melalui co-management adalah pengelolaan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Tujuan utama tersebut menjadi


(52)

24

lebih konkrit dan lebih nyata ukuran keberhasilannya bila dikaitkan dengan beberapa tujuan sekunder sebagai berikut :

1) Co-management merupakan suatu cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif

2) Co-management adalah mekanisme atau cara untuk mengurangi konflik masyarakat melalui proses demokrasi partisipatif

3) Co-management mempunyai tugas-tugas dalam hal perumusan kebijakan, estimasi potensi sumberdaya, penentuan hak-hak pemanfaatan, pengendalian dan penegakan hukum

Co-management adalah suatu kesepakatan dimana tanggung jawab pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan stakeholders di sisi lain dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam (National Round Table on the Environment and the Economy / NRTEE 1999). Prinsip dasar Co-management yaitu: 1) perberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan transparans, 6) pelestarian lingkungan sumberdaya, 7) pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe 2003).

Tanggung jawab dan wewenang masing-masing pihak menentukan tipe atau bentuk kolaborasi yang dianut. Dalam hal ini, kerjasama merupakan inti dari co-management. Dari beberapa praktek yang telah dilakukan, secara hirarki co-management dapat ditentukan sebagai berikut Sen dan Nielsen (1996), diacu dalam Nikijuluw (2002) :

1. Instruktif. Dalam bentuk ini tidak banyak informasi yang saling ditukarkan diantara pemerintah dan masyarakat. Hanya sedikit dialog antar kedua pihak namun proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu instruksi karena pemerintah lebih dominan peranannya, dimana pemerintah menginformasikan kepada masyarakat rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya alam yang pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan.


(1)

Lampiran 12 Matrik SWOT pengembangan tanaman obat dan buah

FAKTOR INTERNAL

FAKTOR EKSTERNAL

Kekuatan (S) S1SDM cukup memadai S2Status kawasan

berkekuatan hukum S3Potensi SDA cukup

tinggi di zona pemanfaatan

S4Teknologi/pengalaman memadai

S5Kewenangan pemangku kawasan

Kelemahan (W) W1 Perencanaan jangka

panjang belum tersedia W2 Koordinasi rendah W3 Dana terbatas W4 Perbedaan persepsi

tentang pelestarian banteng

W5 Sapras belum memadai

Peluang (O) O1 Dukungan dari sektor

lain dan Pemda O2 Pasar cukup potensial O3 Dukungan budaya

masyarakat

O4 Akses ke lokasi tersedia O5 Kelembagaan

masyarakat berfungsi

Strategi (SO) 1. Pengembangan

pemanfaatan potensi SDA yang ada dan didukung oleh pasar, budaya, kelembagaan masyarakat serta dukungan sektor lain di zona pemanfaatan (S1, S3,O1,O2, O4) 2. Kerja sama dengan sektor

lain untuk pengembangan tanaman obat dan buah melalui teknologi dan SDM yang ada (S1,S5,O1,O3,O5) 3. Diversivikasi tanaman

agroforestri dengan tanaman obat dan buah potensial

(S3,S6,O2,O3)

Note : Strategi terpilih

Strategi (WO) 1. Meningkatkan koordinasi

dengan Pemda

memanfaatkan dukungan sektor lain, budaya dan kelembagaan masyarakat (W2,W4,O1,O3,O5) 2. Meningkatkan

ketersediaan dana dan sapras untuk

meminimalkan ancaman yang terjadi

(W2,W4,O3,O5)

Ancaman (T) T1 Perambahan kawasan TN T2 Perburuan satwa banteng T3 Sosek masyarakat sekitar TN rendah dan dinamika kependudukan

T4 Perubahan penataan ruang daerah penyangga di luar TN

T5 Infasif spesies flora

Strategi (ST) 1. Melaksanakan teknik

pengamanan kawasan bersama masyarakat melalui pengembangan tanaman obat

(S1,S4,S5,T1,T2,T5) 2. Membuat demplot

perhutanan sosial, tanaman obat yang didukung teknologi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat (S1,S4,S5,S6,T3)

Strategi (WT) 1. Meningkatkan koordinasi

dan membangun

penyediaan sapras untuk meminimalkan ancaman yang terjadi.

(W2,W3,W5,T1,T5) 2. Diversivikasi tanaman

agroforestri dengan tanaman obat potensial.


(2)

Lampiran 13

Stakeholders

terkait dalam manajemen kolaboratif banteng dan peluang kontribusinya di TNAP dan TNMB

No. Kelompok Stakeholders Karakteristik Problem, Kepentingan, Peluang

Keterlibatan Potensi Keterlibatan Dalam Program

1. • Lokasi : TNMB Player : TNMB • Lokasi : TNAP Player : TNAP

‐ Mempunyai otoritas legalitas penuh dalam pengelolaan banteng di kawasan TN.

‐ Bertanggung jawab pada kinerja pengelola TN termasuk pengelolaan banteng.

‐ Rencana jangka panjang dalam mengimplementasikan fungsi penelitian, pendidikan dan wisata dari TN belum tersusun.

‐ Harus mampu menjaga keberlangsungan

pembangunan jangka panjang dengan pengelolaan banteng yang lestari serta dapat mengakomodir keperluan stakeholder.

‐ Kepentingan dalam pengelolaan banteng karena merupakan tupoksi dalam instansi.

‐ Kewenangan yang legal dan besar dalam pengelolaan banteng.

‐ Dukungan dana.

‐ Dukungan SDM.

‐ Kemampuan untuk melaksanakan koordinasi, integrasi, sinergis dan sinkronisasi dengan pihak-pihak lain.

Leader dalam manajemen kolaboratif dalam menekan konflik banteng dengan masyarakat.

‐ Menerapkan semua fungsi manajemen yaitu

Planning, Actuating, Organizing dan Controlling.

2. • Lokasi : TNMB Player : LSM KAIL

‐ Cukup lama aktif dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat dengan tujuan peningkatan kessejahteraan masyarakat serta kelestarian banteng.

‐ Bergerak dalam bidang konservasi.

‐ Belum ada jaminan jangka waktu keberadaan mereka di lokasi TN.

‐ Melaksanakan fungsi

konservasi dan pemberdayaan masyarakat.

‐ Mempunyai potensi dan

pengalaman dalam pendampingan terhadap masyarakat.

‐ Lebih mudah dalam menerima program pengelolaan kolaborasi guna menekan konflik banteng dengan masyarakat.

Partner utama TN dalam mendukung program-program di tingkat lapangan.

• Lokasi : TNAP Player : Perum Perhutani

‐ Perum Perhutani sebagai pemangku /pengelola hutan tanaman orientasinya pada

‐ Tidak memiliki Tupoksi khusus yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan banteng, tetapi

‐ Dapat menyediakan kawasan yang dimanfaatkan oleh banteng, dan dapat melaksanakan kebijakan Kementerian

‐ Menyediakan kawasannya sebagai zona penyangga TNAP dan berfungsi sebagai koridor habitat


(3)

keuntungan, karena perusahaan merupakan BUMN harus ada perhatian pada aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan melalui

pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan Perusahaan nya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

dapat dilibatkan dalam konservasi banteng.

Kehutanan karena Perum Perhutani merupakan BUMN Kementerian Kehutanan

banteng.

3. Aktor:

• TNMB:Perkebunan • TNAP : LSM KAIL

‐ Tidak terkait langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan banteng namun terkena dampak langsung dari pengelolaan banteng karena lokasinya yang berbatasan dengan TN.

‐ LSM aktif dalam pendampingan kegiatan PHBM di zona eks penyangga TNAP

‐ Menerima kerugian karena banteng menjadikan areal perkebunan sebagai habitat banteng dan merusak tanaman perkebunan.

‐ Kurang berpengaruh dalam mengintervensi rencana pengelolaan banteng.

‐ Kepentingan dalam pengelolaan banteng karena ingin keamanan dalam pengembangan perkebunannya.

‐ Mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam memotivasi

masyarakat sekitar kawasan untuk mendukung program pengelolaan banteng,, khususnya masyarakat yang bekerja sebagai buruh di perkebunan.

‐ Dapat membantu secara tidak langsung dalam program yang disusun seperti melakukan propaganda atau penyediaan dana untuk perbaikan lingkungan.

‐ Pendukung yang potensial dalam keberhasilan pelaksanaan program/ kegiatan yang ada di TN.

4. Subyek :

Masyarakat sekitar hutan

‐ Sebagai pihak pertama yang terkena dampak pengelolaan banteng.

‐ Perlu pemberdayaan dari pihak stakeholder lain.

‐ Rendahnya mutu SDM dan tingkat kesejahteraan.

‐ Berharap pengelolaan banteng dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

‐ Meningkatkan kepedulian lingkungan.

‐ Pengetahuan dan keberadaan masyarakat di sekitar kawasan TN mempunyai potensi untuk terlibat dalam pengelolaan banteng.

‐ Pihak pertama yang akan berpartisipasi dan terlibat secara aktif dalam mensukseskan program-program / kegiatan yang disusun.

Sumber : Mod pedoman pembangunan model MDM Perdirjen RLPS, 2009


(4)

Lampiran 14

Stakeholders

pendukung pengelolaan TNAP dan TNMB tahap pengembangan program kegiatan

No.

Kelompok

Stakeholders

Karakteristik

Problem, Keperluan, Peluang

Keterlibatan

Potensi

Keterlibatan Dalam Program

1. BBIB

‐ Punya kewenangan / legalitas dalam

pengembangan budidaya dan peningkatan genetik ternak melalui teknologi inseminasi buatan.

‐ Belum ada kerjasama dalam program pemanfaatan genetik satwaliar.

‐ Peningkatan kualitas genetik ternak Sapi Bali.

‐ SDM

‐ Teknologi

‐ Dana

‐ Mitra dalam pengembangan pemanfaatan genetik satwa banteng dan fungsi litbang pada kegiatan di TN.

2 Dinas

Peternakan

‐ Kewenangan dalam melaksanakan inseminasi buatan ternak sesuai wilayah kerja

‐ Belum pernah melakukan untuk satwa banteng, tetapi jika diberi kewenangan mampu untuk melakukan IB sapi bali dengan banteng

‐ SDM

‐ Teknologi

‐ Mitra dalam melakukan peningkatan genetik sapi bali melalui IB dengan banteng

3 Dinas

Pertanian dan

Dinas

kehutanan

‐ Kewenangan dalam melakukan penyuluhan tentang tanaman pertanian dan kehutanan

‐ Sudah mulai dilakukan pada masyarakat sekitar kawasan Taman nasional, tetapi pada masyarakat yang bertani pada zona rehabilitasi TN belum

‐ SDM

‐ Teknologi

‐ Mitra dalam meningkatkan teknologi pertanian seperti pemilihan jenis dan peningkatan produktivitas


(5)

Lampiran 15 Daftar Isi Disertasi

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Kerangka

Pemikiran

1.3. Rumusan

Masalah

1.4. Hipotesis

Penelitian

1.5. Tujuan

Penelitian

1.6. Manfaat Penelitian Yang Diharapkan

1.7. Novelty

(Kebaruan)

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Bioekologi Banteng

2.2. Taman

Nasional

2.3. Masyarakat Sekitar Taman Nasional

2.4. Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

2.5. Manajemen

Kolaboratif

2.6. Pembangunan

Berkelanjutan

2.7. Analisis

Kebijakan

2.8.

Analysis Hierarchy Process

(AHP)

2.9. Analysis

SWOT

2.10. Contoh Penyelesaian Konflik dengan Co-management di Luar Negeri

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2. Batasan

Studi

3.3. Jenis dan Sumber Data

3.4. Cara Pengumpulan Data

3.5. Teknik Pengambilan Sampel Responden

3.6. Analisis

Data

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kawasan Taman Nasional Alas Purwo

4.2. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri


(6)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Dukungan Habitat Banteng di Dalam dan di Luar Kawasan TN

Alas Puro dan TN Meru Betiri

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan TNAP dan

TNMB

5.3. Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder terhadap Konservasi

Taman Nasional dan Banteng

5.4. Manajemen

Kolaborasi

dalam

Upaya Konservasi Banteng

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

6.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN