Zaman Kedatangan Islam Kosmologi dan Sosio Budaya Masyarakat Melayu

berupa hantu atau jembalang melainkan gambaran wujud penguasa yang memiliki kekuasaan menjaga tujuh penjuru alam. Seperti kata pepatah ‘kalau diturut nasehat guru, air laut boleh diminum’. Pepatah ini menandakan konsekwensi seorang murid kepada sang guru. Apapun yang diajarkan seorang guru merupakan hal yang harus diterima dan diyakini serta diamalkan. Dalam hal ini unsur-unsur pengaruh Hindu- Budha dan Animisme tidak lagi menjadi suatu masalah yang nyata dan urgent. Sebab semua telah membaur ke dalam tradisi atau ajaran itu sendiri. Namun walaupun demikian benang merah pembatas antara kepercayaan Hindu-Budha, Animisme, dan Islam masih terlihat jelas. Yang pasti ajaran Islam merupakan pondasi dan barometer dari setiap tradisi dan bergeraknya masyarakat Melayu.

2.4 Zaman Kedatangan Islam

Taylor dalam Hamid, 1991 : 29 mengatakan, “kepercayaan yang mula- mula tumbuh dalam alam pikiran manusia primitif, adalah kepercayaan Animisme”. Hamid 1988 : 56 menjelaskan, Islam mulai tersebar di alam Melayu sejak abad ketiga belas Masehi. Agama Islam bertapak di Pasai, kira-kira sekitar tahun 1297 Masehi dan di Trengganu pada tahun 1303 Masehi. Kedatangan Islam ke daerah ini telah membawa perubahan yang dinamik dalam kehidupan orang Melayu. Sama ada dari segi luaran dan dalaman seperti yang ditegaskan oleh S.M Naguib al-Attas, bahwa agama Islam telah merubah jiwa dan fizikal masyarakat Melayu Indonesia. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya Taib dalam Ismail, 1988 : 56 menegaskan, Kedatangan Islam ke Nusantara telah membawa perubahan sehingga menjadikannya sebagian dari pada dunia Islam. Perubahan yang dimaksudkan itu meliputi semua aspek kehidupan orang Melayu. Seperti dalam bidang-bidang bahasa, sastra, intelektual, undang- undang, kepercayaan, politik, adat istiadat, kesenian, dan lain-lain. Selanjutnya Hamid 1988 : 56 lebih memperjelaskan lagi secara spesifik tentang kepercayaan orang Melayu. Beliau mengemukakan bahwa, Islam mengubah pandangan dunia orang Melayu dari pada mempercayai dewa-dewa. Seperti yang mereka anut pada zaman Hindu kepada kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Allah. Disamping itu mereka mempercayai Nabi dan Rasul, Malaikat, kitab-kitab suci, seperti Injil, Taurat, Zabur, dan Al-Qur’an. Percaya kepada hari kiamat dan kepada Qadha dan Qadar. Keimanan mereka diikuti dengan amal ibadah, seperti yang tersebut dalam rukun Islam yang berbentuk. solat, puasa, zakat, dan rukun Haji. Walaupun kepercayaan lama tidak dapat dihapuskan sepenuhnya, namun kepercayaan Islam telah berjaya mempengaruhi bentuk-bentuk kepercayaan Melayu lama dengan memperkenalkan konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Misalnya dalam sihir atau mistik dimasukkan konsep Islam sebagai menggantikan paham ketuhanan Animisme dan Hinduisme. Walaupun unsur dewa-dewa masih lagi diwarisi dalam sastra dan tradisi lisan Melayu. Namun fungsi mereka tidak lagi sebagai Tuhan, tetapi hanya sebagai makhluk-makhluk alam gaib seperti hantu dan jembalang yang masih lagi mempengaruhi alam pemikiran orang Melayu hingga dewasa ini. Dari keterangan pendapat para pakar di atas, bahwa kepercayaan yang latarbelakangnya agama pada orang Melayu dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu. Islam, Hindu-Budha dan Animisme. Dan perlu dipertegas pula bahwa Islam merupakan yang utama. Sedangkan Animisme dan Hindu-Budha merupakan sampiran atau pewarna saja. Universitas Sumatera Utara Manusia pada zaman Animisme dan Dinamisme jelas sekali memiliki nilai religiositas. Hal ini dapat dilihat dengan adanya semacam pengakuan dan kepercayaan akan alam gaib serta kekuatan gaib. Dan mereka mempercayai itu semua dan membuat semacam tradisi kepercayaan tersendiri dengan jalan mereka sendiri pula. Apakah itu berupa pemujaan akan roh yang sudah mati, pohon besar, gunung, laut, dan sebagainya. Menurut kamus Latin-Indonesia, susunan K. Prent, Adisubrata dan Poerwadarminta penerbit Kanisius 1969. Istilah religio datang dari kata latin relego, yang berarti, memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani. Walaupun demikian arti yang persis dari kata religio orang hanya dapat menduga. sebab ada yang berpendapat, bahwa kata religio, berasal dari kata re-ligio = menambah kembali. Namun kita dengan ikhlas mengatakan bahwa manusia religiosus adalah manusia yang berhati nurani serius, saleh, teliti dalam pertimbangan batin dan sebagainya. Agama secara wajar harus terikat dengan yang namanya religiositas. Tapi religositas tidak harus tertumpu dan memiliki wadah yang bernama agama. Mangunwijaya 1988 :17 mengatakan “religiositas tidak bekerja dalam pengertian otak tetapi dalam pengalaman, penghayatan totalitas diri yang mendahului analisa atau konseptualisasi”. Kiranya religius merupakan denyut bathin atau iman. Manusia religius pada dasarnya ingin hidup dalam suasana kekudusan, ini merupakan suatu hal yang realitas objektif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mircea dalam Mangunwijaya, Universitas Sumatera Utara 1988 : 17 yang mengatakan “Tuhan tidak meminta manusia agar menjadi kaum teolog, tetapi menjadi manusia yang beriman. Bagi manusia religius, ada sesuatu yang dihayati keramat, suci, kudus, adi-kodrati”. Berdasarkan pendapat pakar tersebut, bisa kiranya kita jalin kebijaksanaan pendapat serta pemikiran bahwasannya nilai-nilai religius itu merupakan sesuatu yang lahir dari dalam batin setelah ada sesuatu yang berupa pengalaman atau perenungan lalu keluar melalui sikap dan perbuatan. Sebagai contoh. Manusia beragama harus percaya akan ajaran agamanya dan melaksanakan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat kepercayaan tersebutlah yang kita namai nilai-nilai religius, jadi bukan agama itu sendiri. Universitas Sumatera Utara

BAB III Mistik