Tidak Berbisnis Profesionalisme militer Pasca Ordde Baru

sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan fungsi POLRI dapat dilihat dalam pasal 4, yaitu: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Lebih jelas lagi mengenai fungsi POLRI, tertulis pada UU No. 2082 dan UU kepolisian No. 281997, inti tugas POLRI adalah alat negara penegak hukum dan pembimbing, pelindung, serta pengayom masyarakat. Untuk melaksanakan tugas itu, POLRI membagi dalam 3 komponen penggerak operasional, yakni: 90 1. Subyeknya adalah susunan kekuatan POLRI yang terdiri dari satuan fungsi Reserse-lalulintas-Samapta-Bimmas-Intel, dan lain-lain. 2. Metodenya tersusun dalam sistem operasional POLRI. 3. Obyeknya adalah gangguan Kamtibmas yang antara lain berupa kriminalitas, pelanggaran, kecelakaan lalulintas, penyimpangan sosial, dan lain-lain.

D. Tidak Berbisnis

Secara umum, para peneliti LIPI mengklasifikasikan bisnis militer ke dalam dua bagian utama yaitu informal dan formal, masih ada satu lagi bisnis yang tidak banyak dibicarakan dan diakui oleh militer, yaitu criminal economy. 91 Bisnis informal adalah bisnis militer yang tidak melibatkan militer sebagai institusi, melainkan individu-individu pensiunan militer atau anggota yang sudah 90 Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Jakarta: Cipta Manunggal, 1997, h. 233. 91 Kategori criminal economy dapat dilihat pada makalah McCuliough, Lesley, “Tri Fungsi: The Role of The Indonesian Military in Business” , 2000, Fatchurahman Agam, “Governance Yayasan Militer” , 2001, dan Danang Widoyoko, dkk, Bisnis Militer Mencari Legitimasi , Jakarta: ICW dan National Democratic Institute, 2003 h. 9. tidak aktif lagi. Namun demikian, bisnis informal ini sudah dirintis sejak pejabat militer dikaryakan di perusahaan swasta atau BUMN. Bisnis formal adalah kategori untuk bisnis yang melibatkan TNI secara kelembagaan dalam bisnis, seperti bentuk yayasan dan koperasi. Susunan pengurus yayasan dan koperasi mengikuti sturktur komando. Bisnis dalam bentuk yayasan tidak hanya dijalankan di tingkat kesatuan atau di tingkat Markas Besar. Akan tetapi, seperti Kodam juga memiliki yayasan. Di tingkat Markas Besar, koperasi menggunakan nama Induk, di tingkat Kodam, koperasi menggunakan nama pusat, dan di tingkat Korem atau Kodim, digunakan nama primer. Bentuk ketiga, criminal economy berupa perlindungan yang diberikan oleh anggota militer terhadap praktek bisnis gelap yang melanggar hukum. Misalnya, perdagangan narkotika, penyedia jasa tenaga demonstran, beking perjudian, sumbangan keamanan, serta illegal logging, dapat juga disebut dengan bisnis kelabu. 92 Dalam masa perang kemerdekaan keterlibatan militer dalam ekonomi bertujuan untuk merongrong sistem perekonomian penjajah serta untuk membiayai perang dan revolusi. Misalnya, Laskar Rakyat Jakarta Raya mengendalikan ekonomi dengan blokade kota Kerawang supaya beras daerah ini tidak bisa diekspor ke Jakarta yang dikuasai Belanda. Bentuk keterlibatan yang lain adalah penyelundupan dan perdagangan candu yang merupakan komoditas paling menguntungkan pada masa itu. Hasilnya kemudian ditukarkan dengan senjata. 92 Istilah bisnis kelabu diperkenalkan oleh Goergo Junus Aditjondro untuk menggambarkan posisi bisnis legalnya. Lihat Danang Widoyoko, Bisnis Militer Mencari Legitimasi , h. 9-10. Politik Banteng sebagai nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada mulanya dikendalikan PKI. Untuk mencegah pengambilalihan secara meluas oleh PKI, maka Jendral Nasution pada tanggal 13 Desember 1957 melarang setiap pengambilalihan lebih lanjut dan dengan dekrit menempatkan semua perusahaan asing terutama milik Belanda yang sudah diambil alih di bawah pengawasan militer. Tujuannya agar jangan sampai perusahaan itu dikuasai oleh PKI. 93 Keterlibatan militer dalam ekonomi telah dirintis pada masa sebelum Orba terutama dalam melakukan hubungan dengan para pengusaha Cina dan penanaman modal asing. Pada awal tahun 1965 ada tiga kelompok bisnis tentara yang sangat menonjol, yaitu Yayasan Dharma Putra YPD milik kelompok bisnis Kostrad, Propelat yang dimiliki kelompok Siliwangi dan sejumlah perusahaan yang berada di bawah naungan divisi Diponegoro. Ketika Soeharto menjadi komando Diponegoro, dia mengembangkan hubungan erat dengan pengusaha- pengusaha Cina seperti Liem Sioe dan Bob Hasan. 94 Kelompok bisnis Diponegoro pada tahun 1967, melakukan penggabungan dari sepuluh perusahaan agribisnis dengan nama PT. Rumpun kemudian memperluas bidang usaha di sektor perkapalan dan stevodoring. Pada dasarwasa 1970 ekonomi didominasi oleh semangat “pronasionalisme” dengan pilihan kebijaksanaan politik dan menekankan praktek. Dengan kebijakan tersebut keterlibatan militer dalam ekonomi semakin intens. Kepemimpinan dalam BUMN di berbagai departemen didominasi militer. 95 93 Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 36. 94 Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer: Pengalaman Indonesia, Burma, Filipina, dan Korea Selatan, Jakarta: The Ridep Institute, 2003 h. 23. 95 Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, h. 75. Kepemimpinan militer dalam BUMN seperti yang terjadi pada Pertamina, Letjen Purn. Ibnu Sutowo sebagai Direktur pada 1957-1967 dalam prakteknya bekerja sebagai perusahaan swasta dan bertanggung jawab kepada pimpinan militer. Sebagian besar keuntungan industri minyak sebenarnya tidak diserahkan kepada pemerintah khususnya sampai awal tahun 1970 melainkan digunakan oleh Angkatan Bersenjata dan pimpinannya. Perusahaan lain yang dikuasai militer adalah Bulog, pada waktu Bulog dipimpin Brigjen TNI Achmad Tirtosudiro. Selain dalam BUMN, keterlibatan militer juga dalam bentuk yayasan dan koperasi. Yayasan militer Angkatan Darat yang menonjol adalah Yayasan Kartika Eka Paksi YKEP, yang didirikan tahun 1972, dan Yayasan Dharma Putra. Yayasan Dharma Putra milik Kostrad ini yang menikmati pengaruh kekuasan Soeharto dengan memperoleh 28 keuntungan PT Bogasari Flour Mills yang dibagi dengan Yayasan Harapan Kita milik Ibu Tien Suharto. 96 Bisnis militer Angkatan Darat dalam bentuk koperasi yakni Inkopad Induk Koperasi Angkatan Darat, Inkopad sedikitnya memiliki 9 perusahaan yang dimiliki sepenuhnya dan 7 perusahaan berstatus joint-venture. 97 Laksamana Maeda Purn I Gede Artjana dari badan pemeriksa keuangan menyebutkan “Sejumlah yayasan yang membiayai aktifitas militer yang telah diaudit BPK, di Departemen Pertahanan ada Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman YKPBS dengan empat unit usaha dan Yayasan Satya Bhakti Pertiwi 96 Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer, h. 29. 97 Kesembilan perusahaan tersebut adalah Kartika Plaza Hotel, Duta Kartika Kencana Tours Travel, Kartika Aneka Niaga, Duta Kartika Cargo Service, Mina-Mina Kartika Samudra. Sedangkan perusahaan yang berstatus joint-venture adalah Hotel Kartika Plaza Bali, Rimba Kartika Jaya, Mitra Kartika Sejati, Kartika Inti Perkasa, Kartika Summa, Mahkota Transindo Indah dan Duta Kartika Forwarder. Lihat Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, h. 82. YSBP dengan lima unit usaha. Di bawah markas besar TNI ada Yayasan Markas Besar ABRI YAMABRI yang mengelola lima unit usaha. Juga terdapat yayasan yang berada di bawah setiap markas angkatan. TNI AD mempunyai YKEP dengan dua puluh tujuh unit usaha dan delapan belas perusahaan patungan, Yayasan Dharma Putra Kostrad YDPK dan Yayasan Kesejahteran Korps Baret Merah YAKOBAME Kopasus masing-masing dengan satu unit usaha. TNI AL memiliki Yayasan Bhumiyamca YASBUM yang menjalankan tiga puluh dua unit usaha, dan TNI AU menjalakan Yayasan Adih Upaya YASAU dengan sepuluh unit usaha” 98 Pada awalnya tidak ada aturan yang jelas tentang yayasan, atau peraturan yang bisa dipergunakan sebagai dasar hukum bagi yayasan. Namun, setelah didesak oleh IMF, Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU No. 162001 tentang yayasan, yang merupakan peraturan pertama di Indonesia tentang yayasan. Karena UU inilah, yayasan dipergunakan oleh banyak organisasi sebagai badan hukum. Termasuk untuk kepentingan bisnis, seperti yayasan milik Soeharto dan yayasan militer. 99 Penelitian Samego dan kawan-kawan menunjukkan dampak negatif bisnis militer lebih banyak dari pada dampak positifnya. Dampak positifnya adalah pertama , menunjang kegiatan operasi militer. Kedua, demi kesejahteraan prajurit dan keluarganya, dan ketiga, demi kesejahteraan masyarakat sipil yang terlibat dalam bisnis TNI. Sedangkan dampak negatifnya adalah pertama, kelas komparador penopang kapitalisme semu, kedua, korupsi dan State Corporation, 98 Diadaptasi dari Kompas 12 September 2003 99 Chatamarrasjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000 h. 27. ketiga , nepotisme dan neopatrimonialisme, dan keempat, melunturnya profesionalisme militer. 100 Pada era reformasi ini, pemerintah telah berusaha untuk menghapus bisnis militer, yaitu dengan membentuk Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008. ini terkait dengan amanat pengambilalihan bisnis TNI sesuai Pasal 76 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut Ketuanya, Erry Riyana Hardjapamekas Tim ini bertujuan untuk menghilangkan stigmatisasi masa lalu soal keberadaan koperasi dan yayasan di lingkungan TNI. 101 Menurut Jaleswari Pramodhawardani, langkah yang harus dilakukan pemerintah tentang bisnis TNI adalah dengan mengambil alih semua koperasi, yayasan, dan unit-unit bisnis di bawahnya. Namun tidak cuma mengambil alih begitu saja, melainkan dengan memberi kompensasi atau dengan cara membentuk koperasi-koperasi baru yang fungsinya benar-benar untuk kesejahteraan prajurit TNI, tidak seperti koperasi pada masa-masa sebelumnya. 102 Pengambilalihan bisnis militer yang tertuang dalam UU TNI pasal 76 diharapkan dapat menciptakan militer yang profesional. Dalam hal ini negara harus menjamin seluruh kebutuhan pertahanan negara yang dibutuhkan oleh militer. Seperti yang dikatakan Andi Widjajanto: 103 “Saat reformasi digulirkan, 100 Moch. Nurhasim, Praktek-Praktek Bisnis Militer, h. 50. 101 “Penertiban Bisnis TNI Perlu Langkah Drastis,” Kompas, 10 Mei 2008, h. 2. 102 Jaleswari Pramodhawardani adalah peneliti pada Pusat Pengembangan Masyarakat dan Ilmu Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI dan The Indonesian Institute; Penulis buku Menggusur Bisnis Militer bersama Rex Rieffel. Jaleswari Pramodhawardani, “Bisnis TNI dan Distorsi Ekonomi,” Investor Daily, 22 Juni 2007, h. 4. 103 Andi Widjajanto adalah Staf Pengajar FISIP UI, diadaptasi dari Media Indonesia, 18 Februari 2008 karakter tentara niaga berusaha untuk dicabut tuntas. Rumusan formula teknokratiknya sederhana, yaitu seluruh kebutuhan pertahanan negara sepenuhnya berasal dari negara, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.

E. Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Teritorial