Tinjauan Pustaka LANDASAN TEORI

8

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pajak Telah banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang definisi atau pengertian pajak. Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H dalam Mardiasmo 2011:1, “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Sedangkan menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani dalam buku Konsep Dasar Perpajakan 2013:34, sebagai berikut “Belasting, de befing, wear doorde overhe;d zich door middle van juridische dwangmiddelen verchaft, om de publieke butt gaven te bestriden, zulke zonder engine prestatie daartegonover te stellen. ” Pengertian tersebut diartikan dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut: “Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. Pengertian pajak menurut dua tokoh tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi pajak yang tertuang dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terbaru Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1, “Pajak adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ” Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak: 1 iurankontribusi rakyat kepada negara, 2 dipungut berdasarkan Undang-undang, 3 tidak adanya kontrapestasi secara langsung, 4 diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran negara secara umum untuk kemakmuran rakyat. 2. Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, menurut Waluyo 2010:6 terlihat adanya dua fungsi pajak, yaitu Fungsi penerimaan Budgeter dan Fungsi mengatur Reguler. Fungsi penerimaan berarti pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh : dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. Fungsi Mengatur berarti pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh : dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. 3. Sistem Pemungutan Pajak Negara memerlukan sistem pemungutan pajak yang baik agar pemungutan pajak dapat dijalankan dengan optimal. Menurut Waluyo 2010:17 sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Official Assesment System, Self Assesment System , dan Withholding System. Official Assesment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri sistem ini adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus, wajib pajak bersifat pasif, dan utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. Self Assesment System merupakan pengutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Withholding System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 4. Hambatan Pemungutan Pajak Pajak tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat cenderung menganggap pajak sebagai beban yang akan mengurangi pendapatan mereka. Penghindaran atau perlawanan terhadap pajak dapat menjadi hambatan dalam memungut pajak yang dapat mengakibatkan berkurangnya penerimaan perpajakan Negara. Menurut Mardiasmo 2011:8-9 dalam usaha untuk memungut pajak terdapat dua bentuk hambatan, yaitu 1 Perlawanan Pasif dan 2 Perlawanan Aktif. Perlawanan pasif ditandai dengan masyarakat yang enggan untuk membayar pajak yang dapat disebabkan oleh : perkembangan intelektual dan moral, sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami oleh masyarakat, dan sistem kontrol tidak terlaksana dengan baik. Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan oleh fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuk perlawanan aktif antara lain : a Tax avoidance, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat dikenakan pajak. b Tax evasion, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar Undang-Undang menggelapkan pajak. c Melalaikan pajak, yaitu menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi ketentuan formal yang harus dipenuhi, misalnya dengan cara menghalangi proses penyitaan. 5. Wajib Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 jo Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 16 Tahun 2009, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak memiliki beberapa hak dan kewajiban seperti yang dirangkum Mardiasmo 2011:56-57. Hak yang dimiliki Wajib Pajak antara lain: a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding. b. Menerima tanda bukti pemasukan SPT. c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan. d. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT. e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak. f. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak. g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak. h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan surat ketetapan pajak yang salah. i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. j. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak. Kewajiban Wajib Pajak antara lain: a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP. b. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak PKP. c. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar. d. Mengisi dengan benar SPT dan memasukkan ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan. e. Menyelenggarakan pembukuanpencatatan. f. Jika diperiksa wajib: 1 Memperlihatkan danatau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. 2 Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. 3 Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan ini ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6. Nomor Pokok Wajib Pajak a. Pengertian Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 Angka 1, setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakaan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomo Pokok Wajib Pajak. Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 sembilan digit pertama merupakan kode Wajib Pajak dan 6 enam digit berikutnya merupakan kode administrasi perpajakan. NPWP berfungsi : a Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, b Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP. b. Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perpajakan berdasarkan self assessment system, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotonganpemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah: 1 Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 satu bulan setelah saat usaha mulai dijalankan. 2 Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri paling lambat akhir bulan berikutnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan dikenakan sanksi perpajakan. 7. Pembayaran Pajak Setelah Wajib Pajak menghitung jumlah pajak yang terutang, Wajib pajak harus melakukan pembayaranpenyetoran pajak yang terutang menggunakan Surat Setoran Pajak SSP. Adapun yang dimaksud dengan Surat Setoran Pajak SSP adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank BUMN atau BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Direktorat Jenderal Pajak tidak dibenarkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak. Batas waktu pembayaranpenyetoran Pajak Penghasilan Tahunan Orang Pribadi paling lambat bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir sebelum SPT disampaikan. Dalam hal tanggal pembayaran atau penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari libur yaitu hari Sabtu dan cuti bersama, pembayaran atau penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pemotongpemungut Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, atau 26 harus memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi yang dipotong atau dipungut. Khusus untuk karyawan atau pegawai tetap, hanya diberikan buti pemotongan tahunan selambat-lambatnya 2 dua bulan setalah tahun takwim berakhir. Pembayaran yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 dua persen per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 satu bulan. 8. Surat Pemberitahuan SPT a. Pengertian Sesuai dengan Self Assesment System yang dianut di Indonesia, Wajib Pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang sendiri ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Penyampaian Surat Pemberitahuan SPT merupakan bentuk pertanggungjawaban atas kewajiban perpajakan yang telah dipenuhinya dalam suatu Masa Pajak atau Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak dalam sistem tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Surat Pemberitahuan SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak danatau bukan objek pajak, danatau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Pembetulan Surat Pemberitahuan 1 Pembetulan SPT sebelum jangka waktu 2 tahun, sebelum dilakukan pemeriksaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sesuai dengan Pasal 8 ayat 1 UU KUP, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Pmbetulan SPT harus disampikan paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan. Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 perbulan atas jumlah ajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 satu bulan. 2 Pembetulan SPT setelah jangka waktu 2 tahun Pasal 8 ayat 4 UU KUP mengatur bahwa walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan dengan syarat DJP belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya yang dapat mengakibatkan: a pajak-pajak yang harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil; b rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar; c jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; d jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50 dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. 9. Pengampunan Pajak Pengampunan pajak atau yang sering disebut tax amnesty dalam Rahayu 2010:138 merupakan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan membayar tebusan dalam jumlah tertentu yang bertujuan untuk memberikan penambahan penerimaan pajak dan kesempatan bagi Wajib Pajak yang tidak patuh menjadi Wajib Pajak patuh. Tax amnesty diharapkan akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak di masa yang akan datang. Selain itu, pengampunan pajak diharapkan menghasilkan penerimaan pajak yang selama ini belum atau kurang dibayar, di samping meningkatkan kepatuhan membayar pajak karena makin efektifnya pengawasan karena semakin akuratnya informasi mengenai daftar kekayaan Wajib Pajak. Terdapat empat jenis amnesti pajak, antara lain: a. Amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak, termasuk bunga dan dendanya, dan hanya mengampuni sanksi pidana perpajakan. Tujuannya adalah untuk memungut pajak tahun-tahun sebelumnya, sekaligus menambah jumlah wajib pajak terdaftar. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI b. Amnesti yang mewajibkan pembayaran pokok pajak masa lalu yang terutang berikut bunganya, namun mengampuni sanksi denda dan sanksi pidana pajaknya. c. Amnesti yang tetap mewajibkan pembayaran pokok pajak yang lama, namun mengampuni sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidana pajaknya. d. Bentuk amnesti yang paling longgar karena mengampuni pokok pajak di masa lalu, termasuk sanksi bunga, sanksi denda, dan sanksi pidananya. Tujuannya adalah untuk menambah jumlah wajib pajak terdaftar, agar ke depan dan seterusnya mulai membayar pajak. Sawyer menyebutkan beberapa tipe tax amnesty, yaitu: a. Filling amnesty: pengampunan yang diberikan dengan menghapuskan sanksi bagi Wajib Pajak yang terdaftar namun tidak pernah mengisi SPT non-filers, pengampunan diberikan jika mereka mau mulai untuk mengisi SPT. b. Record-keeping amnesty: memberikan penghapusan sanksi untuk kegagalan dalam memelihara dokumen perpajakan di masa lalu, pengampunan diberikan jika Wajib Pajak untuk selanjutnya dapat memelihara dokumen perpajakannya. c. Revision amnesty: Ini merupakan suatu kesempatan untuk memperbaiki SPT di masa lalu tanpa dikenakan sanksi atau diberikan pengurangan sanksi. Pengampunan ini memungkinkan Wajib Pajak untuk memperbaiki SPT-nya yang terdahulu yang menyebabkan adanya pajak yang masih harus dibayar dan membayar pajak yang tidak missing atau belum dibayar outstanding. Wajib Pajak tidak akan secara otomatis kebal terhadap tindakan pemeriksaan dan penyidikan. d. Investigation amnesty: Pengampunan yang menjanjikan tidak akan menyelidiki sumber penghasilan yang dilaporkan pada tahun-tahun tertentu dan terdapat sejumlah ”uang pengampunan” amnesty fee yang harus dibayar. Pengampunan jenis ini juga menjanjikan untuk tidak akan dilakukannya tindakan penyidikan terhadap sumber penghasilan atau jumlah penghasilan yang sebenarnya. Pengampunan ini sering dikenal dengan pengampunan yang erat dengan tindak pencucian laundering amnesty . e. Prosecution amnesty: Pengampunan yang memberikan penghapusan tindak pidana bagi Wajib Pajak yang melanggar undang-undang, sanksi dihapuskan dengan membayarkan sejumlah kompensasi. 10. Kepatuhan Wajib Pajak Self Assessment System yang diterapkan di Indonesia menuntut peran aktif Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal ini menjadikan kepatuhan pajak sebagai hal yang sangat penting dalam mewujudkan keberhasilan penerimaan pajak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Rahayu 2010:138, istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa Kepatuhan Perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Rahayu 2010:138 dalam bukunya mengungkapakan dua macam kepatuhan, yaitu 1 Kepatuhan Formal dan 2 Kepatuhan Material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Kepatuhan Material adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak secara substantive atau hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Kepatuhan Material dapat juga meliputi Kepatuhan Formal. Sebagai contoh, ketentuan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh WPOP adalah tanggal 31 Maret. Apabila Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan PPh WPOP sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka Wajib Pajak tersebut telah memenuhi Kepatuhan Formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi Kepatuhan Material. Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar SPT sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke Kanor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu terakhir. Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam Rahayu 2010:138 sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perpajakan. 2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. 3. Menghitung jumlah pajak yang terhutang dengan benar. 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Otto sebagaimana dikutip oleh Caizhi Nasucha 2004, indikator kepatuhan Wajib Pajak ditunjukkan oleh tren : 1. Pendaftaran registration. Registrasi ditunjukkan oleh banyaknya individu yang mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk yang ada. 2. Pembayaran payment. Pembayaran menggambarkan tren dari penyetoran pajak yang tepat waktu, presisi dengan dengan dasar pajaknya dan penyetoran per jenis wajib pajak. 3. Pelaporan filing. 4. Keakuratan laporan correct reporting. Keakuratan laporan menggambarkan kebenaran dari setiap laporan wajib pajak yang dapat dibandingkan dengan kegiatan jenis usaha tertentu dan efektivitas tarif pajak yang dibayar berdasarkan penghasilan yang diterima. Menurut Chaizi Nasucha dalam Rahayu 2010:138, kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari : kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, serta kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di suatu negara. Kepatuhan yang mendasar dari pemenuhan kewajiban pelaporan dan pembayaran oleh wajib pajak merupakan salah satu tanda efektifnya kebijakan pajak yang sedang dijalankan. 11. Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015 Dalam rangka melakukan pembinaan Wajib Pajak dan untuk mendorong Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan, membayar atau menyetorkan kekurangan pembayaran pajak dalam Surat Pemberitahuan, serta melaksanakan pembetulan Surat Pemberitahuan di tahun 2015 sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan membangun basis perpajakan yang kuat, diperlukan adanya instrument kebijakan di bidang perpajakan. Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran Atau Penyetoran Pajak Sebagaimana diketahui bersama, tindakan menyembunyikan diri dari kewajiban perpajakan dan tindakan tidak melaporkan SPT serta tidak membayar menyetor adalah melawan hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 39 ayat 1 huruf a, huruf c, dan huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan KUP: ”Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 6 enam tahun dan denda paling sedikit 2 dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar ”. Pada Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak DJP mengimbau seluruh lapisan masyarakat yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, sekaligus untuk mendapatkan NPWP, guna menghindari sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak DJP memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi Wajib Pajak yang belum melaporkan Surat Pemberitahuan SPT atas Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya serta Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya, untuk menyampaikan SPT tersebut dengan insentif pembebasan sanksi administrasi. 12. Pelaksanaan Kebijakan Penghapusan Sanksi Pajak Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Sanksi Administrasi dalam hal Sanksi Administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Sanksi Administrasi yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya terbatas atas: a. keterlambatan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya danatau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; b. keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya; PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI c. keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; danatau d. pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya danatau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, yang dilakukan pada tahun 2015. Sanksi Administrasi yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya dapat dihapuskan atau dikurangkan melalui mekanisme yang diatur bedasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91PMK.032015 Pasal 4, yaitu sebagai berikut : 1 Dalam rangka mendapatkan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. 2 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. 1 satu permohonan untuk 1 satu Surat Tagihan Pajak; b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; c. ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan, dan tidak dapat dikuasakan; dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI d. disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 3 Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dilampiri dokumen berupa: a. surat pernyataan yang menyatakan bahwa keterlambatan penyampaian SPT, keterlambatan pembayaran pajak, dan atau pembetulan SPT dilakukan karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan dan ditandatangani di atas meterai oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan; b. fotokopi SPT atau SPT pembetulan yang disampaikan atau print- out SPT atau SPT pembetulan berbentuk dokumen elektronik yang disampaikan; c. fotokopi bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai bukti penetimaan penyampaian SPT atau SPT pembetulan; d. fotokopi Surat Setoran Pajak atau sarana adtninistrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak terutang yang tercantum dalam SPT Masa atau bukti pelunasan kekurangan pajak yang tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau bukti pelunasan pajak yang kurang dibayar yang tercantum dalam SPT pembetulan; dan e. fotokopi Surat Tagihan Pajak 4 Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3, terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Sanksi Adminifitrasi dalam Surat Tagihan Pajak belum dibayar oleh Wajib Pajak; atau b. Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak sudah dibayar sebagian oleh Wajib Pajak. 5 Dalam hal Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak telah diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak,yang dilakukan melalui potongan SPM dan atau transfer pembayaran, Sanksi Administrasi dalam Surat Tagihan Pajak dianggap belum dibayar oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 4. 6 Permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 dua kali. 7 Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi yang kedua, permohonan tersebut harus diajukan setelah surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim. 8 Permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat 7 tetap diajukan terhadap Surat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tagihan Pajak yang telah diterbitkan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak. 9 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sampai dengan ayat 5 berlaku juga untuk permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi yang kedua.

B. Penelitian Terdahulu

Dokumen yang terkait

Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Atas Sanksi Perpajakan Dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Di KPP Pratama Bandung Cibeunying

4 45 141

PENGARUH KESADARAN WAJIB PAJAK DAN SANKSI PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DI KPP PRATAMA MEDAN PETISAH.

4 32 36

Pengaruh Sanksi Perpajakan, Kesadaran Wajib Pajak, dan Kualitas Pelayanan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Di KPP Pratama Cianjur).

0 11 26

Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi Kasus KPP Pratama di Cirebon).

6 18 19

Pengaruh Kepemilikan NPWP, Pengetahuan Wajib Pajak, dan Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi Kasus pada KPP Pratama Bandung Bojonagara).

1 1 26

Pengaruh Pelayanan Fiskus dan Sanksi Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Bandung Tegallega.

0 1 25

PENGARUH PENGETAHUAN TENTANG PAJAK, SANKSI PAJAK, DAN PEMERIKSAAN PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAKDI KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016.

0 0 202

PENGARUH MOTIVASI MEMBAYAR PAJAK DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2015.

5 10 141

PENGARUH PENGETAHUAN TAX AMNESTY, KESADARAN WAJIB PAJAK, DAN SANKSI PERPAJAKAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI (Studi Kasus pada Wajib Pajak Orang Pribadi di Wilayah KPP Pratama Surabaya Genteng)

0 0 18

PENGARUH PELAYANAN PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI Studi Kasus di KPP PRATAMA YOGYAKARTA SKRIPSI

0 0 100