Studi Tayangan Kekerasan Kerangka Teori

31 Universitas Sumatera Utara dengan kewenangannya, yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan http:id.wikipedia.orgwikiKekerasan

2.1.4 Studi Tayangan Kekerasan

Perkembangan aliran kritis dalam kajian ilmu komunikasi berpendapat bahwa media tidak lagi berpengaruh penuh terhadap penontonnya. Aliran kritis ini banyak mengkritik hukum positif dalam ilmu komunikasi, dimana media berpengaruh penuh terhadap khalayak. Bagi banyak pemikir yakin bahwa efek media massa tidak lagi sekuat di era 1930 an, ketika bullet theory diyakini sebagai kebenaran. Namun tidak bagi pemikir kultivasi, mereka beranggapan bahwa efek media tidak secara langsung mempengaruhi penontonnya. Efek media tanpa disadari masuk ke dalam pikiran dan menjadi kebiasaan bagi penontonnya. Fenomena ini yang menjadi perhatian serius pemikir dampak tayangan media, khususnya dampak kekerasan media massa. Merebaknya unsur kekerasan dalam dunia hiburan, khususnya dalam tontonan televisi menarik perhatian Steinfeld 1973 yang menyatakan bahwa sepanjang sejarah pertelevisian, keprihatinan utamanya adalah kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi. Analisis isi menunjukkan bahwa televisi menghidangkan menu tayangan kekerasan yang banyak sekali. Serangkaian angka menunjukkan bahwa menjelang usia 12 tahun, rata-rata anak telah akan menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk 13.400 kematian. Sejumlah hipotesis lain telah diajukan sehubungan dengan kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi pada perilaku manusia. Salah satu hipotesis itu adalah hipotesis katarsis catharsis hypothesis, yang menyatakan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan di televisi menyebabkan pengurangan dorongan agresif melalui ekspresi perilaku bermusuhan yang dialami orang lain. Sedangkan beberapa hipotesis rangsangan stimulation hypothesis memprediksikan bahwa menyaksikan tayangan kekerasan menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif yang sesungguhnya. Salah satu hipotesis ini adalah hipotesis menirukan atau mencontoh imitation or modeling hypotesis, yang menyatakan bahwa orang mempelajari perilaku agresif dari televisi dan kemudian mereproduksi perilaku itu Severin James, 2005: 338. 32 Universitas Sumatera Utara Stimulation hypothesis menunjukkan gejala yang lebih dominan dari catharsis hypothesis. Peliputan berita tentang bentrok unjuk rasa tidak menyurutkan orang untuk tidak bertindak replicabel dari apa yang dilihatnya. Hampir setiap hari media massa menampilkan bentrokan dalam aksi unjuk rasa. Kondisi ini menjadi ‘pembenaran’ terhadap aksi kekerasan dalam menyampaikan pendapat. Sebuah hipotesis yang sedikit berbeda adalah hipotesis kehilangan kendali diri disinhibition hypothesis yang menyatakan bahwa televisi menurunkan rasa segan orang untuk berperilaku agresif terhadap orang lain. Apabila hipotesis ini benar, maka tayangan kekerasan di televisi mungkin mengajarkan norma umum bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk berhubungan dengan orang lain. Dalam ratusan penelitian yang menyelidiki dampak tayangan kekerasan di televisi, hanya sedikit yang mendukung hipotesis katarsis. Lebih banyak lagi penelitian mendukung dua hipotesis rangsangan yaitu menirukan dan kehilangan kendali diri. Salah satu yang paling jelas dari penelitian-penelitian ini adalah eksperimen Llewellyn Thomas 1963. Penelitian ini menemukan bukti bahwa para subjek yang melihat segmen film keras adegan perkelahian dengan senjata mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk meningkatkan tingkat setrum listrik yang akan mereka berikan pada orang lain daripada subjek yang melihat segmen film yang tidak melibatkan kekerasan remaja yang terlibat dengan keterampilan. Penemuan ini mendukung hipotesis kehilangan kendali diri, karena jenis perilaku bermusuhan yang dilibatkan tidak sama dengan yang digambarkan dalam film Severin James, 2005: 339.

2.1.5 Teori Pembelajaran Sosial