Tampilan Kekerasan Dalam Film (Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film“The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

(1)

Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu

Komunikasi Disusun Oleh :

EZZY AUGUSTA MUTIARA 0809040104

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Ezzy Augusta Mutiara

NIM : 080904104

Judul Skripsi : Tampilan Kekerasan Dalam Film

(Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

Pembimbing Ketua Departemen

Yovita Sabarina Sitepu. M.Si Fatma Wardy Lubis, M.A 198011072006042002 196208281387012001

Dekan FISIP USU

Prof. Drs. Badaruddin, M.Si 196805251992031002


(3)

Esa atas segala berkat dan karunianya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tampilan Kekerasan Dalam Film (Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orangtua yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tak ternilai harganya, yaitu Yudha Putra Bachri dan Binariyanti Sembiring, kakek dan nenek penulis, yaitu Rasta Sembiring dan Rosanna Bangun, tunangan penulis, yaitu C. Tony Susanto, dan semua orang yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Selama masa kuliah sampai penyelesaian skripsi ini, penulis juga banyak mendapat dukungan, bimbingan, maupun bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi serta Ibu Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi periode 2011-2016, atas segala bantuan yang berguna dan bermanfaat bagi penulis.

3. Ibu Yovita Sabarina Sitepu, M.Si selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bantuan, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi pada khususnya dan FISIP USU pada umumnya, atas ilmu yang telah diberikan dengan baik kepada penulis selama masa perkuliahan.


(4)

Cut. Terima kasih banyak atas bantuan dan informasi yang telah diberikan kepada penulis dalam hal administrasi.

6. Kepada Mama Tua, Mami Tua, Bibi Uda, dan Pak Uda yang selalu menyayangi, memberikan doa, perhatian, dukungan semangat kepada penulis.

7. Kepada adik tercinta, Ribka Alexandra Siregar yang memberikan semangat secara tidak langsung kepada penulis.

8. Keluarga Usukom FM yang selalu menjadi tempat curahan hati selama penulis menjalani perkuliahan.

9. Sahabat-sahabat Geng Gong, Atul, Diah, Boti, Nunu, Ayu, Emon, Richie, Martha, Tia, Dessy, Fajri, Safik, dan Indra. Terima kasih atas doa, perhatian, dan semangat kepada penulis.

10.Sahabat-sahabat penulis stambuk 2007 hingga stambuk 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan kepada penulis.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapakn kritik dan saran yang membangun demi kebaikan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, Mei 2013


(5)

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ezzy Augusta Mutiara

NIM : 080904104

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Tampilan Kekerasan Dalam Film

(Studi Analisi Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Pada Tanggal : Yang Menyatakan


(6)

Film The Raid: Redemption adalah salah satu film yang disutradarai oleh Gareth Evans, salah seorang sutradara terkenal dari Amerika. Film ini bercerita mengenai penyerangan yang dilakukan oleh pasukan khusus polisi pada rumah perlindungan bagi penjahat. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian isi media yakni film yang kuantitatif. Penelitian ini memakai paradigma positivistik sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis atau instrumen analisa data, peneliti menggunakan teknis analisis isi yang dibuat oleh Holsti. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis ditampilkan dalam film The Raid: Redemption. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti objek penelitian yang diambil dari adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis film The Raid: Redemption. Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti yaitu “Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption dan mengetahui frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption”. Adapun persentasi uji reliabilitas kekerasan fisik antar koder sebagai berikut: memukul 99%; menampar 67%; mencekik 93%; menendang 99%; melempar 93%; melukai 98%; menganiaya 89%; membunuh 95%. Sementara reliabilitas antar koder kekerasan psikologis menunjukkan angka sebagai berikut: berteriak-teriak 91%; menyumpah 98%; mengancam 90%; merendahkan 87%; mengatur 81%; melecehkan 96%; menguntit 80% dan memata-matai 100%.

Kata kunci:


(7)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori ... 11

2.1.1 Komunikasi Massa... 11

2.1.2 Film ... 14

2.1.2.a Fungsi Film ... 16

2.1.2.b Struktur Film ... 17

2.1.2.c Karakteristik ... 18

2.1.3 Kekerasan... 19

2.1.4 Studi Tayangan Kekerasan... 21

2.1.5 Teori Pembelajaran Sosial... 22

2.2 Kerangka Konsep ... 24

2.3 Defenisi Konseptual ... 25

2.4 Defenisi Operasional ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 29

3.2 Metode Penelitian ... 30

3.2.1 Analisis Isi (Content Analysis) ... 31

3.2.1.a Prinsip Dasar Analisis Isi …... 33

3.2.1.b Penggunaan Analisis Isi ... 33

3.2.1.c Kelebihan dan Kelemahan Analisis Isi ... 34

3.2.1.d Tahapan Penelitian Analisis Isi ... 35

3.3 Kerangka Analisis ... 35

3.4 Unit Analisis Penelitian ... 36

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.6 Teknik Analisis Data ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Data ... 42


(8)

4.1.2a. Rekapitulasi antar koder 1 dan koder 2 kekerasan

psikologis ... 70

4.2 Uji Reliabilitas ... 71

4.3 Pembahasan ... 74

4.4 Kelemahan Penelitian ... 78

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 79

5.2 Saran ... 80

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN


(9)

4.1 - Memukul ... ... 45

4.1.1 - Penjelasan Gambar 4.1 ... 46

4.2 - Menampar …... ... 46

4.2.1 - Penjelasan Gambar 4.2 ... 47

4.3 - Mencekik ... 48

4.3.1 - Penjelasan Gambar 4.3 ... 49

4.4 - Menendang ... 49

4.4.1 - Penjelasan Gambar 4.4 ... 50

4.5 - Melempar Barang Ke Tubuh ... 51

4.5.1 - Penjelasan Gambar 4.5 ... 52

4.6 - Melukai Dengan Tangan Kosong Atau Dengan Alat/Senjata .. 52

4.6.1 - Penjelasan Gambar 4.6 ... 54

4.7 - Menganiaya ... 54

4.7.1 - Penjelasan Gambar 4.7 ... 55

4.8 - Membunuh ... 55

4.8.1 - Penjelasan Gambar 4.8 ... 56

4.9 - Perbandingan Koder 1 dan Koder 2 Mengenai Kekerasan Fisik 57 4.10 - Berteriak-teriak ... 58

4.10.1 - Penjelasan Gambar 4.9 ... 59

4.11 - Menyumpah ... 59

4.11.1 - Penjelasan Gambar 4.10 ... 60

4.12 - Mengancam ... 60

4.12.1 - Penjelasan Gambar 4.11 ... 61

4.13 - Merendahkan ... 62

4.13.1 - Penjelasan Gambar 4.12 ... 63

4.14 - Mengatur ... . 64

4.14.1 - Penjelasan Gambar 4.13 ... 65

4.15 - Melecehkan ... . 65

4.15.1 - Penjelasan Gambar 4.14 ... 66

4.16 - Menguntit ... 66

4.16.1 - Penjelasan Gambar 4.15 ... 67

4.17 - Memata-matai ... 68

4.17.1 - Penjelasan Gambar 4.16 ... 69

4.18 - Perbandingan Koder 1 dan Koder 2 Mengenai Kekerasan Psikologis ... 70

4.19 - Total Kekerasan Fisik dan Kekerasan Psikologis ... 70

4.20 - Frekuensi Kekerasan Fisik Dan Kekerasan Psikologis Dalam Film The Raid: Redemption ... ... 72


(10)

1.1 Peringatan Peraturan Menonton ...9

2.1 Model Teoritis ...25

3.1 Kerangka Analisis ... 36

4.1 Adegan Memukul ... 46

4.2 Adegan Menampar ... 47

4.3 Adegan Mencekik ...49

4.4 Adegan Menendang ... 50

4.5 Adegan Melempar Barang Ke Tubuh... 52

4.6 Adegan Melukai Dengan Tangan Kosong Atau Dengan Alat/Senjata...53

4.7 Adegan Menganiaya ...55

4.8 Adegan Membunuh ... …....56

4.9 Adegan Berteriak-teriak ... …....58

4.10 Adegan Menyumpah ... …... 60

4.11 Adegan Mengancam ... 61

4.12 Adegan Merendahkan ... 63

4.13 Adegan Mengatur ... 64

4.14 Adegan Melecehkan ... 66

4.15 Adegan Menguntit ... 67


(11)

Film The Raid: Redemption adalah salah satu film yang disutradarai oleh Gareth Evans, salah seorang sutradara terkenal dari Amerika. Film ini bercerita mengenai penyerangan yang dilakukan oleh pasukan khusus polisi pada rumah perlindungan bagi penjahat. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian isi media yakni film yang kuantitatif. Penelitian ini memakai paradigma positivistik sebagai pendekatan. Sedangkan pisau analisis atau instrumen analisa data, peneliti menggunakan teknis analisis isi yang dibuat oleh Holsti. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis ditampilkan dalam film The Raid: Redemption. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti objek penelitian yang diambil dari adegan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis film The Raid: Redemption. Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti yaitu “Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption dan mengetahui frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption”. Adapun persentasi uji reliabilitas kekerasan fisik antar koder sebagai berikut: memukul 99%; menampar 67%; mencekik 93%; menendang 99%; melempar 93%; melukai 98%; menganiaya 89%; membunuh 95%. Sementara reliabilitas antar koder kekerasan psikologis menunjukkan angka sebagai berikut: berteriak-teriak 91%; menyumpah 98%; mengancam 90%; merendahkan 87%; mengatur 81%; melecehkan 96%; menguntit 80% dan memata-matai 100%.

Kata kunci:


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam UU nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan salah satu media komunikasi massa audiovisual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi yang direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan sistem lainnya (http://kpi.go.id/index.php/2012-05-03-16-16-23/undang-undang). Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk terdapat gambar negatif (yang akan dibuat potret) untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop) (Balai Pustaka,1990: 242).

Film hadir sebagai bagian dari kebudayaan massa, yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari budaya massa yang populer, film adalah suatu seni yang dikemas untuk dijajakan sebagai komoditi dagang. Film dikemas untuk dikonsumsi massa yang beribu, bahkan berjuta jumlahnya. Film yang merupakan produk komersial akan lebih menekankan kemampuan komunikasi produk-produk dan aktivitasnya daripada penghargaan kritis khalayak ramai.

Menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul Lely van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang yang bernama David. Kemudian disusul oleh Eulis Atjih produksi Krueger Corporation pada tahun 1927-1928. Sampai tahun 1930 masyarakat pada waktu itu telah disuguhkan film-film berikutnya yaitu Lutung Kasarung, Si Conat dan

Pareh. Sampai tahun itu, film yang disajikan merupakan film bisu dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina. Sedangkan film pertama


(13)

yang merupakan karya orisinil berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia yang dibintangi Roekiah dan R. Mochtar berjudul Terang Bulan. Setelah itu, film Indonesia berkembang pesat hingga sekarang (Effendi, 2002: 217).

Pada zaman pendudukan Jepang sampai era awal kemerdekaan tahun 1950 banyak bermunculan sineas-sineas film nasional yang berjasa menghidupkan idealism industri film nasional. Nama-nama seperti Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Usmar Ismail paling berpengaruh pada masa itu. Dari semua pembuat film idealis, Usmar Ismail menonjol sebagai pelopor film Indonesia dengan film pertamanya Darah dan Doa (1950). Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia bekerja di bagian propaganda, menulis naskah dan materi lainnya. Setelah pindah ke Yogyakarta dengan Pemerintahan Republik dan selama empat tahun berjuang melawan kembalinya Belanda, ia pindah ke Jakarta pada tahun 1948, di mana ia menyutradarai dua film untuk perusahaan film Belanda SPCC. Darah dan Doa yang diakuinya sebagai film pertama, diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), sebuah perusahaan yang didirikannya bersama Rosihan Anwar. Ia terus membuat film di sepanjang tahun 1950-an, dan menjadi sosok penting dalam industri perfilman, baik dalam asosiasi produser (PPFI) maupun di Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), sebuah organisasi budaya yang didirikan untuk menandingi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang erat berhubungan dengan Partai Komunis

Indonesia (PKI)

Pada masa orde lama, film-film karya anak bangsa lebih bertemakan perjuangan. Para pembuat film masih terbawa nuansa kemerdekaan Indonesia. Efek dari kampanye anti-neolib dari Bung Karno juga banyak menginspirasi para pembuat film. Setelah itu, melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No.59/KEP/MENPEN/1969 pemerintah orde baru membentuk Dewan Film Nasional yang mengatur perfilman Indonesia. Sejak saat itu, perfilman Indonesia dikendalikan oleh negara.

Pada masa orde baru sineas film nasional mengalami keterbatasan kreatifitas. Represi rezim Soeharto mengambil bentuk banyak hal, antara lain: (1) Kendali Negara atas proses produksi dalam bentuk aturan ketat siapa saja yang boleh jadi sutradara, yang telah ditampik sejak Garin Nugroho membuat

Cinta Dalam Sepotong Roti. Lewat film itu, Garin mempraktikkan bahwa ia bisa jadi sutradara tanpa melalui proses


(14)

magang apa pun seperti yang ditetapkan Negara saat itu. (2) Kendali Negara atas isi film, terutama melalui mekanisme sensor dan tekanan lainnya. Bukan hanya sensor terhadap muatan seksual dan kekerasan, tapi terutama justru terhadap muatan yang bisa dianggap mengancam “kestabilan sosial” (dan kestabilan kekuasaan, tentunya). Kritik keras pada Negara, isu “keras” macam korupsi para pejabat, isu-isu SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan –dengan perhatian pada “(Suku-Agama-Ras-Antargolongan”, yang sebetulnya terjemahan Orde Baru untuk masalah-masalah pertentangan kelas) praktis dibungkam. Negara juga menetapkan bahwa, misalnya, tak boleh ada penggambaran negatif atas polisi/militer dan film horor wajib menyertakan tokoh agama sebagai penyelesai masalah. (http://new.rumahfilm.org/artikel- feature/membaca-dekade-menyusun-peta-pengantar-untuk-daftar-33-film-indonesia-terpenting-2000-2009-pilihan-rumah-film/).

Masuk ke dalam era reformasi, perkembangan film Indonesia mulai menunjukkan ke arah yang lebih baik. Kebebasan dalam penentuan tema dan sudut pandang memberi ruang yang lebih besar kepada para pekerja film dalam membuat karya yang baik. Era reformasi juga membuka kesempatan bagi industri film kembali bergairah. Potensi penikmat film yang besar menarik banyak pengusaha untuk terlibat dalam pembuatan film.

Industri film Indonesia bergairah dengan adanya kebebasan, pemilik modal dan potensi pasar yang besar. Kebebasan dalam karya film membuat tema film lebih bervariasi. Tema film tidak lagi disesuaikan dengan kehendak pemerintah, namun disesuaikan dengan keinginan pasar. Pemilik modal memandang film tidak lagi sebagai produk sejarah. Film berubah menjadi media yang bisa menghasilkan laba. Iming-iming laba yang cukup besar, menguatkan tekad pemilik modal untuk berinvestasi dalam film. Investasi tidak hanya berkaitan dengan pekerja seni, teknologi untuk membuat film yang baik juga didatangkan dari luar negeri. Dan pasar penonton film Indonesia bukan menjadi perdebatan yang hangat. Di kampung-kampung, film layar tancap menjadi hiburan yang paling digemari masyarakat Indonesia.

Pada masa ini bermunculan sineas-sineas muda Indonesia yang memberi warna baru dalam kancah perfilman nasional. Para sineas semacam Rizal Mantovani, Joko Anwar, Riri Riza, Rudi Soejarwo dan Nia Dinata mulai memproduksi film-film yang berkualitas. Mereka juga mulai melirik tema-tema


(15)

dan genre yang bervariasi dengan teknik pembuatan film yang baik, sehingga film-film Indonesia mulai mendapat apresiasi oleh kritikus film internasional dan berjaya festival-festival film internasional. Salah satu film Indonesia yang mengundang perhatian dunia adalah film The Raid: Redemption. Film bergenre

action dengan adegan-adegan kekerasan yang mengkombinasikan pencak silat dari berbagai aliran dengan senjata api dan pisau.

Kesuksesan The Raid: Redemption di kancah perfilman internasional mengundang kritikus film dunia untuk ikut memberikan komentar. Beberapa kritikus pun membuat sedikit review untuk film garapan Gareth Evans tersebut. Pada sebuah situs berita, Matt Patches mengulas film dan memberikan pujian terhadap The Raid: Redemption, khususnya pada aksi bela diri yang ditonjolkan pada film tersebut.

“Adrenalin akan terus naik dan tidak akan berhenti sampai menit terakhir The Raid: Redemption,” katanya (Hollywood.com).

Kritikus lainnya, Gary Goldstein, ikut mengulas The Raid: Redemption

dalam Los Angeles Times dengan tajuk The Raid: Redemption is an action bonanza. Goldstain mengungkapkan bahwa Gareth Evans berhasil menyuguhkan visualisasi pertarungan yang memukau dan mampu membuat penonton tak mengalihkan perhatian selama film berlangsung. Sementara itu Lou Lumenick kritikus film lainnya mengungkapkan melalui New York Post bahwa film The Raid: Redemption yang memacu adrenalin dan penuh dengan brutal ini, tidak disarankan bagi mereka yang memiliki jantung lemah atau perut yang bermasalah, karena banyak adegan yang mungkin membuat sebagian orang akan muntah melihatnya.

The Raid: Redemption memiliki beberapa plot twist yang rapi dan sedikit banyak karakterisasi dari yang Anda harapkan dari jenis film semacam ini. Film ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang lemah jantung dan lemah perut, khususnya ketika sebuah lampu neon digunakan untuk senjata, katanya.” (http://sidomi.com/80132/the-raid-redemption-menuai-komentar-kritikus-film-dunia).

Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) merupakan satu-satunya stasiun televisi yang menayangkan film The Raid: Redemption pada hari Minggu, 9


(16)

September 2012 pukul 22.00 WIB. Film ini meraih banyak penghargaan di luar negeri. Salah satunya di “Toronto International Film Festival ke-36” beberapa waktu lalu saat film ini baru dirilis. The Raid: Redemption berhasil meraih The Cadillac People’s Choice Award untuk kategori Midnight Madness.

Selain itu, di “Jameson Dublin International Film Festival 2012”, The Raid: Redemption berhasil meraih gelar The Best Film sekaligus Audience Award. Kemudian “The Internet Movie Database (IMDb)” memasukkan The Raid: Redemption dalam 50 film laga sepanjang masa. The Raid: Redemption berada di urutan 45 dengan rating 8.0, sejajar dengan Star Trek, The Adventure of Robinhood, Avatar dan Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl

(http://www.cekricek.co/post/film/the-raid-tayang-di-rcti-9-september-1).

Berbagai pujian terhadap The Raid: Redemption tidak menutup kemungkinan film ini memiliki beberapa kekurangan. Pada majalah Total Film

edisi April 2012 menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam film ini menghilangkan sosok pemeran utama. Rama yang diperankan oleh Iko Uwais datang begitu saja dalam film ini. Penonton tidak pernah tahu siapa dan darimana asal-usul Rama dalam film ini. Adegan awal ketika Rama sedang sholat dan berdoa ketika istrinya sedang tidur, hanya scene ini yang menceritakan asal usul Rama.

Selain itu, film ini juga secara vulgar menampilkan kekerasan. Kekerasan pada film The Raid: Redemption mengkhawatirkan beberapa pengamat film, termasuk Iko Uwais sebagai pemeran Rama. Dalam sebuah wawancara dengan situs berita beritasatu.com Iko Uwais membenarkan bahwa adegan kekerasan dalam film ini tidak baik, khususnya untuk anak-anak.

“Nah itu, setidaknya kami bikin film tahu diri juga bahwa film ini adalah film dewasa. Kita enggak salahin anak-anak, ya tapi orang tuanya kenapa dikasih nonton” Ujar iko (Beritasatu.com).

Iko bahkan melarang keponakannya untuk menonton aksinya dalam film

The Raid: Redemption. Penolakan Iko disebabkan karena banyaknya adegan kekerasan dalam film ini.

“Waktu itu saya larang keponakan saya itu, saya enggak kasih sebab secara psikologis itu enggak baik. Filmnya banyak adegan kekerasan dan mengeluarkan darah” terang iko.


(17)

Menurut Iko, intensitas kekerasan dalam film The Raid: Redemption jauh lebih tinggi dari film sebelumnya berjudul Merantau; dan bahkan sekuel selanjutnya akan didominasi oleh adegan kekerasan lebih banyak.

“Dari Merantau ke The Raid perbandingan adegan kekerasan nya sampai 15 kali, begitu pula dari The Raid sekuelnya bisa sampai 10 sampai 15 kali” ujar Iko.

Pada awal tahun 90-an, dunia perfilman dipenuhi kecemasan mengenai adegan-adegan kekerasan yang ditampilkan oleh film-film dan dengan mudahnya dapat disaksikan melalui televisi maupun bioskop-bioskop. Film dengan banyak adegan kekerasan memiliki dampak negatif bagi penontonnya. Seorang pengamat film menuliskan tentang efek negatif dari film The Raid: Redemption dalam forum kompasiana.

Film ini juga memiliki beberapa efek negatif bagi bangsa Indonesia. Hal ini dituliskan oleh Syaripuddin Zufri pada forum Kompasiana.com berjudul “Plus Minus Film The Raid di Rusia”. Ada beberapa perhatian Zufri pada film ini antara lain: (1) Film ini penuh dengan kekerasan, sadis dan tak kenal perikemanusiaan. Nyawa manusia sepertinya tak ada harganya; (2) Dengan film ini menunjukkan bahwa orang Indonesia sadis dan sangar, kejam tanpa ampun; (3) Citra Indonesia semakin terpuruk, dengan film yang dibanggakan oleh pihak barat. Film dengan tema kekerasan yang ditunjukkan dalam film bisa terbawa ke benak orang Rusia, bahwa Indonesia penuh dengan kekejaman, kekerasan dan tidak berperikemanusiaan; (4) Darah dan Darah, hanya action dan kekerasan. Pemakaian senjata tajam pedang, palu, kapak, senjata laras panjang dan pistol ditonjolkan dalam film ini; dan (5) Jangan lupa, kalau nonton bioskop di Rusia, kita langsung ke Film dana hanya judul saja, setelah itu film langsung main, sedangkan nama pemain, sutradara dan produsernya diletakkan di akhir film” (www.kompasiana.com)

Tayangan kekerasan menjadi perhatian serius Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), melalui ketua Arist Merdeka Sirait menyebutkan bahwa mayoritas tayangan televisi kita berbahaya bagi anak-anak karena mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor namun faktor paling dominan adalah kurangnya pengawasan orang tua terhadap tayangan televisi.


(18)

“Komnas PA menyebutkan bahwa berdasarkan penelitian dari tahun 2006 hingga akhir 2009, terungkap sebanyak 68 persen tayangan di 13 stasiun Televisi mayoritas mengandung kekerasan” Ujar Arist Merdeka Sirait (www.beritasatu.com)

Anak dalam sebuah keluarga merupakan pembawa bahagia, karena anak memberi arti kehidupan bagi kedua orang tuanya. Arti kehidupan dalam keluarga mengandung maksud memberikan isi, kepuasan, kebanggan dan rasa penyempurnaan diri yang disebabkan keberhasilan orang tuanya yang telah memiliki keturunan, yang akan melanjutkan cita-cita, harapan dan eksistensi hidupnya. Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa (Suryabrata, 2000: 23). Dari pengertian di atas, dapat kita lihat bahwa anak-anak sangat rentan mencontoh apa-apa saja yang dilihat dari lingkungan. Film di televisi maupun bioskop merupakan salah satu lingkungan yang paling menarik bagi anak-anak. Hampir setiap rumah memiliki televisi, hampir di setiap bioskop dengan berbagai macam film selalu ada anak-anak sebagai penonton, dan orang tua tidak pernah membatasi anak-anak untuk menonton apa yang boleh atau apa yang tidak boleh ditonton.

Arist menyebut ada beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak, didasarkan pada apa yang dilihatnya di televisi. Salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Komnas PA adalah kasus bunuh diri seorang balita. Balita tersebut menyayat tangannya dengan benda tajam karena keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tua. Namun setelah menanyakan kepada orang tua korban yang menjalani konseling di Komnas PA tentang kebiasaan hidup anaknya sehari-hari, ternyata sebagian besar dari mereka sering menonton tayangan kekerasan di televisi lewat sinetron, berita atau rekonstruksi (reka ulang) dari kasus pembunuhan (www.beritasatu.com).


(19)

Beberapa penelitian juga menunjukkan efek dari tayangan kekerasan. Pada Tahun 1956 sebuah penelitian dilakukan untuk melihat tingkat kebiasaan di antara 24 anak-anak yang menonton televisi. Mereka dibagi dalam dua kelompok, satu kelompok menyaksikan film kartu Woody Woodpecker yang mengandung kekerasan dan yang lainnya menonton film The Little Red Hen.

Setelah menyaksikan tayangan masing-masing, ternyata anak-anak yang tadinya menonton film Woody Wodpecker lebih cenderung melakukan kekerasan kepada teman bermain mereka yang lain dan lebih sering merusak mainan. Enam tahun kemudian, 1963, Profesor A. Badura, D. Ross dan S.A Ross melakukan studi terhadap efek dari hubungan antara kekerasan

real di dunia nyata, kekerasan di televisi dan kekerasan di film-film kartun. Mereka membuat empat kelompok dari 100 anak-anak prasekolah. Grup pertama menyaksikan adegan memaki dan memukul boneka dengan kayu, grup kedua menyaksikan peristiwa yang sama namun ditayangkan di televisi, grup ketiga menyaksikan adegan yang sama dalam film kartun, sementara grup terakhir tidak menyaksikan apa-apa. Hasilnya, dalam keadaan tertekan ketiga kelompok yang menyaksikan peristiwa kekerasan tersebut lebih agresif dibandingkan kelompok keempat, bahwa yang menyaksikan adegan kekerasan dalam film juga akan memiliki tingkat keagresifitas yang hampir sama dengan mereka yang menyaksikan langsung, dan kelompok pertama dan kedua jauh lebih agresif dibandingkan dengan kelompok yang hanya menyaksikan adegan kekerasan melalui film kartun (www.kompasiana.com).

Novi Ariyani, seorang Komisionaris Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jambi mengatakan bahwa terdapat sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga Kristen, Christian Science Monitor pada tahun 2006 terhadap 1209 orang tua tentang kekuatan kekerasan yang ada dalam tayangan kekerasan mempengaruhi anak-anak, 56 % responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya 26% menjawab mempengaruhi, 5% menjawab cukup mempengaruhi dan 11% menjawab tidak mempengaruhi. Penelitian ini didasarkan pada peningkatan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Prof. dr. Fawzia Aswin Hadits dari fakultas Psikologi UI menyebutkan anak adalah imitator ulung. Anak-anak akan meniru adegan yang ditontonnya.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dalam pasal 46 menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban mematuhi ketentuan tentang penggolongan usia penonton film. Usia penonton film di Indonesia dibagi menjadi


(20)

4 golongan, yaitu: (1) SU = Semua Umur; (2) 17+ = Untuk umur di atas 17 tahun; (3) R = Remaja; (4) BO = Bimbingan Orangtua. Lemahnya pengawasan dari pihak bioskop-bioskop yang menayangkan film The Raid: Redemption, serta kurangnya kesadaran dari masyarakat bahwa film ini termasuk kategori 17+ dalam penggolongan usia penonton film, menyebabkan banyaknya anak di bawah umur yang dengan mudahnya menonton film The Raid: Redemption di dalam bioskop (www.lsf.go.id).

Gambar 1.1

Peringatan Peraturan Menonton

Peringatan di atas sebenarnya bisa kita lihat di hampir seluruh gedung bioskop di Indonesia. Peringatan penting ini adalah peringatan yang melindungi hak penonton dari sebuah film. Secara rasional pemilik gedung bioskop hanya menyediakan tayangan hiburan untuk memperoleh keuntungan. Kewajiban penonton adalah melindungi hiburannya dari pengaruh negatif dari sebuah tayangan.

Maka berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti persoalan bagaimana Tampilan Kekerasan dalam Film (Studi Analisis Isi tentang kekerasan fisik dan psikologis dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan konteks masalah di atas, maka peneliti mengajukan fokus masalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption.


(21)

2. Mengetahui frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui bentuk kekerasan fisik dan psikologis seperti apa yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

2. Untuk mengetahui berapa frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis: Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bentuk dan frekuensi dari adegan kekerasan serta hasil dari penelitian dapat memberikan wacana mengenai adegan-adegan kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption dengan menggunakan metode analisis isi.

2. Manfaat Praktis: Diharapkan dapat dijadikan referensi mengenai analisis isi, tentang film dan kekerasan kepada siapapun pemerhati kajian ilmu komunikasi.


(22)

BAB II

URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji tentang film yang termasuk dalam kajian objektif. Peneliti menggunakan defenisi Barelson (1952), analisis isi adalah suatu teknik penelitian yang dilakukan secara objektif, sistematis dan deskripsi kuantitatif dari isi komunikasi yang tampak (manifest) (Eriyanto,2011: 15).

Salah satu ciri penting dari analisis isi adalah objektif. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran dari suatu isi secara apa adanya, tanpa adanya campur tangan dari peneliti. Peneliti menghilangkan bias, keberpihakan, atau kecenderungan tertentu dari peneliti. Ada dua aspek penting dari objektifitas, yakni validitas dan reliabilitas (Eriyanto, 2011: 16).

Kriyantono (2007: 45) menyatakan bahwa fungsi teori dalam riset adalah membantu periset menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Adapun teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah:

2.1.1 Komunikasi Massa

Komunikasi massa menurut pendapat Tan dan Wright merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto & Erdinaya, 2005: 3). Definisi lain komunikasi massa yang dikemukakan Michael W Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) yang akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa didefinisikan sebagai komunikasi massa jika mencakup:


(23)

1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula antara lain surat kabar, majalah, televisi, film atau gabungan diantara media tersebut.

2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagai pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain.

3. Pesan adalah publik. Artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu, diartikan milik publik.

4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti jaringan, ikatan atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga. Lembaga inipun biasanya berorientasi pada keuntungan bukan organisasi suka rela atau nirlaba.

5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. Ini berbeda dengan komunikasi antar pribadi, kelompok atau publik dimana yang mengontrol tidak oleh sejumlah individu. Beberapa individu dalam komunikasi massa ikut berperan dalam membatasi, memperluas pesan yang disiarkan.

6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Kalau dalam jenis komunikasi lain, umpan balik bisa bersifat langsung (Nurudin, 2004: 7-8).

Dengan demikian komunikasi massa adalah alat dalam komunikasi yang dapat menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audiens yang luas dan heterogen. Kelebihan dari komunikasi massa adalah dapat mengatasi hambatan ruang dan waktu bahkan mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.

Komunikasi massa juga berkaitan dengan media massa karena komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan media massa sebagai alat penyabarannya. Media massa yang digunakan dalam proses penyampaian pesan tersebut beragam, diantaranya media elektronik, media cetak, serta media film.


(24)

Media elektronik diantaranya, radio siaran dan televisi. Media cetak diantaranya, surat kabar dan majalah. Media film adalah film sebagai media komunikasi massa dalam hal ini adalah film bioskop (Ardianto, 2007: 14).

Selanjutnya Vivian (2008: 450) menyatakan bahwa komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirim pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau membujuk. Karakteristik komunikasi massa adalah sebagai berikut:

1. Komunikator terlembagakan

Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Komunikasi massa melibatkan lembaga, dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks.

2. Pesan bersifat umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.

3. Komunikannya anonim dan heterogen

Komunikan pada komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Disamping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.

4. Media massa menimbulkan keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak adalah komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan

Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.


(25)

6. Komunikasi massa bersifat satu arah

Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

7. Stimulasi alat indra terbatas

Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, kita menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan balik tertunda (delayed)

Komponen umpan balik atau yang lebih populer dengan sebutan feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apapun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan (Ardianto, 2005: 3).

2.1.2 Film

Film merupakan media komunikasi yang muncul pada abad ke-20, film sendiri merupakan perkembangan dari fotografi yang ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce dari Perancis pada tahun 1826. Penyempurnaan dari fotografi yang berlanjut akhirnya mendorong rintisan penciptaan film itu sendiri. Nama-nama penting dalam sejarah penemuan film ialah Thomas Alva Edison dan Lumiere Bersaudara ( Sumarno, 1996 : 2 ).

Dari awal pemunculan film sampai sekarang banyak bermunculan sineas-sineas yang makin terampil dalam membuat, meramu segala unsur untuk membentuk sebuah film. Dari berbagai pemikiran seorang pembuat film yang dituangkan dalam karyanya maka film dapat digolongkan menjadi film cerita dan non cerita. Film cerita sendiri memiliki berbagai genre atau jenis film dengan durasi waktu yang berbeda beda pula, ada yang berdurasi 10 menit hingga beberapa jam. Genre sendiri dapat diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi film itu sendiri. Ada yang menyebutkan film drama, film horor, film klasikal, film laga atau action, film fiksi ilmiah, dan lain-lain (www.filmsite.org).


(26)

Film cerita agar tetap diminati penonton harus tanggap terhadap perkembangan zaman, artinya ceritanya harus lebih baik, penggarapannya yang profesional dengan teknik penyuntingan yang semakin canggih sehingga penonton tidak merasa dibohongi dengan trik-trik tertentu bahkan seolah-olah justru penonton yang menjadi aktor/aktris di film tersebut.. Dalam pembuatan film cerita diperlukan proses pemikiran dan proses teknis, yaitu berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang digarap, sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton.

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahun (Ardianto & Erdinaya, 2005: 134).

Film Amerika kebanyakan diproduksi di Hollywood. Film yang dibuat di sini selalu membanjiri pasar global dan memengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang di belahan dunia. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton film ke bioskop ini menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an.

Dominick mengungkapkan bahwa industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri (Ardianto & Erdinaya, 2005: 134).

Industri gambar gerak atau film, karena hubungannya yang unik dengan pasar massal budaya industri, sejak awal berkembang dengan berbagai karakteristik yang dimiliki industri penerbitan dan penyiaran. Teknik produksi dan produknya serba standar, kebijakannya berorientasi ke massa, dan semuanya serbabesar. Fasilitas produksi terpusat secara vertikal dan horizontal. Sumber


(27)

pendapatan utama adalah para penonton.

Film pertama ditayangkan di Amerika Serikat pada tanggal 23 April 1896 di kota New York. Thomas Edison, setelah menyempurnakan teknik pertunjukkan gambar gerak atau kinetoscope¸ meninggalkan rencana awalnya mengeksploitasi peluang komersial film karena ia merasa penayangan film layar lebar kepada banyak penonton sekaligus akan segera menghabiskan pasar. Namun keberhasilan penayangan pertama itu mengubah film dari seni menjadi bisnis dan para pengusaha menggantikan posisi para penemu untuk mencari laba sebesar-besarnya. Praktik produksi, distribusi dan penayangan massal menjadi ciri industri film hingga setengah abad kemudian (Rivers, 2008: 197-198).

2.1.2.a Fungsi Film

Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1970, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Effendy, 1981: 212).

Sesungguhnya, film dapat mewakili keempat unsur tersebut. Akan tetapi masyarakat Indonesia lebih banyak mengekspetasikan bahwa film sebagai alat hiburan, walaupun tidak semua film menampilkan unsur hiburan ketimbang tiga unsur lainnya.

Film bukan semata-mata barang dagangan tetapi juga merupakan alat pendidikan yang mempunyai daya pengaruh

sangat besar terhadap masyarakat

(http://www.layarperak.com/print.php?newsid=1122991411, diakses tanggal 28 Februari 2013).

Film sebagai fungsi hiburan melupakan sejenak penonton pada masalah kehidupan. Sementara film-film tertentu bisa mengundang hasrat penonton untuk melakukan seperti adegan dalam film.

Salah satu media komunikasi yang dengan signifikasi menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat adalah film. Film menjadi sarana menciptakan fantasi


(28)

dalam pikiran yang seakan menjadi nyata dengan aktor-aktor yang ada didalamnya, lalu disajikan kepada masyarakat sebagai konsumsi untuk dinikmati. Film hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati namun juga dapat mempengaruhi cara pikir masyarakat.

Dalam sejarah perkembangan film telah muncul tiga tema besar. Tema pertama ialah pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Tema ini penting terutama dalam kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional dan popularitas yang hebat. Salah satu film yang sukses menjadi alat propaganda berjudul G 30 S/PKI yang menceritakan tentang kudeta tahun 1965.

Kedua tema yang lain dalam sejarah film ialah munculnya beberapa aliran seni film dan lahirnya film dokumentasi sosial. Kedua kecenderungan tersebut merupakan suatu penyimpangan dalam pengertian bahwa keduanya hanya menjangkau minoritas penduduk dan berorientasi ke realisme. Terlepas dari hal itu keduanya mempunyai kaitan dengan tema “film sebagai alat propaganda” (McQuail, 1994: 14).

2.1.2.b Struktur Film

Ada beberapa unsur dalam suatu film yang membentuk suatu kesatuan sehingga menjadi satu film yang utuh, unsur-unsur tersebut adalah:

1. Shot

Shot adalah proses potretnya sebuah subyek, saat tombol kamera dipijit dan dilepaskan, sebagaimana yang ditentukan dalam skenario dengan durasi bebas. Satu shot berakhir ketika tombol kamera dilepas.

2. Scene

Scene adalah kumpulan shot dalam suatu lokasi penting. Meskipun di dalam film tersebut ada shot di lebih dari satu lokasi tetap disebut satu scene, dengan catatan shot dan ceritanya masih berkesinambungan.


(29)

3. Sequence

Sequence adalah kumpulan dari scene. Sequence bisa mengandung satu atau lebih scene. Dalam satu sequence bisa mengandung berbagai lokasi, asalkan scene tersebut masih berkesinambungan. Sequence berakhir ketika ada pergantian karakter atau cerita yang sudah tidak berkesinambungan (http://ceaefilm.blogspot.com/2012/10/ struktur-film.html)

Shot dalam adegan direkam dalam beberapa detik. Dalam sebuah shot

biasanya terjadi dialog antar pemeran. Kumpulan beberapa shot menjadi sebuah

scene. Scene menceritakan beberapa shot secara berkesinambungan sehingga menjadi sebuah cerita. Beberapa buah scene menghasilkan sequence. Dalam penelitian ini shot, scene dan sequence tidak tergantung pada lokasi melainkan kesinambungan dari cerita.

2.1.2c Karakteristik Film

Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis yaitu:

1. Layar yang luas/ lebar

Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak.

2. Pengambilan gambar

Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extream long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. Disamping itu, melalui panoramic shot, kita sebagai penonton dapat memperoleh sedikit gambaran, bahkan mungkin gambaran yang cukup tentang daerah tertentu yang dijadikan lokasi film sekalipun kita belum pernah berkunjung ke tempat tersebut.


(30)

3. Konsentrasi penuh

Dari pengalaman kita masing-masing, disaat kita menonton film di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah tiba, pintu-pintu ditutup, lampu dimatikan, nampak di depan kita layar luas dengan gambar-gambar cerita film tersebut.

4. Identifikasi psikologis

Suasana di gedung bioskop telah membuat penghayatan kita semakin mendalam dan seringkali secara tidak sadar kita mengidentifikasikan pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, seolah-olah kitalah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis (Ardianto & Erdinaya, 2005: 136).

Menonton film di bioskop menghadirkan nuansa berbeda tentang sebuah film. Film bioskop tidak hanya ditayangkan pada layar yang lebih besar, namun bioskop juga menghadirkan pengalaman berbeda dalam film. Gedung bioskop memberi ruang sosial bagi penonton, penonton datang dan berinteraksi dengan banyak orang yang memiliki tujuan yang sama yakni menikmati film. Suasana gedung bioskop menghasilkan konsentrasi penuh terhadap film, suara dan layar ditampilkan dengan apik.

2.1.3 Kekerasan

Menurut Wignyosoebroto (1997) kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat atau yang tengah merasa kuat terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah, berdasarkan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian dari tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahan lagi olehnya.

Menurut Santoso (2002: 24) kekerasan juga bisa diartikan dengan serangan memukul (assault and battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan ilegal yang melibatkan ancaman dan aplikasi aktual kekuatan fisik kepada orang lain. Serangan dengan memukul dan pembunuhan


(31)

secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif. Jadi, tindakan individu-individu ini terjadi dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana kekerasan kolektif. Kekerasan kolektif muncul dari situasi konkrit yang sebelumnya didahului oleh sharing

gagasan, nilai, tujuan dan masalah bersama dalam periode waktu yang lebih lama. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirinya kuat kepada seseorang atau sekelompok orang yang dianggapnya lemah, dimana dapat dilakukan dengan cara memukul, membacok dan menyiksa (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2196538-pengertian- kekerasan).

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut World Health Organization (2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan.

Dilihat dari bentuknya, ada dua jenis kekerasan yang sering terjadi yaitu: 1) kekerasan fisik dan 2) kekerasan psikologis. Dalam kekerasan fisik tubuh manusia disakiti secara jasmani berupa siksaan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Sedang kekerasan secara psikologis mewujud dalam bentuk pengurangan kemampuan mental atau otak (rohani) karena perlakuan-perlakuan repsesif tertentu, misalnya ancaman, indoktrinasi dan sebagainya. Dililhat dari efeknya, kekerasan berpengaruh secara posistif atau negatif ini tampak dalam mekanisme reward-punishment. Dalam sistem imbalan dan hukuman ini terdapat pengendalian secara manipulative dari si pemberi imbalan terhadap kebebasan si penerima.

Kekerasan (violence) berasal dari bahasa Latin, violentus yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Violentus adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi, baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan


(32)

dengan kewenangannya, yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan (http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan)

2.1.4 Studi Tayangan Kekerasan

Perkembangan aliran kritis dalam kajian ilmu komunikasi berpendapat bahwa media tidak lagi berpengaruh penuh terhadap penontonnya. Aliran kritis ini banyak mengkritik hukum positif dalam ilmu komunikasi, dimana media berpengaruh penuh terhadap khalayak. Bagi banyak pemikir yakin bahwa efek media massa tidak lagi sekuat di era 1930 an, ketika bullet theory diyakini sebagai kebenaran. Namun tidak bagi pemikir kultivasi, mereka beranggapan bahwa efek media tidak secara langsung mempengaruhi penontonnya. Efek media tanpa disadari masuk ke dalam pikiran dan menjadi kebiasaan bagi penontonnya. Fenomena ini yang menjadi perhatian serius pemikir dampak tayangan media, khususnya dampak kekerasan media massa.

Merebaknya unsur kekerasan dalam dunia hiburan, khususnya dalam tontonan televisi menarik perhatian Steinfeld (1973) yang menyatakan bahwa sepanjang sejarah pertelevisian, keprihatinan utamanya adalah kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi. Analisis isi menunjukkan bahwa televisi menghidangkan menu tayangan kekerasan yang banyak sekali. Serangkaian angka menunjukkan bahwa menjelang usia 12 tahun, rata-rata anak telah akan menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk 13.400 kematian.

Sejumlah hipotesis lain telah diajukan sehubungan dengan kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi pada perilaku manusia. Salah satu hipotesis itu adalah hipotesis katarsis (catharsis hypothesis), yang menyatakan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan di televisi menyebabkan pengurangan dorongan agresif melalui ekspresi perilaku bermusuhan yang dialami orang lain. Sedangkan beberapa hipotesis rangsangan (stimulation hypothesis) memprediksikan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif yang sesungguhnya. Salah satu hipotesis ini adalah hipotesis menirukan atau mencontoh (imitation or modeling hypotesis), yang menyatakan bahwa orang mempelajari perilaku agresif dari televisi dan kemudian mereproduksi perilaku itu (Severin & James, 2005: 338).


(33)

Stimulation hypothesis menunjukkan gejala yang lebih dominan dari

catharsis hypothesis. Peliputan berita tentang bentrok unjuk rasa tidak menyurutkan orang untuk tidak bertindak replicabel dari apa yang dilihatnya. Hampir setiap hari media massa menampilkan bentrokan dalam aksi unjuk rasa. Kondisi ini menjadi ‘pembenaran’ terhadap aksi kekerasan dalam menyampaikan pendapat.

Sebuah hipotesis yang sedikit berbeda adalah hipotesis kehilangan kendali diri (disinhibition hypothesis) yang menyatakan bahwa televisi menurunkan rasa segan orang untuk berperilaku agresif terhadap orang lain. Apabila hipotesis ini benar, maka tayangan kekerasan di televisi mungkin mengajarkan norma umum bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk berhubungan dengan orang lain.

Dalam ratusan penelitian yang menyelidiki dampak tayangan kekerasan di televisi, hanya sedikit yang mendukung hipotesis katarsis. Lebih banyak lagi penelitian mendukung dua hipotesis rangsangan yaitu menirukan dan kehilangan kendali diri. Salah satu yang paling jelas dari penelitian-penelitian ini adalah eksperimen Llewellyn Thomas (1963). Penelitian ini menemukan bukti bahwa para subjek yang melihat segmen film keras (adegan perkelahian dengan senjata) mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk meningkatkan tingkat setrum listrik yang akan mereka berikan pada orang lain daripada subjek yang melihat segmen film yang tidak melibatkan kekerasan (remaja yang terlibat dengan keterampilan). Penemuan ini mendukung hipotesis kehilangan kendali diri, karena jenis perilaku bermusuhan yang dilibatkan tidak sama dengan yang digambarkan dalam film (Severin & James, 2005: 339).

2.1.5 Teori Pembelajaran Sosial

Bandura menyebutkan bahwa sebuah teori dari bidang psikologi yang berguna dalam mempelajari dampak media massa adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory) (Severin & James, 2005: 330-331). Teori yang menyatakan bahwa terjadi banyak pembelajaran melalui pengamatan pada perilaku orang lain. Teori ini terutama berharga dalam menganalisis kemungkinan dampak kekerasan yang ditayangkan di televisi, tetapi teori ini juga merupakan


(34)

teori pembelajaran umum yang dapat diaplikasikan pada bidang-bidang dampak media massa yang lain.

Teori penguatan, salah satu rumusan awal teori pembelajaran, menyatakan bahwa pembelajaran terjadi ketika sebuah perilaku dikuatkan dengan suatu penghargaan. Seandainya ini merupakan satu-satunya cara terjadinya pembelajaran, orang akan mencoba sendiri segala jenis perilaku dan kemudian menjaga perilaku yang dihargai dan meninggalkan perilaku yang menyebabkan hukuman. Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa orang mungkin menghindari pendekatan pembelajaran yang tidak efisien ini dan mungkin memperoleh suatu perilaku hanya dengan pengamatan dan menyimpan pengamatan itu sebagai petunjuk untuk perilaku kedepan.

Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa manusia mampu menyadari atau berpikir dan bahwa mereka dapat mengambil manfaat dari pengamatan dan pengalaman. Teori pembelajaran sosial mengakui bahwa banyak pembelajaran manusia terjadi dengan menyaksikan orang lain yang menampilkan perilaku yang beraneka ragam.

Teori Bandura berdasarkan tiga asumsi, yaitu:

1. Bahwa individu melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya, terutama perilaku-perilaku orang lain.

2. Terdapat hubungan yang erat antara proses belajar dengan lingkungannya. Pembelajaran terjadi dalam keterkaitan antara tiga pihak yaitu lingkungan, perilaku dan faktor-faktor pribadi.

3. Bahwa hasil pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang diwujudkan dalam lingkungan sehari-hari (Syah, 2003: 216)

Perilaku orang lain yang ditiru disebut sebagai perilaku model atau perilaku contoh. Apabila peniruan memperoleh penguatan, maka perilaku yang ditiru akan menjadi perilaku dirinya. Proses pembelajaran sosial menurut proses kognitif individu dan kecakapan dalam membuat keputusan sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan pada saat itu, perilaku yang menjadi nilai dalam diri dan faktor-faktor pengalaman lain yang saling berkaitan. Teori ini juga meyakini bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan itu sering kali dipilih dan diubah orang tersebut melalui perilakunya.


(35)

Bandura (1994) menyatakan bahwa banyak dari dampak media massa mungkin terjadi melalui proses pembelajaran sosial. Pembelajaran sosial terutama efektif dengan media massa seperti televisi, dimana mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-cara berpikir dan berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan (Severin & James, 2005: 330-331).

Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard,1997: 14) ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational learning). Pertama, pembelajaran sosial melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami oleh orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau (vicarious reinforcement). Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.

2.2 Kerangka Konsep

Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang khusus untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang ditelitinya. Inilah yang disebut konsep, yakni istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lainnya (Singarimbun,2011: 32).

Merujuk pada Budd, Thorp dan Donohew (1971), desain proses penelitian analisis isi dapat dilihat dari bagan sebagai berikut:


(36)

Gambar 2.1 Model Teoritis

(Birowo, 2004: 129 dan dimodifikasi oleh penulis)

2.2.1 Defenisi Konseptual

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Peneliti meneliti tampilan kekerasan dalam Film The Raid: Redemption. Tampilan kekerasan tersebut akan dibentuk dalam potongan gambar yang akan dikaji menjadi objek penelitian. Definisi konseptual merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak dari kejadian-kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu (Effendi, 1989: 33).

Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah:

a. Adegan adalah penghadiran tokoh pada suatu pertunjukan yang disertai dengan penggunaan karakter sifat dan sikap (Kamus Umum Bahasa Indonesia: 16).

b. Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang menyebabkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis atau finansial baik yang dialami individu maupun kelompok (Huraerah, 2007: 47).

c. Kekerasan fisik adalah perilaku kekerasan yang menimbulkan rasa sakit dan ditujukan pada organ fisik yang dilakukan secara kolektif atau individu baik yang dilakukan dengan menggunakan alat maupun bagian anggota tubuh.

d. Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntut dan memata-mata dan tindakan-tindakan lain yang menumbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dan lain sebagainya).

Kekerasan Psikologis Kekerasan Fisik

RECEIVER CHANNEL

MESSAGE SOURCE


(37)

Kekerasan dalam adegan film The Raid: Redemption adalah fokus utama dalam penelitian ini. Kekerasan merupakan tindakan merugikan orang lain, menyakiti baik secara fisik maupun psikologis. Kekerasan fisik menimbulkan rasa sakit inderawi ditujukan menyakiti anggota tubuh. Sementara kekerasan psikologis menimbulkan rasa sakit di dalam jiwa orang lain. Individu yang menjadi korban kekerasan psikologis tidak merasakan sakit pada organ tubuh melainkan pada jiwanya.

2.3 Defenisi Operasional

Merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 2011: 46). Definisi operasional merupakan cara penulisan taktis agar konsep bisa berhubungan dengan praktek, kenyataan dan fakta. Definisi operasional dalam penelitian ini mencakup bentuk dari perilaku-perilaku kekerasan fisik dan psikologis.

a. Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban dengan berbagai cara, antara lain :

- Memukul adalah tindakan menyakiti tubuh dengan menggunakan kepalan tangan atau menggunakan benda-benda kasar/berat/tumpul seperti kayu, tongkat, besi dan benda-benda sejenisnya.

- Menampar adalah tindakan menyakiti tubuh yang secara langsung dilakukan dengan menggunakan telapak tangan kepada wajah seseorang.

- Mencekik adalah tindak kekerasan yang dilakukan dengan cara meremas leher seseorang atau makhluk hidup dengan menggunakan tangan.

- Menendang adalah tindakan yang dilakukan seseorang melalui ayunan kaki yang di ayunkan dengan keras kearah tubuh makhluk hidup.


(38)

- Melempar barang ke tubuh adalah tindakan melempari benda-benda kasar/tajam contohnya kayu, batu, pisau, kaleng dan sejenisnya kearah organ tubuh dimana terdapat jarak antara objek satu dengan objek yang lain dalam tindakannya.

- Melukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata adalah tindakan yang dilakukan dengan cara menancapkan benda runcing atau benda tajam ke dalam tubuh makhluk hidup.

- Menganiaya adalah bentuk kekerasan yang dilakukan kepada makhluk hidup ketika mereka berada dalam posisi lemah namun tetap dilakukan suatu tindak kekerasan dengan tujuan untuk kepuasan individu atau kelompok.

- Dan membunuh adalah tindakan yang dilakukan seseorang yang mengakibatkan hilangnya nyawa mahkluk hidup (Wijaya, 2011: 28-30).

b. Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-mata dan tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat, dan lain sebagainya)

- Berteriak-teriak adalah berseru dengan suara keras berkali-kali. - Menyumpah adalah mengeluarkan kata-kata kotor (kutuk dan

sebagainya).

- Mengancam adalah menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihak lain.

- Merendahkan adalah memandang rendah (hina) orang lain; menghinakan.

- Mengatur adalah membuat (menyusun) sesuatu menjadi teratur (rapi); menata menjadi sesuai yang kita inginkan.

- Melecehkan adalah tindak perkataan berupa meremehkan kemampuan orang lain yang dilakukan secara tidak langsung yaitu


(39)

tidak dilakukan di depan orang yang bersangkutan bentuknya dapat berupa penertawaan dan senyuman sinis (lebih pada meragukan kemampuan atau kekuatan seseorang.

- Menguntit adalah mengikuti terus-menerus.

- Dan tindakan memata-matai yang menimbulkan rasa takut adalah tindak perkataan yang menakut-nakuti dan menekan seseorang yang menimbulkan rasa khawatir dan rasa takut atas keselamatan diri sendiri maupun orang lain (kerabat) (Wijaya, 2011: 28-30).


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Film The Raid: Redemption bukan film pertama Gareth Evans yang bercerita tentang Pencak Silat. Pada tahun 2009, Evans membuat film Merantau

yang menampilkan adegan laga pencak silat. Film ini sendiri melambungkan nama pemeran utamanya Iko Uwais. Iko Uwais sendiri adalah seorang ahli pencak silat, bersama Yayan Ruhian (Mad Dog) yang merupakan guru silatnya, Iko beradu akting dalam film ini. Sebelum adanya film Merantau, silat yang merupakan olahraga khas Indonesia belum pernah ditampilkan dalam film.

“Bahkan Barry Prima yang dulu banyak memainkan film laga, lebih banyak menggunakan jurus-jurus KungFu dalam filmnya” ujar Iko (Total Film, April 2012).

Kesuksesan film ini yang menginspirasi Gareth Evans untuk membuat film selanjutnya yang berjudul The Raid: Redemption. Film ini bercerita tentang kisah sederhana tentang bagaimana sekelompok tim SWAT menyergap sarang mafia di gedung yang ternyata dihuni banyak kriminal. Gedung itu seketika menjadi medan pertempuran dahsyat. Para kriminal dalam gedung itu memberi perlawanan sengit kepada para penyerang.

Tim SWAT (Special Weapon and Tactics) atau pasukan khusus tiba di sebuah blok apartemen yang tidak terurus dengan misi menangkap pemiliknya, raja bandar narkotika bernama Tama. Blok ini tidak pernah digrebek oleh polisi sebelumnya. Sebagai tempat yang tidak terjangkau oleh pihak berwajib, gedung ini menjadi tempat berlindung para pembunuh, anggota geng, pemerkosa dan pencuri yang mencari tempat tinggal aman.

Tokoh utama film ini adalah Rama yang diperankan Iko Uwais sebagai pemimpin tim SWAT. Rama ingin menangkap Tama (Ray Sahetapy) pemimpin mafia yang memberikan perlindungan bagi banyak penjahat di gedung berlantai 5 tersebut.


(41)

Film The Raid: Redemption mengundang banyak pujian dikarenakan aksi silatnya yang sangat orisinil. Yayan (Mad Dog) menyebutkan bahwa aksi adegan film ini murni berdasarkan silat. Silat sendiri merupakan salah satu kesenian khas Indonesia.

“Istilah yang ada di kita itu silat adalah ‘silaturahmi’, yaitu persaudaraan. Pencak silat baru bisa dikatakan pencak silat kalau ada 4 unsur: olahraga, seni, bela diri, mental/spiritual. Di Indonesia sendiri ada 1000 perguruan silat dengan berbagai macam aliran” Ujar Yayan (Total Film, April 2012).

Konsep koreografer film ini menampilkan silat sesungguhnya. Gareth Evans berusaha meminimalkan unsur sadis dalam film ini. Evans tidak memunculkan adegan langsung kena bacok atau kena tusuk, namun sebelumnya akan ada proses pertarungan terlebih dahulu. Banyaknya adegan laga dalam film ini membutuhkan banyak pemeran pengganti. Film ini menggunakan jasa 130 pemeran pengganti.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Analisis isi dapat dilakukan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi baik surat kabar, berita radio, iklan televisi, film, maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain.

Krippendorf (1980) membagi unit analisis dalam 5 variasi, yaitu: physical, syntactical, refential, proposional dan thematic units (Birowo,2004:152). Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti secara syntactical units terdiri dari simbol-simbol yang muncul, dalam penelitian ini adalah simbol-simbol kekerasan.

Unit sintaksis berupa kata atau simbol, penghitungannya adalah frekuensi kata atau simbol kekerasan. Misalnya, berapa jumlah adegan kekerasan dalam film. Peneliti dalam penelitian ini ingin melihat frekuensi kekerasan fisik dan kekerasan non fisik yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan tabel frekuensi. Untuk uji penelitiannya terancang secermat mungkin sebelum penelitian dilakukan serta kesimpulan melalui generalitas. Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dapat didefinisikan sebagai suatu metode untuk


(42)

mendeskripsikan hasil penelusuran informasi ke fakta yang diolah menjadi data. Tujuan penggunaan jenis penelitian ini adalah menggambarkan sistematika fakta atau karakteristik secara faktual dan seksama. Secara keseluruhan, penelitian ini bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi dalam sebuah media dengan menggunakan teknik symbol coding yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis kemudian diberi interpretasi. (Rakhmat, 1998: 24).

Teknik yang digunakan oleh peneliti yaitu dengan teknik analisis isi. Analisis isi (content analysis) adalah analisis yang dirancang untuk menghasilkan penghitungan yang objektif, terukur, dan teruji atas isi pesan yang nyata (manifest content of messages). Analisis ini menganalisis tatanan pertandaan yang bersifat denotatif. Analisis ini berfungsi paling baik dalam skala besar dimana semakin banyak yang dianalisis, maka semakin akurat analisisnya. Analisis ini berjalan melalui identifikasi dan penghitungan unit-unit terpilih dalam sebuah sistem komunikasi. Analisis isi harus non-selektif, analisisnya mencakup keseluruhan pesan, atau sistem pesan, atau secara tepat pada sampel atau objek penelitian yang tersedia. Sehingga analisis ini diklaim memiliki objektivitas ilmiah (Fiske, 1990: 188-189).

3.2.1 Analisis Isi (Content Analysis)

Analisis isi ini memiliki sifat penelitian yang kuantitatif, dimana penelitian kuantitatif adalah suatu kegiatan pengumpulan data kuantitatif, sedangkan data kuantitatif merupakan data yang menunjukkan besaran, ukuran, frekuensi dan wujudnya berupa angka. Sehingga sesuai dengan sifat, tujuan dan definisi analisis isi dimana ini adalah teknik penelitian untuk uraian yang objektif, sistematis dan kuantitatif, sehingga peneliti betul-betul dibatasi dalam proses penelitiannyan karena ia tidak menggunakan subyektifitas dalam proses meneliti. Jadi, sifat dan tujuan analisis isi kuantitatif secara ringkas dapat di simpulkan sebagai berikut:

1. Analisis isi kuantitatif hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifes (nyata).

2. Analisis isi kuantitatif yang dipentingkan adalah objektivitas,validitas dan reliabilitas. Tidak boleh ada penafsiran dari peneliti.Peneliti hanya boleh membaca apa yang disajikan dan terlihat dalam teks.


(43)

3. Analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan ”apa yang dikatakan” (what), tetapi tidak menyelidiki ”bagaimana yang dikatakan” (how).

4. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi bahkan melakukan prediksi. Uji statistik yang digunakan dalam analisis isi secara tidak langsung memang bertujuan agar hasil penelitian yang dilakukan dapat menggambarkan fenomena keseluruhan dari suatu isu / peristiwa bahkan bisa melakukan prediksi. Jika keadaan dan kondisi yang diteliti sama dengan yang sedang diteliti, maka keadaan yang sama tersebut apabila diteliti akan menemukan hasil yang sama jika diteliti oleh peneliti lain (Sobur, 2006: 70-71).

Analisis isi kuantitatif hanya mengungkap data yang ditunjukkan oleh angka-angka. Analisis isi kuantitatif berupaya untuk menjadikan penelitiannya objektif. Objektifitas ditampilkan dengan tidak memasukkan unsur mitologi atau hubungan semu pada data-data yang dianalisis. Penelitian ini berupaya untuk menggeneralisasikan fakta yang ditemukan.

Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Krippendorf,1993: 15). Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh ini makna komunikasi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi.

Beberapa peneliti juga mendefenisikan analisis isi, antara lain Holsti (1969) yang mendefenisikan analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dilakukan secara objektif dan identifikasi sistematis dari karakteristik pesan. Sementara Weber (1994) mendefenisikan analisis isi adalah metode penelitian dengan menggunakan seperangkat prosedur untuk membuat inferensi yang valid dari teks.

Gagasan untuk menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian justru muncul dari orang seperti Bernard Berelson (1959), ia telah menaruh banyak perhatian pada analisis isi. Definisi analisis isi menurut Bernard Berelson:


(44)

content analysis is a research technique for the objective, systematic and quantitative description of the manifest content of communication (Bungin, 2004: 173).

Tekanan Berelson adalah menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian yang objektif, sistematis dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak dalam komunikasi. Analisis isi disebut objektif jikalau peneliti benar-benar melihat apa yang ada dalam teks (film) dan tidak memasukkan subjektifitas (kecenderungan, bias).

3.2.1.aPrinsip Dasar Analisis Isi

Melalui defenisi yang disampaikan Berelson, Stempel (1983) mengemukakan beberapa prinsip dasar analisis isi, yaitu:

1. Prinsip sistematik oleh Berelson diartikan, bahwa ada perlakuan prosedur yang sama pada semua isi yang dianalisis. 2. Prinsip obyektif, berarti hasilnya tergantung pada prosedur

penelitian bukan pada orangnya.

3. Kuantitatif, diartikan dengan mencatat nilai-nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan.

4. Isi yang nyata, diberi pengertian, yang diteliti dan dianalisis hanyalah isi yang tersurat, yang tampak, bukan makna yang dirasakan oleh si peneliti (Bungin, 2004: 134-135).

Salah satu ciri dari ilmu pengetahuan adalah replicabel dapat dilakukan kembali untuk menguji kebenaran ilmu pengetahuan. Subjektifitas dalam ilmu pengetahuan menjadikan kebenaran hanya bisa diterima dalam diri peneliti. Generalisasi dalam penelitian memungkinkan peneliti lain untuk meneliti penelitian sejenis ditempat yang sama maupun tempat yang berbeda

3.2.1.bPenggunaan Analisis Isi

Wimmer dan Dominick (2000) setidaknya ada lima kegunaan yang dapat dilakukan dalam penelitian analisis isi, yaitu:


(45)

1. Menggambarkan isi komunikasi (describing communication content).

2. Menguji hipotesis tentang karakteristik pesan (testing hipotheses of messages characteristics).

3. Membandingkan isi media dengan dunia nyata (comparing media content to the real world).

4. Memperkirakan gambaran kelompok tertentu di masyarakat (assessing the image of particular groups in society).

5. Mendukung studi efek media massa (Bungin, 2004: 135-138).

Penelitian analisis isi kuantitatif memungkinkan untuk menggambarkan fenomena dalam proses komunikasi. Dalam penelitian ini proses komunikasi yang diteliti adalah frekuensi kekerasan dalam film The Raid: Redemption. Realitas nyata dan realitas media selalu menjadi perdebatan yang menarik. Apakah realitas nyata dibentuk oleh realitas media atau realitas media terbentuk dari realitas nyata. Penelitian ini mendukung untuk menemukan jawaban atas kedua pertanyaan di atas.

3.2.1.c Kelebihan dan Keterbatasan Analisis Isi

Bungin (2004: 139-142) mengungkapkan bahwa penggunaan analisis isi juga memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan utama metode ini adalah tidak digunakannya manusia sebagai subjek penelitian. Hal ini menyebabkan penelitian relatif lebih mudah, tidak ada reaksi dari populasi ataupun sampel yang diteliti karena tidak ada orang yang diwawancarai, diminta mengisi kuesioner ataupun diminta datang di laboratorium. Analisis isi juga relatif murah, tidak terbentur masalah perizinan penelitian. Bahan-bahan penelitian mudah didapat terutama di perpustakaan-perpustakaan atau dibagian dokumentasi audio visual. Kelebihan lainnya ialah ketika peneliti tidak dapat melakukan penelitian survei atau pengamatan terhadap populasi, analisis isi dapat digunakan.

Kekurangan analisis isi terpenting adalah hanya meneliti pesan yang tampak, sesuatu yang disembunyikan dalam pesan bisa luput dari analisis isi. Selanjutnya adalah kesulitan menentukan media atau tempat memperoleh pesan-pesan yang relevan dengan masalah yang diteliti


(46)

3.2.1.d Tahapan Penelitian Analisis Isi

Untuk memudahkan peneliti melakukan penelitian, penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan penelitian analisis isi, yakni:

1. Menentukan permasalahan.

2. Menyusun kerangkan pemikiran (conceptual atau theoritical framework).

3. Menyusun perangkat metodologi.

4. Analisis data merupakan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti melalui perangkat metodologi tertentu.

5. Interpretasi data merupakan interpretasi terhadap hasil analisis data (Bungin, 2004: 139-142).

Permasalahan dalam analisis isi mempengaruhi unit analisis yang akan digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya berfokus pada permasalahan kekerasan. Kekerasan dalam penelitian ini terbagi dalam kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.

3.3 Kerangka Analisis

Kerangka analisis dalam penelitian ini dimulai dari pra penelitian sampai akhir penelitian adalah sebagai berikut:


(47)

Gambar 3.1 Kerangka Analisis

Sumber: (Kriyantono, 2006 : 87) dan dimodifikasi oleh penulis.

3.4 Unit Analisis Penelitian

Unit analisis adalah upaya untuk menetapkan gambaran sosok pesan yang akan diteliti. Terhadap unit analisa ini perlu ditentukan kategorinya dan sifat inilah yang akan dihitung, sehingga kuantifikasi atas pesan sebenarnya dilakukan kategori ini (Siregar, 1996:17). Unit analisis yang digunakan yang adalah unit simbolik yang fokus pada unit sintaksis. Unit sintaksis adalah unit yang terdiri berupa kata atau simbol, penghitungannya adalah frekuensi adegan kekerasan. Dalam penelitian ini unit analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan Unit analisis penelitian dari Harsono Suwardi:

Film The Raid Redemption Analisis isi tampilan kekerasan dalam Film The Raid Redemption . H A S I L P E N E L I T I A N P E M B A H A S A N SIMPULAN DAN SARAN


(48)

Tabel 3.1

Kategorisasi Unit Analisis

Unit Analisis Isi

Kategori Operasionalisasi Presentasi dalam film

Visual Image

Sequence Kekerasan Fisik Memukul: Tindakan menyakiti tubuh dengan menggunakan kepalan tangan atau menggunakan benda-benda kasar/berat/tumpul seperti kayu, tongkat, besi dan benda-benda sejenisnya.

Menampar: Tindakan menyakiti

tubuh yang secara langsung dilakukan dengan menggunakan telapak tangan kepada wajah seseorang.

Mencekik: Tindak kekerasan yang

dilakukan dengan cara meremas leher seseorang atau makhluk hidup dengan menggunakan tangan.

Menendang: Tindakan yang

dilakukan seseorang melalui ayunan kaki yang di ayunkan dengan keras kearah tubuh makhluk hidup.

Melempar barang ke tubuh:

Tindakan melempari benda-benda kasar/tajam contohnya kayu, batu, pisau, kaleng dan sejenisnya kearah organ tubuh dimana terdapat jarak antara objek satu dengan objek yang lain dalam tindakannya.

Melukai dengan tangan kosong

atau dengan alat/senjata: Tindakan yang dilakukan dengan cara menancapkan benda runcing atau benda tajam ke dalam tubuh makhluk hidup.


(49)

Unit Analisis Isi

Kategori Operasionalisasi Presentasi dalam film

Visual Image

Sequence Kekerasan Fisik Menganiaya: Bentuk kekerasan yang dilakukan kepada makhluk hidup ketika mereka berada dalam posisi lemah namun tetap dilakukan suatu tindak kekerasan dengan tujuan untuk kepuasan individu atau kelompok.

Membunuh: Tindakan yang dilakukan

seseorang yang mengakibatkan hilangnya nyawa mahkluk hidup.

Kekerasan

Psikologis

Berteriak-teriak: Berseru dengan suara keras berkali-kali.

Menyumpah: Mengeluarkan kata-kata

kotor (kutuk dsb).

Mengancam: Menyatakan maksud

(niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan pihak lain.

Merendahkan: Memandang rendah

(hina) orang lain; menghinakan.

Mengatur: Membuat (menyusun)

sesuatu menjadi teratur (rapi); menata menjadi sesuai yang kita inginkan.

Melecehkan: Tindak perkataan berupa

meremehkan kemampuan orang lain yang dilakukan secara tidak langsung yaitu tidak dilakukan di depan orang yang bersangkutan bentuknya dapat berupa penertawaan dan senyuman sinis (lebih pada meragukan kemampuan atau kekuatan seseorang.

Menguntit: Mengikuti terus menerus


(50)

Unit Analisis Isi Kategori Operasionalisasi Presentasi dalam film

Visual Image Sequence Kekerasan Psikologis

Memata-matai yang

menimbulkan rasa takut: Tindak perkataan yang menakut-nakuti dan menekan seseorang yang menimbulkan rasa khawatir dan rasa takut atas keselamatan diri sendiri maupun orang lain (kerabat).

Sumber: (Harsono Suwardi, 1993: 50) dan dimodifikasi oleh penulis.

Visual Image dapat dilihat dari adegan yang nampak, baik berupa gerak-gerik maupun perilaku yang dilihat dari adegan tersebut adalah kekerasan fisik dan psikologis.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa sequence. Sequence adalah kumpulan dari scene. Sequence bisa mengandung satu atau lebih

scene. Dalam satu sequence bisa mengandung berbagai lokasi, asalkan scene

tersebut masih berkesinambungan. Sequence berakhir ketika ada pergantian karakter atau cerita yang sudah tidak berkesinambungan (http://ceaefilm.blogspot.com/2012/10/ struktur-film.html). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Studi Dokumentasi

Teknik dokumentasi ini dilakukan dengan cara pengamatan melalui kaset video. Yaitu dengan mengumpulkan data-data berdasarkan pengamatan melalui Video CD film The Raid: Redemption sehingga diharapkan nantinya akan membantu untuk mempermudah mengetahui mengenai adegan-adegan kekerasan apa saja yang dominan yang terdapat dalan film tersebut.

2. Studi kepustakaan (Library research)

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dan dikumpulkan dengan studi pustaka guna mengkaji beberapa pokok permasalahan dari objek yang diteliti. Fungsi dari data literatur yang berupa buku-buku, majalah, jurnal atau website adalah untuk mendapatkan teori-teori pendukung lebih


(1)

Universitas Sumatera Utara Kekerasan Psikologis

Berteriak – Teriak

Sequence Frekuensi Persentase

1 0 0

2 10 25

3 10 25

4 5 12,5

5 3 7,5

6 0 0

7 5 12,5

8 7 17,5

Jumlah 40 100

Menyumpah

Sequence Frekuensi Persentase

1 0 0

2 6 18,18

3 7 21,21

4 2 6,07

5 3 9,09

6 3 9,09

7 4 12,12

8 8 24,24


(2)

Mengancam

Sequence Frekuensi Persentase

1 0 0

2 2 7,14

3 2 7,14

4 2 7,14

5 4 14,26

6 3 10,71

7 7 25

8 8 28,57

Jumlah 28 100

Merendahkan

Sequence Frekuensi Persentase

1 0 0

2 7 22,58

3 9 29,04

4 0 0

5 1 3,22

6 4 12,9

7 3 9,68

8 7 22,58


(3)

Universitas Sumatera Utara Mengatur

Sequence Frekuensi Persentase

1 0 0

2 3 15,78

3 4 21,05

4 0 0

5 3 15,78

6 2 10,53

7 4 21,07

8 3 15,78

Jumlah 19 100

Melecehkan

Sequence Frekuensi Persentase

1 0 0

2 2 15,39

3 4 30,76

4 0 0

5 1 7,70

6 0 0

7 2 15,39

8 4 30,76


(4)

Menguntit

Sequence Frekuensi Persentase

1 0 0

2 0 0

3 1 50

4 1 50

5 0 0

6 0 0

7 0 0

8 0 0

Jumlah 2 100

Memata – matai

Sequence Frekuensi Persentase

1 1 33,33

2 1 33,33

3 0 0

4 1 33,33

5 0 0

6 0 0

7 0 0

8 0 0


(5)

Universitas Sumatera Utara

Poster Film The Raid: Redemption


(6)

BIODATA PENULIS

Nama : Ezzy Augusta Mutiara

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 9 Agustus 1990

NIM : 080904104

Departemen : Ilmu Komunikasi

Alamat : Jl. Delman Asri VII No.1 Tanah Kusir

Jakarta Selatan 12240

Email : ezeezoyz@yahoo.co.id

Pendidikan : SD Negeri Kayu Putih 09 Pagi Jakarta SMP Negeri 161 Jakarta

SMA Negeri 47 Jakarta

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

Nama Orangtua :

1. Ayah : Yudha Putra Bachri

2. Ibu : Binariyanti Sembiring