Insentif dalam Undang-Undang Penanaman Modal

Selanjutnya, ayat 3 menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerjasama dengan penanam modal yang bersangkutan. Pasal 34 menyebutkan bahwa bentuk sanksi, yaitu peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman modal atau pencabutan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman modal. 116

2. Insentif dalam Undang-Undang Penanaman Modal

a. Insentif Pajak bagi Penanam Modal

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan insentif pajak sangat luas, yaitu sesuai Pasal 18 ayat 4: a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu. b. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. c. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu. 116 Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan ketentuan yang baru, karena baik dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing maupun Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada waktu yang lalu, masalah sanksi tidak diatur. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 d. Pembebasan atau Penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. e. Penyusutan atau Amortisasi yang dipercepat, dan f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. 117 Insentif pajak diberikan secara selektif, karena penanam modal akan mendapat insentif jika perusahaan tersebut melakukan investasi pada sektor yang menyerap tenaga kerja, bidang usaha termasuk skala prioritas tinggi dan membangun infrastruktur. Selain itu, perusahaan tersebut harus melakukan alih teknologi, industri tersebut merupakan industri pionir dan usahanya dilakukan di daerah terpencildaerah tertinggaldaerah perbatasan. Selanjutnya, perusahaan tersebut harus menjaga kelestarian lingkungan hidup dan bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi. 118 Dalam sejarah kebijakan penanaman modal Indonesia, tax holiday pernah diberikan pada tahun 1970-an. Fasiltas ini dicabut pada tahun 1980-an ketika terjadi reformasi perpajakan. Hal ini dipengaruhi pendapat bahwa pemberian fasililas tax holiday dinilai tidak adil karena yang dapat menikmati hanya sebagian pengusaha tertentu sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat menikmati dan malah memikul bebannya. Selain itu, pemberian tax holiday dianggap bukan merupakan fasilitas yang ampuh untuk menarik minat para investor memasuki suatu industri, 119 dan tax holiday terbukti bukan merupakan suatu kebijakan yang efektif dalam menarik investor asing. Kemudian, pada tahun 1996 pemberian insentif 117 Penjelasan Pasal 18 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 118 Lihat, Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 119 Pande Radja Silalahi, Menghidupkan Kembali Tax Holiday, Tempo, edisi 2201, 26 Juli 1996. Lihat juga, Tax Holiday Bukan Jaminan untuk Tarik Minat Investor Harian Ekonomi Neraca, 9 Agustus 2003. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 tax holiday dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1996 yang antara lain pemberian insentif kepada industri-industri tertentu. 120 Insentif pajak dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, jika dibandingkan dengan undang-undang negara lain, dapat dinyatakan kalah bersaing. Karena, Undang-Undang ini tidak memberikan fasilitas tax holiday. Sementara di negara-negara lain memberikan insentif berupa tax holiday. Misalnya, China memberikan tax holiday selama 2 tahun ditambah dengan PPh 50 sampai tahun ke 5, dan reinvestasi uang pajak dikembalikan 40.Thailand memberikan insentif tax holiday kepada penanam modal berupa pembebasan bea masuk pada impor barang modal dan bahan baku selama 3 - 8 tahun. Dalam Investment Promotion Act diatur kriteria insentif yang diberikan kepada penanam modal asing, yaitu: memberikan keuntungan secara ekonomis dan teknologi. Pemberian insentif ini juga mempertimbangkan jumlah produsen yang sudah ada, kapasitas produksi nasional dan proyek yang dipromosikan. kemudian perusahaan tersebut harus mempertimbangkan sumber daya nasional bahan baku dan tenaga kerja, serta jumlah mata uang asing yang tersimpan. 121

b. Transfer Aset dan Repatriasi

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan insentif lain berupa hak transfer dan repatriasi. Dibandingkan dengan Undang- Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, hak transfer dan repatriasi tersebut, lebih rinci dan lebih komprehensif . Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 yang berbunyi: 1 Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2 Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara. 3 Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap; a. modal; 120 Lihat juga Keputusan Presiden No.45 tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Insentif Kepada Perusahaan. 121 Suparji, op. cit., hal. 219. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; c. dana yang diperlukan untuk: 1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau 2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman; f. royalti atau biaya yang harus dibayar; g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal; h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. kompensasi atas kerugian; j. kompensasi atas pengambilalihan; k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Pengalihan aset pada prinsipnya memang dapat dilakukan oleh penanam modal sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak sepenuhnya bebas karena masih harus mengacu pada peraturan perundang-undangan, misalnya, peraturan tentang pelaporan kepada Bank Indonesia. 122 Selain itu, kebebasan pengalihan aset juga dibatasi dari jenis asetnya, yaitu aset yang dikuasai negara tidak diizinkan dialihkan, misalnya hutan, pertambangan, kekayaan laut dan energi yang lain. Selanjutnya, ayat 5 menyebutkan hak transfer dan repatriasi tidak mengurangi: a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana; b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak danatau royalti danatau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara. 122 Lihat , Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Di samping itu, untuk mengantisipasi terhadap beberapa investor yang meninggalkan begitu saja perusahaan di Indonesia, tanpa menyelesaikan kewajiban mereka membayar upah buruh dan kewajiban lainnya, Pasal 9 ayat 1 menyebutkan, bahwa dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal: a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer danatau repatriasi; dan b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer danatau repatriasi berdasarkan gugatan. Selanjutnya, ayat 2 menyebutkan, bahwa Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal. Pengaturan yang memberikan kepada penanam modal, hak untuk melakukan transfer dan repatriasi itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu; pertama, merupakan konsekuensi dari pelaku usaha untuk dan di dalam melaksanakan kegiatan usahanya; kedua, konsekuensi dari melakukan tindakan korporasi. 123 Penanaman modal diperbolehkan melaksanakan repatriasi. Hal ini sesuai dengan peraturan tentang lalu lintas devisa sejak tahun 1970 dimana Indonesia menganut sistem lalu lintas devisa bebas. Jadi dengan demikian apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bukan hal yang baru, tidak ada sesuatu yang istimewa tentang transfer dan repatriasi. Itu semuanya sudah dijamin bisa dilakukan oleh setiap penduduk Indonesia untuk bisa menggunakan, memanfaatkan devisa secara bebas. Penegasan khusus ini hanya berlaku pada mereka 123 Felix Untung Soebagjo, Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 yang menanam modal di Indonesia. Ini adalah salah satu cara dalam rangka melakukan promosi, karena Undang-Undang Penanaman Modal itu bukan hanya undang-undang yang mengatur norma-norma yang berlaku bagi pelaku usaha yang berada di Indonesia, bukan hanya mengatur norma-norma hukum bagi penduduk Indonesia, tetapi juga mempromosikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang layak untuk dikunjungi, untuk dijadikan tempat untuk melakukan investasi. 124

c. Jaminan Tidak Ada Nasionalisasi

Ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang juga dapat dikategorikan sebagai insentif adalah jaminan tidak ada nasionalisasi hak kepemilikan penanam modal. Jaminan tidak ada nasionalisasi dapat dikategorikan sebagai insentif, karena para penanam modal akan mendapat kepastian hukum dalam menjalankan usahanya dan tidak khawatir hak kepemilikannya diambil alih negara. Pada dasamya substansi tentang nasionalisasi bukan hal baru, karena substansi ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Hal yang membedakan adalah nilai kompensasi jika terjadi nasionalisasi. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, jumlah kompensasi didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, sedangkan 124 Supanji, op. cit., hal.223-224. Sebagai perbandingan insentif berupa hak transfer aset bagi penanam modal juga diberikan di Vietnam. Bagi penanam modal yang telah menyelesaikan kewajiban perpajakannya, negara memberikan jaminan untuk melakukan pengiriman kembali keluar Vietnam atas keuntungan yang didapat, pembayaran yang diterima atas hak intelektual, pinjaman luar negeri beserta bunganya, modal, pendapatan dari proses likuidasi. Sementara itu, Thailand dalam Alien Business Act menentukan bahwa, penanam modal dapat melakukan transfer dalam valuta asing atas modal dan deviden yang diperoleh maupun pinjaman luar negeri yang diperoleh dengan persetujuan Board of Investment. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, nilai kompensasi berdasarkan harga pasar yaitu harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak. 125 Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Ayat 2 menyebutkan, bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Kemudian ayat 3 menjelaskan, jika di antara dua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 2, penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Selanjutnya, penjelasan pasal 7 ayat 3 menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Jika pemerintah melakukan nasionalisasi dan tidak tercapai kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi dan bagaimana cara pembayarannya, maka sengketa ini akan dibawa kepada Arbitrase. 126 125 Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 126 Indonesia dengan undang-undang No. 5 tahun 1968 telah meratifikasi Konvensi ICSID ini. Konvensi ICSID mengatur tentang penyelesaian sengketa antara pemerintah dan Investor Asing berkaitan dengan penanaman Modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Jaminan tidak ada nasionalisasi bagi perusahaan penanam modal asing di Indonesia sangat penting. Karena, Indonesia pernah dua kali melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yaitu: 127 Pertama, pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat dari pendudukan Belanda. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan perusahaan tembakau Belanda di Bremen German, ketika tembakau dari perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini terkenal dengan kasus tembakau Bremen. Pokok permasalahannya bermula dari penjualan tembakau dari bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia Pemilik perusahaan yang dinasionalisasi tersebut mengklaim tembakau tersebut sebagai miliknya. Pengadilan Bremen dalam putusannya, antara lain, menyatakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah hak negara yang berdaulat. Kedua, pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika Serikat, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika Serikat dan Inggris sebagai pendukung utama pembcntukan Malaysia, yang oleh pemerintah Soekarno dianggap neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu anti Barat. Amerika Serikat dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sehingga Indonesia membuka hubungan erat dengan Soviet Uni, negara-negara Eropa Timur, Cuba, China, Vietnam Utara dan Korea Utara. Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan pengalaman nasionalisasi yang pernah dilakukan Indonesia, maka pada masa yang akan datang diperkirakan Indonesia tidak akan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, berdasarkan alasan-alasan berikut ini: Pertama, sejak pemerintah Indonesia membuka diri kepada modal asing dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, selama 40 tahun sampai sekarang ini tidak ada indikasi atau tanda-tanda pemerintah berencana melakukan nasionalisasi. 127 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 48. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Kedua, sebaliknya keadaan sosial ekonomi lndonesia yang antara lain ditandai dengan besamya pengangguran, sampai 10,5 atau sekitar 10.000.000 sepuluh juta jiwa dan kekurangan prasarana seperti jalan, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, penggalian sumber-sumber daya alam alam, memerlukan modal asing yang tidak sedikit. 128 Ketiga, keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional dan perjanjian bilateral mengenai promosi dan perlindungan penanaman modal dengan berbagai negara, membuat tipis kemungkinan Pemerintah Indonesia akan melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Selain itu, Indonesia juga telah menandatangani perjanjian keamanan berinvestasi dengan 60 negara. 129 Praktik perlindungan investasi berupa jaminan tidak ada nasionalisasi merupakan praktik internasional. Syarat-syarat untuk melakukan nasionaliasasi yang berlaku secara internasional sangat ketat, yaitu; harus dilakukan melalui suatu undang-undang, harus ada kompensasi terhadap perusahaan yang dinasionalisasi sesuai dengan harga pasar dan nasionalisasi tidak boleh didasarkan pada alasan politis, tetapi semata-mata alasan ekonomis. 130

d. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. Selanjutnya, ayat 2 menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 128 Lihat, Biro Pusat Statistik, 2007. 129 Presiden Jamin Tak Lakukan Nasionalisasi, Bisnis Indonesia, 3 November 2006. 130 Suparji, op. cit., hal. 227. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Kemudian, ayat 3 pasal ini menyebutkan bahwa, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. Ayat 4 mengatur dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Ketentuan ini pada dasarnya bukan merupakan substansi baru, karena pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur tentang mekanisme arbitrase dalam penyelesaian ketidak-sepakatan mengenai jumlah, macam dan cara pembayaran kompensasi. Pasal 22 ayat 2 menyebutkan, bahwa jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak. 1 Pengertian arbitrase Mengenai Arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 undang-undang tersebut dinyatakan Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury dalam Ningrum Natasya Sirait mengemukakan: Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Arbitrase adalah suatu proses mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus netral sesuai dengan pilihan mereka, di mana putusan mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. 131 Bila dibandingkan kedua definisi tersebut maka pada definisi yang pertama difokuskan pada ada atau tidak adanya perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. 132 2 Dasar hukum arbitrase Pada mulanya ketentuan tentang arbitrase diatur di dalam RV dan HIR. RV atau Burgelijke Reglement op de Rechtsvoerdering adalah suatu ketentuan yang mengatur tentang tata cara beracara yang diberlakukan bagi golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu ketentuan tentang arbitrase di dalam RV diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 RV. Ketentuan dalam RV ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pertimbangan dikeluarkannya undang-undang tersebut adalah: 133 a. bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata, dapat diajukan ke pengadilan umum, terbuka kemungkinan melalui arbitrase penyelesaian sengketa; 131 Frank Alkoury dan Eduar Elkoury, dalam Ningrum Natasya Sirait, Mengenal Perjanjian Arbitrase, Fakultas Hukum USU, 14 Agustus 2008, hal. 5 132 Ibid., hal. 11. 133 Ibid., hal. 13. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 b. bahwa peraturan-perundangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan hukum c. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perlu membentuk undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Lembaga Arbitrase dibagi dua, yaitu: arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc atau volunter adalah arbitrase yang ditujukan untuk kasus tertentu untuk satu kali penunjukan. Sedangkan arbitrase institusional institutional arbitration adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen Pasal 1 ayat 2 Konvensi New York Tahun 1958. Arbitrase institutional dibagi dua yaitu: nasional dan internasional. 134 Bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan. Yang termasuk arbitrase nasional Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMI. Arbitrase internasional pusat penyelesaian persengketaan antara berbagai pihak yang berbeda kewarganegaraannya, yaitu melalui: 1 The Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce ICC Paris. 2 The London Court of International Arbitration. 3 Arbitration Institute Stocholon 4 The American Arbitration Association 5 The International Center for the Settlement of Investment Disputes ICSID, dan 6 The United Nations Commission on International Trade UNCINTRAL. 134 Pasal 59 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 3 Alasan memilih arbitrase Alasan memilih arbitrase, yaitu: 135 a. Penyelesaian cepat Prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa di negara maju hanya memerlukan waktu sekitar 60 hari. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat final and binding sehingga tidak tersedia upaya naik banding. b. Terjaga kerahasiaannya confidential Proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan tidak ada publikasi. Pihak-pihak bersengketa terjaga kerahasiaannya. c. Para arbiter terikat oleh ketentuan untuk tidak memberitahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak yang bersengketa. Pelanggaran terhadap batasan ini maka para arbiter dianggap melampaui wewenang exceeded its power dan merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga dapat dituntut pertanggungjawaban hukumnya. Asas ini bertolak belakang dengan praktik pengadilan, karena di pengadilan berlaku asas terbuka untuk umum, setiap putusan pengadilan harus dalam sidang terbuka. d. Biaya lebih rendah karena arbitrase ditentukan oleh arbiter. Biaya itu meliputi: 1 honorarium; 2 biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan 3 biaya administrasi Pasal 76 UU No. 30 Tahun 1999. e. Jasa pengacara tidak terlalu diperlukan dalam proses arbitrase, karena prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak formal bahkan dapat dengan tata cara yang diusulkan oleh pihak-pihak yang berperkara sendiri. Di samping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi di bidang yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan putusan dengan cepat dan objektif. Secara umum dapat dikatakan bahwa biaya arbitrase lebih rendah dibanding biaya perkara melalui pengadilan. 136 Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sengketa yang dapat diputus melalui arbitrase, yaitu sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak 135 Ningrum Natasya Sirait, op. cit., hal. 18. 136 Hal ini masih perlu diteliti karena biaya profesionalitas dihitung dari keahlian kadang- kadang sangat mahal sekali. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 yang bersangkutan. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. 137 Ada 3 tiga hal yang dapat dirangkum dari ciri-ciri arbitrase, yaitu: 138 1 Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian 2 Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis 3 Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum. Bentuk klausula perjanjian arbitrase diatur pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dibagi 2 jenis, yaitu: 139 1 Pactum de compromittendo Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya perselisihan, dikenal dengan istilah klausula arbitrase. Isi klausula arbitrase ini bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase Pasal 7 UU No.30 Tahun 1999. Klausula ini dibuat bersamaan dengan perjanjian pokok sehingga isinya hanya bersifat umum. Keuntungan mencamtumkan klausula arbitrase dalam perjanjian pokoknya bila terjadi perselisihan maka otomatis akan diselesaikan oleh arbiter. Kelemahannya belum adanya penunjukan arbiter yang akan menangani perselisihan tersebut. Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, teleks, faksimili, e-mail, atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan antara pemohon dengan termohon berlaku Pasal 8 UU No.30 Tahun 1999. 2 Akta komporomis Suatu akta yang berisi perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah terjadinya sengketa. Perjanjian arbitrase ini dibuat dalam Akta Notaris Pasal 9 ayat 1 dan yat 2 UU No.30 Tahun 1999. 137 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 138 Susanti Adi Nugroho, “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Slide tidak dipublikasikan. 139 Ningrum Natasya Sirait, op. cit., hal. 21-24. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Keuntungan menggunakan akta ini adalah penunjukan siapa arbiter yang akan menangani perselisihan sudah jelas. Kelemahannya bila terjadi perselisihan belum tentu bisa diselesaikan melalui arbitrase. 4 Prosedur penyelesaian sengketa arbitrase Prosedur penyelesaian sengketa arbitrase diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 48 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Alternatif, yang prinsip-prinsip sebagai berikut: 140 a. Pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup; b. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain akan digunakan; c. Pada pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing; d. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus; e. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase; Syaratnya: 1 terdapat unsur kepentingan yang terkait; 2 keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa; 3 disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase. f. Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang tegas dan tertulis; g. Semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No.30 Tahun 1999. h. Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dalam mengambil keputusan provisional atau putusan lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan yang memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang rusak; i. Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. 140 Ibid., hal. 28-31. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Selanjutnya prosedur pemeriksaan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan sengketa secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak. Setelah menerima permohonan, maka arbiter atau majelis arbitrase melakukan: 141 a. Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase; Surat tuntutan itu harus memuat: 1 nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak; 2 uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti 3 isi tuntutan yang jelas; b. Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan suatu salinan tuntutan tersebut dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan tersebut oleh termohon; c. Setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter ketua majelis arbitrase, salinan jawaban diserahkan kepada pemohon; d. Arbiter atau Ketua Majelis Arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu; e. Apabila termohon setelah lewat 14 hari tidak menyampaikan jawabannya, termohon dipanggil menghadap pada sidang arbitrase berikutnya; f. Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menangapinya. Tuntutan balasan diperiksa dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama dengan sengketa; g. Bila pada hari yang ditentukan, pemohon tanpa alasan yang sah tidak dapat menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur, dan oleh arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. Sebaliknya, termohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase melakukan pemanggilan sekali lagi. 141 Ibid., hal. 33-39. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 h. Paling lama 10 hari setelah pemanggilan ke-2 diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum; i. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa; j. Apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase, membuat akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut; k. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila perdamaian tidak tercapai; l. Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan arbitermajelis arbitrase; m. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh majelis arbitrase; n. Sebelum ada jawaban tertulis dari termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase; o. Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperoleh dengan persetujuan termohon dan sepanjang perubahan dan penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu itu dapat diperpanjang, asal ada persetujuan para pihak dan diperlukan. Supaya dapat mengambil keputusan adil, arbitrase atau majelis arbitrase mempunyai kewenangan: 142 a. Menentukan tempat arbitrase, kecuali ditentukan oleh para pihak; b. Mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan; c. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase; d. Mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan. 142 Ibid., hal. 41. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Arbiter atau majelis arbitrase dapat juga diminta oleh para pihak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan tertentu dan suatu perjanjian. Pendapat yang mengikat ini tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun. Pendapat atau putusan lembaga arbitrase itu harus dituangkan dalam putusan arbitrase. Putusan arbitrase memuat hal-hal berikut ini: 143 a. Kepala putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” b. Nama singkat sengketa; c. Uraian singkat sengketa; d. Pendirian para pihak e. Nama lengkap dan alamat arbiter; f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; g. Pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedan pendapat dalam majelis arbitrase; h. Amar putusan; i. Tempat dan tanggal putusan; j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase; 5 Pelaksanaan putusan arbitrase Terdapat dua sifat lembaga arbitrase, yaitu nasional dan internasional. Sifat arbitrase nasional dan internasional berbeda prosedur yang ditempuh oleh pemohon dalam pelaksanaan putusan lembaga arbitrase. Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase nasional: 144 a. Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera Pengadilan NegeriPN; 143 Ibid., hal. 43. 144 Ibid., hal. 45-46. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 b. Lembar asli atau salinan putusan dilakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera PN yang merupakan akta pendaftaran; c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan autentiknya kepada panitera PN. Apabila ketiga hal itu tidak dipenuhinya berakibat tidak dapat dilaksanakan. Akta kekuatan bersifat final, mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan mengikat pada pihak. Apabila para pihak tidak dapat melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela maka pelaksanaan putusan ditentukan sebagai berikut: 145 a. Putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN atau permohonan salah satu pihak yang bersengketa. b. Perintah dimaksud diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri; c. KPN sebelum memberikan perintah, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; d. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan, Ketua PN menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua PN tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun; e. Ketua PN tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase; f. Perintah Ketua PN ditulis pada lembaran asli dan salinan autentik putusan arbitrase yang dikeluarkan; g. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua PN dilaksanakan sesuai ketentuan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap Pasal 62-64 UU No.30 Tahun 1999 Sedangkan prinsip-prinsip pelaksanaan arbitrase internasional, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah PN Jakarta Pusat. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 146 145 Ibid., hal. 47-49. 146 Ibid., hal. 51-52. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara RI sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekutor dari Mahkamah Agung RI dilimpahkan kepada PN Jakarta Pusat Pasal 65-66 UU No.30 Tahun 1999. Konvensi-konvensi arbitrase internasional Internasional Arbitration Conventions yang diakui oleh Republik Indonesia adalah: 1. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards New York Convention yang ditandatangani tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku tanggal 7 Juni 1958. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981. Semula menurut Mahkamah Agung Republik Indonesia, New York Convention belum dapat dilaksanakan di Indonesia, oleh karena menurut sistem perundang-undangan di Indonesia, setelah ratifikasi masih diperlukan peraturan pelaksanaannya yang hingga sekarang masih belum diundangkan. Akan tetapi pendirian MARI telah berubah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung PERMA No.1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Berdasarkan PERMA tersebut putusan BANI yang menyangkut warga negara asing dapat dieksekusi di negara domisili warga negara asing atau badan hukum asing dalam hal pihak warga negara atau badan hukum itu dikalahkan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 2. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States Washington Convention Keputusan Arbitrase berdasarkan Washington Convention ini telah disahkan dengan UU No. 5 Tahun 1968, sehingga putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di Indonesia, dengan izin tertulis dari Mahkamah Agung. Mahkamah Agung hanya boleh menolak keputusan arbitrase Washington Convention apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban umum. Mahkamah Agung tidak diperbolehkan untuk menilai atau menguji isi dan materi inti dari keputusan arbitrase Washington Convention. Indonesia meratifikasi konvensi ICSID atau International Centre for Settlement of Investment Disputes dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Konvensi ini semula dilahirkan untuk mendorong penanaman modal asing ke negara- negara berkembang. Indonesia menjadi anggota konvensi ini untuk meyakinkan dunia internasional, bahwa bila terjadi sengketa dengan Pemerintah Indonesia mengenai penanaman modal, tidak harus diselesaikan pada pengadilan di Indonesia yang oleh penanam modal asing dapat dinilai akan bersifat subjektif atau tidak obyektif. Walaupun Indonesia menjadi anggota konvensi ini, tidak serta-merta semua sengketa penanaman modal antara penanam modal asing dengan Pemerintah Indonesia diselesaikan melalui ICSID. Harus ada kesepakatan antara para pihak yang Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 bersengketa secara tertulis bahwa mereka sepakat akan menyelesaikan sengketa melalui ICSID tersebut. 147 Selanjutnya, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The Recognition and Enforcement of Arbitral Awards, menjadi anggota Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri. Demikian juga dengan keikut-sertaan dalam Konvensi New York tersebut tidak menjadikan Indonesia serta-merta melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri. Hal ini sesuai dengan Konvensi New York yang menyatakan, antara lain, bahwa negara peserta dapat menolak pelaksanaan arbitrase luar negeri apabila perjanjian pokok yang berisi penyelesaian sengketa arbitrase tersebut bertentangan dengan undang-undang nasionalnya atau public policy negara tersebut. 148 Keanggotaan Indonesia dalam konvensi New York 1958 tidak berarti menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada arbitrase. 147 Pasal 25 ayat 1 ICSID Convention menyatakan: the jurisdiction of the Centre Shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State or any constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State and a national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally. 148 Lihat, Suparji, op. cit., hal. 231. Misalnya, dalam Bakrie Brothers v. Trading Corporation of Pakistan, No. 4231KPDT1986; Mahkamah Agung RI memutuskan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menolak pelaksanaan keputusan arbitrase London dengan alasan bahwa Bakrie Brothers tidak cukup didengar di dalam proses arbitrase dan Bakrie Brothers telah membayar performance bond. Contoh lainnya, Yani Heriyanto v. E.D F Man Sugar, No. 1205KPdt1990, dimana Mahkamah Agung memutuskan menolak melaksanakan putusan arbitrase London dengan alasan perjanjian pokok yang memuat klausula arbitrase bertentangan dengan public policy Indonesia. Pada waktu itu berdasarkan Keppres Nomor 33 tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971 hanya Bulog yang boleh melakukan impor gula. Artinya pihak swasta tidak boleh melakukan impor gula seperti yang diperjanjikan antara Yani Heriyanto dengan E.D F Man Sugar suatu perusahaan Inggris. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009

e. Fasilitas Keimigrasian untuk Penanam Modal Asing

Fasilitas keimigrasian untuk penanam modal asing sebagaimana pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan insentif yang sangat menarik bagi investor asing. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 23 ayat 3 yang menyebulkan bahwa, fasilitas keimigrasian untuk penanam modal asing, yaitu pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 dua tahun, pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 dua tahun berturut-turut, pemberian izin masuk kembali unluk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 satu tahun diberikan untukjangka waktu paling lama 12 dua belas bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan. Pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 dua tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 dua puluh empat bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan. Pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 dua puluh empat bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan. Ketentuan tentang fasilitas keimigrasian dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal bukan merupakan ketentuan baru, karena pada Undang-Undang 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur tentang fasilitas keimigrasian. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 f. Hak Atas Tanah. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyediakan fasilitas berupa hak atas tanah kepada penanam modal. Pasal 22 ayat 1 menyebutkan bahwa perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 sembilan puluh lima tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 enam puluh tahun dan dapat diperbarui selama 35 tiga puluh lima tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 delapan puluh tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 lima puluh tahun dan dapat diperbarui selama 30 tiga puluh tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 tujuh puluh tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 empat puluh lima tahun dan dapat diperbarui selama 25 dua puluh lima tahun. Penjumlahan menjadi 95 tahun, 80 tahun dan 70 tahun tersebut tidak akurat dan menimbulkan salah pengertian. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diperpanjang di muka sekaligus, setelah jangka waktu itu selesai, harus mengalami evaluasi. Evaluasi tersebut menentukan hak atas tanah itu dapat diperbarui atau tidak sebagaimana diuraikan oleh Pasal 22 ayat 3. Selanjulnya, Pasal 22 ayat 2 menyebutkan bahwa hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. Selain itu, ayat 3 menyebutkan bahwa, hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Akhirnya, ayat 4 menyebutkan bahwa pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui, dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Fasilitas hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pada dasarnya lebih moderat jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga terkesan liberal jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria adalah anti modal asing, sebagaimana terlihat dalam jawaban Menteri Agraria Mr. Sadjarwo yang mewakili pemerintah atas pemandangan umum Anggota DPR-RI terhadap naskah RUU Pokok Agraria di muka Sidang Pleno DPR-GR, 14 September I960: 149 149 Sadjarwo dalam Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal.607-614. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 ...Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan aparat-aparatnya yang mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa berdarah dan berkali-kali pentraktoran- pentraktoran yang sangat menyedihkan. Selanjutnya dalam sidang terakhir pembahasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Sadjarwo menegaskan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria mengeleminasi investasi asing. Jangka waktu hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, tidak memadai lagi, sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dalam Pasal 11 disebutkan: 2 Untuk kepentingan penanam modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha. 3 Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud ayat 1, untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. 4 Persetujuan untuk dapat memberikan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan rincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan. Perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah untuk Hak Guna Bangunan diatur lebih lanjut oleh Pasal 28 yang berbunyi: 1 Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 2 Dalam hal pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Bangunan hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan olch Menteri setelah mendapat persetuan dari Menteri Keuangan. 3 Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 1 dan perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan. Ketentuan mengenai perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai diatur dalam Pasal 48 sebagai berikut: 1 Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai. 2 Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. 3 Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1 serta perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka hak atas tanah dalam Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih moderat dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Kedua peraturan ini mengatur tentang jangka dan pembaharuan hak atas tanah. Meskipun ketentuan ini tidak diatur dalam UUPA, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak bisa dinyatakan bertentangan dengan UUPA. Setidak-tidaknya ada dua alasan bahwa Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak bertentangan dengan UUPA, karena: 150 150 Maria Sumardjono, Kompas, 24 September 1993 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 1 UUPA tidak mengatur tindak lanjut setelah berakhirnya HGU dan HGB. Dengan demikian, memberi kemungkinan adanya perpanjangan dan pembaruan. 2 UUPA tidak melarang adanya perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. 3 Dalam hukum dikenal metode penemuan hukum, artinya jika tidak diatur secara jelas, maka memberikan ruang untuk melakukan interpretasi.

g. Bidang usaha yang terbuka lebih banyak

Ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang juga dapal dikategorikan sebagai insentif adalah bidang usaha yang terbuka lebih banyak. Pasal 12 ayat 2 menyebutkan bahwa, beberapa bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing, yaitu produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang, dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Selanjutnya pada ayat 2 menyebutkan bahwa bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan negara, antara lain, produksi senjata, mesin, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing. Bidang usaha yang terbuka dalam Undung-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan insentif yang menarik bagi investor asing, karena semakin banyak bidang usaha yang dapat dimasuki oleh modal asing.

3. Pembatasan Dalam Undang-Undang Penanaman Modal