Sejarah Pembentukan Militer dan Keterlibatannya dalam Politik dan

BAB III PERGULATAN SEJARAH PROFESIONALISME MILITER

DI INDONESIA

A. Sejarah Pembentukan Militer dan Keterlibatannya dalam Politik dan

Ekonomi di Indonesia Militer di Indonesia lahir dari proses perjuangan kemerdekaan bangsa atau dari revolusi nasional, yang pada asal mulanya adalah dari perlawanan rakyat dengan diawali dari pembebasan nasional dan kemudian beralih menjadi gerakan perlawanan bersenjata. Tujuannya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. 40 Jadi, tentara atau militer Indonesia adalah tentara yang menciptakan diri sendiri. Artinya, tidak diciptakan oleh pemerintah, dan juga tidak diciptakan oleh suatu partai politik. Dengan kata lain berdirinya militer di Indonesia adalah bukan dari atas, akan tetapi berasal dari bawah, dari rakyat dan oleh rakyat sendiri, terutama para pemudanya. 41 Rakyat pejuang bersenjata tercipta melalui para pemuda yang mempunyai semangat dan keberanian yang tinggi serta siap berkorban untuk membela bangsa dan negara, dengan berusaha melawan kekuatan asing. Para pemuda itu datang dari berbagai organisasi, seperti Tentara Sukarela Pembela Tanah Air PETA, Seinendan organisasi pemuda, Keibodan pasukan keamanan, Shusintai barisan pelopor, Heiho pembantu prajurit, Gokukotai pasukan pelajar, 40 Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997, h. 59. 41 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 2. Hizbullah , dan pemuda-pemuda mantan KNIL 42 . Mereka semua merasa mempunyai tugas bersama dalam mempelopori perjuangan kemerdekaan dan untuk merebut kekuasaaan dari Jepang. 43 Perkembagan organisasi militer Indonesia yang merupakan gabungan dari berbagai organisasi pemuda dan para pejuang yang kemudian menyatukan diri sebagai Badan Keamanan Rakyat BKR 44 bukan sebagai tentara reguler. BKR berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat TKR tanggal 5 Oktober 1945 dan baru memiliki panglima besar yang dipilih sendiri yaitu Jenderal Sudirman pada tanggal 18 Desember 1945. Pada 1 Januari 1946 dengan penetapan pemerintah, maka Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, dan juga mengubah Kementrian Keamanan Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan. Tentara Keselamatan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Republik Indonesia TRI pada 26 Januari 1946, yang merupakan organisasi militer bersifat nasional kebangsaan. 45 Karena adanya perbedaan strategi antara pemuda pejuang bersenjata yang menginginkan tindakan berani dan cepat perang dengan para pemimpin 42 KNIL adalah tentara yang dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya. Bekas KNIL terbagi dua, mereka yang aktif sebagai perwira pada zaman penjajahan Belanda, dan bekas perwira KNIL dari pendidikan Calon Perwira Cadangan CORO dan Akademik Militer Kerajaan Belanda KMA di Bandung yang relatif muda, seperti A.H Nasution, T.B. Simatupang. Golongan muda inilah yang memiliki dan memahami semangat revolusi. Lihat, Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 , [Yogyakarta: LKIS.2005] , h. 45. 43 T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1981, h. 79. 44 BKR yang didirikan tanggal 22 Agustus 1945 terdiri dari unsur PETA, KNIL, Heiho, dan organisasi-organisasi lain yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan melaksanakan tugas pertahanan. Nama BKR diambil karena agar tidak terjadi perlawanan oleh tentara penjajah di Indonesia. Lihat, Amrin Imran dkk, Sedjarah Angkatan-Darat, [Jakarta: Dephankam Pusat Sedjarah ABRI, 1971] , h. 2 dan Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 46. 45 Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi: Studi Analisis tentang Respon Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia , Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002, h. 26. pemerintah yang selalu berhati-hati, penuh perhitungan, dan mengedepankan jalan diplomasi secara damai, maka pembentukan tentara kebangsaan tidak segera dilakukan. Dalam mengatasi permasalahan ini pemerintah mengeluarkan dektrit untuk membentuk panitia yang diketuai presiden yang menghasilkan keputusan yang dituangkan dalam penetapan presiden tertanggal 7 Juni 1947 yang antara lain menetapkan bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947 telah disyahkan secara resmi berdirinya TNI serta anggota Angkatan perang yang ada dan segenap anggota laskar yang bersenjata dimasukkan serentak ke dalam TNI. 46 Dengan demikian TNI yang disahkan secara resmi berdiri tanggal 3 Juni 1947 merupakan gabungan dari TRI, kesatuan biro perjuangan dan pasukan-pasukan bersenjata lainnya. 47 Militer di Indonesia sejak awal memang terpisah-pisah ke dalam tiga garis. Garis pertama, adalah angkatan yang kemudian membentuk korps sendiri. Garis ini terdiri atas kelompok bekas opsir pasukan Pembela Tanah Air PETA yang masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat BKR. Kelompok-kelompok bekas opsir KNIL, dan kelompok perwira yang terdiri dari pemuda-pemuda yang tergabung dengan tentara reguler secara langsung atau karena dipindahkan dari organisasi kelaskaran. Garis pemisah kedua dalam korps perwira Indonesia adalah agama, hanya beberapa perwira yang beragama Katolik dan agama lain selain Islam yang berhasil mencapai pangkat Jenderal. Garis ketiga adalah perwira Indonesia terbagi 46 G. Moedjianto, Indonesia Abad ke-20: dari Kebangkitan Nasional sampai Linggar Jati, Jakarta: Kanisius, 1992, h. 122-123. 47 Soebiyono, et.al., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1997, h. 15. menurut garis etnik. Etnik Jawa sangat mendominasi hampir 80 persen dari keseluruhan perwira di Indonesia. 48 Garis-garis inilah yang nantinya banyak mewarnai dinamika dan perkembangan internal militer dalam kurun demokrasi parlementer sampai demokrasi terpimpin terutama mengenai visi dan ideologi mereka menyangkut posisi dan peran militer dalam kehidupan politik. Dari ketiga garis di atas, garis pertama atau garis angkatanlah yang sangat berpengaruh mengenai peran politik militer. Tentara didikan Belanda atau KNIL lebih berpandangan bahwa angkatan bersenjata adalah alat negara yang bersifat non politik, sedangkan mayoritas dengan tentara Pembela Tanah Air PETA yang berpandangan bahwa tidak ada perbedaan antara wilayah politik dan militer. 49 Pada mulanya keterlibatan militer dalam politik bersifat covert political support terhadap politik Tan Malaka. 50 Hal itu diperlihatkan dari rasa simpati Panglima Besar Jendral Sudirman serta kalangan pimpinan tentara terutama dari bekas PETA terhadap gerakan politik Tan Malaka melalui Persatuan Perjuangan PP yang didirikan pada tanggal 16 Januari 1946. Jenderal Sudirman juga turut hadir dalam rapat-rapat yang diselengarakan Persatuan Perjuangan PP pimpinan Tan Malaka. Motif dukungan politik Panglima Besar Sudirman bukan karena sejalan dengan ideologi Tan Malaka yang Komunis-Nasionalis, tetapi pada komitmen nasional dan kecocokan pada strategi perjuangan PP serta karena sikap perlakuan 48 A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, Yogyakarta: LKIS, 2004, h. 31-32. 49 Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, h. 38. 50 David Easton menyebutkan adanya dua macam support, yaitu bersifat overt dan covert, yang overt seperti orientation atau states of maind. Lihat, Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966 , Yogyakarta: Gajah Mada University, 1982, h. 42. yang tidak wajar dari Sjahrir terhadap tentara yang berasal dari PETA. 51 Bagi Tan Malaka strategi yang tepat dalam melawan Belanda adalah menekan solidaritas nasional dan penolakan berunding dengan Belanda sampai mereka meninggalkan bumi Indonesia. 52 Bukan dengan strategi diplomasi seperti yang ditekankan Sjahrir. Salim Said menilai bagaimanapun awal keterlibatan militer dalam politik lebih bersifat “spontan dan komplementer” terhadap peran dominan politisi sipil. Peran itu kemudian berkembang menjadi “peranan kepemimpinan yang menentukan” ketika tentara memilih memimpin dari pada mengikuti pemerintah yang menyerah kepada musuh saat krisis Perang Kemerdekaan 19 Desember 1948 aksi militer Belanda ke II. 53 Ini terlihat dari hasil persetujuan Roem Royen tanggal 7 Mei 1949, yang meminta agar tentara mengakhiri perang Gerilya, sehingga menciptakan kekecewaan dari kalangan militer. Jadi sebab utama keterlibatan militer dalam politik adalah karena terjadi perbedaan pandangan politik dan strategi perjuangan antara kaum politisi sipil dengan militer. 54 Keterlibatan militer dalam politik baru mendapat pengakuan resmi ketika Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1967. 55 Dalam Dewan Nasional posisi politik militer tidak begitu menonjol. Soekarno dan 51 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta: LP3ES, 1986, h. 56. 52 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 41. 53 Salim Said, “Kepemimpinan Politik TNIABRI dalam Perspektif Sejarah”, dalam Djoko Subroto, dkk, Visi ABRI Menatap Masa Depan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, hlm.163. 54 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 63. 55 Menurut Hasnan Habib, “Keadaan Darurat dan Darurat Perang” atau SOB Staat van Oorlog en Beleg pada tanggal 14 Maret 1957, peranan politik ABRI, terutama sekali Angkatan Darat, sangat meningkat, lihat Hasnan Habib, “Perkembangan Pemikiran Strategi di Indonesia”, Analisis CSIS, 1996-6, hlm. 444 . anggota-anggota sipil masih menguasi lembaga politik yang baru didirikan itu. Dengan diintensifikannya kampanye untuk membebaskan Irian Barat, tentara mempunyai peluang untuk memainkan peranan yang lebih besar. Pada 10 Februari 1958 Mayor Jenderal Nasution membentuk Fron Nasional Pembebasan Irian Barat. Tidak seperti Dewan Nasional, Fron ini didominasi oleh tentara. 56 Begitu juga dalam hal ekonomi, keterlibatan militer dalam ekonomi telah terjadi pada masa perang kemerdekaan, yang terlihat dengan adanya gerilya ekonomi dengan cara memblokade kota Kerawang. Ini dilakukan untuk menghancurkan perekonomian penjajah dan membiayai peperangan. Pasca kemerdekaan keterlibatan itu semakin berkembang dengan melakukan kebijakan politik Banteng untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh PKI. Pada masa Orde Baru keterlibatan militer dalam ekonomi bisnis mencapai puncaknya, karena adanya dukungan dari pihak penguasa. Keterlibatan militer dalam politik dan ekonomi inilah yang telah merusak nilai profesionalisme militer pada masa selanjutnya. Sebenarnya profesionalisme militer telah terbentuk antara tahun 1955 sampai 1965, ini terlihat dari berubahnya militer dari satu kekuatan yang lemah, terpecah belah dan kehilangan semangat, mampu menjadi lembaga yang kuat. Juga ketika Nasution diangkat menjadi KSAD pada 1955, yang telah membawa satu tekad untuk menjadikan militer indonesia sebagai suatu kekuatan yang modern dan efektif, baik dalam arti militer maupun politis. 57 56 Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 32. 57 Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia: Perspektif Tradisi-tradisi Jawa dan Barat , Jakarta: LP3ES, 1996, h. 75. Akan tetapi, pada masa Orde Baru dari tahun 1966-1998, militer sepenuhnya menjadi alat kekuasaan politik Soeharto yang memimpin secara otokratis. Militer menjadi tonggak politik Orde Baru dan lebih setia pada personal Soeharto serta meninggalkan jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang profesional. Militer menjadi milik dan alat Golkar dan tidak menjadi milik seluruh rakyat lagi, serta tidak bersifat nasional. Sangat luasnya peran sosial politik militer pada masa itu mengakibatkan demokrasi tidak berkembang dan tentara tidak bersikap profesional lagi. 58

B. Reformasi Internal dan Paradigma Baru Militer