Perjanjian ini memang dibuat berdasarkan perundingan dari para pihak. Akan tetapi pada kenyataanya PT. Swiss Belhotel Internasional Indonesia ini sebenarnya
hanya operator saja. Mereka tidak mempunyai kewenangan apapun dalam hal pengelolaan selain atas persetujuan dari pengembang.
Mengingat perjanjian tersebut merupakan perbuatan hukum, maka perlindungan hukum bagi para pihak adalah sangat penting, agar kepentingan para pihak dapat
terlindungi. Bagi PT. Swiss Belhotel Suites Residences tertera dalam perjanjian kerjasama ini seperti PT. Swiss Belhotel Suites Residences berhak mengakhiri
perjanjian, jika pengembang melanggar peraturan yang berlaku dan memberikan keterangan yang tidak benar seperti memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai pembagian keuntungan, sekaligus berhak untuk memberikan sanksi kepada pengembang . Bagi PT. Swiss Belhotel Suites Residences meskipun belum
mendapat posisi yang memadai seperti harga jual masih ditentukan oleh pengembang Perlindungan hukumnya nampak dalam Pasal 1338 ayat 3 bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikat baik.
D. Wanprestasi Dan Akibat Hukum
1. Wanprestasi Prestasi adalah sesuatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perikatan. Prestasi merupakan isi dari pada perikatan. Apabila debitur tidak
Universitas Sumatera Utara
memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia dikatakan wanprestasi lalai.
133
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 empat macam, yaitu: 1.
Samasekali tidak memenuhi prestasi; 2.
Tidak tunai memenuhi prestasi; 3.
Terlambat memenuhi prestasi; 4.
Keliru memenuhi prestasi.
134
Wanprestasi mempunyai akibat-akibat hukum tertentu bagi debitur yang bersangkutan. Oleh karena itu persoalan kapan debitur tersebut dikatakan wanprestasi
sangat penting untuk dikemukakan. Dalam praktek hukum di masyarakat untuk menentukan sejak kapan seorang
debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, oleh karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian
jual beli sesuatu barang misalnya tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan kapan pembeli harus membayar harga
barang yang dibelinya kepada penjual. Lain halnya dalam menetapkan kapan debitur wanprestasi pada perjanjian yang
prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak membangun tembok yang tingginya lebih dari dua meter. Maka begitu debitur membangun tembok yang
tingginya lebih dari dua meter, sejak itu ia dalam keadaan wanprestasi.
133
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal.54.
134
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu yang tidak menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi itu, maka untuk
pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih dahulu diberi teguran sommatieingebrekestelling agar ia memenuhi kewajibannya.
135
Kalau prestasi dalam perjanjian tersebut dapat seketika dipenuhi, misalnya penyerahan barang yang dijual dan barang yang akan diserahkan masih belum berada
di tangan kreditur, maka kepada debitur penjual diberi waktu yang pantas untuk memenuhi prestasi tersebut.
Tata cara memberikan teguran sommatieingebrekestelling terhadap debitur agar jika ia tidak memenuhi tegoran itu dapat dikatakan wanprestasi, debitur dalam
Pasal 1238 KUHPerdata yang menentukan bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis.
2. Akibat Hukum Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan
tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat- akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.
Pertama-tama sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya,
kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan
135
Ibid, hal.55.
Universitas Sumatera Utara
untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, ataupun untuk tidak melakukan sesuatu.
Selanjutnya Pasal 1267 KUHPerdata mengatakan; Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi maka debitur dapat memilih di
antara beberapa kemungkinan tuntutan sebagai berikut: a
Pemenuhan kerugian dengan ganti kerugian. b
Pemenuhan perikatan. c
Ganti kerugian. d
Pembatalan perjanjian timbal balik. e
Pembatalan dengan ganti kerugian. Bilamana kreditur hanya menuntut ganti kerugian maka dianggap telah
melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian. Sedangkan kalau kreditur hanya menuntut pemenuhan pemenuhan perikatan maka
tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sudah ada dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk
melaksanakannya. Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUHPerdata diatur pada Pasal 1243 sanpai
dengan pasal 1252 KUHPerdata. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur
yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau
Universitas Sumatera Utara
rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan.
136
Karena tuntutan ganti rugi itu diakui, malahan bahkan oleh undang-undang makan pelaksanaan tuntutan itu kreditur dapat minta bantuan penguasa menurut cara-
cara yang ditentukan dalam Hukum Acara perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana, atas harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur
bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta bendanya telah disebutkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata.
137
Karena namanya saja ganti rugi, maka logisnya besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang diderita. Namun Pasal 1249 KUHPerdata memberikan
perkecualian, yaitu kecuali antara pihak telah ada suatu kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi yang harus dibayar dalam hal debitur wanprestasi. Dalam hal
demikian, maka terlepas dari berapa jumlah kerugian yang sebenarnya kepada kreditur harus diberikan jumlah sebagai yang diperjanjikan atau menurut kata-kata
Pasal 1249 KUHPerdata, “tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu”. Janji seperti itu dalam suatu perjanjian disebut sebagai
janji ganti rugi atau denda atau schadevergoedingboete beding. Ganti rugi sebagaimana yang dikatakan oleh Pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata
bisa berupa ganti rugi dalam arti:
136
Ibid, hal.60.
137
J. Satrio, Hukum Jaminan, Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hal.22.
Universitas Sumatera Utara
1 Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya, untuk mudahnya
dapat disebut prestasi pokok perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan.
2 Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya, seperti kalau ada prestasi yang
tidak sebagaimana mestinya tetapi kreditur mau menerimanya dengan disertai penggantian kerugian sudah tentu dengan didahului protes atau disertai ganti
rugi atas dasar cacat tersembunyi. 3
Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur, oleh karena keterlambatan prestasi dari kreditur. Jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh
kreditur disamping kewajiban perikatannya. 4
Kedua-duanya sekaligus, jadi disini dituntut baik pengganti kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti kerugian keterlambatannya.
Apabila perbuatan wanprestasi telah dilakukan, maka ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Pertama-tama sekali lagi perlu diperhatikan, bahwa
menuntut pemenuhan prestasi perikatan adalah hak kreditur berdasarkan perikatannya. Ini harus dibedakan dari menuntut ganti kerugian, sebab menuntut ganti
rugi dasarnya adalah wanprestasi dari debitur. Jadi dasar tuntutannya lain. Yang pertama didasarkan atas perikatan yang ada antara kreditur dan debitur, sedang yang
kedua didasarkan wanprestasi debitur dalam memenuhi kewajiban perikatannya. Yang sekarang akan ditinjau adalah tuntutan atas dasar wanprestasi. Pasal-pasal
1246-1249 KUHPerdata hanya berlaku bagi tuntutan ganti rugi sebagai ganti dan disamping prestasi pokok, tetapi ketentuan-ketentuan itu tidak berlaku dalam hal
Universitas Sumatera Utara
ganti rugi itu sendiri merupakan prestasi pokok perikatannya, seperti pada perikatan yang lahir karena tindakan melawan hukum, namun untuk berlakunya pasal-pasal
tersebut tidak dibedakan apakah perikatan itu lahir karena undang-undang atau perjanjian.
138
Prinsipnya dalam hal debitur wanprestasi kreditur berhak atas ganti rugi. Ganti rugi bisa diminta sebagai pengganti prestasi pokok debitur maupun dituntut
disamping prestasi pokok. Dengan demikian orang dapat tetapi tidak harus menuntut ganti rugi bersama-sama dengan tuntutan pemenuhan, tetapi ganti rugi disini bukan
sebagai pengganti prestasi pokok. Jadi prestasi pokoknya diterima, tetapi disertai dengan protes dan karenanya disamping itu minta sejumlah uang ganti rugi.
139
Mengenai kewenangan kreditur untuk menuntut ganti rugi sebagai ganti prestasi pokok memang bisa menimbulkan permasalahan. Tapi dikatakan bahwa tuntutan atas
pemenuhan prestasi pokok didasarkan atas perikatan itu sendiri, sedang tuntutan ganti rugi didasarkan atas wanprestasi dari debitur.
Apabila prestasinya sudah tidak berguna lagi bagi kreditur, ia tentunya dapat memilih menuntut pembatalan atau pembatalan disertai ganti rugi. Di sini, sebagai
disebutkan di atas dalam jumlah ganti rugi yang dituntut, terdapat sejumlah uang sebagai ganti prestasi pokok dan mungkin sebagian lagi merupakan ganti rugi yang
dituntut disamping prestasi pokok, umpama saja karena ia harus menderita kerugian sebagai akibat wanprestasi debitur. Jadi disini yang diterima oleh kreditur berupa
138
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Penerbit Putra Aabardin, Bandung, 1999, hal.87.
139
Ibid, hal.90.
Universitas Sumatera Utara
ganti rugi sejumlah uang, sekalipun didalamnya sebenarnya ada sejumlah uang yang mewakili nilai prestasi debitur yang terhutang, yang asalnya mungkin bukan berupa
kewajiban membayar sejumlah uang tertentu. Dalam hal demikian, maka sebagai dikemukakan di depan, kewajiban prestasi debitur terhapus dengan pembayaran ganti
rugi seperti itu.
140
Dalam hal ada prestasi yang keliru, maka ia dapat menolaknya dengan mengembalikan benda prestasi kepada debitur dan menganggap tidak atau belum ada
prestasi, selanjutnya ia dapat menuntut ganti rugi seperti tersebut di atas, menerima dengan disertai proses selanjutnya ia menuntut ganti rugi disamping prestasi
pokok.
141
Apabila kreditur menerima penyerahan tanpa protes, tetapi tidak pernah menyetakan secara tegas bahwa penyerahan itu sudah betul, maka tidak dapat
dikatakan bahwa dengan itu ia telah melepaskan haknya untuk menuntut adanya kekurangan pada barang yang diserahkan, ia tetap masih berhak untuk menuntut ganti
rugi berdasarkan cacat yang tersembunyi kalau cacat itu tidak tampak dari luar. Masalah lain sehubungan dengan tuntutan ganti rugi yang juga perlu mendapat
pembahasan adalah mengenai nasib dari kewajiban prestasi pihak lainnya dalam perjanjian timbal balik kalau salah satu pihak wanprestasi. Memang dengan menuntut
penggantian prestasi pokok, ia dapat melepaskan haknya untuk menuntut pemenuhan prestasi pihak lawan, jadi membebaskan debitur dari kewajiban perikatannya. Secara
140
Ibid.
141
J. Satrio, Op. Cit, hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
teoritis, tanpa adanya pembatalan perjanjian debitur dapat membebaskan diri dari kewajiban perikatannya. Namun dalam prakteknya baik karena keteledoran maupun
karena pembatalan membawa konsekuensi lain yang memberatkan, seringkali muncul tuntuta ganti rugi tanpa disertai dengan tuntutan pembatalan, dan dalam peristiwa
seperti itu penyelesaiannya adalah dengan menerima bahwa perjanjian teresebut secara diam-diam telah dibatalkan.
142
Seandainya para pihak menerimanya tidak ada masalah, tetapi apabila debitur mengemukakan bahwa kreditur yang secara diam-diam menganggap bahwa perikatan
telah hapus telah bertindak bertentangan dengan Pasal 1266 KUHPerdata, karena dalam hal perikatan tidak batal demi hukum dan para pihak telah mengaturnya secara
lain dalam perjanjian maka pembatalannya harus dituntut dan diputuskan oleh Hakim. Mengenai hal ini pendapat Pengadilan berubah-ubah, ada yang membenarkan
keberatan seperti itu tetapi ada pula yang menolaknya. Tuntutan ganti rugi pada pokoknya ada kalanya dianggap sebagai suatu
rangsangan agar debitur mau melaksanakan perjanjian tersebut dengan baik. Kalau debitur tidak memenuhi atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya kewajiban
perikatannya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepada debitur, maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi dari debitur. Kalau debitur tidak dapat
membuktikan adanya keadaan overmacht, maka tidak berpestasinya debitur dalam melaksanakan perjanjian yang telah disepakati para pihak atau tidak berprestasi
debitur sebagaimana yang dituntut oleh kreditur, dapat dipersalahkan kepadanya atau
142
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal.68.
Universitas Sumatera Utara
dikatakan debitur wanprestasi dan Hakim akan mengabulkan tuntutan ganti rugi kreditur. Jadi kreditur mendasarkan tuntutannya pada dan karenanya harus
membuktikan adanya perikatan yang mengandung suatu kewajiban bagi debitur, adanya unsur salah pada debitur karena tidak atau tidak sebagaimana mestinya
dipenuhinya kewajiban debitur dan adanya kerugian pada kreditur. Jadi prinsip dasarnya adalah kreditur wajib membuktikan adanya kerugian.
Untuk mengatasi kesulitan pembuktian, maka kepada para pihak dalam perjanjian diberikan kesempatan untuk menetapkan lebih dahulu, berapa besarnya
ganti kerugian yang akan dipikul oleh debitur dalam hal ini wanprestasi, tanpa perlu pembuktian berapa kerugian yang sebenarnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
pada Pasal 1249 KUHPerdata. Mengenai pembuktian sebab dari timbulnya kerugian, Pasal 1244 KUHPerdata
memberikan suatu ketentuan umum yang menyimpang dari apa yang disebutkan di atas, yang pada intinya mengatakan bahwa jika ada alasan untuk itu, debitur dapat
dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu overmacht.
Di sini dengan tegas disebutkan bahwa kewajiban pembuktian ada pada debitur. Namun hendaknya diingat bahwa pembagian kewajiban pembuktian seperti itu hanya
berlaku untuk perikatan dengan isi yang memberikan hasil sesuatu yang bersifat positif.
Ketentuan mengenai keadaan memaksa force majure yang diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan:
Universitas Sumatera Utara
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya,
kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. Menurut Undang-Undang ada 3 tiga unsur yang harus dipenuhi untuk
keadaan memaksa, yaitu: a.
Tidak memenuhi prestasi; b.
Ada sebab yang terletak di luar kesalah debitur; c.
Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Buku III tiga KUHperdata tidak memuat suatu ketentuan umum mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan memaksa atau force majure itu. Pasal 1244
KUHPerdata menamakan keadaan memaksa itu sebab yang halal. Pasal 1245 KUHPerdata menamakannya keadaan memaksa atau hal kebetulan overmacht atau
toeval dan Pasal 1444 KUHPerdata menamakannya hal kebetulan yang tidak dapat diperkirakan onvoorziene toeval.
Perjanjian Pengelolaan Sewa ini terdapat ketentuan mengenai force majure, yaitu bahwa para pihak menyetujui bahwa kedua-duanya tidak bertanggungjawab atas
keterlambatan, biaya, kerugian atau pengeluaran yang disebabkan oleh keadaan force majure temasuk kebakaran, pemogokan, banjir, kerusuhan, perang, pemberlakuan
atau perubahan undang-undang dan peraturan-peraturan yang melarang setiap pihak manapun untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya di dalam perjanjian ini, atau
setiap bencana alam lain maupun atau setiap kejadian lain apapun yang diluat
Universitas Sumatera Utara
penguasaan wajar dari masing-masing pihak. Dalam hal force majure Perjanjian Pengelolaan Sewa ini dapat diakhiri untuk jangka waktu yang ditetapkan atau tidak
ditetapkan yang dapat diterima dan wajar bagi kedua belah pihak sesuai dengan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN