Proses Pengomposan Pemanfaatan Limbah Perikanan Waduk Cirata sebagai Pupuk Organik dengan Penambahan Kascing dan Gliocladium sp.

Nilai rasio CN limbah ikan dan kascing secara berurutan yaitu 4,05 dan 8,99. Nilai CN yang rendah CN20 menunjukkan ketersedian senyawa karbon yang rendah. Karbon adalah sumber energi yang digunakan oleh mikroorganisme untuk mengikat nitrogen. Nilai CN yang rendah akan mengganggu proses penguraian bahan organik yang disebabkan oleh keterbatasan senyawa karbon yang tersedia Sutanto 2002. Kadar air limbah ikan dan kascing secara berurutan adalah 61,83 ± 0,00 dan 52,85 ± 0,01 . Kandungan yang terkandung pada limbah organik berkisar 30 - 75. Kandungan air yang optimum pada bahan dasar kompos paling sedikit 50 - 60. Jumlah air maksimum yang diperbolehkan tergantung pada air yang dikandung bahan dasar dan besarnya air yang dapat diserap tanpa menyebabkan terjadinya perubahan struktur Sutanto 2002.

4.2 Proses Pengomposan

Proses pengomposan merupakan proses penguraian senyawa yang terkandung dalam sisa bahan organik dengan suatu perlakuan khusus Djaja 2008. Pada dasarnya proses pengomposan merupakan suatu proses dekomposisi aerobik yang dikendalikan secara biologis dari bahan organik menjadi produk humus yang disebut sebagai kompos Graves et al. 2000. Proses penguraian ini akan menghasilkan gas berbau seperti amonia NH 3 , suhu tinggi, asam-asam organik, pH rendah 5-7 dan waktu pencapaian kematangan bahan organik yang lebih lama Sutanto 2002. Selama proses pengomposan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dengan tujuan untuk mempertahankan adanya aktivitas mikroba sehingga menghasilkan kompos yang diharapkan, yaitu perubahan suhu dan pH. 4.2.1 Perubahan suhu selama proses pengomposan Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam pengomposan. Suhu merupakan indikator dari adanya aktivitas mikroba dalam proses pengomposan Graves et al. 2000. Nilai suhu ideal selama proses pengomposan adalah 40 o C - 50 o C Musnamar 2003. Perubahan suhu yang terjadi selama proses pengomposan dapat dilihat pada Gambar 2. 25 30 35 40 45 50 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 Su hu o C Waktu hari A0 A1 A2 A3 A4 B0 B1 B2 B3 B4 C0 C1 C2 C3 C4 Keterangan: A0 : 80 Limbah ikan + 0 Gliocladium sp. B3 : 70 Limbah ikan + 4 Gliocladium sp. A1 : 80 Limbah ikan + 2 Gliocladium sp. B4 : 70 Limbah ikan + 5 Gliocladium sp. A2 : 80 Limbah ikan + 3 Gliocladium sp. C0 : 60 Limbah ikan + 0 Gliocladium sp. A3 : 80 Limbah ikan + 4 Gliocladium sp. C1 : 60 Limbah ikan + 2 Gliocladium sp. A4 : 80 Limbah ikan + 5 Gliocladium sp. C2 : 60 Limbah ikan + 3 Gliocladium sp. B 0: 70 Limbah ikan + 0 Gliocladium sp. C3 : 60 Limbah ikan + 4 Gliocladium sp. B1 : 70 Limbah ikan + 2 Gliocladium sp. C4 : 60 Limbah ikan + 5 Gliocladium sp. B2 : 70 Limbah ikan + 3 Gliocladium sp. Gambar 2 Perubahan suhu selama proses pengomposan Berdasarkan pengamatan suhu yang dilakukan, pada Gambar 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu pada masing-masing perlakuan di awal proses pengomposan dan cenderung menurun pada tahap berikutnya. Peningkatan suhu ini terjadi karena adanya aktivitas mikroba dalam mendekomposisikan bahan sehingga menghasilkan energi berupa panas yang dibebaskan ke lingkungan Pramaswari et al. 2011. Pada suhu 45 o C selama proses pengomposan disebut fase termofilik Gazi et al. 2007. Pada fase termofilik proses degradasi didominasi oleh mikroorganisme termofilik, yaitu bakteri dan fungi termofilik Amir et al. 2008. Pupuk A0 mencapai suhu optimal lebih lama dan lebih rendah dari pada pupuk yang lainnya yaitu pada hari ke-18 dengan suhu 37,33 o C, sedangkan pupuk C1, C2, C3, C4 mencapai suhu optimal yang lebih cepat dan cenderung lebih tinggi dari pupuk yang lainnya yaitu pada hari ke-9 dengan suhu masing- masing 46,33 o C, 45,67 o C, 46,33 o C, 47,67 o C. Semakin tinggi suhu yang dapat dicapai akan semakin cepat proses pengomposannya Aminah et al. 2003. Salah satu faktor yang menentukan suhu adalah tingginya tumpukan. Tumpukan bahan yang terlalu rendah akan berakibat cepatnya kehilangan panas yang disebabkan tidak adanya cukup material untuk menahan panas yang dilepaskan sehingga mikroorganisme tidak akan berkembang secara wajar Munasmar 2003. Konsentrasi limbah ikan yang tinggi dengan kadar air yang sangat tinggi pada pupuk A0 menyebabkan tumpukan bahan lebih rendah. Kecenderungan suhu akan lebih rendah jika kondisi kadar air berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk proses penguapan Kastaman et al. 2006. Sedangkan pupuk C1, C2, C3, dan C4 memiliki tumpukan yang lebih tinggi karena konsentrasi limbah ikan yang lebih rendah 60 dengan kadar air yang lebih rendah. Semakin tinggi volume timbunan bahan, maka semakin besar isolasi panas dan semakin mudah timbunan menjadi panas Sutanto 2002. Selain itu, adanya penambahan Gliocladium sp. pada C1, C2, C3, dan C4 dapat merangsang perkembangan mikroorganisme yang muncul dari bahan baku sehingga mikroorganisme yang melakukan proses dekomposisi lebih banyak. Gliocladium sp. merupakan cendawan yang bersifat selulotik, mampu mendekomposisi pektin, amilum, dan bahan-bahan organik lain, sehingga Gliocladium sp. dikenal sebagai cendawan pelapuk Ekowati 1992. Semua pupuk mengalami penurunan suhu setelah mencapai suhu optimalnya. Suhu menurun selama proses pengomposan dianggap sebagai sebuah indikator yang baik dari kompos. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas mikroba Laos et al. 1998. Tahap penurunan suhu ini disebut tahap pendinginan yang ditandai dengan adanya penggantian dari mikroorganisme thermophilic dengan bakteri fungi mesophilic. Selama tahap pendinginan ini, proses penguapan air dari material yang telah dikomposkan akan terus berlangsung hingga penyempurnaan pembentukan humus Kastaman et al. 2006. 4.2.2 Perubahan pH selama proses pengomposan Nilai pH sangat penting dalam pengolahan limbah karena akan mempengaruhi kehidupan organisme Ibrahim et al. 2009. Perubahan nilai pH yang terjadi selama proses pengomposan dapat dilihat pada Gambar 3. 2,00 2,40 2,80 3,20 3,60 4,00 4,40 4,80 5,20 5,60 6,00 6,40 6,80 7,20 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 pH Waktu hari A0 A1 A2 A3 A4 B0 B1 B2 B3 B4 C0 C1 C2 C3 C4 Keterangan: A0 : 80 Limbah ikan + 0 Gliocladium sp. B3 : 70 Limbah ikan + 4 Gliocladium sp. A1 : 80 Limbah ikan + 2 Gliocladium sp. B4 : 70 Limbah ikan + 5 Gliocladium sp. A2 : 80 Limbah ikan + 3 Gliocladium sp. C0 : 60 Limbah ikan + 0 Gliocladium sp. A3 : 80 Limbah ikan + 4 Gliocladium sp. C1 : 60 Limbah ikan + 2 Gliocladium sp. A4 : 80 Limbah ikan + 5 Gliocladium sp. C2 : 60 Limbah ikan + 3 Gliocladium sp. B 0: 70 Limbah ikan + 0 Gliocladium sp. C3 : 60 Limbah ikan + 4 Gliocladium sp. B1 : 70 Limbah ikan + 2 Gliocladium sp. C4 : 60 Limbah ikan + 5 Gliocladium sp. B2 : 70 Limbah ikan + 3 Gliocladium sp. Gambar 3 Perubahan pH selama proses pengomposan Pada Gambar 3 dapat dilihat untuk semua perlakuan, pada awal proses terjadi penurunan nilai pH. Pupuk A0 mengalami penurunan nilai pH paling lama daripada pupuk yang lainnya yaitu sampai hari ke-18 dengan nilai pH 3,50 dan selajutnya nilai pH tersebut cenderung kembali meningkat. Berbeda dengan pupuk C1, C2, C3, dan C4 mengalami penurunan nilai pH paling cepat, yaitu hanya sampai hari ke-6 dengan nilai pH masing-masing 4,13, 4,10, 3,98, dan 3,80, kemudian nilai pH tersebut cenderung meningkat kembali. Penurunan pH pada awal proses pengomposan menandakan bahwa terjadi aktivitas pengomposan pada bahan karena adanya penumpukan asam akibat metabolisme mikroba dalam tumpukan kompos yaitu perombakan senyawa komplek misalnya karbohidrat, protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga menghasilkan asam organik Yuwono 2007. Kondisi asam umumnya dapat merugikan mikroorganisme aerobik terutama bakteri dan dapat memperlambat proses pengomposan Graves et al. 2000. Pada suasana asam, dekomposisi didominasi oleh jamur Lengkong dan Kawusulan 2008. Perbedaan lamanya penurunan pH pada tiap perlakuan dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon yang akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Bahan baku pupuk A0 terdiri dari limbah ikan dengan konsentrasi yang tinggi 80 sehingga proporsi bahan baku tambahan lainnya yaitu kascing sebagai sumber karbon rendah. Hal ini menyebabkan penurunan pH pada A0 berlangsung lebih lama dari perlakuan yang lainnya, karena ketersediaan karbon yang rendah. Karbon digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroba. Selama proses dekomposisi, karbon akan dilepaskan dalam bentuk CO 2 , sementara sisanya dikombinasikan dengan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba Graves et al 2000. Pada pupuk C3 dan C4 dapat mencapai pH netral lebih cepat yaitu pada hari ke-24. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya penambahan Gliocladium sp. yang dapat mempengaruhi proses pengomposan sehingga aktivitas dari mikroorganisme dalam bahan tidak terganggu dan proses penguraian bahan organik pun berlangsung lebih cepat. Gliocladium sp. merupakan mikroorganisme seululotik yang dapat mempercepat proses dekomposisi Tondok 2006. Nilai pH selama proses pengomposan terjadi peningkatan setelah mengalami penurunan. Hal ini dapat disebabkan oleh munculnya mikroorganisme lain dari bahan yang didekomposisi dalam pembentukan nitrogen yang dibentuk dari senyawa-senyawa asam Yuwono 2007. Menurut Liao et al. 1997 bahwa peningkatan nilai pH selama pengomposan dapat disebabkan oleh meningkatnya volume ammonia yang dihasilkan dari proses degradasi protein. Nilai pH akhir semua pupuk pada proses pengomposan cenderung mendekati pH netral. Berdasarkan hasil tersebut untuk perlakuan pupuk B3, B4, C1, C2, C3 dan C4 sudah memenuhi standar nilai pH menurut SNI 19-7030-2004 6,80-7,49. Pupuk A0, A1, A2, A3, A4, B0, B1, B2, dan C0 belum memenuhi standar pH dari SNI, hal ini dapat disebabkan oleh proses penguraian yang belum sempurna.

4.3 Kualitas pupuk organik