Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal

Masalah hak atas tanah tersebut dapat diperbaharui, berdasarkan Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA Jo. Pasal 17, Pasal 36 dan Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak GunaUsaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Pembaruan hak atas tanah harus memenuhi persyaratan, sebagai berikut: tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak atas tanah; syarat-syarat pemberian hak tersebut harus dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

2. Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal

a. Penetapan Bidang Usaha yang Terbuka Belum Aspiratif.

Pasal 12 ayat 3 menyebutkan bahwa, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden tentang bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri. Pelaksanaan Pasal 12 ayat 3 ini harus melakukan koordinasi dengan departemen lain yang terkait, termasuk Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan, Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenKota. Pada bagian kebijakan penanaman modal, pemerintah daerah provinsi mempunyai kewenangan penyiapan usulan bidang-bidang usaha tertentu yang perlu dipertimbangkan tertutup, terbuka dengan persyaratan, prioritas tinggi dalam skala provinsi. Sementara pemerintah daerah kabupaten, juga mempunyai kewenangan untuk penyiapan usulan bidang-bidang usaha tertentu yang perlu dipertimbangkan tertutup, terbuka dengan persyaratan, prioritas tinggi dalam skala kotakabupaten. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Pemerintah telah menindaklanjuti ketentuan Pasal 12 ayat 3 Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres ini ada 25 bidang usaha yang dinyatakan tertutup, 43 bidang dicadangkan untuk UKMK, ada 36 bidang yang diwajibkan untuk dijalankan melalui prinsip kemitraan, ada sekitar 120 bidang yang kepemilikan asingnya dibatasi, ada 19 bidang lainnya dibatasi operasinya dilokasi tertentu, ada 25 bidang yang membutuhkan perizinan khusus, ada 48 bidang yang harus 100 dimiliki domestik, ada 17 bidang yang terkena pembatasan kepemilikan asing plus izin lokasi, ada 4 bidang yang terkena pembatasan kepemilikan asing plus izin khusus, dan hanya satu yang dimiliki 100 domestik plus izin khusus. 179 Dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, daftar bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, antara lain: Perjudian kasino, peninggalan sejarah dan purbakala candi, keraton, prasasti, petilasan, bangunan kuno, temuan bawah laut, museum, pemukimanlingkungan adat, monumen, obyek ziarah, pemanfaatan koral alam, penangkapan species ikan yang tercantum dalam Appendix I Cites, manajemen dan penyelenggaraan stasiun monitoring spektrum frekuensi radio dan orbit satelit, lembaga penyiaran publik, penyelenggaraan dan pengoperasian jembatan timbang, penyelenggaraan pengujian tipe kendaraan bermotor, penyelenggaraan pengujian berkala kendaraan bermotor, telekomunikasisarana bantu navigasi pelayaran, vessel trafic mfovmation syslem VTIS, pemanduan lalu lintas udara ATS provider, 179 Lihat, Iman Sugema, Catatan atas Perpres No.772007, Bisnis Indonesia, 7 Juli 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 industri bahan kimia yang merusak lingkungan, 180 industri bahan kimia skedul-1 Konvensi Senjata Kimia, 181 industri minuman mengandung alkohol, 182 industri pembuat chlor alkali dengan bahan mengandung merkuri, industri siklamat, sakarin, industri logam dasar bukan besi, dan budi daya ganja. Selain bidang usaha di atas, dalam Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 juga diatur kepemilikan modal asing dalam daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan, antara lain: Sebesar 99 bank devisa, bank non devisa, bank syariah, pialang pasar uang; 95 jasa pengeboran minyak dan gas bumi, pembangkit tenaga listrik, PLTN, pembentukan lembaga pengkajian perangkat telekomunikasi, pengusahaan jalan tol dan air minum, budi daya padi seluas lebih 25 ha, budi daya jagung dan ubi kayu, pembenihan padi, perkebunan tanpa pengelohan, 85 leasing, pembiayaan non leasing, modal ventura, 80 perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, pialang asuransi, jasa penilai asuransi, 75 indsutri farmasi, 65 rumah sakit, klinik, jasa layanan penunjang, jasa konsultasi bisnis dan manajemen, penyelenggara jaringan bergerak selular dan satelit; 55 jasa konstruksi, konsultasi konstruksi, 50 galeri seni, gedung pertunjukan, hotel bintang 1, 2 dan melati, katering, spa, barkafe, restoran, ketangkasan, usaha rekreasi dan hiburan, biro perjalanan wisata, PCO, 49 pengusahaan perburuhan di Taman Baru, penangkaran tumbuhan dari satwa liar, nursing service, penyewa peralatan medik, akupuntur, penyelenggara jaringan telekomunikasi, angkutan sungai dan udara, jasa tenaga kerja, 25 pengusahaan pari wisata alam, ekowisata di kawasan hutan. 183 Ditinjau dari substansinya, Perpres No. 77 Tahun 2007 memuat hal-hal yang sangat mendasar, yaitu; Perpres ini mudah dipahami, memuat hal-hal yang dicadangkan usaha mikro kecil dan menengah, mendorong usaha kemitraan di 36 bidang usaha, mengenai kepemilikan asing di berbagai bidang usaha. 184 180 Penta Chhrophcno, Dicbloro Diphenyl Trichloro EJbane DDT, Dieldrin, Chlordane, Carbon Tetra Chloride, Halon, dan sebagainya. 181 Sarin, Soman, Tabun Mustard, Levisite, Ricine, Saxitoxin, VX, dan Iain-lain. 182 Minuman keras, anggur, minuman mengandung malt. 183 DNI sarat area abu-abu, Bisnis Indonesia, 5 Jul 2007. 184 Lihat, Iman Sugema, Catalan atas Perpres No.772007, Bisnis Indonesia, 7 Juli 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Tujuan kedua Peraturan Presiden tersebut adalah meniadakan daerah abu-abu bagi investor asing dan memberikan kejelasan mengenai bidang-bidang usaha sehingga tidak menimbulkan tafsir yang tanpa dasar hukum. 185 Namun demikian, ruang perbaikan bagi daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat dapat dilakukan dengan syarat memenuhi bcberapa ketentuan, antara lain; penyederhanaan berlaku secara nasional, bersifat sederhana dan terbatas terkait dengan kepentingan nasional; kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen intemasional tidak bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam perjanjian dan komitmen intemasional; transparansi, jelas, rinci, dapat diukur, tidak multitafsir, serta berdasarkan kriteria tertentu; kepastian hukum, tidak dapat diubah kecuali dengan peraturan presiden; dan kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal tidak menghambat arus kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya manusia, dan informasi dalam wilayah Indonesia. 186 Bagi kalangan usaha, Perpres No. 77 tahun 2007 tidak sesuai dengan prinsip bisnis, karena pembatasan modal asing sebesar 50 tidak sesuai dengan praktik riil. Investor asing yang bergerak di bidang asuransi, 187 telekomunikasi, dan farmasi kecewa dengan pengetatan porsi asing pada sejumlah bidang usaha. Investor asing berharap, pembatasan kepemilikan asing hanya diberlakukan untuk investor baru, bukan existing yang sudah ada. 188 185 “Meniadakan Daerah Abu-Abu, Kompas, 5 Juli 2007. lihat juga, Aturan lnvestasi Lebih Restriktif. Kompas, 12 Juli 2007. 186 Lihat, Perbaikan DNl Dimungkinkan, Kompas, 16 Juli 2007. 187 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, kepemilikan asing di sektor telekomunikasi diperbolehkan hingga 95. Tujuh perusahaan asuransi yang kepemilikan sahamnya oleh asing melebihi 80 antara lain: Allianz Life 99,76, Manulife Insurance Indonesia 95, Sunlife 94, 89, Prudential Assurance Indonesia 94, 60, Great Eastern Life Indonesia 92, 39, dan MAA General Assurance 87. 188 Terkait Pembatasan Kepemilikan Saham, Asing Kecewa, Investor Daily, 4 Juli 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Kamar Dagang dan Industri dari sejumlah negara yang anggotanya menjalankan usaha di Indonesia. 189 Mereka menilai daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat yang ditetapkan pemerintah lebih restriktif. Meskipun ketentuan tersebut tidak berlaku surut, tetapi mereka khawatir akan mengalami kesulitan mengembangkan usaha. 190 Para pengusaha asing tidak dapat memahami filosofi yang mendasari pembatasan kepemilikan modal asing pada sejumlah bidang usaha, antara lain jasa pengapalan, pariwisata, farmasi dan kesehatan. 191 Sebagai perbandingan, dalam rangka melindungi kepentingan nasionalnya dari aspek pertalian keamanan, kesehatan, modal, lingkungan dan tradisi budaya termasuk perlindungan pelaku usaha nasional dan UKM. beberapa negara menerapkan sistem Daftar Negatif lnvestasi sebagaimana Pemerintah Indonesia menerapkannya sejak tahun 1989. Dengan sistem Daftar Negatif Investasi tersebut untuk bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dilakukan pengaturan dari segi perlindungan usaha kecil, pembatasan modal asing, persyaralan khusus, dan lokasi sebagaimana kebijakan bidang usaha dalam Daftar Negatif Investasi di Indonesia. Sebagai contoh: Thailand, bidang usaha transportasi darat, transportasi air dan udara, Pemerintah Thailand mengizinkan investasi asing dengan pembatasan kepemilikan modal asing harus di bawah 50; Vietnam, bidang usaha pembangunan dan pengoperasian jaringan telekomunikasi internasional dan lokal, pertambangan migas dan logam mulia, transportasi darat, air dan udara modal asing diwajibkan patungan dengan modal dalam negeri. 192 189 Pengusaha-pengusaha asing yang bergabung di European Business Chamber, American Chamber of Jakarta, Japan Club, British Chamber of Commerce, serta Kamar Dagang dari Singapura dan Malaysia. Suparji, op. cit., hal. 283. 190 “Aturan Investasi Lebih Restriktif”, Kompas, 12 Juli 2007. 191 Lihat, Boediono: Revisi DNI tidak jangka pendck, Bisnis Indonesia, Selasa, l7 Juli 2007. 192 Suparji, op. cit., hal. 284. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Masing-masing negara mengatur bidang-bidang usaha yang terkait dengan kepentingan hajat hidup orang banyak, umumnya juga dibuka untuk penanam modal asing dengan pembatasan ataupun persyaratan-persyaratan yang ditetapkan Pemerintah, seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan demikian kebijakan bidang usaha pada setiap negara ditetapkan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan masing-masing negara sesuai prioritas perencanaan pembangunan dalam negerinya. Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007. Perubahan yang mendasar dari perubahan ini adalah menyangkut koordinasi antar departemen grand fathering, yang sebelumnya tidak diatur dalam Peraturan Peraturan No. 77 Tahun 2007. Pasal 2A Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 menyebutkan bahwa, penanaman modal pada bidang usaha dengan persyaratan harus memenuhi persyaratan lokasi. Dalam hal izin penanaman modal telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi persyaratan lokasi. Sedangkan, untuk memenuhi persyaratan lokasi, penanam modal tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru. Perubahan Peraturan Presiden ini, pada kenyataannya juga boleh sepenuhnya sesuai dengan harapan para pelaku usaha. Hal ini disebabkan, proses penyusunannya kurang mendapat respon dari departemen-departemen termasuk pemerintah daerah. Kecenderungan yang terjadi, justru sebaliknya, departemen-departcmen saling tarik menarik kepentingan. Demikian pula, pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupatenkota, juga tarik menarik kepentingan. Inilah tantangan yang harus dihadapi Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 dalam mengimplementasikan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. b. Pembentukan Pelayanan Terpadu menghadapi kendala koordinasi antar Instansi. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, izin diperoleh melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 193 Dalam Pasal 26 dinyatakan: 1 Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. 2 Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau kabupatenkota. 194 Selanjutnya Pasal 28 ayat 1 huruf j disebutkan bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi koordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. Pelayanan Terpadu Satu Pintu dimaksudkan untuk mempermudah perizinan investasi di Indonesia yang selama ini dikenal high cost karena banyaknya korupsi birokrasi atau pungutan liar. Oleh karena itu, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal mencoba menghilangkan atau mencegah korupsi birokrasi dengan cara menerapkan pelayanan terpadu satu pintu. 195 193 Pada Pasal 1 ayat 10 UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 194 Pelayanan Investasi Disepakati Satu Pintu, Bisnis Indonesia, 26 Februari 2007, hal. 2. 195 Suparji, op. cit., hal. 287. Dasar hukum pelaksanaan pelayanan satu atap sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu diharapkan akan mempermudah proses perizinan yang harus dimiliki dalam pendirian proyek penanaman modal asing penanaman modal dalam negeri di Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu, sampai saat ini belum terbit. Selain menghadapi tantangan masalah peraturan perundang-undangan, pelayanan terpadu satu pintu juga akan menghadapi masalah koordinasi antar instansi. Sebagai contohnya, investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Migas dan Dirjen Bea Cukai tumpang tindih koordinasi penanaman modal. 196 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 mewajibkan kepada Bupati atau Walikota untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu. Penyederhanaan pelayanan tersebut meliputi pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan, perecpatan waktu proses penyelesaian, kepastian biaya pelayanan kejelasan prosedur pelayanan, mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan, pembebasan biaya perizinan bagi usaha kecil, mikro dan menengah dan akses informasi bagi masyarakat. Secara teknis, pelayanan terpadu dilakukan dengan pemberian kewenangan kepada Kepala PPTSP untuk menandatangani perizinan dan non perizinan sebagai delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota dengan tujuan untuk mempercapat proses pelayanan. Selain itu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu juga diatur dalam 196 Sebelum lahir Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dengan mengacu pada Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006, beberapa daerah telah menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu. yaitu Kota Padang Panjang, Kabupaten Serang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sragen, Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gianyar, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Makassar. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenKota. Sejak tahun 1999, Asia Foundation telah mengembangkan program penyederhanaan perizinan usaha di 55 kabupatenkota dengan mendorong pembentukan sebuah instansi pelayanan terpadu untuk perizinan usaha, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Pelayanan Terpadu Satu Pintu PTSP. PTSP ini pada dasarnya adalah sebuah kantor yang mengkoordinasi dan mengkonsolidasi penerbitan izin, menyerderhanakan proses perizinan serta mengurangi jumlah meja yang harus dilalui pelaku usaha. Walaupun pemerintah nasional sudah mengamanatkan pembentukan PTSP di seluruh Indonesia, diperkirakan baru sektor 30 kabupatenkota yang mempunyai pelayanan terpadu sampai saat ini. Dari jumlah ini, masih banyak kantor pelayanan terpadu yang tidak berfungsi maksimal karena hanya bisa menerima berkas permohonan saja, tanpa kewenangan untuk memproses dan menerbitkan izin. 197 Asia Foundation memberikan pendampingan teknis kepada pemerintah daerah untuk membentuk atau mengembangkan PTSP, yang tidak hanya menerima berkas permohonan belaka, tetapi juga berwenang memproses dan menerbitkan izin. Program ini lebih berfokus kepada izin-izin umum yang diperlukan oleh semua pelaku usaha msialnya SIUP, IMB, TDP, dll, bukan kepada izin-izin sektoral yang memerlukan persetujuan teknis yang lebih dalam misalnya izin makanan, AMDAL, dll. 198 197 “Mengatur Kinerja Pelayanan Perizinan Terpadu di Indonesia”, The Asia Foundation, Jakarta, Juli 2007, hal. 1. 198 Ibid., hal. 2.. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 Hasil studi yang dilakukan oleh Asia Foundation menunjukkan kantor pelayanan terpadu mempermudah pelaku usaha dalam mengurus izin. Rata-rata waktu pengurusan izin untuk 4 izin umum menjadi 60 lebih cepat, dan rata-rata biaya pengurusan berkurang hinga 30. Jumlah pendaftaran usaha juga meningkat setiap tahunnya setelah terbentuknya layanan terpadu. Perbaikan ini mencerminkan kewenangan yang lebih besar dan perbaikan standar pelayanan pada instansi pelayanan terpadu. 199 Asia Foundation membantu menciptakan momentum untuk reformasi perizinan dengan memfasilitasi penyusunan Permendagri tentang Pembentukan PTSP di kabupatenkota, yang terbit bulan Juli 2006. Sebagai kelanjutannya, mitra Asia Foundation turut memfasilitasi pembuatan pedoman teknis untuk pembentukan dan pengembangan PTSP. Untuk menilai dampak kinerja sebuah pelayanan terpadu, Asia Foundation juga mengembangkan sebuah Indeks Kinerja Pelayanan Terpadu IKP. 200 Dengan adanya kebijakan nasional tentang pelayanan perizinan terpadu, dan semakin besarnya kepedulian pemerintah kabupatenkota untuk memperbaiki iklim usaha di daerahnya, semakin tinggi pula kebutuhan akan hubungan teknis untuk prakarsa ini. Asia Foundation berkomitmen untuk terus membantu mengembangkan kapasitas pemerintah daerah dalam memperbaiki layanan perizinan. 199 Ibid., hal. 2.. 200 Ibid., hal. 2.. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009

c. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyebutkan, bahwa penanam modal memiliki kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan corporate social responsibility. Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Ketentuan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Pasal 74 disebutkan: 1 Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 2 Kewajiban tanggungjawab sosial corporate social responsibility dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya dengan memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran. 3 Perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan corporate social responsibility dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4 Ketentuan lebih lanjut mengemi tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kewajiban tentang CSR ini akan menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya, antara lain: 201 1 Pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan. KADIN mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah sehingga kewajiban CSR tidak mengganggu iklim usaha. KADIN menyampaikan masukan untuk menyusun peraturan pemerintah terkait dengan CSR, yaitu: penerapan CSR harus dengan memperhatikan kemampuan perusahaan, 202 dilaksanakan sesuai dengan 201 Suparji, op. cit., hal. 292-293. 202 Lihat, CSR di BUMN, Banyak Dana Sedikit Hasil, Bisnis Indonesia, 13 September 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha masing-masing, perusahaan yang menganggarkan pembiayaan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan, melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kemampuan perusahaan dan perseroan wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perseroan bagi perusahaan terbuka dan laporan manajemen perseroan bagi perusahaan tertutup. 203 Selain itu, dalam PP tentang CSR hendaknya memuat tiga hal pokok, yaitu kapan serta dimana status wajib CSR berlaku, besaran biaya dan pengawas pelaksanaannya. Mengenai PT. yang mempunyai kewajiban melaksanakan CSR harus diatur masa jeda atau periode jeda yang waktunya dikaitkan pada besaran laba atau masa operasi perusahaan. Mengenai besaran CSR, ditetapkan berupa persentase dari total biaya produksi atau dikaitkan laba perusahaan - dalam kurun waktu tertentu. 204 2 Kalangan pengusaha menolak CSR. Alasan yang dikemukakan, antara lain; penerapan CSR pada dasarnya lebih dititik beratkan pada dorongan moral dan etika; di mana setiap perusahaan melaksanakan kegiatan CSR melebihi yang telah diatur dalam peraturan perundangan; kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab negara dan bukan tanggung jawab perusahaan; semestinya CSR bersifat sukarela, menentukan CSR sebagai kewajiban terkesan kontra- produktif; pengaturan CSR menjadi suatu kewajiban perusahaan adalah sesuatu yang tidak jelas, terutama terkait kondisi institusional, organisasional dan materialnya; pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance yang mestinya didorong melalui pendekatan pasar insentif, pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam kaitannya untuk menyamakan level of playing field semua pelaku ekonomi. 205 Argumentasi penolakan terhadap CSR mengacu pada pendapat Milton Friedman yang menyatakan tanggung jawab sosial perusahaan sangat jelas yaitu menggunakan sumber daya langka yang dimilikinya secara efisien dalam koridor hukum yang ada. Karena besaran keuntungan adalah barometer efisiensi maka tujuan korporasi adalah memaksimalkan keuntungan. Bila korporasi menggunakan sumber daya untuk kegiatan di luar upaya meningkatkan keuntungan, maka yang terjadi adalah ketidak-bertanggung- jawaban sosial. Korporasi tidak memiliki kompelensi kegiatan di luar bidang usahanya, sehingga dikhawatirkan inefisiensi sumber daya yang besar. 206 203 Ibid 204 Lihat, Status wajib CSR kian dtbalasT, Bisnis Indonesia, 5 Oktober 2007.Lihat juga, CSR Tidak Masuk Cost Recovery, Kompas, 25 Juli 2007. 205 Mas Achmad Daniri dan Maria Dian Nurani, Menuju Standarisasi SCR, Bisnis Indonesia, 19 Juli 2007 206 Hendrawan Supratikno, Sekali Lagi, Tanggung Jawab Sosial Korporasi, Opini Bisnis Indonesia, 6 September 2007, hal. 7. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository © 2009 3 Kewajiban CSR bagi perusahaan yang berbasis sumber daya alam dinilai diskriminatif, karena tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar seharusnya menjadi tanggung jawab dari perusahaan yang melakukan usaha di sebuah kawasan tertentu. Jika yang dibebani kewajiban hanya perusahaan yang berbasis SDA, maka akan menimbulkan diskriminasi. Seharusnya CSR adalah kewajiban semua perusahaan. Dalam pandangan Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO, menyatakan bahwa menjadikan CSR adalah sebuah kewajiban yang tidak lazim karena akan memberatkan investor dan meningkatkan biaya ekonomi perusahaan, karena terdapat alokasi pendanaan perusahaan untuk kegiatan CSR 207 Namun demikian, pada sisi lain menunjukkan bahwa kegiatan CSR berbanding positif dengan kinerja perusahaan dan juga imbal hasil saham, karena pada dasarnya perusahaan mengungkapkan informasi sosial termasuk CSR dengan tujuan membangun image pada perusahaan dan mendapat perhatian masyarakat. 208

C. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

1. Peraturan Perundang-Undangan yang harus Dicabut