Tidak Berpolitik Praktis Profesionalisme militer Pasca Ordde Baru

Jadi tujuan militer agar kembali ke barak adalah pertama, supaya militer kembali kepada fungsi awalnya sebagai alat pertahanan negara sehingga tidak ada fungsi lain yang dimiliki militer selain fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara. Kedua, untuk menciptakan keahlian prajurit sehingga mahir dalam menggunakan senjata. Ketiga, supaya militer dapat menumpukan tugasnya pada penciptaan profesionalisme, dimana selama Orde Baru militer selalu berada di luar barak yang mengakibatkan lemahnya profesionalisme militer. Dalam rangka mewujudkan reformasi internal militer, maka militer mengatur kembali tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara yang telah dikukuhkan dengan ketetapan MPR No. VIIMPR2000 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 serta Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak melakukan banyak fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Dengan kata lain, ini menjadi pedoman dan kewajiban bagi militer untuk kembali ke barak, agar militer dapat menginstrospeksi diri serta memperbaiki tugas dan fungsinya.

B. Tidak Berpolitik Praktis

Desakan agar militer segera melepaskan diri dari persoalan politik yang semarak pada akhir tahun 1997 dapat dilihat sebagai tahap awal dari surutnya peran politik militer atau depolitisasi. Tuduhan masyarakat bahwa surutnya gerakan demokrasi, terpuruknya kehidupan politik, suburnya Korupsi Kolusi Nepotisme KKN dan diskriminasi penegakan hukum muncul karena keterlibatan militer yang terlalu jauh masuk dalam kehidupan sosial politik di bawah rezim kekuasaan Presiden Soeharto. Militer dianggap turut bertanggung jawab atas terjadinya krisis multidimensi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997. Tuntutan reformasi yang memasukan agenda pencabutan Dwifungsi ABRI dapat dilihat sebagai pembuka jalan keluarnya militer dari politik. 78 Sebagian besar perwira menganggap bahwa keterlibatan ABRI dalam kehidupan sosial politik sebagai sesuatu yang wajar mengingat peranan prajurit ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan masih diperlukan masyarakat. Militer dengan spirit kebangsaan yang yang kuat, memandang kalangan sipil mudah terpecah-belah karena perbedaan latar belakang, suku bangsa, agama, ras dan ideologi politiknya, yang merupakan potensi ancaman bagi persatuan bangsa. Kehadiran para prajurit di tengah masyarakat sebagai perekat paham kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Tampilnya Orde Baru 79 di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang menumpukan kekuatan pada militer dengan mendasarkan pada dwifungsi ABRITNI. 80 Dwifungsi ABRI dijadikan alasan ikut sertanya ABRI ke dalam 78 Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia , Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005 h. 136. 79 Orde Baru adalah tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di satu pihak, Orde Baru ini melakukan koreksi menyeluruh atas penyelewengan di segala bidang yang terjadi pada masa sebelumnya. Di lain pihak, berusaha menyusun kembali kekuatan bangsa dan menentukan cara-cara yang tepat untuk menumbuhkan stabilitas nasional jangka panjang, dalam rangka mempercepat proses pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD. Sebutan “Orde Baru” juga bermakna bahwa pemerintahan sebelumnya, yang disebut dengan “Orde Lama”. 80 Dalam tulisan ini, sering ditulis istilah ABRI, TNI, tentara, dan militer yang dimaksudkan sama. Sebelum Angkatan Perang Republik Indonesia POLRI digabungkan tanggal 21 Juni 1962, nama tentara indonesia adalah TNI. Setelah digabung namanya berubah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI. Namun ABRI baru populer digunakan pada awal Orde Baru ketika dilakukan integrasi ABRI secara sungguh-sungguh dan menggunakan doktrin gabungan, yaitu Catur Dharma Eka Karma. Setelah reformasi internal ABRI yang dimulai pada 1998, maka mulai 1 April 1999, POLRI dipisahkan lagi dari ABRI dengan keputusan MenhankamPangab No. Kep05PIII1999 tanggal 31 Maret 1999,dan sebutan ABRI kembali semua aspek kehidupan bernegara. Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya, Soeharto menggunakan tentara untuk mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik. Keterlibatan militer dalam politik pada awal Orde Baru tampak pada banyaknya ABRI yang dikaryakan. Hal itu terlihat dari 27 anggota kabinet yang diangkat Soeharto pada Juli 1966, terdapat 12 menteri yang merupakan ABRI, yakni 6 menteri berasal dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu di tingkat pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil terdapat 11 anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral. Pada awalnya ABRI hanya beberapa saja yang menduduki jabatan sipil, namun pada tahun 1968 jumlah itu meningkat menjadi 68. Pada awal tahun 1970 meningkat menjadi 92. Jabatan Bupati yang dipegang perwira ABRI pada tahun 1968 sebanyak 59. Pada awal 1970 jumlahnya menjadi 84 di Jawa Timur. 81 Jumlah anggota ABRI yang duduk di dalam kabinet tahun 1973 sebanyak 13 orang. Anggota kabinet yang seharusnya wakil partai saat itu banyak diisi oleh kaum teknokrat. Sementara itu anggota ABRI yang dikaryakan ditingkat pusat pada tahun 1973 mencapai 400 oarang. Sedangkan untuk jabatan Gubernur ABRI menempatkan anggotanya sebanyak 22 orang dari 26 propinsi. 82 Keterlibatan militer dalam politik ditingkatkan melalui partai politik Golkar dan perwakilan politik di MPR, DPR, DPRD I, dan DPRD II. Militer juga meningkatkan keterlibatan dalam politik melalui badan keamanan atau KopkamtibBakornas. Ini dengan nama TNI mulai 12 April 1999. Hal itu kemudian dikukuhkan dengan ketetapan MPR No. VIMPR2000. 81 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES, 1989, h. 152. 82 Indria Samego, Bila ABRI Berbisnis, Bandung: Mizan, 1998, h. 106. karena pada setiap pemilu Golkar selalu menang, yang didukung oleh PNS dan anggota ABRI. 83 Upaya untuk memantapkan keterlibatan militer dalam politik juga dilakukan melalui jalur yuridis. Maka munculah landasan konstitusional dalam bentuk ketetapan MPR maupun perundang-undangan. Dwifungsi ABRI dimasukkan dalam GBHN, ABRI menjadi modal dasar pembangunan bersama bentuk perundang-undangan lainnya, seperti UU No. 201982 tentang pokok- pokok Hankam negara yang kemudian disempurnakan dalam UU No. 11989 dan UU No. 21988 tentang pokok-pokok keprajuritan. Asas legalitas ini merupakan pelengkap atau penyempurna legalitas sejarah dan perjuangan bangsa. 84 Sementara itu, untuk menciptakan militer yang profesional, militer harus bersikap netral, tidak memihak partai apapun juga militer dilarang terlibat dalam politik praktis. Edy Prasetyono, peneliti senior CSIS menyebutkan: “UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas menyatakan, TNI dilarang terlibat politik praktis. Karena langkah ini akan merusak TNI hingga tidak mampu melaksanakan fungsi pertahanan negara secara profesional”. 85 Masyarakat militer secara langsung tunduk di bawah kekuasaan negara atau pemerintah, bukan kepada segelintir orang. Ini karena negaralah yang memenuhi kebutuhan primer anggota, seperti makanan, rumah, pakaian, uang, 83 A. M. Fatwa, DEMI SEBUAH REZIM: Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h. 164. 84 Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, h. 47. 85 Edy Prasetyono, “TNI Boleh Kampanye? Sirkus Politik Paling Aneh,” Kompas, 28 Februari 2008, h. 6. pengajaran, pelatihan, dan perlindungan kesehatan. Selain itu, negara juga menyediakan fasilitas dan sarana materil perang dan sipil. 86

C. Pemisahan TNI-POLRI