Pengaruh Faktor Predisposing Dan Reinforcing Terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria Dalam Menawarkan Kondom Di Kota Medan

(1)

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA

DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN

T E S I S

Oleh

REHULINA GINTING 067012052 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA

DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

REHULINA GINTING 067012052 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN KOMUNIKASI WARIA DALAM

MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Rehulina Ginting

Nomor Induk Mahasiswa : 067012052

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

( Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) (dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK )

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si ) ( Dr. Drs Surya Utama, M.S )


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 23 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Anggota : 1. dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M 3. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING DAN REINFORCING TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI WARIA

DALAM MENAWARKAN KONDOM DI KOTA MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi dan sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang perna ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2010


(6)

ABSTRAK

Salah satu kelompok yang tergolong memiliki risiko tinggi tertular HIV yang berkaitan dengan perilaku dan pekerjaannya adalah waria. Di Kota Medan, jumlah waria yang tercatat di Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) Medan mencapai 1021 orang, di mana hanya 65% yang menggunakan kondom. Kondom merupakan salah satu mencegah penularan HIV/AIDS.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM dan Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi waria dalam menawarkan kondom. Lokasi penelitian di Kota Medan dengan populasi 1021 waria. Sampel yang diambil berjumlah 91 orang. Data primer diperoleh dengan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistic.

Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berkomunikasi yaitu : pengetahuan dan sikap (variabel predisposing) dan petugas KPA Kecamatan (variabel reinforcing).

Disarankan kepada pemerintah Kota Medan untuk melakukan berbagai pendekatan terhadap kelompok waria agar mereka memiliki keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan penggunaan kondom kepada pelanggannya, mengingat potensi penyebaran HIV/AIDS oleh kelompok ini cukup tinggi.


(7)

ABSTRACT

A group that is classified into high risk of HIV infection related to their behaviour and occupation is sissy. In Medan City, there is 1021 sissy noted by Community Health Movement, of 65% use condom. Condom is one of method to prevent HIV/AIDS.

The objective of this resea rch is to analyze the influence of predisposing factor (education, occupation, knowledge, and attitude) and reinforcing factor (health workers, NGO, and KPA sub district workers) on waria’s communication skill of condoms to consumer. The research took place in Medan with the population of 1021 sissy. The sample taker was 91 persons. Primary data were obtained by interview using a questionnaire. Data analysis were done by logistic regression test.

This research showed that the va riables which ha d influence significantly on the communication skill were : knowledge and attitude (predisposing va riable), KPA sub district workers (reinforcing variable).

It is suggested to Medan District Health Office to make some approacment to sissy group in order they have communication skill to communicate the using of condom to their klien, regarding the potential of HIV/AIDS distribution from this group high enough.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena HidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul : “Pengaruh Faktor Predisposing dan Reinforcing terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan”.

Karya ini penulis persembahkan kepada suami tercinta Prof. Subhilhar dan seluruh buah hati : OK. Ilham Abdullah S.Ked., OK Fachru Hidayat, Hafiza Adlina, OK Nadhil Auzan, adalah sumber inspirasi dan pemberi dorongan terkuat kepada penulis dalam menjalani seluruh liku kehidupan, walaupun mereka sering terabaikan, untuk itu melalui tulisan ini penulis ucapkan terimakasih dan memohon maaf atas segala kekhilafan.

Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menempuh program pendidikan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Dr. Drs. Surya Utama, M.S, yang telah membantu dan memberikan perhatian yang tulus, dengan kearifannya tesis ini dimungkinkan untuk diuji dan disempurnakan.


(9)

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis mulai dari pembuatan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.

4. dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis mulai dari pembuatan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.

5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes yang telah menyediakan waktu, menjadi tim penguji tesis ini.

6. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah memberikan pengajaran, bimbingan dan pengarahan serta bantuan selama pendidikan. 7. Kepada Lembaga Swadaya Masyarakat GSM yang telah banyak membantu

dan mendampingi penulis dalam penelitian dan pengumpulan data dilapangan. 8. Kepada Seluruh Staf Puskesmas Padang Bulan khususnya kepada Drg. Sufania, Nelly, Dormina, Gerry dan Ana yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril kepada penulis hingga akhir penyelesaian tesis ini.

Sesungguhnya penulis telah maksimal dalam menyelaesaikan tesis ini dan menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, karenanya saran untuk perbaikan sangat diharapkan. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2010

Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Rehulina Ginting, dilahirkan di Binjai, Sumatera Utara pada tanggal 7 Januari 1965, beragama Islam. Saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) menjabat sebagai Kepala Puskesmas Padang Bulan, Kota Medan. Penulis telah menikah dengan Prof. Subhilhar dan memiliki anak sebanyak 4 orang yakni OK. Ilham Abdullah S.Ked., OK Fachru Hidayat, Hafiza Adlina, OK Nadhil Auzan.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1976 di SD Bhayangkari Medan, pada tahun 1980 menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Prayatna Medan, tahun 1983 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMA St. Katolik Medan, tahun 1995 menamatkan program dokter di Fakultas Kedokteran USU.

Pengalaman kerja penulis, pada tahun 1995 sampai dengan 1998 PTT Puskesmas Pancur Batu, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, pada tahun 1999 sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan. Pada tahun 1999 sampai dengan 2001 sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Tanjung Sari, Kecamatan Medan Pb. Selayang, Kota Medan, pada tahun 2001 samapi dengan 2004 sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Kwala Bekala, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, pada tahun 2004 sampai dengan 2006 sebagai Kepala Puskesmas Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, pada tahun 2006 sampai sekarang sebagai Kepala Puskesmas Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan.


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Hipotesis ... 7

1.5.Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Konsep Perilaku ... 8

2.1.1. Pengertian Perilaku ... 8

2.1.2. Pengetahuan ... 8

2.1.3. Sikap ... 10

2.1.4. Tindakan ... 10

2.2. Perubahan Perilaku ... 11

2.3. Perilaku Seksual ... 13

2.4. HIV/AIDS ... 14

2.4.1. Cara Penularan HIV/AIDS ... 14

2.4.2. Perjalanan Infeksi HIV sampai AIDS ... 15

2.4.3. Kelompok Masyarakat yang Beresiko Tinggi tertular HIV 15

2.4.4. Pencegahan AIDS ... 16

2.4.5. Upaya Penanggulanagan HIV/AIDS ... 16

2.5. Waria ... 18

2.5.1. Jenis-Jenis Waria ... 20

2.5.2. Ciri-Ciri Waria ... 21

2.5.3. Faktor Pendukung Terjadinya Waria ... 22

2.6. Kondom dan Pemakain Kondom ... 25

2.6.1. Pencegahan HIV/AIDS dengan Penggunaan Kondom 27

2.7. Faktor – Faktor yang mempengaruhi pemakain kondom ... 27

2.7.1. Faktor Pemudah ... 28

2.7.1.1. Umur ... 28 Halaman


(12)

2.7.1.2. Pendidikan ... 29

2.7.1.3. Pendapatan dan Pekerjaan ... 30

2.7.1.4. Tingkat Pengetahuan ... 33

2.7.1.5. Sikap ... 34

2.7.2. Faktor Penguat ... 34

2.7.2.1. Petugas Kesehatan ... 34

2.7.2.2. LSM ... 34

2.7.2.3. Petugas KPA Kecamatan ... 35

2.8. Komunikasi ... 35

2.9. Landasan Teori ... 38

2.10. Kerangka Konsep .……… 40

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Jenis Penelitian ... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 41

3.2.2. Waktu Penelitian ... 41

3.3. Populasi dan Sampel ... 42

3.3.1. Populasi ... 42

3.3.2. Sampel ... 42

3.4. Metode Pengumpulan Data... 43

3.4.1. Data Primer ... 43

3.4.2. Data Sekunder ... 45

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 45

3.6. Metode Pengukuran ... 46

3.6.1. Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 46

3.6.2. Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 47

3.7. Metode Analisis Data ... 47

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 49

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 49

4.1.1. Kondisi Geografis dan Kependudukan ... 49

4.1.2. Kondisi Waria di Kota Medan ... 50

4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Reinforcing Waria di Kota Medan ... 51

4.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Waria di Kota Medan ... 51

4.2.2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Waria di Kota Medan ... 52

4.2.3. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Waria di Kota Medan ... 55


(13)

4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Reinforcing (LSM, Petugas Kesehatan, dan Petugas KPA

Kecamatan) Waria di Kota Medan ... 57

4.3.1. Distribusi Responden Berdasarkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ... 57

4.3.2. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas Kesehatan ... 59

4.3.3. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas KPA Kecamatan ... 60

4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 62

4.5. Uji Bivariat ... 64

4.5.1. Uji Statistik Chi Square (X2) pada Variabel Predisposing (Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Sikap) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 64

4.5.2. Uji Statistik Chi Squa re (X2) pada Variabel Reinforcing (Peran Keluarga, Peran LSM, Peran Petugas Kesehatan dan Peran Stakeholder) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 67

4.6. Uji Multivariat ... 69

BAB 5. PEMBAHASAN ... 71

5.1. Pengaruh Variabel Predisposing ( Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan, dan Sikap) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 71

5.1.1. Pendidikan ... 71

5.1.2. Pekerjaan ... 72

5.1.3. Pengetahuan ... 75

5.1.4. Sikap ... 78

5.2. Pengaruh Variabel Reinforcing (Peranan Keluarga, Peranan LSM, Peranan Petugas Kesehatan, Peranan Stakeholder) terhadap Keterampilan Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 80

5.2.1. Peranan LSM ... 80

5.2.2. Peranan Petugas Kesehatan ... 81


(14)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(15)

DAFTAR TABEL

3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 46 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 47 4.1. Data Waria di Kota Medan Berdasarkan Lokasi dan Jumlah

Outlet Kondom yang Tersedia ... 50 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis

Kelamin Waria di Kota Medan ... 52 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Waria di Kota Medan ... 53 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan

Waria di Kota Medan ... 54 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Sikap Waria di

Kota Medan ... 55 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Waria di

Kota Medan ... 56 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) ... 57 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan LSM .. 58 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas

Kesehatan ... 59 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan Petugas

Kesehatan ... 60 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Peranan Petugas KPA

Kecamatan ... 61 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Peranan Petugas

KPA Kecamatan ... 62 Halaman


(16)

4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Keterampilan Waria

dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 62 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Keterampilan

Berkomunikasi Waria ... 63 4.15. Hasil Uji Chi Square (X2) pada Variabel Predisposing

(Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan dan Sikap) Terhadap Keterampilan Waria Dalam Menawarkan Kondom di Kota

Medan Tahun 2010 ... 64 4.16 Hasil Uji Chi Square (X2) pada Variabel Reinforcing (Peran

LSM, Peran Petugas Kesehatan dan Petugas KPA Kecamatan) Terhadap Keterampilan Waria Dalam

Menawarkan Kondom di Kota Medan Tahun 2010 ... 67 4.17. Hasil Uji Regresi Logistik untuk Mengetahui Seberapa Besar

Pengaruh Variabel Predisposing dan Reinforcing Terhadap Keterampilan Waria dalam Menawakan Kondom di Kota


(17)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Teori ... 39 2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 40

Halaman


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara ... 88

2. Surat Keterangan / Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Kota Medan ... 89

3. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Kota Medan ... 90

4. Foto-foto Penelitian ... 91

5. Hasil Uji Validitas ... 93

6. Hasil Uji Reliabilitas ... 94

7. Kuesioner Pengaruh Faktor Predisposing dan Reinforcing terhadap Keterampilan Berkomunikasi Waria dalam Menawarkan Kondom di Kota Medan ... 95

8. Frequency Tabel dan Hasil Pengolahan Data dengan Menggunakan SPSS ... 103

Halaman


(19)

ABSTRAK

Salah satu kelompok yang tergolong memiliki risiko tinggi tertular HIV yang berkaitan dengan perilaku dan pekerjaannya adalah waria. Di Kota Medan, jumlah waria yang tercatat di Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) Medan mencapai 1021 orang, di mana hanya 65% yang menggunakan kondom. Kondom merupakan salah satu mencegah penularan HIV/AIDS.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM dan Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi waria dalam menawarkan kondom. Lokasi penelitian di Kota Medan dengan populasi 1021 waria. Sampel yang diambil berjumlah 91 orang. Data primer diperoleh dengan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistic.

Hasil penelitian menunjukkan variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berkomunikasi yaitu : pengetahuan dan sikap (variabel predisposing) dan petugas KPA Kecamatan (variabel reinforcing).

Disarankan kepada pemerintah Kota Medan untuk melakukan berbagai pendekatan terhadap kelompok waria agar mereka memiliki keterampilan berkomunikasi untuk menyampaikan penggunaan kondom kepada pelanggannya, mengingat potensi penyebaran HIV/AIDS oleh kelompok ini cukup tinggi.


(20)

ABSTRACT

A group that is classified into high risk of HIV infection related to their behaviour and occupation is sissy. In Medan City, there is 1021 sissy noted by Community Health Movement, of 65% use condom. Condom is one of method to prevent HIV/AIDS.

The objective of this resea rch is to analyze the influence of predisposing factor (education, occupation, knowledge, and attitude) and reinforcing factor (health workers, NGO, and KPA sub district workers) on waria’s communication skill of condoms to consumer. The research took place in Medan with the population of 1021 sissy. The sample taker was 91 persons. Primary data were obtained by interview using a questionnaire. Data analysis were done by logistic regression test.

This research showed that the va riables which ha d influence significantly on the communication skill were : knowledge and attitude (predisposing va riable), KPA sub district workers (reinforcing variable).

It is suggested to Medan District Health Office to make some approacment to sissy group in order they have communication skill to communicate the using of condom to their klien, regarding the potential of HIV/AIDS distribution from this group high enough.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Waria merupakan salah satu kelompok risiko tinggi penyebar HIV/AIDS, yang keberadaannya saat ini cukup mengkhawatirkan karena aktivitas yang melekat dalam kesehari-harian mereka. Aktivitas seksual pada waria sebagai pekerja seksual dianggap berisiko tinggi karena mereka mempunyai banyak pasangan seksual pria dan kemungkinan besar pasangan mereka juga mempunyai banyak pasangan seksual pria lainnya, baik pria yang sudah/belum menikah. Kelompok ini bahkan besar kemungkinannya atau risikonya lebih tinggi tertular penyakit menular seksual termasuk HIV dan Hepatitis B.

Kelompok waria dalam masyarakat merupakan kelompok yang eksklusif karena mereka memiliki komunitas tersendiri dengan pola-pola kehidupan yang agak berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Interaksi sosial dengan masyarakat pada umumnya bersifat negatif, terutama pandangan masyarakat terhadap mereka. Bentuk interaksi sosial yang negatif dari masyarakat bisa berupa cemohan, bahan tertawaan dan ejekan, bahkan yang kasar waria dipukul dan dilempari terutama ketika berpenampilan sebagai perempuan. Sikap ini berawal dari lingkungan keluarga, dan lingkungan tempat tinggalnya dan menyebar ke masyarakat pada umumnya. Akibatnya mereka membentuk suatu solidaritas yang merasa senasib, di mana


(22)

solidaritas senasib ini merupakan kegiatan mempertahankan eksistensi mereka dalam berinteraksi sosial dengan lingkungan masyarakat yang mereka hadapi.

Bentuk-bentuk solidaritas itu bisa dilihat dalam aktivitas ekonomi mereka yang kebanyakan bekerja di salon sebagai tukang cukur dan penata rias pengantin. Dalam aktivitas olahraga misalnya, mereka melakukannya hanya dalam kelompoknya saja tanpa bergabung dengan kelompok lain. Dalam aktivitas agama, mereka juga membentuk kelompok ibadah yang eksklusif. Mereka pergi berombongan (5-10 orang) ke pesta, diskotik dan tempat-tempat ramai sambil mencari seks. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan bentuk-bentuk solidaritas untuk menjaga eksistensi dan bentuk adaptasi sosial mereka dalam masyarakat.

Waria dikelompokkan menjadi dua yakni sebagai transvestisme maupun sebagai transeksual. Waria yang dikenal sebagai transvestime pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog Magnus Hischfield pada tahun 1910, di mana kelainan ini sering dihadapi oleh kaum pria dibandingkan dengan kaum wanita, diperkirakan satu dari 37000 pria dan 1 dari 107000 wanita. Waria transeksual (gender dysphoria syndrome), yaitu seseorang yang ingin menghilangkan ciri-ciri kelaki-lakiannya karena merasa ketidaksesuaian antara fisik dan jiwanya atau ketidakpuasan individu tersebut dengan gender yang mereka miliki (Benjamin, 1999). Penderita HIV pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dan kawan-kawan dari Institut Pasteur Perancis pada Januari 1983. Virus itu diisolasi dari kelenjar getah bening yang membengkak pada ODHA, sehingga virus ini pertama sekali dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Pada bulan Juli 1984


(23)

Dr. Robert Gallo dari Lembaga Kanker Nasional (NIC) di Amerika Serikat juga menyatakan bahwa dia menemukan virus baru dari seorang ODHA dengan memberikan nama Human T-Lymphocytic Virus tipe III (HFLV III). Ilmuwan lain yaitu J. Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang diberi nama Ralated Virus disingkat ARV. Kemudian komisi Taksonomi Internasional sepakat untuk menyebut nama virus penyebab AIDS ini Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada Mei 1986.

Secara resmi penderita HIV/AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan pada seorang turis di Bali tahun 1987. Makin lama kasus ini makin bertambah di mana setiap satu orang positif yang terdeteksi berarti di masyarakat ada 100 orang yang sudah terinfeksi HIV tetapi belum terdeteksi. Inilah yang dikenal sebagai fenonema gunung es; bagian es yang muncul di permukaan air hanyalah sebagian saja dibandingkan bagian es yang terletak di bawah permukaan air. Dengan kata lain kasus-kasus HIV positif dan AIDS yang diketahui hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus HIV positif dan AIDS yang sesungguhnya ada di masyarakat.

Penyebaran HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan tetapi mempunyai implikasi politik, sosial, etis, agama,dan hukum bahkan dampak secara nyata, cepat atau lambat, menyentuh hampir semua aspek kehidupan Akhirnya, virus itu dapat juga ditularkan melalui hubungan sex, jarum suntik dan air susu ibu; tidak ada penyebaran virus melalui saliva, melalui kontak sosial, nyamuk, kolam berenang, alat-alat makan, toilet, dan udara ruangan yang sudah terinfeksi oleh penderita. Karenanya, infeksi HIV ini ternyata tak mudah menular (Koeswinarno, 2005).


(24)

Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Indonesia khususnya Sumatera Utara adalah berjumlah 1017 kasus, dan berdasarkan jenis kelamin penderita adalah laki-laki 784 jiwa, perempuan 147 jiwa, dan tidak diketahui 19 kasus. Khususnya di kota Medan jumlah penderita HIV/AIDS sampai Juni 2007 berjumlah 773 kasus (Dinkes ProvSU, 2007) .

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Hyder (1998) di Pakistan bahwa pria yang melakukan hubungan seks dengan pria pada umur 14-16 tahun mempunyai partner 2 orang per tahunnya, umur 17-20 tahun sebanyak 5 pasangan, umur 21-35 tahun memiliki pasangan sebanyak 42 orang per tahunnya, dan umur 35-45 sebanyak 35 pasangan dalam setahun. Perilaku seksual yang dilakukan adalah dengan cara hubungan seksual dengan anal seks (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV pada orang yang menerima penis, di mana epitel mukosa (selaput lendir) pada anus relatif lebih tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan dengan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih gampang masuk ke dalam aliran darah.

Menurut Modan (1992), secara biologi semua waria melakukan hubungan seksual secara anal selama kehidupan seksnya dibandingkan dengan wanita pekerja seks yang hanya 10% yang melakukan seks anal, sehingga hampir 11% dari transeksual ditemukan positif HIV dibandingkan wanita pekerja seksual, yakni hanya 1,1% dari jumlah keseluruhan. Selanjutnya penularan HIV lewat anal lebih besar dibandingkan dengan lewat vagina. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Danusukarto dalam Koeswinarno (1993) bahwa penularan AIDS yang potensial


(25)

adalah melalui hubungan homoseksual termasuk di dalamnya 70% heteroseksual dengan wanita tuna susila sebesar 8%.

Risiko penularan IMS dan HIV/AIDS sebenarnya dapat dikurangi ataupun dicegah dengan perubahan tingkah laku ke arah seks yang sehat dan tidak berisiko yakni dengan pemakaian kondom dengan baik dan benar. Pada penelitian Lubis, dkk (1992), pemakaian kondom oleh waria selama lima kali hubungan seks yang terakhir sebanyak 65,9% tidak pernah pakai kondom, memakai sekali (7,8%), memakai kondom dua kali (14,9%), memakai kondom tiga kali (1,4%) dan memakai kondom lebih dari 3 kali (9,9%). Perubahan perilaku di kalangan waria memang sangat sulit karena masih rendahnya pemakaian kondom dikalangan waria (9,9%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ridayanti terhadap 31 waria di Medan (2007) hanya 1 orang waria (3,3%) yang melakukan aktivitas seksual dengan menggunakan kondom. Demikian juga Survey yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) 2010. Bahwa waria yang ada di Kota Medan berkisar 1021 waria, oleh karena itu telah menjaring sekitar 831 waria, yang menggunakan kondom 690 waria (65%), waria tidak menggunakan kondom berkisar 35% tidak memakai kondom.

Berdasarkan masalah diatas peneliti merasa perlu melakukan penelitian pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota Medan Tahun 2010.


(26)

1.2Permasalahan

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa waria mempunyai perilaku yang berisiko tinggi untuk terinfeksi IMS dan HIV/AIDS karena melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan dengan pemakaian kondom yang sangat rendah serta melakukan seks secara anal. Walaupun hampir sebagian besar waria telah diberikan penyuluhan dan pelatihan di mana kondom merupakan salah satu alternatif dalam pencegahan PMS dan HIV/AIDS tetap saja pemakaian kondom di kalangan waria sangat rendah. Dengan melihat kondisi tersebut maka permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota Medan.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota Medan.


(27)

1.4 Hipotesis

Faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, dan sikap) dan reinforcing (petugas kesehatan, LSM, Petugas KPA Kecamatan) berpengaruh terhadap keterampilan berkomunikasi Waria dalam menawarkan kondom di Kota Medan.

1.5Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Komisi Penanggulangan AIDS Kota Medan dan Pemerintah Kota Medan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

2. Sebagai sumber informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara dalam perencanaan untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perilaku

2.1.1. Pengertian Perilaku

Perilaku yaitu suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya, baik yang diamati secara langsung ataupun yang diamati secara tidak langsung.

Pada umumnya perilaku manusia berbeda, karena dipengaruhi oleh kemampuan yang tidak sama. Pada dasarnya kemampuan ini amat penting diketahui untuk memahami mengapa seseorang berbuat dan berperilaku berbeda dengan yang lain. Jadi dengan kata lain perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme yang bersangkutan( Thoha, 1979)

Menurut Notoadmodjo (2003) seseorang yang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya dalam 3 tahap, yaitu : pengetahun, sikap, praktek atau tindakan (practice).

2.1.2 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan Justified true believe. Artinya seseorang individu membenarkan kebenaran atas kepercayaan berdasarkan observasinya mengenai dunia. Jadi bila seseorang menciptakan pengetahuan, ia menciptakan pemahaman atas suatu situasi baru dengan cara berpegang pada kepercayaan konstruksi dari


(29)

kenyataan, dibandingkan sesuatu yang benar secara abstrak. Penciptaan pengetahuan tidak hanya merupakan kompilasi dari fakta-fakta, namun suatu proses yang unik pada manusia yang sulit disederhanakan atau ditiru. Penciptaan pengetahuan melibatkan perasaan dan system kepercayaan (belief system) dimana perasaaan atau system kepercayaan itu bisa tidak disadari. Misalnya, seorang waria mempunyai pengetahuan mengenai kondom setelah dia dapat melihat atau memegang dan menggunakan kondom tersebut.

Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus dihayalkan. Beberapa pengetahuan dapat dituliskan di atas kertas, diformulasikan dalam bentuk-bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk-bentuk gambar. Untuk mengenali nilai dari pengetahuan hayalan dan memahami bagaimana menggunakannya. Misalnya, seorang waria dapat mengetahui mengenai kondom dengan memperoleh gambaran dari seseorang tanpa harus dia melihat gambar atau bentuk kondom tersebut.

Penciptaan pengetahuan secara efektif bergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut. Konteks yang dimaksud adalah ruang bersama yang dapat memicu hubungan-hubungan yang muncul. Misalnya, seseorang dianggap mengetahui tentang kondom dan kegunaannya setelah dia mendapat penjelasan dari orang lain atau melihat orang lain menggunakannya atau mengetahui dari media.


(30)

2.1.3 Sikap

Sikap bisa diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Konsep itu kemudian berkembang semakin luas dan digunakan untuk menggambarkan adanya suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan dengan kontrol terhadap respons pada keadaan tertentu (YOUNG, 1956). Adapun menurut Ancok (1985) yang mengartikan sikap adalah suatu bentuk sikap positif atau negatif, tergantung pada segi positif atau negatif dari komponen pengetahuan. Misalnya, seorang waria akan mempunyai sikap positif atau tertarik menggunakan kondom setelah dia mengetahui manfaat penggunaan kondom tersebut.

2.1.4 Tindakan

Terdapat hubungan yang erat antara sikap dan tindakan. Hal ini didukung oleh pengertian sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak. Tindakan akan tampak lebih konsisten dengan sikap bila suatu sikap individu dapat melakukan negosiasi dengan kelompok atau bagian dari anggotanya.

Menurut Notoatmojo (2003) terdapat beberapa tingkatan dari tindakan/praktek, yaitu :

a. Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

b. Respons terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar atau sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.


(31)

c. Mekanisme, yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adaptasi, yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

2.2 Perubahan Perilaku

Menurut Skinner (1999), prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning adalah sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinfoncer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi pelaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasikan komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dibentuk.

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara. d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang

telah lama tersusun itu.

Menurut Green (2004) kesehatan sesorang dipengaruhi faktor perilaku dan faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh 3 domain utama, yaitu pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan, factor demografis. Faktor Enabling terkait dengan akses terhadap pelayanan dan informasi kesehatan. Faktor Enabling juga berasal dari komitmen pemerintah dan masyarakat terhadap suatu objek perilaku


(32)

kesehatan. Faktor reinforcing berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang, termasuk keluarga, teman, guru, dan petugas kesehatan.

Secara lengkap 3 faktor utama yang mempengaruhi perubahan perilaku tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Contohnya : agar seorang waria mau menggunakan kondom diperlukan pengetahuan dan kesadaran waria tersebut tentang kondom. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat waria untuk menggunakan kondom.

b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya tempat pembelian kondom, tempat konsultasi, tempat berobat, ketersediaan kondom/kemudahan mendapatkan kondom dan sebagainya. Untuk perilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasana pendukung, misalnya penggunaan kondom. Waria yang mau menawarkan kondom tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat kondom saja, melainkan waria tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh kondom. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor – faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.


(33)

c. Faktor-faktor Penguat (reinforcing factors)

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Seperti perilaku menawarkan kondom terhadap pelanggan, serta kemudahan memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan waria menawarkan kondom kepada pelanggan, serta kemudahan memperoleh kondom, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan Waria menawarkan kondom kepada pelanggannya dan tidak boleh melayani jika tidak mau memakai kondom.

Perilaku seseorang menurut World Health Organization/WHO (1984) adalah karena adanya alasan pemikiran dan perasaan dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek. Pengetahuan dapat membuat keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut yaitu dapat diperoleh dari pengalaman bemacam-macam sumber misalnya media massa, media cetak, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media, poster, brosur, teman dan sebagainya.

2.3 Perilaku Seksual

Seksualitas merupakan suatu yang lebih luas dari pada hanya sekedar kata seks yang merupakan kegiatan hubungan fisik seksual. Kondisi seksualitas yang sehat juga menunjukan gambaran kualitas kehidupan manusia, terkait dengan perasaan


(34)

paling dalam, akrab dan intim yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam, dapat berupa pengalaman, penerimaan dan ekspresi diri manusia (Salbiah, 2003).

Dalam kehidupan bisa terjadi perilaku seksual yang meyimpang seperti homoseks, sodomi, dan pemaksaan seksual. Mereka berperilaku seperti itu karena situasi dan kondisi yang mereka rasakan sebagai akibat kerasnya hidup.

Perilaku seks tersebut dipengaruhi oleh kekurangmampuan untuk mengontrol dorongan seksnya sehingga timbul keinginan untuk mencoba. Pada masa remaja dorongan seksualitas muncul sangat tinggi untuk mencoba hubungan seks. Kesederhanaan pola pikir seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan yang dimilikinya menyebabkan dia menuruti saja apa kata hatinya (Dharmo, 1999).

2.4 HIV/AIDS

2.4.1 Cara Penularan HIV/AIDS

Pada manusia, virus HIV paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan vagina. Virus ini juga bisa terdapat pada cairan tubuh lain, seperti cairan ASI tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-19% akibat alat suntik yang tercemar ( terutama pada pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfuse darah yang tercemar. (Global Summary of the AIDS Evidemic, December 2006).


(35)

2.4.2 Perjalanan Infeksi HIV sampai AIDS

Pada saat seseorang terkena infeksi virus AIDS maka diperlukan waktu 5 – 10 tahun untuk sampai ke tahap AIDS. Setelah virus masuk ke dalam tubuh manusia, maka selama 2 - 4 bulan keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Maka dalam kondisi ini yang bersangkutan sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah.

Sejak masuknya virus dalam tubuh manusia maka virus ini akan menggerogoti sel darah putih dan setelah 5 – 10 tahun maka kekebalan tubuh akan hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi infeksi seperti misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dan sebagainya. Penderita akan meninggal dalam waktu 1 – 2 tahun kemudian karena infeksi tersebut.

2.4.3 Kelompok Masyarakat Yang Berisiko Tinggi Tertular HIV

Ada beberapa kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi tertular dan menularkan Virus HIV baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pekerjaannya. Kelompok itu adalah wanita pekerja seks (WPS) maupun pria pekerja seks (PPS) serta pelanggan dan pasangan pelanggannya, waria yang bekerja sebagai pekerja seks serta pelanggannya dan pasangan pelanggannya, pengguna narkotik suntik dan pasangannya, janin yang dilahirkan dari ibu pengidap HIV, penerima transfuse darah dan para petugas kesehatan yang tidak menerapkan perlindungan perorangan secara umum (Universal Precaution=UP) dalam melaksanakan tugasnya. Kelompok resiko tinggi inilah yang menjadi kelompok sasaran untuk dideteksi keberadaan virus HIV


(36)

dalam darahnya. Apabila ditemukan virus HIV setelah melalui prosedur konseling, diupayakan agar tidak berkembang menjadi AIDS dan dihimbau untuk tidak menularkan kepada pasangan seksualnya. Namun apabila belum ditemukan virus HIV, maka upaya yang dilakukan adalah pencegahan agar tidak tertular.

2.4.4 Pencegahan AIDS

Pada prinsipnya, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus AIDS, karena penularan AIDS terbanyak adalah melalui hubungan seksual. Penularan AIDS bisa dicegah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual, atau jika terpaksa harus melakukan hubungan seksual dengan orang yang beresiko tinggi diharuskan memakai kondom.

Secara ringkas, pencegahan dapat dilakukan dengan formula A-B-C-D-E, A adalah abstinensia, artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. B adalah be faithful, artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. C adalah Condom, artinya jika memang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan alat pencegahan dengan menggunakan kondom, D atau no drugs, artinya tidak menggunakan narkoba dan E untuk educative yang berarti selalu mensterilkan peralatan yang dipakai.

2.4.5 Upaya Penanggulangan HIV/AIDS

Menurut Sasongko (2006), di dalam menyusun kebijaksanaan menghadapi masalah AIDS perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain :

- Indonesia merupakan Negara terbuka sehinnga masuknya AIDS tidak bisa dihindarkan.


(37)

- AIDS telah melanda sebagian besar Negara di dunia yang menjadi masalah internasional

- Penanggulangan AIDS terpadu yang disebut Global Program on AIDS (GPA) yang dicanangkan oleh WHO yang dibantu oleh badan-badan internasional lainnya.

- Infeksi HIV mempunyai konsekuensi penting bagi perorangan keluarga sehingga tidak memandang tingkat sosial, ekonomi dari suku bangsa.

- Dampak yang merugikan yang disebabkan oleh infeksi HIV - Belum ada obat/vaksin yang efektif untuk melawan AIDS

- Masalah AIDS harus dilihat dalam kaitannya dengan prioritas masalah kesehatan lainnya.

Agar penanggulangan dan menurunkan tingkat penularan HIV/AIDS, diperlukan upaya perubahan perilaku yang dapat menjangkau sebagian besar kelompok beresiko. Diharapkan agar upaya penanggulangan di masa datang dapat secara serius didukung oleh semua komponen bangsa agar dampak buruk epidemik HIV/AIDS dapat dicegah (KPAN, 2002).

Berkerja sama dengan berbagai pihak, baik organisasi donor, lembaga swadaya masyarakat, serta pihak-pihak yang peduli dengan masalah epidemik HIV/AIDS. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak perlu diperlakukan secara diskriminatif, mereka masih dapat bekerja secara produktif dan juga terlibat secara aktif dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS (KPAN, 2002).


(38)

Secara umum, sasaran program penanggulangan HIV/AIDS adalah sebagai berikut :

a. Masyarakat umum b. Petugas kesehatan

c. Perorangan dan Lembaga – lembaga d. Waria, WTS, Dan lain-lain

e. Para pengidap HIV/AIDS

2.5 Waria

Sejarah belum pernah mencatat dengan pasti kapan dan dimana kebudayaan Waria mulai muncul. Mungkin kaum waria belum masuk ke dalam lingkungan peradaban manusia normal. Budaya waria sendiri tidak lahir begitu saja akibat modernisasi dimana banyak mengakibatkan kelainan-kelainan seksual, seperti homoseks yang dianggap sebagai modernisasi dan sebagainya. Al-Qur’an menyebutkan adanya kaum nabi Luth yang disebut ”Liwath” yang artinya ”senggama melalui dubur” (Puspitosari dan Pujileksono, 2005 : 17).

Sejarah bangsa Yunani tercacat adanya kaum waria pada abad ke XVII yaitu munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choicy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord Cornbury (Nadia, 2005 : 51).

Dukun pria di Turco-Mongol di Gurun Siberia pada umumnya berpakaian perempuan. Mereka biasanya memiliki kesaktian dan ditakuti orang. Dukun-dukun


(39)

semacam ini dapat juga dijumpai di negara Malaysia, kepulauan Sulawesi, Patagona, kepulauan Aleut dan beberapa suku Indian di Amerika Serikat. Oman terkenal dengan Xanith. Konon, Xanith diperbolehkan untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai bahaya dan pekerjaan sehari-hari. Menurut sejarah, di Oman pelacuran perempuan sangat jarang dan seandainya ada harganya sangat mahal, Xanith kemudian beralih fungsi sebagai pelacur dengan harga yang terjangkau oleh kelas ekonomi bawah sekalipun. Busana yang dipakai Xanith mengandung dua fungsi yaitu sebagai budaya dan sebagai daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Berbagai catatan tersebut, tidak jelas apakah mereka benar-benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagaimana gejala transsexual atau sekedar gejala transvestet.

Di Indonesia, budaya waria memang tidak secara khusus seperti di Oman, Turco-Mongol, atau tempat-tempat lain (Nadia, 2005 : 53). Meskipun demikian, kita dapat menemukannya, misalnya pada masyarakat Ponorogo Jawa Timur yang berkecimpung dalam dunia seni Warok. Para Warok di daerah ini terkenal sangat sakti yang menjadikan mereka kebal terhadap senjata tajam. Agar dapat menjalankan ilmunya dengan sempurna maka ada berbagai pengorbanan dan persyaratan yang harus dijalaninya.

Setiap Warok Ponorogo dapat dipastikan memiliki gemblakan (laki-laki usia 9-17) yang bertugas untuk membantu pekerjaan rumah hingga memberikan kebutuhan seksual kepada sang Warok. Kebutuhan seksual ini membuat para Warok selalu memilih gemblakan laki-laki muda yang berwajah cantik dan berkulit halus.


(40)

Hal tersebut dilakukan karena adanya larangan untuk menggauli perempuan sebelum ilmu yang dipelajari dapat dikuasai, dan setelah ilmu mereka mencapai tingkat kematangan mereka pun diperbolehkan berhubungan seks dengan perempuan yang dinikahinya. Perlakuan warok terhadap para gemblak inilah yang dapat menjerumuskan perilaku seksual remaja tersebut menjadi seorang waria karena warok seringkali memperlakukan gemblak-nya sebagai seorang perempuan baik dalam perilaku, berpakaian dan dandanannya.

2.5.1 Jenis-Jenis Waria

Kemala Atmojo (Nadia, 2005 : 40) menyebutkan jenis-jenis waria sebagai berikut :

a. Transsexual yang aseksual, yaitu seorang transsexual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.

b. Transsexual homoseksual, yaitu seorang transsexual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke tahap transsexual murni.

c. Transsexual yang heteroseksual, yaitu seorang transsexual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya. Misalnya pernah menikah.

Adapun penyebab dari waria (transsexual) ini masih menjadi perdebatan; apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat kelainan secara hormonal dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan (nurture) seperti trauma masa kecil, atau sering diperlakukan sebagai seorang perempuan dan lain sebagainya.


(41)

Beberapa teori tentang abnormalitas seksual menyatakan bahwa keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan mengalami atau terjangkit abnormalitas seksual karena pengaruh luar, misalnya dorongan kelompok tempat ia tinggal, pendidikan orangtua yang menjurus pada benih-benih timbulnya penyimpangan seksual, dan pengaruh budaya yang diakibatkan oleh komunikasi intens dalam lingkungan abnormalitas seksual.

Di dalam penelitian ini ketiga subyek penelitian termasuk transsexual homoseksual, hal ini disebabkan karena waria (transsexual) sebagai subyek penelitian memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum mereka sampai ke tahap transsexual murni. Pada saat usia Sekolah Dasar (SD) mereka mulai tertarik dengan jenis kelamin yang sama, namun mereka belum berani mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang waria. Dan setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) mereka mulai berani berdandan, bersosialisasi dan mengaktualisasikan diri sebagai waria di tempat “cebongan” (tempat pelacuran) tanpa sepengetahuan orangtua atau keluarga.

2.5.2. Ciri-Ciri Waria

Menurut Maslim (2003 : 111), ciri-ciri transsexual adalah :

a. Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom.


(42)

b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi seksualnya.

c. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.

Tanda-tanda untuk mengetahui adanya masalah identitas dan peran jenis menurut Tjahjono (1995 : 98), yaitu :

a. Individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu.

b. Memiliki keinginan yang kuat berpakaian sesuai dengan lawan jenisnya. c. Minat dan perilaku yang berlawanan dengan lawan jenisnya.

d. Penampilan fisik hampir menyerupai lawan jenis kelaminnya.

e. Perilaku individu yang terganggu peran jenisnya seringkali menyebabkan ditolak di lingkungannya.

f. Bahasa tubuh dan nada suara seperti lawan jenisnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri transsexual adalah : (1) individu menampilkan identitas lawan jenisnya secara kontinyu minimal dua tahun, (2) memiliki keinginan yang kuat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari lawan jenisnya, (3) mempunyai keinginan yang kuat untuk berpakaian dan berperilaku menyerupai lawan jenis kelaminnya.

2.5.3 Faktor Pendukung Terjadinya Waria

Puspitosari (2005 : 12) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya transsexual adalah :


(43)

a. Disebabkan oleh faktor biologis yang dipengaruhi oleh hormon seksual dan genetik seseorang. Hermaya (Nadia, 2005 : 29) berpendapat bahwa peta kelainan seksual dari lensa biologi dapat dibagi ke dalam dua penggolongan besar yaitu : 1) Kelainan seksual akibat kromosom. Dari kelompok ini, seseorang ada yang

berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Dimana pria dapat kelebihan kromosom X. bisa XXY, atau XXYY. Diduga, penyebab kelainan ini karena tidak berpisahnya kromosom seks pada saat meiosis (pembelahan sel) yang pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan usia seorang ibu yang berpengaruh terhadap proses reproduksi. Artinya bahwa semakin tua seorang ibu, maka akan semakin tidak baik proses pembelahan sel tersebut dan, sebagai akibatnya, semakin besar kemungkinan menimbulkan kelainan seks pada anaknya.

2) Kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Menurut Moertiko (Nadia, 2005 : 31) mengatakan bahwa dalam tinjauan medis, secara garis besar kelainan perkembangan seksual telah dimulai sejak dalam kandungan ibu. Kelompok ini dibagi menjadi empat jenis :

a) Pseudomale atau disebut sebagai pria tersamar. Ia mempunyai sel wanita tetapi secara fisik ia adalah pria. Testisnya mengandung sedikit sperma atau sama sekali mandul. Menginjak dewasa, payudaranya membesar sedangkan kumis dan jenggotnya berkurang.

b) Pseudofemale atau disebut juga sebagai wanita tersamar. Tubuhnya mengandung sel pria. Tetapi, pada pemeriksaan gonad (alat yang


(44)

mengeluarkan hormon dalam embrio) alat seks yang dimiliki adalah wanita. Ketika menginjak dewasa, kemaluan dan payudaranya tetap kecil dan sering tidak bisa mengalami haid.

c) Female-pseudohermaprodite, penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom sebagai wanita (XX) tetapi perkembangan fisiknya cenderung menjadi pria.

d) Male-pseudohermaprodite, penderita ini pada dasarnya memiliki kromosom pria (XY) namun perkembangan fisiknya cenderung wanita. b. Disebabkan oleh faktor psikologis, sosial budaya yang termasuk didalamnya pola

asuh lingkungan yang membesarkannya. Mempunyai pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis. Ibis (Nadia, 2005 : 27) mengatakan bahwa faktor-faktor terjadinya abnormalitas seksual dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu :

1) Faktor internal, abnormalitas seksual yang disebabkan oleh dorongan seksual yang abnormal dan abnormalitas seksual yang dilakukan dengan cara-cara abnormal dalam pemuasaan dorongan seksual.

2) Faktor eksternal (sosial), abnormalitas seksual yang disebabkan oleh adanya pasangan seks yang abnormal. Kartono (1989 : 263) mengatakan bahwa sebab utama pola tingkah laku relasi seksual yang abnormal yaitu adanya rasa tidak puas dalam relasi heteroseksual.


(45)

2.6 Kondom dan Cara Pemakaian Kondom

Ahli anatomi Italia bernama Fallopius pada 1664 memperkenalkan pelindung sejenis kondom yang terbuat dari kain linen. Kemudian pelindung dari usus binatang mulai dipopulerkan pada abad 18 dan dinamakan “kondom”. Pada saat itu kondom dimasyarakatkan sebagai alat untuk mencegah penyakit kelamin dan mencegah bertambahnya anak haram. Dengan ditemukannya karet vulkanis pada tahun 1844 produksi masal kondom dari latekspun dimulai (Hatcher, Stewart, Trussel, et all) 1990 dalam Lembar Informasi IPM (1998).

Rajapitayakorn (1993) menyatakan ada orang yang merasa bahwa kondom tidak efektif, 30-60% pria mengaku selalu menggunakan kondom, tetapi diantara mereka yang menggunakan kondom belum tentu memakainya secara benar. Pemakaian kondom yang salah bisa mengakibatkan kondom itu lepas atau robek. Begitulah bila kita tidak memakainya secara konsisten, tentu saja kondom itu tidak akan efektif.

Hasil dari penelitian kondom yang terus menerus oleh LARFP Counsil memperkirakan adanya hubungan yang kuat antar lingkar penis dan terlepasnya kondom, regangan kondom dan tip pemakainnya. Selanjutnya dikatakan pula ukuran penis yang diukur oleh pasangannya yang menggunakan kit special termasuk didalamnya cara-cara menggunakan kondom, dan adanya dua garis merah pada kertas, dimana garis pertama mengukur panjang penis dan garis yang satunya lagi untuk lingkaran penis (Setiner, M, 1998).


(46)

Kegagalan pemakaian kondom tergantung pada karakteristik pemakai seperti sejarah kegagalan dalam pemakaian kondom seperti robek atau terlepas, kurangnya pengalaman pemakaian kondom, usia yang muda, pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah dan ukuran penis yang besar (Spruyt, Steiner, Joanis et all, 1998).

Dalam mempromosikan kondom, kondom harus tersedia dengan baik, dan untuk meningkatkan penggunaan kondom adalah dengan meningkatkan kualitas kondom yang membuat hubungan menjadi lebih nikmat dan nyaman.

Selanjutnya ditemukan bahwa pasangan yang tidak menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual didapati jumlah kasus baru HIV dengan pasangan yang menggunakan kondom. Penelitian pada 343 pasangan tetap pria yang terinfeksi HIV, insiden HIV rata-rata 7,2/100 orang/tahun yang tidak menggunakan kondom, dibandingkan dengan yang selalu menggunakan kondom rata-rata 1,1/100 orang/tahun (Finger, W,R. 1996)

Pada penelitian Lubis, dkk (1992), pemakaian kondom pada waria selama lima kali hubungan seks yang terakhir, sebanyak 65,9% tidak pernah memakai kondom, memakai sekali (7,8%), memakai kondom dua kali (14,8%), memakai kondom tiga kali (1,4%) dan memakai kondom 4-5 kali (9,9%). Perubahan perilaku di kalangan waria sangat sulit karena diketahui masih rendahnya pemakaian kondom di kalangan waria (9,9%).


(47)

2.6.1. Pencegahan HIV/AIDS dengan pengunaan Kondom

. Kegiatan penanggulangan HIV adalah mengupayakan peningkatan penggunaan kondom pada setiap kegiatan seks beresiko. Pengalaman dibanyak Negara menunjukkan dengan semakin tinggi penggunaan kondom pada kegiatan seks beresiko mampu mencegah penularan HIV, terlihat dengan semakin rendah kasus penularan infeksi yang ditularkan secara seksual, termasuk HIV. Pengalaman Negara Muangthai dan juga Kamboja menunjukkan bahwa keberhasilan penggunaan kondom 100% perlu dilakukan dengan dukungan semua pihak. Bila peningkatan pengunaan kondom tidak dapat dipertahan kan akan terjadi peningkatan laju penularan HIV. Pengunaan kondom ini dipengaruhi juga terhadap tiga faktor, yaitu kualitas, cara memakai dan melepaskanya karena ini tidak diikuti efektevitas perlindungan tidak terjadi. (http//www.teryata org/hiv/report_on_hiv/HIVInd).

2.7. Faktor – Faktor yang Memengaruhi Pemakaian Kondom

Anderson (1974) menggambarkan model system kesehatan (health system model) yang berupa kepercayaan kesehatan terdapat 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yakni karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung dan karakteristik kebutuhan.

1. Karakteristik Predisposisi, digolongkan dalam 3 kelompok a) Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur


(48)

c) Manfaat kesehatan seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses kesembuhan penyakit.

2. Karakteristik pendukung (Enabling Characteristics)

Mencerminkan bahwa meskipun punya predisposisi untuk menggunakannya ia tak akan bertindak menggunakannya, kecuali ia mampu menggunakannya.

3. Karakteristik Kebutuhan (need Characteristics)

Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana predisposisi dan enabling itu ada.

2.7.1 Faktor Pemudah 2.7.1.1 Umur

Sutrisna, B (1986) menyatakan bahwa umur adalah variable yang selalu diperhatikan dalam penyidikan-penyidikan epidemologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian didalam semua keadaan menunjukan umur. Sedangkan beberapa penelitian mengatakan bahwa usia mempengaruhi tingkat keaktifan seksual seseorang (Patriani, 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa usia mempengaruhi hubungan seks dan umur termasuk dalam kelompok aktif seksual dimana frekuensinya lebih sering daripada umur di atas 40 tahun. Sedangkan menurut Astawa (1985) umur merupakan salah satu variable yang penting dalam mempengaruhi aktivitas seksualnya. Semakin bertambah umur seseorang maka akan semakin matang dalam mengambil sikap sehingga nantinya dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Selanjutnya sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada pelaut di Bali variable umur diperkirakan mempunyai peranan yang cukup besar dalam hubungannya dengan


(49)

tingkat pengetahuan. Dimana semakin dewasa umur seseorang berarti semakin banyak pengalaman dan semakin matang dalam menanggapi suatu masalah dalam hal ini kaitannya dengan AIDS, dimana pelaut yang rata-rata pengetahuan paling tinggi adalah umur 20 – 39 tahun dan pengetahuan yang paling rendah adalah umur dibawah 20 tahun.

Umur termasuk variabel yang penting dalam mempelajari dalam masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan kebiasaan hidup, misalnya : kebiasaan hidup orang yang sudah dewasa dalam hal ini pola perilaku hubungan seks berbeda dengan remaja ( Azwar, 1988)

Ditinjau dari umur dan distribusi umur penderita AIDS di Amerika Serikat, Eropa Dan Afrika jauh berbeda, kelompok terbesar umur 30 – 39 tahun, menurun pada kelompok yang lebih besar dan lebih kecil. Ini membuktikan bahwa trasmisi utama. Dan infeksi terbesar terjadi pada kelompok seksual yang paling aktif yaitu 20 -30 tahun.

Hal tersebut sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Utami, Dwi dan Leibo (1998) pada gelandangan Yogyakarta bahwa frekuensi melakukan hubungan seksual pada umur 25 – 45 tahun sebesar 76,2% dan menurun frekuensinya pada umur yang lebih besar (46 – 56 tahun) sebesar 12,69% dan umur yang lebih kecil (13 – 24 tahun) sebesar 11,11%.

2.7.1.2 .Pendidikan

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk mengembangkan diri. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima


(50)

serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi, sedangkan semakin meningkat produktivitas, semakin meningkat kesejahteraan keluarga. Selanjutnya dikatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi pendidikan seseorang secara teoritis semakin positif dalam perilaku kesehatan mereka, termasuk juga dalam hal perilaku seksualnya dalam hubungannya dalam penularan AIDS (Astawa, 1995).

Penelitian yang dilakukan oleh Olenik (1998) yang melakukan penelitian pada pria di Mexico, Philipina dan Republik Dominica menganalisa bahwa karakteristik peserta ditemukan bahwa tingkat pendidikan pria berhubungan dengan kegagalan kondom. Dari penelitan-penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan pria berhubungan dengan kegagalan kondom.

Dari penelitian – penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan formal para PSK pada umumnya rendah 40% tidak lulus SD bahkan 1/3nya tergolong buta huruf, yang merupakan kendala apabila hendak melakukan penyuluhan pada PSK.

2.7.1.3 Pendapatan dan Pekerjaan

Sutrisna (1986), yang sering dilakukan ialah melihat hubungan antara tingkat penghasilan dengan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan secara popular keadaan keluarga baik perorangan maupun keluarga lebih dikenal dengan sebutan status ekonomi keluarga yang berperan di dalam pengambilan keputusan bertindak utama terhadap tindakan yang berkaitan dengan keuangan keluarga. Karena status ekonomi yang rendah di desa kebanyakan penduduk pindah kekota untuk mencari nafkah. Para pendatang ini seringkali menetap di daerah


(51)

perkotaan untuk jangka waktu yang lama dan secara pelan-pelan manjadi bagian dari penghuni lingkungan kumuh perkotaan.

Status pekerjaan sebagian penduduk perkotaan dapat dikategorikan sebagai “sector formal:”, seperti : pegawai kantoran, pegawai negeri, dsb. Dan sebagian lagi yang lebih besar bekerja disektor informal (pedagang asongan, pencari kerja, gelandangan, petani, nelayan, pengrajin, pelacur dsb) yang sifatnya tidak tetap dan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. (Iskandar, M, dkk, 1996)

Tingginya angka Pelacuran di Indramayu, menemukan bahwa factor kemiskinan merupakan penyebab utama (46%), kemudian tingkat pendidikan (28%) (Wibowo, dkk, 1989 dalam Hull, T, dkk, 1997), pelacur adalah sekelompok perempuan yang melakukan aktivitas hubungan seksual secara berulang-ulang diluar perkawinan yang sah untuk mendapatkan uang, materi atau jasa bagi kalangsungan hidup. Kebanyakan mereka menawarkan pelayanan seksual kepada laki-laki, hanya sedikit yang melakukannya kepada perempuan.

Selanjutnya Emma Goldman, dalam Husein (1997) bahwa seorang aktivis abad 19 yang mengatakan mengapa anda buang-buang waktu untuk beberapa shilling dengan menjadi tukang cuci piring, bekerja seminggu, delapan belas jam sehari, sementara wanita bisa mendapat bayaran yang lebih tinggi dengan menjual tubuh mereka. Jika dilihat dari definisinya maka Pekerja Seks komersial adalah seorang yang bekerja menjaul jasa melayani nafsu seksual dari pasangannnya (pelanggan) dengan imbalan bayaran (Roberts,N, 1992 dalam Husein, A, 1997).


(52)

Menurut Browfield, 1992 dalam Iskandar, M, 1996 menyatakan bahwa setiap laki-laki di Surabaya yang seksual aktif bisa dicurigai menjadi klien industry seks sebagian besar klien adalah orang Indonesia, baik yang datang maupun yang menetap di Surabaya, walaupun sejumlah pendatang asing turut ambil bagian dalam pelayanan industri seks ini.

Sedangkan klien waria bisa dijumpai di berbagai sosio ekonomi, tetapi mempunyai cirri-ciri yang berbeda. Banyak remaja pria memakai pekerja seks waria dikarenakan :

a. Karena larangan agama untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan membuat waria menarik bagi mereka yang tidak mau menggunakan industri seks. b. Karena klien pendapatan yang rendah hanya berminat pada harga yang murah,

dan waria sering memberikan pelayanan secara Cuma-Cuma terhadap klien yang dianggap menarik.

c. Untuk klien yang heteroseksual, waria menyediakan pelayanan seks oral/anal sambil berperilaku seperti wanita kepad pasangannya. Serta untuk mendapatkannya murah karena tidak perlu mengeluarkan uang ekstra untuk menyewa penginapan.

Sanjay (1996) & Elifsa (1994) dalam Cathy & Emilia (1997) menyatakan bahwa adanya hubungan diskriminasi jender, akses legal dan social, diskrominasi pekerjaan dengan menjadi pekerja seks, sebanyak 37% dari sempel melaporkan beberapa diskriminasi pekerjaan seperti tidak diterima pekerjaan atau kehilangan


(53)

pekerjaan karena jender yang dimilikinya sekarang. Karena hal tersebut sehingga memaksa untuk tidak mempunyai pilihan dan akhirnya menjadi pekerja seks

2.7.1.4 Tingkat Pengetahuan

Sumantri (1984) menyatakan bahwa pengetahuan adalah segenap apa ayng diketahui manusia tentang objek tertentu. Termasuk ilmu pengetahuan yang ada pada manusia, bertujuan menjawab permasalahan yang dihadapi sehari-hari untuk mempermudah manusia itu sendiri. Pengetahuan diibaratkan merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, tatapi penggunaannya tergantung manusia itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan berbagai penelitian kesehatan Reproduksi, khususnya tentang PMS, HIV/AIDS maka studi Lubis (1991/1992) menyatakan bahwa pada waria di Jakarta adanya kecendrungan yang cukup membaik dalam persepsi bahwa AIDS merupakan penyakit yang mematikan yaitu pada tahun 1991 64,5% waria menyatakan tidak tahu ada resiko tertular pada dirinya, sedangkan pada tahun 1992 telah menurunkan banyak menjadi 18,0% dan resiko pada temennya menurun 70,4% menjadi 20,1%.

Sehingga sebaliknya persepsi akan adanya tertular AIDS menjadi meningkat dari hanya 29,1% menjadi 49,3% pada dirinya dan 23,8% menjadi 36,6% pada temennya. Yang masih mengganggap tidak ada resiko tertular AIDS ternyata menjadi naik menjadi 6,4% menjadi 32,5% menjadi 43,7% untuk temannya. Hal terakhir ini mungkin dijawab oleh waria berusia atau waria yang mempunyai partner seks satu orang.


(54)

2.7.1.5 Sikap

Menurut Suyatinah (2000) yang mengutip pendapat Soemadi Suryobroto bahwa perilaku dipengaruhi oleh lingkungan, elementaristik, peranan reaksi, mekanisme terbentuknya hasil belajar, sehingga sikap seseorang tergantung pada lingkungan dan hasil belajar orang tersebut. Makin banyak seseorang belajar tentang kondom maka makin banyak pengetahuan tentang kondom dan hal ini membuat sikap positif tentang menawarkan kondom akan terbentuk.

2.7.2 Faktor Penguat 2.7.2.1 Petugas Kesehatan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kenderwis (2008) menunjukkan bahwa andil petugas kesehatan tidak memberikan kontribusi dalam peningkatan nilai tawar kondom oleh PSK. Hal ini bertentangan dengan pendapat Green (2004), bahwa perilaku dipengaruhi oleh factor yang berasal dari kelompok atau individu yang dekat dengan seseorang termasuk petugas kesehatan.

2.7.2.2 LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan tawar PSK dalam penggunaan kondom kepada pelanggannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Djauzi (2006) yang menyatakan bahwa LSM sangat besar perannya dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia terutama dalam memberikan penyuluhan kepada PSK dan pelanggannya agar mau menggunakan kondom setiap melakukan transaksi seksual.


(55)

2.7.2.3 Stakeholder

Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dikungan fasilitas saja. Melainkan diperlukan perilaku acuan dari para tokoh masyarakat dan tokoh agama.

2.8 Komunikasi

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dan menjalankan seluruh kehidupannya sebagai individu dalam kelompok sosial, komunitas, organisasi, maupun masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia berinteraksi,membangun relasi dan transaksi social dengan orang lain. Oleh karena itu manusia tak dapat menghindari komunikasi antar personal, komunikasi dalam kelompok, komunikasi dalam organisasi dan public, dan komunikasi massa.

Menurut Hybel dan Weafer II dalam Liliweri (2007) komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan dan perasaan . Proses ini meliputi informasi yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis dengan kata-kata (verbal), atau yang disampaikan dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, mengunakan alat bantu disekeling kita sehingga sebuah pesan menjadi lebih kaya.

Secara fungsinya komunikasi mempunyai lima kategori yakni:

1. Sumber atau pengirim menyebarluaskan informasi agar dapat diketahui penerima.


(56)

3. Sumber memberikan intruksi agar dilaksanakan penerima.

4. Sumber mempengaruhi konsumen dengan informasi yang persuasive untuk mengubah persepsi, sikap dan perilaku penerima.

5. Sumber menyebarluaskan informasi untuk menghibur sambil mempengarui penerima .

Dalam buku Silent Messages (1971), Aibert Mehrabian mengemukakan bahwa manusia berkomunikasi secara verbal dan non verbal. Bila kita membandingkan prosentase pengunaan pesan, maka total 7%, verbal feeling + 38%, vocal feeling + 55%, facial feeling. Ini berarti bahwa 93% dari prilaku komunikasi kita, dalam hal ini pengalihan pesan, mrnggunakan pesan symbol non verbal, sisanya 7% mengunakan pesan verbal.

Komunikasi verbal merupakan pengertian pesan-pesan verbal atau pesan berupa kata-kata yang diucapkan (vocal), ditulis (visual). Konsep komunikasi verbal ini tidak bisa dilepaskan dari ilmu bahasa atau linguistic. Dalam praktiknya, cara manusia berkomunikasi melalui bahasa yang secara formal dilakukan melalui bahasa lisan dan tulisan.

Morris (1977) dalam Liiweri (2004) membagi pesan non verbal sebagai berikut:

1. Kinesik adalah pesan non verbal yang implementasikan dalam bentuk bahasa isyarat tubuh atau anggota tubuh. Untuk itu ada beberapa isyarat tubuh lainnya : a. Gestures merupakan bahasa isyarat yyang ditampilkan oleh gerakan tubuh


(57)

b. Experesi Wajah merupakan pernyataan atau suatu makna misalkan, suatu senyuman bisa berarti senang bisa juga sinis.

c. Bersalaman merupakan sesuatu yasng lazim dilakukan ketika kita bertemu seseorang.

d. Kontak mata merupakan symbol non verbal yang penting karena akan dapat memancarkan kita senang maupun tidak.

2. Proksemik yaitu bahasa nonverbal yang ditunjuk oleh ruang dan jarak antara individu dengan orang lain waktu ber komunikasi atau antara individu dengan objek.

3. Haptik disebut juga zero proxemics, artinya tidak ada jarak lagi diantara dua orang waktu komunikasi . Atas dasar itu maka ada ahli komunikasi non verbal yang mengatakan haptik itu sama dengan menepuk-nepuk,meraba-raba, memegang, mengelus dan mencubit.

4. Paralinguistik meliputi setiap penggunaan suara sehingga dia bermanfaat jika kita hendak menginterpretasi symbol herbal.

5. Arifak dalam komunikasi non verbal dengan pelbagai benda material disekitar kita.

6. Logo dan warna, kreasi perancang untuk menciptakan logo dalam penyuluhan merupakan karya komunikasi bisnis,namun model kerja ini dapat ditiru dalam komunikasi kesehatan. Biasanya logo dirancang untuk dijadikan symbol dari suatu organisasi. Bentuk logo biasanya berukuran kecil dan berwarna warni.


(58)

Warna berkaitan dengan budaya audiens. Oleh karena itu pemilihan warna yang salah dapat mempengaruhi penerimaan pesan yang salah oleh audiens.

7. Tampilan fisik tubuh, acapkali anda mempunyai kesan tertentu terhadap penampilan fisik tubuh lawan bicara anda.kita sering menilai seseorang mulai dari warna kulitnya,tipe tubuhnya (kurus,gendut dll). Tipe tubuh itu merupakan cap atau warna yang kita berikan kepada orang itu.

2.9 Landasan Teori

Konsep umum yang disajikan sebagai landasan teori dalam penulisan ini adalah konsep Lawrence W Green (2004), yaitu konsep yang digunakan untuk mendiagnosa atau menilai perilaku individu atau kelompok masyarakat di mana perilaku individu ataupun kelompok masyarakat dipengaruhi 3 faktor utama, yaitu faktor pendukung (predisposing), faktor pemungkin (enabling), dan faktor penguat (reinforcing), seperti tergambar pada kerangka teori berikut :


(59)

Faktor pendukung (presdisfosing) adalah faktor – faktor yang meliputi pengetahuan, agama atau kepercayaan, nilai – nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu, sikap, tingkat pendidikan, tingkat social masyarakat, kemampuan dan kapasitas seseorang atau kelompok masyarakat untuk berperilaku tertentu, atau dalam hal ini perilaku kesehatan. Selain itu juga ada faktor pemungkin (enabling) adalah

(Sumber : Green Lawrence W & Keuter Marshall W, 2004) Gambar 2.1 Kerangka Teori

Faktor Predisposing : 1. Pengetahuan 2. Agama/Kepercayaan 3. Nilai-nilai 4. Sikap 5. Kemampuan 6. Kapasitas

Faktor Enabling :

1. Ketersediaan sumber daya kesehatan

2. Kemudahan untuk mencapai sumber daya kesehatan

3. Hukum, prioritas dan komitmen pemerintah/masyarakat

terhadap kesehatan

4. Keterampilan terkait dengan kesehatan

Faktor Reinforcing : 2. Keluarga

3. Panutan 4. Guru 5. Pekerja

6. Pelaksana kesehatan 7. Tokoh masyarakat 8. Pembuat keputusan

Perilaku spesifik individu atau organisasi Kesehatan Genetika Lingkungan (kondisi tempat tinggal


(1)

Sikap * Keterampilan Waria

Cro sstab

21 24 45

13,4 31,6 45,0

46,7% 53,3% 100,0%

77,8% 37,5% 49,5%

23,1% 26,4% 49,5%

6 40 46

13,6 32,4 46,0

13,0% 87,0% 100,0%

22,2% 62,5% 50,5%

6,6% 44,0% 50,5%

27 64 91

27,0 64,0 91,0

29,7% 70,3% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

29,7% 70,3% 100,0%

Count

Expected Count % wit hin Sikap % wit hin

Keterampilan Waria % of Total

Count

Expected Count % wit hin Sikap % wit hin

Keterampilan Waria % of Total

Count

Expected Count % wit hin Sikap % wit hin

Keterampilan Waria % of Total

Baik

Buruk Sikap

Total

Baik Buruk

Keterampilan Waria

Total

Chi-Square Tests

12,324b 1 ,000

10,765 1 ,001

12,858 1 ,000

,001 ,000

12,188 1 ,000

91 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by -Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asy mp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only f or a 2x2 table a.

0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 13,35.

b.

Risk Esti mate

5,833 2,064 16,485

3,578 1,593 8,034

,613 ,456 ,824 91

Odds Rat io f or Sikap (Baik / Buruk)

For cohort Keteram pilan Waria = Baik

For cohort Keteram pilan Waria = Buruk

N of Valid Cases

Value Lower Upper 95% Conf idence


(2)

Peranan LSM * Keterampilan Waria

Cro sstab

16 45 61

18,1 42,9 61,0 26,2% 73,8% 100,0% 59,3% 70,3% 67,0% 17,6% 49,5% 67,0%

11 19 30

8,9 21,1 30,0 36,7% 63,3% 100,0% 40,7% 29,7% 33,0% 12,1% 20,9% 33,0%

27 64 91

27,0 64,0 91,0 29,7% 70,3% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 29,7% 70,3% 100,0% Count

Expected Count % wit hin Peranan LSM % wit hin Keterampilan Waria

% of Total Count

Expected Count % wit hin Peranan LSM % wit hin Keterampilan Waria

% of Total Count

Expected Count % wit hin Peranan LSM % wit hin Keterampilan Waria

% of Total Baik

Buruk Peranan

LSM

Total

Baik Buruk Keterampilan Waria

Total

Chi-Square Tests

1,050b 1 ,306

,609 1 ,435

1,031 1 ,310

,336 ,216

1,038 1 ,308

91 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by -Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asy mp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only f or a 2x2 table a.

0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 8,90.

b.

Risk Esti mate

,614 ,241 1,567

,715 ,381 1,345

1,165 ,854 1,589

91 Odds Rat io f or Peranan

LSM (Baik / Buruk) For cohort Keteram pilan Waria = Baik

For cohort Keteram pilan Waria = Buruk

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idence Interv al


(3)

Peranan Petugas Kesehatan * Keterampilan Waria

Cro sstab

12 31 43

12,8 30,2 43,0

27,9% 72,1% 100,0%

44,4% 48,4% 47,3%

13,2% 34,1% 47,3%

15 33 48

14,2 33,8 48,0

31,3% 68,8% 100,0%

55,6% 51,6% 52,7%

16,5% 36,3% 52,7%

27 64 91

27,0 64,0 91,0

29,7% 70,3% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

29,7% 70,3% 100,0%

Count

Expected Count % wit hin Peranan Petugas Kesehat an % wit hin

Keteram pilan Waria % of Total

Count

Expected Count % wit hin Peranan Petugas Kesehat an % wit hin

Keteram pilan Waria % of Total

Count

Expected Count % wit hin Peranan Petugas Kesehat an % wit hin

Keteram pilan Waria % of Total

Baik

Buruk Peranan Petugas

Kesehatan

Total

Baik Buruk Keteram pilan Waria

Total

Chi-Square Tests

,121b 1 ,727

,014 1 ,906

,122 1 ,727

,820 ,454

,120 1 ,729

91 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by -Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asy mp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only f or a 2x2 table a.

0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 12,76.

b.

Risk Esti mate

,852 ,345 2,102

,893 ,472 1,690

1,049 ,803 1,369 91

Odds Rat io f or Peranan Petugas Kesehat an (Baik / Buruk)

For cohort Keteram pilan Waria = Baik

For cohort Keteram pilan Waria = Buruk

N of Valid Cases

Value Lower Upper 95% Conf idence


(4)

Peranan Petugas KPA Kecamatan * Keterampilan Waria

Cro sstab

21 21 42

12,5 29,5 42,0

50,0% 50,0% 100,0%

77,8% 32,8% 46,2%

23,1% 23,1% 46,2%

6 43 49

14,5 34,5 49,0

12,2% 87,8% 100,0%

22,2% 67,2% 53,8%

6,6% 47,3% 53,8%

27 64 91

27,0 64,0 91,0

29,7% 70,3% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

29,7% 70,3% 100,0%

Count

Expected Count % wit hin Peranan

Petugas KPA Kecamatan % wit hin Keterampilan Waria

% of Total Count

Expected Count % wit hin Peranan

Petugas KPA Kecamatan % wit hin Keterampilan Waria

% of Total Count

Expected Count % wit hin Peranan

Petugas KPA Kecamatan % wit hin Keterampilan Waria

% of Total Baik

Buruk Peranan Petugas

KPA Kecamat an

Total

Baik Buruk

Keteram pilan Waria

Total

Chi-Square Tests

15,449b 1 ,000

13,692 1 ,000

16,006 1 ,000

,000 ,000

15,279 1 ,000

91 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by -Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asy mp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only f or a 2x2 table a.

0 cells (,0%) hav e expected count less than 5. The minimum expected count is 12,46.

b.

Risk Esti mate

7,167 2,516 20,411

4,083 1,820 9,163

,570 ,414 ,785

91 Odds Rat io f or Peranan

Petugas KPA Kecamatan (Baik / Buruk)

For cohort Keterampilan Waria = Baik

For cohort Keterampilan Waria = Buruk

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idence Interv al


(5)

Logistic Regression

Block 0: Beginning Block

Case Processing Summary

91

100,0

0

,0

91

100,0

0

,0

91

100,0

Unweighted Cases

a

Included in Analy sis

Missing Cases

Total

Selected Cases

Unselected Cases

Total

N

Percent

If weight is in ef f ect, see classif ication table f or the total

number of cases.

a.

Dependent Vari able Encoding

0

1

Original Value

Baik

Buruk

Internal Value

Classificati on Table

a,b

0

27

,0

0

64

100,0

70,3

Observ ed

Baik

Buruk

Keterampilan

Waria

Ov erall Percentage

St ep 0

Baik

Buruk

Keterampilan Waria

Percent age

Correct

Predicted

Constant is included in the model.

a.

The cut v alue is , 500

b.

Variables in the Equation

,863

,229

14,144

1

,000

2,370

Constant

St ep 0

B

S. E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Variabl es not in the Equation

2,705

1

,100

13,311

1

,000

12,324

1

,000

15,449

1

,000

19,568

4

,001

DIDIK

PENGKAT

SI KAT

STAKEKAT

Variables

Ov erall Stat istics

St ep

0


(6)

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

21,524

4

,000

21,524

4

,000

21,524

4

,000

St ep

Block

Model

St ep 1

Chi-square

df

Sig.

Model Summary

89,140

,211

,299

Step

1

-2 Log

likelihood

Cox & Snell

R Square

Nagelkerke

R Square

Classificati on Table

a

16

11

59,3

8

56

87,5

79,1

Observ ed

Baik

Buruk

Keterampilan

Waria

Ov erall Percentage

St ep 1

Baik

Buruk

Keterampilan Waria

Percent age

Correct

Predicted

The cut v alue is , 500

a.

Variables in the Equation

,161

,892

,033

1

,853

1,032

1,525

,663

3,399

1

,007

5,786

1,564

,625

3,151

1

,008

4,818

1,527

,670

3,302

1

,007

5,573

-4,050

1,278

10,044

1

,001

,000

DIDIK

PENGKAT

SI KAT

STAKEKAT

Constant

St ep

1

a

B

S. E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: DIDIK, PENGKAT, SIKAT, STAKEKAT.

a.