Pendudukan Jepang
139 4. Cuo Sangi In Badan Pertimbangan Pusat
Ketika pemerintahan Jepang berada di tangan Perdana Menteri Toyo, Jepang pernah memberi janji merdeka kepada Filipina dan Burma, namun tidak melakukan hal yang sama
kepada Indonesia. Oleh karena itu, kaum nasionalis Indonesia protes. Menanggapi protes tersebut, PM Toyo lalu membuat kebijakan berikut.
a. Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat Cuo Sangi In. b. Pembentukan Dewan Pertimbangan Karesidenan Shu Sangi Kai atau daerah.
c. Tokoh-tokoh Indonesia diangkat menjadi penasihat berbagai departemen. d. Pengangkatan orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan organisasi resmi lainnya.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pada tanggal 5 September 1943, Kumakichi Harada
mengeluarkan Osamu Serei No. 36 dan 37 Tahun 1943 tentang pembentukan Cuo Sangi In dan Shu
Sangi Kai. Cuo Sangi In yang berada di bawah pengawasan Saiko Shikikan Pemerintahan Tentara
Keenambelas bertugas menjawab pertanyaan Saiko Shikikan dalam hal politik dan pemerintah.
Cuo Sangi In juga berhak mengajukan usul kepada Saiko Shikikan. Rapat-rapat Cuo Sangi In mem-
bahas pengembangan pemerintah militer, mempertinggi derajat rakyat, penanganan pendidikan dan penerangan, masalah ekonomi dan industri, kemakmuran dan bantuan
sosial, serta kesehatan.
Keanggotaan Cuo Sangi In terdiri atas 43 orang, yaitu 23 orang diangkat oleh Saiko Shikikan, 18 orang dipilih oleh anggota Shu Sangi Kai, dan dua orang anggota yang
diusulkan dari daerah Surakarta dan Yogyakarta. Anggota Cuo Sangi In dilantik pada tanggal 17 Oktober 1943 dengan ketua Ir. Soerkarno, serta wakilnya dua orang, yaitu
M.A.A. Kusumo Utoyo dan Dr. Boentaran Martoatmodjo. Cuo Sangi In dibentuk dengan tujuan agar ada perwakilan, baik bagi pihak Jepang maupun pihak Indonesia. Namun, agar
tidak dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa Indonesia, Cuo Sangi In mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Jepang.
Dilihat dari segi perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan, keberadaan Cuo Sangi In memang tidak berarti banyak. Akan tetapi, keberadaan lembaga
ini berguna bagi pertambahan wawasan pengalaman kaum nasionalis Indonesia.
5. Majelis Islam Alaa Indonesia MIAI
MIAI merupakan organisasi yang berdiri pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya adalah K. H. Mas Mansyur dan kawan-kawan.
Organisasi ini tetap diizinkan berdiri pada masa pendudukan Jepang sebab merupakan gerakan anti-Barat dan hanya bergerak dalam bidang amal sebagai baitulmal serta
penyelenggaraan hari-hari besar Islam saja. Meskipun demikian, pengaruhnya yang besar menyebabkan Jepang merasa perlu untuk membatasi ruang gerak MIAI.
Sumber: Sejarah Nasional Indonesia
Gambar 6.4 Sidang Cuo Sang In
Di unduh dari : Bukupaket.com
140
Cakrawala Sejarah SMAMA Kelas XI IPS
Pada awal pendudukan, Jepang membentuk Bagian Pengajaran dan Agama
yang dipimpin oleh Kolonel Horie. Ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah
pemuka agama di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, Horie meminta agar
umat Islam tidak melakukan kegiatan- kegiatan yang bersifat politik. Permintaan
ini disetujui oleh peserta pertemuan tersebut yang kemudian membuat pernyataan sikap
di akhir pertemuan. Pada akhir Desember 1942, hasil pertemuan di Surabaya itu ditingkatkan dengan mengundang 32 orang kiai di seluruh Jawa Timur untuk menghadap Letnan
Jenderal Imamura dan Gunseikan, Mayor Jenderal Okasaki. Dalam pertemuan tersebut, Gunseikan menyatakan bahwa Jepang akan tetap menghargai Islam dan akan
mengikutsertakan golongan Islam dalam pemerintahan.
Pemerintah militer Jepang memilih MIAI sebagai satu-satunya wadah bagi organisasi gabungan golongan Islam. Akan tetapi, organisasi ini baru diakui oleh Jepang setelah
mengubah anggaran dasarnya, khususnya mengenai asas dan tujuannya. Pada asas dan tujuan MIAI ditambahkan kalimat: ... turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam
pekerjaan membangun masyarakat baru untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon.
Sebagai organisasi tunggal golongan Islam, MIAI mendapat simpati yang luar biasa dari kalangan umat Islam sehingga organisasi ini berkembang semakin maju. Melihat
perkembangan ini, Jepang mulai merasa curiga. Tokoh-tokoh MIAI di berbagai daerah mulai diawasi. Untuk mengantisipasi agar gerakan para pemuka agama Islam tidak
menjurus pada kegiatan yang berbahaya bagi Jepang, diadakan pelatihan para kiai. Para kiai yang menjadi peserta pelatihan tersebut dipilih berdasarkan syarat-syarat memiliki
pengaruh yang luas di lingkungannya dan mempunyai watak yang baik. Pelatihan tersebut berlangsung di Balai Urusan Agama di Jakarta selama satu bulan.
Namun, keterbatasan kegiatan MIAI justru dirasakan kurang memuaskan bagi Jepang sendiri. Pada bulan Oktober 1943, MIAI secara resmi dibubarkan dan diganti dengan
organisasi baru, yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi. Organisasi ini disahkan oleh Gunseikan pada tanggal 22 November 1943. Susunan kepengurusan
Masyumi adalah ketua pengurus besar dipegang oleh K.H. Hasyim Asyari, wakil dari Muhammadiyah adalah K.H. Mas Mansur, K.H. Farid Maruf, K.H. Mukti, K.H. Hasyim,
dan Kartosudarmo. Adapun wakil dari NU adalah K.H. Nachrowi, Zainul Arifin, dan K.H. Mochtar.
Inskripsi
Setelah penyikapan selama beberapa waktu terhadap perkembangan MIAI, Jepang berkesimpulan bahwa para
kiai tidak membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang mengizinkan berdirinya
dua organisasi besar Islam yang lain, yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini berdiri
pada bulan September 1943 dengan kegiatan berpusat pada kerohanian dan sosial.
Di unduh dari : Bukupaket.com
Pendudukan Jepang
141
D. Reaksi Kaum Pergerakan Nasional terhadap Jepang