Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional (Kajian Terhadap Motif Ulos Batak Toba)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL

(KAJIAN TERHADAP MOTIF ULOS BATAK TOBA)

TESIS

Oleh

RAHMADANY

097005057/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Indonesia telah menghasilkan karya-karya artistik yang luar biasa. Karya-karya ini merupakan aspek dari hubungan lokal dan hubungan yang lebih luas dalam bidang perdagangan, agama, kekerabatan dan juga politik. Pengetahuan tradisional ini memiliki nilai bagi masyarakat Indonesia. Pengetahuan tradisional bukan hanya merupakan suatu hiburan, wahana inspirasi dan pencerahan bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga memungkinkan mereka untuk menempatkan dirinya secara positif dan kreatif dalam hubungannya terhadap sesama dan dalam hubungannya terhadap agama. Pengetahuan dan praktek kesenian berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi, identitas kelompok, kebanggaan terhadap daerah dan bangsanya, serta pengembangan kesadaran etika yang mendalam dan bersifat khas. Pengetahuan tradisional Indonesia seperti Wayang Kulit,Batik Jawa, Tarian, Tenun Ikat Bali, Kain Songket, dan Ulos Batak Toba yang dalam sepanjang sejarah telah dipraktekkan sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional lainnya. Sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, Indonesia tentunya memiliki kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Ditambah lagi, posisi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa (mega biodiversity) telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya yang besar untuk pengembangan di bidang kesenian. Karena perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masih lemah, maka potensi yang dimiliki oleh Indonesia tersebut justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing secara tidak sah.

Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau doktriner, yaitu menggunakan hukum positif dan bahan hukum yang lain. Oleh karena itu penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan, yang berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya terhadap Motif Ulos Batak Toba.

Hasil penelitian ini adalah bahwa Ulos Batak Toba merupakan bagian dari pengetahuan tradisional, ulos dibuat oleh masyarakat adat Batak Toba yang ada di Sumatera Utara, pembuatan ulos ini dilakukan secara turun temurun. Pengaturan mengenai Ulos terdapat dalam pasal 12 ayat 1 huruf i UUHC Nomor 19 Tahun 2002 yaitu dalam ruang lingkup seni batik. Ulos disamakan dengan pengertian seni batik karena ulos adalah kain tenun khas Batak yang dibuat secara konvensional dilindungi dalam undang-undang ini sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Pengetahuan Tradisional, Motif Ulos Batak Toba.


(3)

ABSTRACT

Indonesia has produced extraordinary artistic works which are the aspects of local and broader relationship in lerms of trade, religion, kinship and politic.

This traditional knowledge has its own value for the people of Indonesia. Traditional knowledge is not only an entertainment, mode of inspiration and enlightenment for the people of Indonesia, but also something that enables them to position themselves positively and creatively in their relationship with their fellow Indonesians and toward religion. Knowledge of art and its practice have contributed to economic welfare, group identity, local and national pride and the development of specific and deep ethic awareness. The Indonesian traditional knowledge such as Leather Puppet, Javanese Batik Cloth, Dances, Balinese !kat Cloth, Songket Cloth, and Batak Toba Ulos which, along the history, have been practiced the same way as the other traditional knowledge was. As one of the countries consisting of various ethnic groups and is very rich in variety of traditions and cultures, Indonesia, of course, has its own vested interest in legal protection for traditional knowledge. In addition, the position of Indonesia as a country with mega biodiversity has made Indonesia a country with huge potential resources to develop the field of art. Since legal protection for traditional knowledge is still inadequate, the potentials owned by Indonesia are more used by the foreigner illegally.

This study employed the normative legal research method or doctrine which used positive law or the other kinds of legal materials. Therefore, this study was based on library research which analyzed secondary data more. The research questions for this study was how legal protection for traditional knowledge especially the motives of Batak Toba Ulos is implemented.

The result of this study showed that Batak Toba Ufos is part of traditional knowledge. Ulos is made by the Batak Toba living in Sumatera Utara. The making of this ulos has been passed from one generation to the other. The regulation on Ulos is found in Article 12 (l i) of Law No. 19/2007 on Copy Right in the scope of Batik Art. Ulos is understood the same as Batik Art because ulos is the specific Batak woven cloth made conventionally and protected by Law No.19/2002 as a specific original creation. These kinds of works get their protection because of their artistic values either for their creation of motive or drawing or color composition.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang atas perkenan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL (KAJIAN TERHADAP MOTIF ULOS BATAK TOBA)”.

Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis banyak sekali menerima dukungan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karenanya, sudah selayaknya penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu secara moril maupun materiil.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, pertama-tama penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku ketua Komisi Pembimbing Tesis, dan yang terhormat Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan,SH, MH, DFM selaku anggota Komisi Pembimbing Tesis yang dengan penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingannya dan pengarahan kepada penulis selama penulisan tesis ini


(5)

Selanjutnya, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.AK. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Runtung, SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH,MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Dedi Herianto, SH.M,Hum dan Ibu Dr. Idha Aprilyana, SH,M.Hum selaku Dosen penguji, terimakasih atas masukan dan pendapatnya yang sangat berharga bagi penulis.

5. Seluruh staf Pengajar/Dosen Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua Orang Tuaku yang sangat aku kasihi dan kucintai yang telah mendidikku dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepadaku sehingga aku seperti sekarang ini. Semoga ayah dan bunda selalu dalam lindungan Allah SWT. 7. Suamiku tercinta Asman Siagian, SH, M.Hum, yang selalu mendukungku dan

yang selalu memberiku semangat dari awal perkuliahan sampai dengan selesainya penulisan tesis ini. Terimakasih atas cinta dan kasihnya kepadaku. Semoga Allah SWT selalu melindungimu.

8. Anak-anakku yang manis dan lucu Raihanda Rahman Pasha Siagian, Aura Rahman Syakila Siagian, Muhammad Rahman Rizky Siagian, kalian adalah


(6)

9. Adik kembarku yang sangat kucintai, Mala Sari dan Maya Sari, S.Pd, kalian adalah adikku yang baik hati, Terimakasih atas perhatian dan kasih sayang kalian kepadaku.

10.Sobat-sobatku, Kak ika, Risda, Ani, Erni, Febri, Datuk Sahreza, Bang Didin, Munawar, Irwansyah, Adri, Yusrizal, Arijal. Dan semua rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2009 yang tidak bisa kusebutkan namanya satu persatu. 11.Seluruh staf pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, atas segala bantuan dan kemudahan yang kalian berikan.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala bantuan dan bimbingan yang penulis terima, dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang memerlukan dan mengembangkannya.

Medan, Juni 2011

Penulis,


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rahmadany

Tempat/Tgl lahir : Medan, 11 Mei 1978

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : - SD Negeri 066433 Medan lulus tahun 1990

- Madrasah Tsanawiyah Negeri Medan lulus tahun 1993

- Madrasah Aliyah UNIVA Medan lulus tahun 1996

- Universitas Islam Sumatera Utara lulus tahun 2000

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah - Pascasarjana Universitas Sumatera Utara lulus tahun


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

DAFTAR ISI ……….. vii

BAB I : PENDAHULUAN ……….. 1

A.Latar Belakang ……….. 1

B.Rumusan Masalah ………..…. 11

C.Tujuan Penelitian ……….………. 11

D.Manfaat Penelitian ……….... 12

E.Keaslian Penelitian ………... 12

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi ……… 13

1. K erangka Teori ………... 13

2. L andasan Konsepsi ……… 18

G. M etode Penelitian ……….. 20

1. S pesifikasi Penelitian ……….20

2. S umber Data ………. 20

3. T eknik dan Alat Pengumpul Data ……… 21

4. A nalisis Data ……… 22


(9)

BAB II : PENGETAHUAN TRADISIONAL DALAM PENGATURAN

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ……….. 23

A. Pengertian Pengetahuan Tradisional ………… ………. 23

B. Lingkup Perlindungan Pengetahuan Tradisional ……….. 25

C. Konsep Kepemilikan ………. 27

D. Manfaat Perlindungan Terhadap Pengetahuan Tradisional ……….. 29

BAB III : PENGATURAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL ATAS MOTIF ULOS BATAK TOBA ……… 32

A. H ak Cipta Merupakan bagian dari HKI………..32

B. K etentuan Hak Cipta Indonesia dalam Sejarah...……….. 36

C. P engertian Hak Cipta ………... 38

D. U los Batak Toba Sebagai Bagian dari Pengetahuan Tradisional … 47 E. P engaturan Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Motif Ulos Batak Toba ……… 55

BAB IV : KENDALA-KENDALA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL ATAS MOTIF ULOS BATAK TOBA ……… 70

A. P encipta dan Pemegang Hak Cipta ……….. 70

B. P endaftaran Hak Cipta ……… 74


(10)

C. K endala-Kendala Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan

Tradisional Atas Motif Ulos Batak ………. 81

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………...97

A. K

esimpulan ………...97

B. S

aran ……….. ..98


(11)

ABSTRAK

Indonesia telah menghasilkan karya-karya artistik yang luar biasa. Karya-karya ini merupakan aspek dari hubungan lokal dan hubungan yang lebih luas dalam bidang perdagangan, agama, kekerabatan dan juga politik. Pengetahuan tradisional ini memiliki nilai bagi masyarakat Indonesia. Pengetahuan tradisional bukan hanya merupakan suatu hiburan, wahana inspirasi dan pencerahan bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga memungkinkan mereka untuk menempatkan dirinya secara positif dan kreatif dalam hubungannya terhadap sesama dan dalam hubungannya terhadap agama. Pengetahuan dan praktek kesenian berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi, identitas kelompok, kebanggaan terhadap daerah dan bangsanya, serta pengembangan kesadaran etika yang mendalam dan bersifat khas. Pengetahuan tradisional Indonesia seperti Wayang Kulit,Batik Jawa, Tarian, Tenun Ikat Bali, Kain Songket, dan Ulos Batak Toba yang dalam sepanjang sejarah telah dipraktekkan sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional lainnya. Sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, Indonesia tentunya memiliki kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Ditambah lagi, posisi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa (mega biodiversity) telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumber daya yang besar untuk pengembangan di bidang kesenian. Karena perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masih lemah, maka potensi yang dimiliki oleh Indonesia tersebut justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing secara tidak sah.

Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau doktriner, yaitu menggunakan hukum positif dan bahan hukum yang lain. Oleh karena itu penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan, yang berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya terhadap Motif Ulos Batak Toba.

Hasil penelitian ini adalah bahwa Ulos Batak Toba merupakan bagian dari pengetahuan tradisional, ulos dibuat oleh masyarakat adat Batak Toba yang ada di Sumatera Utara, pembuatan ulos ini dilakukan secara turun temurun. Pengaturan mengenai Ulos terdapat dalam pasal 12 ayat 1 huruf i UUHC Nomor 19 Tahun 2002 yaitu dalam ruang lingkup seni batik. Ulos disamakan dengan pengertian seni batik karena ulos adalah kain tenun khas Batak yang dibuat secara konvensional dilindungi dalam undang-undang ini sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya.

Kata kunci: Perlindungan Hukum, Pengetahuan Tradisional, Motif Ulos Batak Toba.


(12)

ABSTRACT

Indonesia has produced extraordinary artistic works which are the aspects of local and broader relationship in lerms of trade, religion, kinship and politic.

This traditional knowledge has its own value for the people of Indonesia. Traditional knowledge is not only an entertainment, mode of inspiration and enlightenment for the people of Indonesia, but also something that enables them to position themselves positively and creatively in their relationship with their fellow Indonesians and toward religion. Knowledge of art and its practice have contributed to economic welfare, group identity, local and national pride and the development of specific and deep ethic awareness. The Indonesian traditional knowledge such as Leather Puppet, Javanese Batik Cloth, Dances, Balinese !kat Cloth, Songket Cloth, and Batak Toba Ulos which, along the history, have been practiced the same way as the other traditional knowledge was. As one of the countries consisting of various ethnic groups and is very rich in variety of traditions and cultures, Indonesia, of course, has its own vested interest in legal protection for traditional knowledge. In addition, the position of Indonesia as a country with mega biodiversity has made Indonesia a country with huge potential resources to develop the field of art. Since legal protection for traditional knowledge is still inadequate, the potentials owned by Indonesia are more used by the foreigner illegally.

This study employed the normative legal research method or doctrine which used positive law or the other kinds of legal materials. Therefore, this study was based on library research which analyzed secondary data more. The research questions for this study was how legal protection for traditional knowledge especially the motives of Batak Toba Ulos is implemented.

The result of this study showed that Batak Toba Ufos is part of traditional knowledge. Ulos is made by the Batak Toba living in Sumatera Utara. The making of this ulos has been passed from one generation to the other. The regulation on Ulos is found in Article 12 (l i) of Law No. 19/2007 on Copy Right in the scope of Batik Art. Ulos is understood the same as Batik Art because ulos is the specific Batak woven cloth made conventionally and protected by Law No.19/2002 as a specific original creation. These kinds of works get their protection because of their artistic values either for their creation of motive or drawing or color composition.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional secara resmi telah mengesahkan keikutsertaan dan menerima Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The Word Trade

Organization).1 Dengan demikian Indonesia terikat untuk melaksanakan

persetujuan tersebut. Salah satu persetujuan dibawah pengelolaan World Trade

Organization (WTO) ialah Agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods (Persetujuan mengenai

aspek-aspek dagang yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, termasuk perdagangan barang palsu), disingkat dengan TRIPs.2

       

Untuk melaksanakan persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights (TRIPs) tersebut dan sekaligus membangun sistem hukum nasional

di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

 

1

Asian Law Group,Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar (Bandung; Alumni,2004) hal. 3. 

2


(14)

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varitas Jenis Tanaman.

5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.

6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terkait dengan kreativitas manusia, daya cipta manusia dalam memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah kehidupannya, baik dalam seni, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat. Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan eksistensi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat penting.

Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) akan menyentuh berbagai aspek diantaranya aspek teknologi, industri, sosial, hukum, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Akan tetapi aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat


(15)

yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Dalam lingkup kajian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia, salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang adalah perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional. Tuntutan untuk adanya perlindungan bagi pengetahuan tradisional merupakan isu baru dalam kaitannya dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kemunculannya berawal dengan ditandatanganinya Convention on Biological Diversty 1992 (CBD)3.

World Intellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan

pengetahuan tradisional sebagai pengetahuan yang berbasis pada tradisi.4 Antara lain seperti pengetahuan di bidang karya sastra, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semu inovasi dan kreasi berbasis pada tradisi yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, kesusastraan dan artistik. Sedangkan pengetahuan yang berbasis tradisi menurut Achmad Zein Umar Purba, adalah pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang, yang digunakan

      

3

Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Obat-Obatan (Jakarta: UI Press, 2004), hal.1.  

4

Afrillyanna Purba, Gazalba Saleh dan Andriana Krinawati TRIPs-WTO Dan Hukum HKI Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005),hal. 36. 


(16)

secara turun temurun, dan berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam, yang dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus.5

Pengetahuan tradisional erat kaitannya dengan kelangsungan hidup masyarakat adat. Masyarakat adat sangat kental dengan kemampuan dan keterampilan mereka untuk mengelola pengetahuan tradisional tersebut secara lestari dan berkelanjutan. Pengelolaan dan pelestarian pengetahuan tradisional masyarakat adat ditentukan oleh tradisi, hukum dan praktek-praktek yang ada dalam komunitas adat yang bersangkutan, oleh sekelompok orang, klan atau masyarakat adat itu sendiri secara utuh.6

Pengetahuan tradisional merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. pengetahuan tradisional telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang sangat banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam lingkup internasional sebagaimana terdapat dalam Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights (TRIPs), misalnya hingga saat ini belum mengakomodasi

pengetahuan tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat asli.

Adanya fenomena tersebut maka dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional hingga saat ini masih lemah. Sayangnya

      

5

Ibid.  

6


(17)

hal ini justru terjadi di saat masyarakat dunia tengah bergerak menuju suatu trend yang dikenal dengan gerakan kembali kealam (back to nature). Kecenderungan masyarakat dunia ini menyebabkan eksplorasi dan eksploitasi terhadap pengetahuan tradisional semakin meningkat karena masyarakat asli selama ini memang dikenal mempunyai kearifan tersendiri sehingga mereka memiliki sejumlah pengetahuan tradisional yang sangat bersahabat dengan alam. Karena lemahnya perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional ini maka yang kebanyakan terjadi justru adalah eksploitasi yang tidak sah oleh pihak asing.

Konsep pengetahuan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) barat sangat bertolak belakang dengan sistem hukum adat di Indonesia. Umumnya masyarakat adat di Indonesia mempunyai satu kesamaan, yaitu sifat komunal atau sifat mementingkan keseluruhan.7 Kepentingan individu dalam hukum adat selalu diimbangi oleh hak-hak umum. Konsep harta komunal didalam masyarakat adat, mengakibatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) gaya barat tidak dimengerti sebagian besar masyarakat adat. Sifat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang individualistis akan disalah artikan atau diabaikan karena tidak relevan dengan sistem masyarakat adat yang kolektif. Idealnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia seharusnya berlandaskan pada struktur masyarakat yang ada di Indonesia. Dalam mengetahui hukum pada suatu masyarakat, perlu diketahui terlebih dahulu sifat dan lembaga-lembaga hukum dimana masyarakatnya sehari-hari dikuasai oleh hukum tersebut.

      

7


(18)

Hal ini dikarenakan struktur masyarakat menentukan sistem hukum yang berlaku di masyarakat tersebut.8

Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia memang harus menyesuaikan semua ketentuan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang ada, dengan ketentuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Namun harus dengan catatan, bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPs tersebut tidak merugikan kepentingan Indonesia. Keterlibatan Indonesia sebagai negara berkembang dalam penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) harus ada penyesuaian, untuk mencegah adanya ketimpangan posisi antar negara dan membuat negara industri maju mendapat keuntungan lebih dulu.

Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, memandang bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hanya akan dinikmati oleh negara maju sebagai pengekspor kekayaan intelektual. Negara maju dengan kelebihan tekhnologinya akan mampu menghasilkan kekayaan intelektual yang bernilai tinggi di pasar global. Pada negara-negara berkembang justru sebaliknya, produksinya sebagian besar dari pengetahuan tradisional. Belum diaturnya pengetahuan tradisional dalam TRIPs semakin menyudutkan posisi negara berkembang dipersaingan pasar global.

Joseph E.Stiglitz, mengatakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memiliki perbedaan mendasar dengan hak penguasaan lainnya.9 Jika rambu hak

      

8


(19)

penguasaan lainnya adalah tidak memonopoli, mengurangi efisiensi ekonomi dan mengancam kesejahteraan masyarakat, maka Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada dasarnya menciptakan monopoli.

Menurut Rahardi Ramelan pemberian hak monopoli ini, sering kali merugikan kepentingan umum dan tidak selalu sama dengan wilayah lain10. Di Indonesia misalnya, pengetahuan tradisional yang berkembang berorientasi kepada komunitas, bukan individu. Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan secara khusus

Praktek monopoli terlebih dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi suatu yang asing dalam masyarakat Indonesia yang memiliki kepemilikan bersama, Orang-orang dengan hubungan kekerabatan dekat, seperti keluarga bathin, mungkin untuk secara bersama mengatasnamakan hak kepemilikan atas suatu benda. Dimana hak kepemilikan ini tidak selalu disahkan menurut hukum, melainkan atas dasar konvensi. Masing-masing anggota boleh memanfaatkan guna benda untuk keperluan pribadi atau bersama, dengan sepengetahuan yang lain. Hal ini dimungkinkan selain akibat anggotanya percaya dan menghormati kebersamaan yang termaknakan pada benda, juga karena di sini kedekatan hubungan pada umumnya merupakan jaminan.11

      

9

.JosephE.StiglitzdalamAndriTK,NasibHaKITradisionalKita,(http://catatankammi.blogspot.com /2007/12/nasib-haki-tradisional-kita.html), diakses tanggal 2 April 2011  

10

. Rahardi Ramelan dalam Andri TK, Ibid,  

11


(20)

Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) bersifat asing bagi kepercayaan yang mendasari hukum adat, sehingga kemungkinan besar tidak akan berpengaruh atau kalaupun ada pengaruhnya kecil di kebanyakan wilayah di Indonesia. Hal inilah yang barangkali menjadi halangan terbesar yang dapat membantu melegitimasi penolakan terhadap kekayaan intelektual di Indonesia yaitu konsep yang sudah lama diakui kebanyakan masyarakat Indonesia sesuai dengan hukum adat.12

Prinsip hukum adat yang universal dan mungkin yang paling fundamental adalah bahwa hukum adat lebih mementingkan masyarakat dibandingkan individu. Dikatakan bahwa pemegang hak harus dapat membenarkan penggunaan hak itu sesuai dengan fungsi hak di dalam suatu masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan olen Peter Jaszi dari American University bahwa perlindungan hukum sebaiknya disesuaikan dengan roh dan semangat dari budaya tradisional tersebut.13 Peraturan yang dibuat tidak digeneralisasi yang akhirnya membuat pengetahuan tradisional sebagai subyek dari bentuk baru perlindungan kekayaan intelektual. Pengetahuan tradisional Indonesia dalam dilema. Di satu sisi rentan terhadap klaim oleh negara lain, di sisi lain pendaftaran pengetahuan tradisional sama saja menghilangkan nilai budaya dan kesejarahan yang melahirkannya dan menggantinya dengan individualisme dan liberalisme.

      

12

Banyak konstruksi abstrak yang umum di sistem hukum barat tidak diakui oleh kebanyakan hukum adat. Salah satu diantaranya adalah perbedaan antara harta berwujud dan tidak berwujud. Hukum adat berdasar pada konstruksi keadilan yang konkret, nyata dan dapat dilihat sehingga tidak mengakui penjualan barang yang tidak berwujud. Dengan demikian, hukum adat sama sekali tidak dapat mengakui keberadaan hukum HKI. Tim Lindsey. dkk, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Bandung; PT. Alumni, 2006), hal. 71. 

13


(21)

Indonesia telah menghasilkan karya-karya artistik yang luar biasa. Karya-karya ini merupakan aspek dari hubungan lokal dan hubungan yang lebih luas dalam bidang perdagangan, agama, kekerabatan dan juga politik. Pengetahuan tradisional ini memiliki nilai bagi masyarakat Indonesia. Pengetahuan tradisional bukan hanya merupakan suatu hiburan, wahana inspirasi dan pencerahan bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga memungkinkan mereka untuk menempatkan dirinya secara positif dan kreatif dalam hubungannya terhadap sesama dan dalam hubungannya terhadap agama. Pengetahuan dan praktek kesenian berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi, identitas kelompok, kebanggaan terhadap daerah dan bangsanya, serta pengembangan kesadaran etika yang mendalam dan bersifat khas.

Gairah kehidupan kesenian ini sebagai sumber dan juga hasil dari proses hubungan yang bersifat kompleks. Gairah berkreatifitas ini muncul dari sebuah keragaman asli. Pengetahuan tradisional Indonesia seperti wayang kulit,batik Jawa, tarian, tenun ikat Bali, kain songket, dan ulos Batak Toba yang dalam sepanjang sejarah telah dipraktekkan sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional lainnya.

Sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, Indonesia tentunya memiliki kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Ditambah lagi, posisi Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa

(mega biodiversity) telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi

sumber daya yang besar untuk pengembangan di bidang kesenian. Karena perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masih lemah, maka potensi


(22)

yang dimiliki oleh Indonesia tersebut justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing secara tidak sah.

Indonesia memiliki banyak komoditas asli. Akan tetapi, semuanya tak berarti apa-apa jika komoditas itu dicuri pihak asing. Sudah beberapa kali produk asal negara kita dibajak negara lain terutama Malaysia, yang gencar mempromosikan diri sebagai

"'Truly Asia". Salah satu kasus yang dapat dikatakan paling menonjol adalah kasus

pemanfaatan lagu 'Rasa Sayange' yang terasa riang, sederhana, dan amat menyenangkan jika dinyanyikan bersama-sama. Dimana semua sepakat ketika menyanyikan lagu itu terbayang di pelupuk mata betapa indahnya Ambon di Maluku sana. Pantas bila kemudian hampir seluruh warga Indonesia terperanjat saat secara tiba-tiba Malaysia menjadikan lagu yang berirama sama persis dengan 'Rasa Sayange' sebagai "jingle" promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski syair lagunya tidak sama, 'Rasa Sayange' versi Malaysia yang berjudul 'Rasa Sayang Hey' itu memiliki notasi dan irama yang hampir sama persis dengan lagu 'Rasa Sayange' yang lebih dahulu ada di Indonesia. Malaysia juga mengklaim tarian Reog Ponorogo sebagai warisan budaya mereka. Kasus itu muncul dalam website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia.14 Gambar dadak merak reog terpampang di website itu dan di depannya terdapat tulisan "Malaysia". Tari Reog Ponorogo versi Malaysia ini bernama tari Barongan, dimana cerita yang ditampilkan dalam tarian Barongan, mirip dengan cerita pada tarian Reog Ponorogo.

      

14

Lihat website Kementerian Perpaduan, Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia, http://www.heritage.Qov.mv, diakses tanggal 5 Mei 2011. 


(23)

Ulos Batak Toba sebagai bagian dari pengetahuan tradisional, ulos dibuat oleh masyarakat adat Batak Toba yang ada di Sumatera Utara, pembuatan ulos ini dilakukan secara turun temurun. Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing mempunyai makna, fungsi dan kegunaan tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa dan dalam upacara adat yang bagaimana. Ulos Batak Toba perlu mendapat perlindungan agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

B. Rumusan Masalah

Dalam menyusun tesis ini peneliti hanya membatasi permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual?

2. Bagaimana pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap

pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba?

3. Bagaimana kendala-kendala perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut diatas maka terdapat beberapa tujuan yang melandasi penelitian ini, sesuai dengan topik diatas tujuan yang hendak dicapai adalah :


(24)

1. Untuk mengetahui pengertian pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual.

2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional khususnya atas Motif Ulos Batak Toba

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat secara teoritis dan praktis yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Khususnya mengenai perlindungan hukum pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dan khususnya bagi masyarakat Indonesia di dalam kehidupannya sehari-hari.


(25)

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ditemukan judul penelitian yaitu: Tinjauan Hukum Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Ulos Batak Toba (Penelitian Kerajinan Ulos di Kabupaten Toba Samosir), Oleh Rita Silvia, Nim: 067011070, tetapi permasalahan yang diangkat berbeda, oleh karena itu penulis berkenyakinan penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti dan akademisi, dengan demikian penelitian ini adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi

1.Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.15 Sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuan mempunyai tanggungjawab sosial yang terpikul dibahunya. Bukan karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di

      

15


(26)

masyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan masyarakat hidup masyarakat.16 Holland yang dikutip oleh Wise, Percy M. Winfield dan Bias, menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan dan melindungi hak-hak (legal rights).

Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagian yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.17

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan

(rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).18

Menurut Satjipto Raharjo, ”Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut

      

16

Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1999) hal. 237. 

17

Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung; Remaja Rosdakarya, 1993) hal. 79.  

18

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta; PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.  


(27)

sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.19

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.20Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.21

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:22

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif.

      

19

Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000). hal. 53.  

20

Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta; Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004) hal. 3. 

21

Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta; magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14.  

     22


(28)

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

World Iintellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan

pengetahuan tradisional sebagai pengetahuan yang berbasis pada tradisi.23 Antara lain seperti pengetahuan di bidang karya sastra, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semu inovasi dan kreasi berbasis pada tradisi yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, kesusastraan dan artistik. Sedangkan pengetahuan yang berbasis tradisi menurut Achmad Zein Umar Purba, adalah pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang, yang digunakan secara turun temurun, dan berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam, yang dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus.24

Konsep “tradisi” yang diberikan oleh World Intellectual Property

Organization (WIPO) yang hanya terbatas pada proses (turun temurun) ini oleh

Agus Sardjono di dalam bukunya “Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional” dianggap sebagai ganjalan di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Menurutnya konsep “tradisi” pada dasarnya tidak hanya terbatas pada proses (turun temurun), tetapi juga mencakup adat istiadat yang

      

23

Ibid. hal. 36. 

24


(29)

tidak terlepas dari nilai atau pandangan hidup (philosophical background) masyarakat yang bersangkutan.25

Istilah tradisional dalam pengetahuan tradisional tidak selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang kuno, Pengetahuan tradisional sebenarnya dapat merupakan sesuatu yang dinamis, yang dihasilkan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang mencerminkan budaya mereka. Pengetahuan tradisional dikembangkan, dipertahankan, dan diteruskan secara turun temurun antar generasi dalam masyarakat tersebut, dan kadangkala diturunkan melalui tata cara adat tertentu yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tersebut. Banyak komunitas masyarakat yang menganggap pengetahuan tradisional sebagai bentuk identitas budaya (cultural

identity) mereka sehingga inilah yang membuat pengetahuan tradisional bersifat

“tradisional”.26

Di dalam Article 8 (j) Convention on Biological Diversity (CBD) 1992, dikatakan bahwa pengetahuan tradisional itu meliputi pengetahuan, inovasi, dan praktik-praktik masyarakat lokal yang mencakup tata cara hidup tradisional yang relevan dengan pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan dari pada keanekaragaman hayati.27 Pengetahuan tradisional menurut Convention on

Biological Diversity (CBD) dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu pertama,

      

25

Ibid 

26

Dwi Rezki Sri Astarini, HKI dalam kaitannya dengan perlindungan traditional knowledge, Floklore dan Genetic Resources, http://astarini.multiply.com/jurnal/item/1, diakses tanggal 24 Januari 2011. 

27


(30)

pengetahuan tradisional yang terkait dengan keanekaragaman hayati, misalnya obat tradisional. Dan kedua, pengetahuan yang terkait dengan seni (folklore).28

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah konsepsi yang mengatur tentang penghargaan atas karya orang lain, untuk pengembangan invensi, kreasi, desain dan lain-lain bentuk karya intelektual.29 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bersifat privat, namun hanya akan bermakna jika diwujudkan dalam bentuk produk di pasaran, digunakan dalam siklus permintaaan dan penawaran, oleh karena itu memainkan suatu peranan dalam bidang ekonomi.30

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:31

a. Hak Cipta (Copy Right)

b. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property), yang mencakup: 1) Paten (Patent)

2) Merek (Trade Mark) 3) Desain Produk Industri dan

4) Penanggulangan praktek persaingan curang (Repression of Unfair

Competition Practices).

2.Landasan Konsepsi

      

28

Ibid., hal.37. 

29

A. Zen Umar Purba, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia; (http://www. d gip. Go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=5764) diakses tanggal 29 Januari 2011.  

30

Ibid. 

31

H.OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 13.  


(31)

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.32

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum dan disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasa penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.33

Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan, oleh karena itu penulis merumuskan konsep dengan mempergunakan model definisi operasional.34 Adapun definisi yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang berbasis pada tradisi.35 antara lain seperti pengetahuan di bidang karya sastra, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan dan semu inovasi dan kreasi

      

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta; UI Press, 1984) hal.132. 

33

Sacipto Rahardjo, Op. Cit. hal. 307. 

34

Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009) hal. 72.  

35


(32)

berbasis pada tradisi yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang industri, ilmiah, kesusastraan dan artistik.

2. Pengetahuan yang berbasis tradisi adalah pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang, yang digunakan secara turun temurun, dan berkaitan langsung dengan lingkungan atau alam, yang dikembangkan secara non sistematis dan terus menerus.36

3. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah konsepsi yang mengatur tentang penghargaan atas karya orang lain, untuk pengembangan invensi, kreasi, desain dan lain-lain bentuk karya intelektual.37

4. Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.38

5. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.39

      

36

Ibid.  

37

A. Zen Umar Purba, Op. Cit, hal. 53.  

38

Pasal 1 butir 1 UUHC Nomor 19 tahun 2002.  

39


(33)

6. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.40

G. Metode Penelitian

1.Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktriner, yaitu menggunakan hukum positif dan bahan hukum yang lain, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.41 Oleh karena itu penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan, yang berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian.42

Menurut Ronald Dworkin bahwa penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum yang tertulis dalam buku (law as written in the

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as is decided by the judge through judical process).43

2.Sumber Data

Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini mencakup:

      

40

Pasal 1 butir 3 UUHC Nomor 19 tahun 2002.  

41

Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang; Bayumedia Publishing 2007) hal. 5. 

42

Ibid.hal 53. 

43

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, Medan: Tanggal 18 Februari, 2003, hal.1. 


(34)

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan merupakan landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, diantaranya adalah: Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya adalah:

1.Berbagai kepustakaan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual.

2.Berbagai kepustakaan mengenai Pengetahuan Tradisional.

3.Berbagai hasil kesimpulan seminar dan pertemuan ilmiah lainnya mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus, majalah, jurnal-jurnal, surat khabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.

3. Teknik Dan Alat Pengumpul Data

Teknik pengumpul data yang akan digunakan oleh peneliti adalah melalui penelitian kepustakaan dengan menggunakan alat studi dokumen, untuk mempelajari bahan-bahan hukum yang merupakan data sekunder.


(35)

Pertama-tama, peneliti akan menghimpun semua peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang hukum yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya dari bahan-bahan tersebut, peneliti akan memilih asas-asas, doktrin dan ketentuan-ketentuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terutama tentang Hak Cipta yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional. Hasil yang diperoleh akan disusun secara sistematis, guna memudahkan peneliti dalam melakukan analisis data.

Metode analisa data yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini, adalah dengan metode analisis kualitatif.44 Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data, yang bertujuan untuk mencari dan memahami esensi makna di balik teori, bukan untuk menguji atau membuktikan teori yang ada.

4.Analisis Data

Data yang diperoleh dalam studi kepustakaan atas bahan hukum akan diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna mencapai target yang diinginkan berupa jawaban atas permasalahan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat konkret yang sedang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang telah ada akan dianalisis untuk melihat

      

44


(36)

bagaimana ketentuan hukum positif Indonesia mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia.


(37)

BAB II

PENGETAHUAN TRADISIONAL DALAM PENGATURAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

A. Pengertian Pengetahuan Tradisional

Harmonisasi antara pengetahuan modern dan pengetahuan tradisional merupakan hal penting dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan, konsep yang mengedepankan bahwa kebutuhan untuk pembangunan selaras dengan kebutuhan untuk pelestarian yang dapat berlangsung tanpa membahayakan lingkungan sekitarnya. Sebagai konsekuensinya, pengetahuan tradisional telah mendapat arti penting dan menjadi isu baru dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Pengetahuan tradisional merupakan masalah hukum baru yang berkembang baik di tingkat nasional maupun internasional. Pengetahuan tradisional telah muncul menjadi masalah hukum baru disebabkan belum ada instrumen hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional yang sangat banyak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu, di tingkat internasional pengetahuan tradisional ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk memberikan perlindungan hukum. Istilah pengetahuan tradisional adalah istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi, yang secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit sosial. Pengetahuan tradisional mulai berkembang dari tahun ke tahun seiring


(38)

dengan pembaharuan hukum dan kebijakan, seperti kebijakan pengembangan pertanian, keragaman hayati (intellectual property).45

World Intellectual Property Organization (WIPO) menggunakan istilah

pengetahuan tradisional untuk menunjuk pada kesusasteraan berbasis tradisi, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan, dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi lainnya yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah, kesusasteraan atau artistik. Gagasan "berbasis tradisi" menunjuk pada sistem pengetahuan, kreasi, inovasi dan ekspresi kultural yang umumnya telah disampaikan dari generasi ke generasi, umumnya dianggap berkaitan dengan masyarakat tertentu atau wilayahnya, umumnya telah dikembangkan secara non sistematis, dan terus menerus sebagai respon pada lingkungan yang sedang berubah.46

Pendapat lain mengemukakan bahwa pengetahuan tradisional adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang yang digunakan secara turun temurun yang berkaitan langsung dengan lingkungan/alam.47 Sementara Henry Soelistyo Budi mengemukakan bahwa pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang status dan kedudukannya ataupun penggunaannya merupakan bagian dari tradisi budaya masyarakat.

      

45

Budi Agus Riswandi, Hal Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 27. 

46

Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore, WIPO/GRTFK/IC/3/9,20, hal. 11, diakses tanggal 2 April 2011. 

47

Traditional Knowledge and Biological Diversity, UNEP/CBD/TTCBD/1/2, Paragraf 85, diakses tanggal 2 April 2011. 


(39)

Sebenarnya pengetahuan tradisional merupakan konsep kunci yang terdapat dalam Convention on Biological Diversity (CBD) khususnya dalam Pasal 8 (j) yang menekankan pentingnya peranan pengetahuan tradisional, yaitu : "... to encourage the

equitable, sharing of the benefits arising from the utilisation of such knowledge, innovation, and practices'.

Berdasarkan pada Convention on Biological Diversity (CBD), pengertian pengetahuan tradisional adalah pengetahuan, inovasi, dan praktek-praktek masyarakat asli dan lokal yang mewujudkan gaya hidup tradisional dan juga teknologi lokal dan asli. Dari pengertian tersebut, menurut substansi dan relasi pengetahuan tradisional dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu:

a. Pengetahuan tradisional yang terkait dengan keanekaragaman hayati, misalnya obat-obatan tradisional.

b. Pengetahuan tradisional yang terkait dengan seni.

B. Lingkup Perlindungan Pengetahuan Tradisional

Lingkup atau kategori-kategori pengetahuan tradisional mencakup pengetahuan, pertanian, pengetahuan ilmiah, pengetahuan teknis, pengetahuan ekologis, pengetahuan medis (termasuk obat-obatan dan tindakan medis yang terkait), pengetahuan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, ekspresi cerita rakyat dalam bentuk musik, tarian, nyanyian, kerajinan tangan, nama-nama, indikasi geografis, dan simbol-simbol, serta benda-benda budaya yang dapat bergerak. Tidak termasuk dalam lingkup pengetahuan tradisional adalah item-item yang tidak disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri,


(40)

ilmiah/pengetahuan, kesusastraan atau bidang artistik seperti fosil manusia, bahasa secara umum.

Sementara Carlos M. Correa berpendapat bahwa, lingkup pengetahuan tradisional terdiri dari informasi pada penggunaan biologi dan bahan-bahan lainnya bagi pengobatan medis dan pertanian, proses produksi, desain, literatur, musik, upacara adat, dan teknik-teknik lainnya serta seni. Termasuk di dalamnya informasi tentang fungsi dan karakter estetika yang proses dan produknya dapat digunakan pada pertanian dan industri, seperti nilai budaya yang tidak berwujud.48

Pada tahun 1982, Nation Economic and Social Council United (UNESCO) membentuk suatu Working Group on Indigeneous Population yang berfokus pada pembentukkan standar-standar internasional mengenai hak-hak masyarakat asli. Masyarakat asli mempunyai hak untuk mempraktikkan dan merevitalisasi tradisi budaya dan adat istiadat mereka. Hal ini mencakup hak untuk mempertahankan, melindungi, dan mengembangkan manifestasi-manifestasi masa lalu, masa sekarang, dan masa depan budaya mereka, seperti situs arkeologis dan historis, artifak, desain, seremoni, teknologi dan seni, literatur visual dan performansi, dan juga hak pada restitusi kekayaan budaya intelektual, keagamaan, dan spiritual yang diambil tanpa persetujuan bebas masyarakat tersebut atau melanggar hukum, dan adat istiadat mereka.

      

48


(41)

C. Konsep Kepemilikan

Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang dikembangkan pada masa lalu akan tetapi masih tetap terus akan dikembangkan. Sebagian besar dari pengetahuan tradisional merupakan hasil alam yang digunakan secara turun temurun dan seringkali dikumpulkan dan dipublikasikan oleh antropolog, sejarawan, ahli tanaman atau peneliti dan pengamat lainnya.

Namun demikian pengetahuan tradisional tidak statis karena pengetahuan tradisional mengembangkan dan menghasilkan informasi baru sebagai perbaikan atau penyesuaian terhadap berbagai perubahan keadaan. Pengetahuan tersebut berkembang beradaptasi, dan berubah secara dinamis dengan waktu. Bahan-bahan baru digabungkan, proses-proses baru dikembangkan, dan beberapa tujuan atau kegunaan baru dikembangkan bagi pengetahuan yang ada di samping penggabungan pengetahuan ketika pengetahuan dibangun berdasarkan pengetahuan tradisional tetapi mungkin juga dikembangkan di daerah tertentu.

Dapat pula dikemukakan bahwa pengetahuan tradisional juga merupakan pengetahuan yang dinamis. Artinya pengetahuan tradisional dibuat dan diciptakan sebagai respon individu atau masyarakat dalam menjawab setiap tantangan sosial dan tantangan alam. Pengetahuan tradisional biasanya berkaitan dengan masalah pertanian, makanan, lingkungan, dan kesehatan. Di Indonesia misalnya "pranoto mongso" (pengetahuan yang mengajarkan bagaimana membaca musim), teknik atau cara-cara bercocok tanam, terapi pengobatan, perawatan tubuh hingga teknik


(42)

memproses kain batik ataupun pewarnaan kain dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan.

Banyak pengetahuan tradisional diciptakan oleh masyarakat tradisional secara berkelompok-kelompok, berarti banyak orang yang memberi sumbangan terhadap produk akhir. Lagipula, karya-karya dan pengetahuan tradisional juga dapat dikembangkan oleh orang yang berbeda selama jangka waktu yang panjang (barangkali selama beberapa abad). Bahkan lebih penting lagi, banyak masyarakat tradisional tidak mengenal konsep hak individu; harta berfungsi sosial dan bersifat milik umum. Dengan demikian, para pencipta dalam masyarakat tradisional tidak berminat atau ingin mementingkan hak individu atau hak kepemilikan atas karya-karya mereka.49

World Intellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan

pemilik/pemegang pengetahuan tradisional yaitu : semua orang yang menciptakan, mengembangkan, dan mempraktikkan pengetahuan tradisional dalam aturan dan konsep tradisional. Masyarakat asli, penduduk, dan negara adalah pemilik pengetahuan tradisional, tetapi tidak semua pengetahuan tradisional adalah asli. Dengan demikian dalam perlindungan pengetahuan tradisional ini yang dikedepankan adalah kepentingan komunal daripada kepentingan individu. Melindungi kepentingan komunal adalah cara-cara untuk memelihara kehidupan harmonis antara satu dengan yang lain sehingga suatu ciptaan yang dihasilkan oleh seorang anggota masyarakat

      

49


(43)

tidak akan menimbulkan kendala bila anggota yang lainnya juga membuat suatu karya yang identik dengan karya sebelumnya.50

Sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan tradisional merupakan hasil kebudayaan rakyat Indonesia yang telah berlangsung secara turun temurun. Oleh karena itu pengetahuan tradisional telah menjadi milik bersama seluruh masyarakat Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 menetapkan bahwa Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dogeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Dalam penjelasan ketentuan pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan folklor adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun termasuk hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrument musik dan tenun tradisonal.

D. Manfaat Perlindungan Terhadap Pengetahuan Tradisional

Adanya perbedaan kepemilikan dalam pengetahuan tradisional memiliki konsekuensi perbedaan dengan sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada umumnya. Hal terpenting yang harus diperhatikan bahwa pengetahuan tradisional

      

50

Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, (Bandung; Citra AdhyaBakti, 1997), hal. 162. 


(44)

harus dijaga dan dipelihara oleh setiap generasi secara turun temurun, karena dengan memberikan perlindungan bagi pengetahuan tadisional akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Salah satu alasan kurang jelasnya tentang perlindungan yang rasional dari perbedaan arti diberikan terhadap konsep perlindungan. Beberapa pengertian konsep ini dalam konteks Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bahwa perlindungan pada dasarnya berarti : pengecualian penggunaan tanpa izin oleh pihak ketiga. Penghargaan lainnya, bahwa perlindungan sebagai alat untuk memelihara pengetahuan tradisional dari penggunaan yang mungkin mengikis pengetahuan tradisional atau dampak negatif terhadap kehidupan atau tradisi dari komunitas yang mengembangkan dan menerapkan pengetahuan tradisional. Perlindungan disini memiliki banyak peranan positif dan mendukung pengetahuan tradisional sebagai tradisi dan sumber mata pencaharian komunitas masyarakat bersangkutan

Secara keseluruhan, alasan utama memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, yaitu :

1. pertimbangan keadilan; 2. konservasi;

3. memelihara budaya dan praktik (gaya hidup) tradisional;

4. mencegah perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang terhadap komponen-komponen pengetahuan tradisional;


(45)

5. mengembangkan penggunaan dan kepentingan pengetahuan tradisional. 51

Berdasarkan hal tersebut maka dalam perlindungan terhadap pengetahuan tradisional terdapat 4 prinsip yang dimiliki oleh komunitas masyarakat setempat, yaitu : pengakuan, perlindungan, pembagian keuntungan, dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.52 Satu prinsip tambahan yang dapat diterapkan pada pengetahuan tradisional berupa hak-hak moral, yakni prior informed

concern (informasi terlebih dahulu).53 Prinsip ini diatur di dalam Convention on

Biological Diversity (CBD).

      

51

Afrilyanna Purba, dkk, TRIPs-WTO & Hukum HKl Indonesia : Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 43. 

52

http://www.iccwbo.org/home/statements rule.../protecting/traditional/know-ledge.as., Diakses tanggal 5 April 2011. 

53


(46)

BAB III

PENGATURAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL ATAS MOTIF ULOS BATAK TOBA

A. Hak Cipta Merupakan Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual.

Istilah Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat dengan HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (selanjutnya disebut IPR) yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Pada prinsipnya, IPR sendiri merupakan perlindungan hukum atas HKI yang kemudian dikembangkan menjadi suatu lembaga hukum yang disebut

intellectual Property Right.

Konsep mengenai HKI didasarkan pada pemikiran bahwa karya intelektual yang telah dihasilkan manusia memerlukan pengorbanan tenaga, waktu, dan biaya. Adanya pengorbanantersebut menjadikan karya yang telah dihasilkan memiliki nilai ekonomi karena manfaat yangdapat dinikmati. Berdasarkan konsep tersebut maka mendorong kebutuhan adanya penghargaan atas karya yang telah dihasilkan berupa perlindungan bagi HKI.

Tujuan pemberian perlindungan hukum ini untuk mendorong dan menumbuhkembangkan semangat berkarya dan mencipta. Secara substantif pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.54 Sementara, pendapat lain mengemukakan bahwa HKI adalah pengakuan dan penghargaan pada seseorang atau

      

54


(47)

badan hukum atas penemuan atau penciptaan karya intelektual mereka dengan memberikan hak-hak khusus bagi mereka baik bersifat sosial maupun ekonomis.55

Prinsip utama pada HKI bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut, pribadi yang menghasilkannya mendapat kepemilikan berupa hak alamiah (natural). Dapat dikatakan bahwa berdasarkan prinsip ini terdapat sifat ekslusif bagi pencipta. Meskipun demikian, pada tingkatan paling tinggi dari hubungan kepemilikan, hukum bertindak lebih jauh, dan menjamin bagi setiap manusia penguasaan dan penikmatan ekslusif atas benda ciptaannya tersebut dengan bantuan Negara. Jaminan terpeliharanya kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat tercermin dalam sistem HKI. Sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan antara peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat, sistem HKI berdasarkan pada prinsip:56

1. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)

Berdasarkan prinsip ini, pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan.

2. Prinsip ekonomi (the economic argument)

Dalam prinsip ini suatu kepemilikan adalah wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu satu keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam masyarakat.

3. Prinsip Kebudayaan (the culture argument)

Pada hakikatnya, karya manusia bertujuan untuk memungkinkan hidup, selanjutnya dari karyaa itu akan timbul pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan karya manusia sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. 4. Prinsip Sosial (the social argument)

      

55

Ismail Saleh, Ibid.  

56

Sunaryo Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia (Bandung: Binacipta, 1982), hal. 18  


(48)

Pemberian hak oleh hukum tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan perseorangan, tetapi harus memenuhi kepentingan seluruh masyarakat.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, HKI sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda berwujud dan tak berwujud (benda immateril).57 Benda dala kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori. Salah satu diantara kategori itu adalah pengelompokkan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud (materiil) dan benda takberwujud (immateriil).

Berdasarkan pasal 449 KUH Perdata, benda takberwujud ini disebut dengan hak. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdulkadir Muhammad yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan barang (tangible good) adalah benda materiil yang ada wujudnya karena dapat dilihat dan diraba, misalnya kenderaan; sedangkan yang dimaksud dengan hak (intangible good) adalah benda immateril yang ada, tidak ada wujudnya karena tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya HKI.58 Baik benda berwujud maupun takberwujud (hak) dapat menjadi objek hak. Hak atas benda berwujud disebut hak absolut atas suatu benda, sedangkan hak atas benda takberwujud disebut hak absolut atas suatu hak, dalam hal ini adalah HKI.59

Hak kepemilikan hasil intelektual ini sangat abstrak dibandingkan dengan hak kepemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, lagipula kedua hak tersebut bersifat hak mutlak. Selanjutnya, terdapat analogi, yakni

      

57

Benda diartikan sebagai segala sesuatu atau yang dapat dikuasai manusia dan dapat dijadikan objek hukum (Pasal 499 KUH Perdata).  

58

Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 75.  

59


(49)

setelah benda yang takberwujud itu keluar dari pikiran manusia, kemudian menjelma dalam suatu ciptaan ilmu pengetahuan, seni dan sastra, jadi berupa benda berwujud yang dalam pemanfaatan dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah yang membenarkan penggolongan hak tersebut ke dalam hokum harta benda.60

Pada dasarnya, HKI dapat dikategorikan kedalam dua bagian, yaitu:61

1. Hak Cipta (copyrights) yang terdiri dari hak cipta dan hak-hak yang berkaitang dengan hak cipta (neighbouring rights).

2. Hak kekayaan perindustrian yang terdiri dari: a. Paten (patent);

b. Merek Dagang (trade mark); c. Desain Industri (industrial design).

Bidang-bidang HKI yang telah diatur dalam hukum Indonesia meliputi: Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Desain Produk Industri, dan Perlindungan Varietas Tanaman.

B. Ketentuan Hak Cipta Indonesia dalam Sejarah

Indonesia pertama kali mengenal hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada masa Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 131 dan 163 I.S., hukum yang berlaku di negeri Belanda juga diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas korkondansi. Undang-Undang Hak Cipta saat itu adalah Auteurswet 1912 yang terus berlaku hinggaI saat Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.62

      

60

Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik; sejarah,teori, dan Prakteknya di Indonesia (Bandung; Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 21.  

61

Saidin, Aspek Hukum……….., Op.Cit, hal.10. 

62 


(50)

Sejak negeri Belanda menandatangani naskah Konvensi Bern pada tanggal 1 April 1913, sebagai Negara jajahannya, Indonesia diikutsertakan dalam konvensi tersebut sebagaimana disebutkan dalam Staatsblad Tahun 1914 Nomor 797. Ketika Konvensi Bern ditinjau kembali di Roma pada tanggal 2 Juni 1928, peninjauan ini dinyatakan berlaku pula untuk Indonesia (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 325). Konvensi inilah yang kemudian berlaku di Indonesia sebagai jajahan Belanda dalam hubungannya dengan dunia internasional khususnya mengenai hak pengarang (hak cipta).63

Dalam rangka menegaskan perlindungan hak cipta dan menyempurnakan hukum yang berlaku sesuai dengan perkembangan pembangunan, telah beberapa kali diajukan Rancangan Undang-Undang Baru Hak Cipta yaitu tahun 1958, 1966, dan 1971 tetapi tidak berhasil menjadi undang-undang. Indonesia baru berhasil menciptakan Hukum Hak Cipta Nasional sendiri pada tahun 1982 yaitu pada saat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara 1982 Nomor 15 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3117) diundangkan. Undang-undang ini sekaligus mencabut Auterswet 1912, yang dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang ilmu seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan bangsa.

Pada tahun 1987, Undang-Undang Hak Cipta 1982 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara 1987 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3362). Di dalam pertimbangan

      

63

Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di dalam Pembangunan, (Akademika Pressindo; Jakarta 1994), hal. 97.  


(51)

undang-undang ini dijelaskan bahwa penyempurnaan dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra64.

Ditambah bahwa kegiatan pelaksanaan pembangunan nasional yang semakin meningkat, khusunya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan kesusastraan ternyata telah berkembang pula kegiatan pelanggaran Hak Cipta, terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan, yang telah mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya dan minat untuk mencipta pada khusunya.

Penyempurnaan berikutnya dari Undang-Undang Hak Cipta adalah pada tahun 1997 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 29 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3679). Dalam pertimbangannya bahwa penyempurnaan ini diperlukan sehubungan adanya perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang perekonomian di tingkat nasional dan internasional yang menuntut pemberian perlindungan yang lebih efektif.

Disamping itu juga karena penerimaan dan keikutsertakan Indonesia dalam persetujuan mengenai aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk perdagangan barang palsu (Agreement Trade Related Aspects

of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods), disingkat

dengan TRIPs yang merupakan bagian dari persetujuan pembentukan organisasi

      

64

Ibid, hal 29.  


(52)

perdagangan dunia (Agreement Establishing The Work Trade Organization). Pertimbangan lainnya ialah pengalaman, khususnya terhadap kekurangan dalam penerapan Undang-Undang Hak Cipta sebelumnya.65

Pada tahun 2002, Undang-Undang Hak Cipta yang baru telah diundangkan yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 85 dari Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220) yang memuat perubahan-perubahan untuk disesuaikan dengan TRIPs dan penyempurnaan beberapa hal yang perlu untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tradisional Indonesia.66

Selain itu, yang penting artinya dalam Undang-Undang Hak Cipta yang baru, ditegaskan dan dipilih kedudukan Hak Cipta disatu pihak dan Hak Terkait

(neighboruing rights), di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan karya

intelektual secara lebih jelas.67 C. Pengertian Hak Cipta

Istilah Hak Cipta diusulkan pertama kalinya pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auters Rechts.68

      

65

Saidin, Op. Cit, hal. 45  

66

Tim Linsey, dkk, Op.Cit hal. 6  

67

Ibid, hal.94 

68

Ajip Rosidi, Undang-Undang Hak Cipta 1982 Pandangan Seorang Awam, (Jakarta: Djambatan 1984), hal.3 


(53)

Dinyatakan kurang luas karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan penyempitan, seolah-olah yang dicakup oleh hak pengarang itu hanyalah hak dari pengarang saja, atau yang ada sangkut pautnya dengan hak pengarang. Sedangkan istilah Hak Cipta itu lebih luas, dan ia mencakup juga tentang karang mengarang. Lebih jelas batasan pengertian ini dapat kita lihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHC ini, Hak cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelah suatu Ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.69

Dari pengertian ini terlihat bahwa Hak Cipta ini diberikan kepada yang berhak saja, yaitu Pencipta, tidak kepada pihal lain. Oleh karena itu, Pencipta memiliki hak monopoli terhadap ciptaannya yang dilindungi. Namun, kekuasaan monopoli atau kekuasaan istimewa demikian bukan tanpa batas (mutlak). Batasannya ditentukan sendiri di dalam Undang-Undang Hak Cipta..

Menurut Auteurswet 1912 menyatakan Hak Cipta adalah hak tunggal daripada pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang. Kemudian Universal Copyright Convention menyatakan Hak Cipta

      

69

Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Hak Cipta (UU No.19 Tahun 2002),(Jakarta: Hardvarindo, 2003), hal.5 


(54)

meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.70

Jika dicermati batasan pengertian yang diberikan oleh ketentuan diatas maka hampir disimpulkan bahwa ketiganya memberikan pengertian yang sama. Dalam

Auteurswet 1912 maupun Universal Copyright Convention menggunakan istilah "hak

tunggal' sedangkan dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 menggunakan istilah "hak eksklusif” bagi pencipta.

Dalam penjelasan pasal 2 butir 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002, yang dimaksudkan dengan hak eksklusif dari pencipta adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.71 Perkataan "tidak ada pihak lain" di atas mempunyai pengertian yang sama dengan hak tunggal yang menunjukkan hanya pencipta saja yang boleh melakukan hak itu. Inilah yang disebut dengan hak yang bersifat eksklusif.

Hak Cipta merupakan istilah populer di dalam masyarakat. Walaupun demikian pemahaman tentang ruang lingkup pengertiannya tidaklah sama pada setiap orang karena berbeda tingkat pemahaman tentang istilah itu. Akibatnya di dalam masyarakat sering terjadi kesalahpahaman dalam memberi arti sehingga menimbulkan kerancuan dalam penggunana bahasa yang baik dan benar. Dalam masyarakat istilah Hak Cipta ini sering dikacaukan dengan hak-hak atas kekayaan intelektual lainnya meliputi keseluruhan ciptaan manusia. Di samping ciptaan

      

70

Hadi Setia Tunggal, Ibid.,hal.45 

71


(1)

2. Pemerintah Indonesia harus mengambil inisiatif melakukan berbagai langkah guna melindungi kepentingan warga bangsanya, khususnya warga masyarakat lokal yang hidup tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Langkah tersebut harus tetap mengacu pada sistem nilai, baik yang berkembang di dalam lingkungan warga masyarakat lokal maupun dengan tuntutan pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia. Alternatif melalui perangkat hukum harus dilakukan melalui upaya penyerasian norma-norma hukum dengan nilai-nilai kemodernan (Barat) yang individualistik dan nilai-nilai tradisional (Indonesia) yang komunalistik, yang masih terus hidup berdampingan.

3. Selain itu, diharapkan kepada berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memusatkan perhatian pada upaya melindungi dan melestarikan biodiversity (keanekaragaman hayati) Indonesia agar dapat mengambil peran yang lebih aktif dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat lokal dari proses missappropriation (pemanfaatan secara melawan hak) yang dilakukan pihak asing.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Apeldoorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001.

Achmad, Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002.

Asian Law Group, Hak Kekayaaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT.Alumni, 2004.

Badrulzaman Mariam Darus, Menuju Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung: BHPN Alumni, 1997.

Bintang Sanusi, Hukum Hak Cipta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Friedman W, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo. Hamzuri, Batik Klasik, Jakarta: Djambatan, 1981.

Hutagalung, Sophar, Maru, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya di dalam Pembangunan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1994.

Hartono, Sunaryo, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia Bandung: Binacipta, 1982.

Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2007.

Kansil, CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Khalid, Suhardini, Tenun Ikat Indonesia Jakarta: Museum Nasional, 2000. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003.

Maulana Insan Budi, Sukses Bisnis Melaui Merek, Paten, dan Hak Cipta, Bandung: Citra AdhyaBakti, 1997.


(3)

Muhammad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Muhandjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.

Muhammad Abdulkadir, Kajian Hukum Ekonomi Haak Kekayaan Intelektual (Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang), Bandung: Mandar Maju, 2000.

………..., Hukum Harta Kekayaan Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994. Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,

(Surakarta; magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003).

Nasution Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 3003.

Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Bandung : Pustaka Banu Quraisy, 2004.

Purba, Afrillyanna, Gazalba Saleh dan Andriana Krinawati, TRIPs-WTO Dan Hukum HKI Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.

---, Perlindungan Hukum Seni Batik Tradisional, Bandung: PT. Alumni, 2009

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Tim Linsey, Blitt, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan

Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Alumni, 2002.

Tunggal Setia Hadi, Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002), Jakarta: Hardvirindo, 2003.

Rasjidi Lili dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Rosidi Ajib, Undang-Undang Hak Cipta 1982 Pandangan Seorang Awam, Jakarta: Djambatan, 1984.

Riswadi, Agus, Budi, M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

---, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional , Bandung: PT. Alumni, 2005.


(4)

Satjipto Rahardjo , Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V, 2000

Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta; Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004)

Sitanggang Marcius Albert, Sejarah dan Tarombo Raja Sitanggang, Jakarta: Institute of Batakology Yayasan LPB-3 Indonesia, 2001.

Simorangkir, JCT, Beberapa Catatan Mengenai Perubahan UU Mengenai Hak Cipta, Jakarta: Kompas, 1996.

Simatupang, Defri, Partonun di Pematang Siantar, Medan: Balai Arkeologi Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1984. Soepomo, R, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977. Sembiring Sentosa, Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Hak Cipta Paten dan

Merek, Bandung: CV. Yrama Widya, 2001.

Sudargo Gautama, Rizwanto Winata, Konvensi-konvensi Hak Milik Intelektual Baru Untuk Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Soebadyo Haryati, Indonesia Heritage, Agama dan Upacara, Jakarta:Grolier International, 2002.

Sardjono Agus, Potensi Ekonomi dari GRPENGETAHUAN TRADISIONALF; Peluang dan Hambatan dalam Pemanfaatannya: Sudut Pandang Hak Kekayaan Intelektual, Media HKI Vol. I/No. 2/Februari 2005.

Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Jakarta: Grafindo Persada, 1997

Suryasumantri S Jujun, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

B. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.


(5)

C. Makalah

Roisah Kholis, Hak Kekayaan Intelektual dan Issu Perlindungan HKI Berbasis Pengetahuan Tradisional di Indonesia, Makalah Seminar Internasional “A Comparative Legal Study on Some Specific in Malaysia and Indonesia, Semarang, 2008.

D. Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1996.

E. Internet

A. Zen Umar Purba, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (http://www.d.gip.Go.id/ebhtml/filecontent.php/fid=5764)

Tidak Ada Perlindungan Pengetahuan Tradisional, Kompas (http://www. Kompas.com/kompas-cetak/0612/13/humaniora/3169310.htm)

Zoseph E. Stighliz dalam Adri TK, Nasib HaKI Tradisonal Kita, (

http://catatankami.bolgspot.com/2007/12/nasib-haki-tradisonal-kita.html)

Website Kementrian Perpaduan, Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia, http://www.heritage.Qov.mv.


(6)

Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Generic Resources, TradistionalKnowledgeandFolklore , UNEP/GRTFK/IC/3/9/20.

http/Avww. Wikipedia.Com.

http://www.iccwbo.org/home/statementsrule./protecting/traditional/know-ledge.as 

 

http://tutorial-pdrf.tp.ac.id/bank/1223091929.pdf

http:/Id. Wikipedia.Org/Wiki/Songket. Http://www. Ulos. Yahoo.com.

Http//www//R. Silvia/penelitian kerajinan ulos/Repository. 

Traditional Knowledge and Biological Diversity, UNEP/CBD/TTCBD/1/2.

Dwi Rezki Sri Astarini, HKI dalam kaitannya dengan perlindungan traditional knowledge,FolkloredanGeneticResources,(http://astarini.multiply.com/jur nal/item/1)Malaysia, http://www.heritage.