Perubahan trophic level 0; 1; 2 Penurunan trophic level dalam ekosistem: tidak 0; Tangkapan pra-maturity 0; 1; 2 Terhadap hasil tangkapan: tidak ada 0; beberapa

exploited untuk udang, dan moderate untuk ikan pelagis kecil warna hijau. Jenis-jenis ikan demersal yang sudah overexploited yaitu : manyung, kurisi, kuniran, swanggi, beloso, gulamah, dan kakap merah. Tabel 10 Atribut dan kriteria skor pada dimensi ekologi No. Atribut Skor Kriteria pemberian skor 1. Status eksploitasi ; 1; 2; 3 Skala : under- 0; fully- 1; heavy-2; over-exploited 3; 2. Keragaman rekrutmen ; 1; 2 Koefisien keragaman: 40 0; 40 - 100 1; 100 2

3. Perubahan trophic level 0; 1; 2 Penurunan trophic level dalam ekosistem: tidak 0;

perlahan 1; cepat 2 4. Jarak migrasi ; 1; 2 Jumlah jurisdiksi yang terkait selama daur- hidup: 1-2 0; 3-4 1; 4 2 5. Tingkatan kolaps ; 1; 2 Pengurangan lokasi area tangkap: tidak 0; sedikit 1; banyak dan cepat 2 6. Ukuran ikan tangkapan ; 1; 2 Didaratkan berubah 5 tahun terakhir?: tidak berubah 0; ya gradual 1; ya cepat 2

7. Tangkapan pra-maturity 0; 1; 2 Terhadap hasil tangkapan: tidak ada 0; beberapa

30 1; 60 2 8. Discarded by catch ; 1; 2 Terhadap target hasil tangkapan: rendah 0-10 0; sedang 10 - 40 1; 40 2 9. Spesies tangkapan ; 1; 2 Termasuk by-catch: 1 - 10 0; 10 - 100 1; 100 2 Sumber : Pitcher and Preikshot 2001 dimodifikasi Tabel 11 Definisi atribut pada dimensi ekologi No. Atribut Definisi 1. Status eksploitasi Perbandingan potensi dan produksitingkat pemanfaatan sumberdaya ikan 2. Keragaman rekruitmen Kehadiran kelompok ikan muda sebagai sasaran tangkapan atau jumlah individu suatu stok ikan yang memasuki kawasan penangkapan untuk pertama kali setiap tahun misalnya akibat terjadinya perubahan musim 3. Perubahan trophic level Perubahan jenis ikan sasaran dan atau perubahan ukuran pada jenis ikan yang sama dibandingkan dengan ukuran yang lazim ditangkap 4. Jarak migrasi Jarak migrasi dari jenis ikan sasaran selama daur hidupnya 5. Tingkatan kolaps Tingkatan berkurangnya lokasi penangkapan ikan 6. Ukuran ikan tangkapan Keragaman ukuran ikan yang ditangkap menurut operasi penangkapan dalam periode waktu tertentu 7. Tangkapan pre-maturity Proporsi produksi jenis ikan target yang belum dewasa terhadap total total produksi 8. Discarded by catch Sejumlah ikan tangkapan yang tidak dimanfaatkan atau dibuang nelayan karena tidak memiliki nilai ekonomis penting atau pertimbangan lain 9. Spesies tangkapan Jumlah species tangkapan yang diperoleh dari operasi penangkapan ikan, termasuk jenis by catch Sumber : Pitcher and Preikshot 2001 Penggunaan pukat ikan di Laut Arafura dan perairan lain pada umumnya memberikan dampak eksploitasi yang tinggi pada sumberdaya ikan oleh karena alat ini sangat produktif dan bersifat aktif. Status eksploitasi ikan pelagis kecil sebagai target penangkapan pukat ikan terindikasi moderat, ikan demersal juga sering tertangkap alat ini dan kondisinya sudah overfished. Pukat ikan pada masa lalu dikenal sebagai pukat harimau trawl yang mampu mengeruk ikan pada kolom perairan maupun bagian dasar perairan. Produktivitas pukat ikan berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010 sangat tinggi yaitu mencapai 3,57 tonGTtahun. Berdasarkan hal tersebut maka status eksploitasi perikanan pukat ikan dapat diberikan skor 2. Penggunaan gillnet oseanik tidak terlalu memberikan dampak eksploitasi yang tinggi pada sumberdaya ikan karena alat ini bersifat selektif dan pasif. Produktivitas gillnet oseanik mencapai 0,85 tonGTtahun Permen KP No. 60 tahun 2010. Target spesies gillnet oseanik adalah ikan-ikan pelagis yang kondisinya masih moderate atau belum diketahui dengan pasti uncertain. Status eksploitasi untuk perikanan gillnet oseanik layak diberikan skor 0. Untuk pukat udang, meskipun produktivitasnya hanya 0,4 tonGTtahun Permen KP No. 60 tahun 2010 tetapi status eksploitasi sumberdaya udang di Arafura sebagai target spesies sudah mengalami fully-exploited. Selain itu, sumberdaya udang juga sangat rentan oleh karena penyebarannya yang terbatas dan tidak melakukan migrasi atau ruaya. Status eksploitasi untuk perikanan pukat udang dapat diberikan skor 3. Pada perikanan pancing cumi, eksploitasi sumberdaya cumi-cumi dilakukan seiring datangnya musim yaitu pada Juni – Desember. Status sumberdaya cumi di WPP Arafura masih underexploited BRKP-LIPI, 2001. Produktivitas pancing cumi hanya 0,26 tonGTtahun Permen KP No. 60 tahun 2010 dan alat ini tergolong sangat selektif. Status eksploitasi untuk perikanan pancing cumi dapat diberi skor 0. Pancing rawai dasar termasuk alat penangkap ikan yang selektif dan bersifat pasif. Produktivitas pancing rawai dasar mencapai 1,2 tonGTtahun. Meskipun ikan demersal sebagai target spesies statusnya sudah overexploited tetapi kontribusi perikanan pancing rawai dasar terhadap kondisi ini diperkirakan kecil oleh karena sifatnya yang selektif. Kontribusi perikanan terhadap tingkat eksploitasi ikan demersal lebih banyak disebabkan oleh penggunaan alat tangkap jenis pukat. Skor status eksploitasi untuk perikanan pancing rawai dasar diberikan nilai 1. 2 Keragaman rekrutmen Menurut Cadima 2003, rekrutmen ke fase eksploitasi adalah jumlah individu suatu stok ikan yang memasuki kawasan penangkapan untuk pertama kali setiap tahun. Rekrutmen ikan pada suatu kawasan perairan secara sederhana dapat ditandai dengan kehadiran kelompok ikan muda sebagai sasaran tangkapan. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara di lapangan, ikan-ikan yang tertangkap oleh pukat udang dan kadang-kadang oleh pukat ikan ditemui ikan- ikan muda jenis demersal, udang maupun pelagis, antara lain: peperek, beloso, udang, kurisi, kembung, layang dan kadang-kadang cumi-cumi. Dengan asumsi bahwa ikan target spesies berkorelasi dengan jenis alat penangkap ikan yang digunakan maka untuk semua jenis alat penangkap ikan dimana dijumpai target spesies berukuran kecil recruiter maka alat tersebut jelas memiliki nilai tingkat keragaman tertentu. Hasil tangkapan pukat udang cukup baik menggambarkan komposisi ikan secara umum untuk seluruh jenis alat penangkap ikan. Menurut Purbayanto 2008 bahwa hasil penelitian KM. Bawal Putih II yang menggunakan pukat udang pada periode 1995-1998 melaporkan bahwa produksi rata-rata antara udang dan ikan memiliki rasio 1:9 yang berarti setiap 1 kg udang yang tertangkap maka terdapat juga ikan yang tertangkap sebanyak 9 kg. Berdasarkan informasi ini, koefisien keragaman dari rekrutmen jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh kelima alat tangkap di atas dapat ditentukan secara garis besar. Sesuai pilihan yang disediakan dalam atribut RAPFISH, untuk keragaman rekrutmen perikanan pukat udang dan pukat ikan tinggi diperkirakan masing-masing sekitar 60. Sedangkan pada perikanan gillnet oseanik, pancing rawai dasar dan pancing cumi diperkirakan cukup rendah yaitu masing-masing 20. Perkiraan ini ditetapkan sebagai gambaran umum dan memerlukan klarifikasi melalui suatu kajian khusus yang bertujuan mengukur recruitment variability secara spesifik. Dengan demikian keragaman rekrutmen untuk semua jenis alat penangkap ikan diperkirakan berkisar 20 sampai 60 sehingga berdasarkan ketentuan RAPFISH skornya adalah 1. 3 Jarak migrasi Sumberdaya ikan di perairan secara umum hidup pada bagian dasar perairan jenis udang dan ikan demersal, dan pada bagian kolom perairan jenis ikan pelagis dan cumi. Ikan-ikan tangkapan utama di perairan ini yaitu udang, kakap merah, kakap putih, kembung, kuwe, tenggiri, kurosenangin, manyung, dan lain-lain adalah jenis ikan yang beruaya tidak terlalu jauh, apalagi jika dibandingkan ikan tuna sebagai Highly Migratory Species HMS. Ikan-ikan yang tertangkap oleh pukat ikan umumnya tidak bermigrasi jauh sehingga sedikit keterkaitan dengan wilayah yurisdiksi lain selain pada fishing ground yang bersangkutan. Asumsi yang digunakan adalah satu yurisdiksi merupakan satu WPP sehingga bisa meliputi perairan nasional maupun ZEEI. Pukat ikan menangkap target ikan-ikan pelagis atau demersal dan juga udang sebagai by-catch. Ikan-ikan pelagis tergolong jenis ikan yang dapat beruaya tetapi masih dalam WPP Arafura saja yaitu di wilayah perairan Papua dan Maluku. Skor untuk jarak migrasi perikanan pukat ikan nilainya 0. Pukat udang adalah alat penangkap ikan yang memiliki target spesies udang sebagai spesies yang hidup menetap atau sedentary species tidak melakukan ruaya. Analog dengan pukat ikan, bahwa pukat udang juga menangkap jenis-jenis ikan dan cumi sebagai spesies non-target. Skor untuk jarak migrasi perikanan pukat ikan juga bernilai 0. Ikan-ikan yang tertangkap dengan gillnet oseanik umumnya dari jenis pelagis besar dan kecil yang dapat bermigrasi secara terbatas di wilayah perairan Papua dan Maluku satu WPP sehingga skor jarak migrasinya juga 0. Pancing rawai dasar khusus menangkap ikan demersal yang tidak melakukan ruaya sehingga skor jarak ruayanya adalah 0. Ikan cumi sebagai target spesies pancing cumi tidak melakukan ruaya jauh sehingga tidak ada yurisdiksi lain di perairan Arafura yang terkait. Skor jarak migrasi pancing cumi juga bernilai 0. 4 Tingkatan kolaps Tingkatan kolaps perairan berkaitan erat dengan kondisi sumberdaya ikan sebagai dampak pengoperasian jenis alat penangkap ikan. Pukat ikan dan pukat udang di Arafura merupakan alat yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap ekologi disamping dampak lainnya sehingga Pemerintah telah membatasi daerah operasi kedua jenis alat penangkapan ikan ini Ditjen Perikanan Tangkap, 2005. Daerah operasi penangkapan pukat ikan khusus skala besar diprioritaskan di ZEEI. Untuk pukat udang dibatasi hanya pada koordinat tertentu saja. Skor tingkatan kolaps untuk pukat ikan dan pukat udang adalah 1. Pengoperasian gillnet oseanik dapat dianggap tidak berdampak nyata bagi kolaps-nya perikanan sehingga Pemerintah tidak membatasi daerah operasi alat ini di seluruh wilayah perairan. Pengaturan terhadap alat tangkap gillnet antara lain terbatas pada panjang jaring, tinggi atau kedalamanjaring, dan mesh-size Ditjen Perikanan Tangkap, 2010. Demikian pula untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar tidak ada pembatasan wilayah penangkapan atau ada pengurangan lokasi penangkapan karena alat ini sangat selektif Ditjen Perikanan Tangkap, 2010. Skor tingkatan kolaps untuk gillnet oseanik, pacing cumi dan pancing rawai dasar yaitu 0. 5 Ukuran ikan tangkapan Studi kasus eksperimental double-rig shrimp trawl telah dilakukan pada ikan gulamah yaitu tertangkap dengan ukuran 13 cm pada perairan yang tinggi eksploitasinya Pulau Dolak, dibandingkan pada perairan yang lebih rendah eksploitasinya Agats yaitu ukurannya mencapai 19 cm Purbayanto et al, 2006. Secara umum terjadi penurunan ukuran ikan hasil tangkapan di Laut Arafura BRKP, 2007. Hal ini diperkuat dengan survey responden pukat ikan dan pukat udang di lapangan bahwa memang terjadi perubahan ukuran ikan secara gradual. Skor perubahan ukuran ikan untuk pukat ikan dan pukat udang dinilai 1. Oleh karena sifatnya yang selektif, ikan-ikan yang tertangkap gillnet oseanik tidak menunjukkan perubahan ukuran tangkapan yang mengindikasikan overfished . Perubahan ukuran ikan mungkin bisa dijumpai pada daerah perairan dimana jenis alat penangkap ikan lainnya terutama pukat dioperasikan pada wilayah perairan yang sama. Skor perubahan ukuran ikan untuk gillnet oseanik dinilai 0. Berdasarkan studi lapangan pada perikanan pancing cumi, ukuran cumi tertangkap cenderung stabil karena sifatnya pancing cumi yang selektif, sehingga skor untuk pancing cumi dapat diberikan nilai 0. Pada perikanan pancing rawai dasar, secara gradual terdapat perubahan ukuran ikan target demersal walaupun sedikit, umumnya adalah akibat penggunaan jenis alat penangkap lainnya. Skor perubahan ukuran ikan untuk pancing rawai dasar dapat dinilai 1. 6 Tangkapan yang belum dewasa Penelaahan aspek-aspek biologi yang berkaitan dengan umur dan pertumbuhan untuk jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh kelima alat tangkap ini masih terbatas. Untuk itu, pemahaman tentang aspek biologi perikanan ini didasari atas estimasi proporsi tertangkapnya ikan yang belum dewasa terhadap total ikan yang tertangkap. Proporsi tangkapan ikan yang masih muda pra-maturity cukup besar pada penggunaan pukat ikan akibat dampak “sapuan” kantong jaring cod-end. Hasil sampling di perairan Arafura didapatkan ikan juvenil seperti tembang, bulu ayam, dan julung-julung dalam kelimpahan yang tinggi Purbayanto, et al, 2006. Hasil wawancara dengan pelaku usaha pukat ikan bahwa proporsi hasil tangkapan pre-maturity rata-rata hampir mencapai 30 dari total hasil tangkapan. Skor tangkapan yang belum dewasa untuk pukat ikan dinilai 1. Pada perikanan pukat udang, meskipun terdapat aturan penggunaan mesh- size minimal 30 mm dan pemakaian TED atau BED, ternyata proporsi tangkapan ikan yang masih muda pra-maturity adalah besar. Purbayanto, et al 2006 menemukan bahwa hasil sampling di Teluk Kaimana, Papua didapatkan juvenil jenis udang dogol dan udang jerbung dalam kelimpahan yang tinggi. Skor tangkapan yang belum dewasa untuk pukat udang adalah tinggi sehingga dinilai 2. Pada perikanan gillnet oseanik hampir tidak ada hasil tangkapan pra- maturity karena alat ini bersifat selektif, demikian pula untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar. Skor tangkapan yang belum dewasa untuk ketiga jenis alat penangkap ikan tersebut dinilai 0. 7 Discarded dan by catch Pada perikanan pukat ikan, jumlah ikan tangkapan pukat ikan yang discard dan by-catch cukup banyak mengingat keragaman jenis dan ukuran ikan yang bisa ditangkap. Berdasarkan survey responden bahwa discarded-by catch pukat ikan secara umum mencapai 10 sampai 40 dari total hasil tangkapan. Skor discarded-by catch untuk perikanan pukat ikan dinilai 1. Pada perikanan pukat udang, discard dan by-catch adalah yang tertinggi dibanding alat penangkap ikan lainnya. By-catch pukat udang tercatat 332.186 tontahun, sebagian besarnya dibuang ke laut sebagai discard Purbayanto, et al., 2006. Skor discarded-by catch untuk pukat udang dinilai 2. Pada perikanan gillnet oseanik, pancing cumi dan pancing rawai dasar hampir tidak ada ikan yang terbuang atau discard karena ikan yang tertangkap umumnya terseleksi dan dalam kondisi kualitas yang baik. Skor discarded-by catch untuk ketiga jenis alat penangkap ikan ini dinilai 0. 8 Spesies tangkapan Banyak spesies ikan yang dapat tertangkap oleh pukat udang. Hasil tangkapan utama pukat udang adalah udang jerbung dan udang windu, sedangkan hasil tangkapan sampingannya meliputi 26 spesies yang didominasi oleh lemuru, ikan juwi, bilis, kembung, dan beloso Purbayanto, et al, 2006. Sementara itu, berdasarkan Kepmen KP No. 60 tahun 2010 terdapat 13 jenis spesies ikan dan lebih dari 2 jenis udang yang dapat tertangkap oleh pukat udang. Skor spesies tangkapan untuk pukat udang dinilai 1. Sama halnya pada pukat udang, spesies yang dapat tertangkap oleh pukat ikan sangat banyak meliputi jenis-jenis ikan pelagis, ikan demersal, dan udang. Berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010, alat ini mampu menangkap jenis- jenis ikan dan udang, dimana komposisi spesies hasil tangkapannya sangat beragam yaitu kurisi, kuwe,selar, gulamah, hiu, cucut, manyung, kakap, kembung, layur, biji nangka, pisang-pisang, pari, petek, golok-golok, cumi, gerot-gerot, kacangan, kerapu, bawal hitam, lidah, sebelah, sardine, bawal putih, senangin, beloso, udang putih, dan udang lainnya. Skor spesies tangkapan alat pukat ikan sama tingginya dengan pukat udang yaitu 1. Spesies yang dapat tertangkap oleh gillnet oseanik terbatas hanya meliputi jenis-jenis ikan tertentu saja. Berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010, hasil tangkapan alat ini meliputi cakalang, tongkol, tuna, tenggiri, cucut, dan lainnya. Skor spesies tangkapan untuk perikanan gillnet oseanik dinilai 0. Spesies ikan yang dapat tertangkap oleh pencing cumi sangat sedikit. Selain cumi, dapat pula tertangkap ikan namun dalam jenis yang sangat sedikit. Pada Permen KP No. 60 tahun 2010 disebutkan bahwa jenis ikan yang tertangkap pancing cumi hanyalah cumi-cumi. Skor untuk spesies tangkapan pancing cumi yaitu 0. Pada perikanan pancing rawai dasar juga tidak banyak spesies yang dapat tertangkap melainkan hanya ikan-ikan demersal saja. Jenis-jenis ikan yang dapat tertangkap pancing rawai dasar antara lain : kakap, kuwe, selar, manyung, cucut, dan kerapu Permen KP No. 60 tahun 2010. Skor spesies tangkapan pancing rawai dasar dinilai 0. 2 Status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi ekologi menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara ekologi sebagaimana disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 1. Nilai ini yang menentukan posisi relatif dari setiap perikanan terhadap ordinasi yang berada pada kisaran baik good dengan nilai 100, dan buruk bad dengan nilai nol. Selanjutnya jika nilai dimensi ekologi pada Tabel 12 tersebut di plotkan dalam gambar ordinansi, maka akan nampak seperti dapat dilihat sebagaimana Gambar 25. Tabel 12 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi No. Jenis Perikanan Indeks Keberlanjutan Perikanan Status Keberlanjutan 1. Pukat Ikan 52,51 Kurang 2. Gillnet Oseanik 99,97 Baik 3. Pukat Udang 38,50 Buruk 4. Pancing Cumi 99,97 Baik 5. Pancing Rawai Dasar 85,19 Baik Rata-rata indeks 75,23 Cukup RAPFISH Ordination Down Up Bad Good -60 -40 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 Fisheries Status O th e r D is ti n g is h in g F e a tu re s Real Fisheries Reference anchors Anchors Gambar 25 Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD = pancing rawai dasar Analisis ordinansi dalam dimensi ekologi dengan jumlah iterasi sebanyak 3 tiga kali ini, menghasilkan nilai kuadrat korelasi R 2 dan nilai stress S. Nilai stress mencerminkan ketepatan goodness of fit dalam multi-dimensional scaling PUD PAC GIL PIK PRD MDS, yang menunjukan ukuran seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Nilai stress yang rendah menunjukkan goodness fit berkategori sempurna perfect, sementara nilai stress yang tinggi menunjukkan kondisi sebaliknya. Dengan demikian, analisis dimensi ekologi dalam penelitian ini menunjukkan kondisi goodness of fit kategori cukup fair, mengingat nilai stress yang diperoleh adalah sebesar 14,19 25 . Nilai koefisien determinasi nilai kepercayaan atau R 2 Sementara itu, analisis yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinansi tersebut dilakukan dengan simulasi Monte Carlo. Simulasi ini bertujuan untuk melihat tingkat gangguan pertubation terhadap nilai ordinansi sehingga dapat diketahui seberapa jauh hasil analisis dapat dipercaya Spence and Young 1978 yang dikutip dalam Purnomo et al., 2002, dan dilakukan dengan iterasi sebanyak 30 kali. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 26. untuk dimensi ekologi adalah lebih besar dari 0,90. Hasil estimasi nilai proporsi ragam data masukan yang dapat dijelaskan oleh teknik analisis ini terindikasi memadai. Analisis sensitivitas pada dimensi ekologi dengan metode analisis leverage pada RAPFISH memperlihatkan bahwa ukuran ikan tangkapan perubahannya merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan di Laut Arafura. Hal ini dapat dilihat dari nilai root mean square rms change yang ditunjukan oleh Gambar 27, dimana atribut ukuran ikan tangkapan nilainya paling tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya 4,22. Kondisi ukuran ikan tangkapan ini dapat menjadi indikasi utama kondisi ekologi Laut Arafura. Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot -60 -40 -20 20 40 60 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fisheries Status O th e r D is ti n g is h in g F e a tu re s Gambar 26 Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi ekologi Ket.: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi Leverage of Attributes 1,85 2,10 3,47 2,21 4,22 2,24 1,11 2,59 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 status eksploitasi keragaman rekrutmen jarak migrasi tingkatan kolaps ukuran ikan tangkapan tangkapan pre-maturity discard by-catch spesies tangkapan A ttr ib u te Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Status scale 0 to 100 Gambar 27 Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi 3 Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi Secara ekologi, perairan Laut Arafura dalam status baik dengan skor rata- rata 75,23. Pancing cumi dan gillnet oseanik memberikan kontribusi keberlanjutan ekologi yang tinggi dengan skor disusul oleh pancing rawai dasar. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat selektivitas ketiga alat penangkapan ikan sangat tinggi. Tingkat selektivitas ketiga alat penangkapan ikan tersebut yang menjamin bahwa ukuran ikan-ikan yang ditangkap dapat terjaga sehingga tidak terjadi perubahan mengecil. Disamping itu, ketiga alat tersebut dalam pengoperasiannya bersifat pasif. Hal ini berbeda dengan pengoperasian pukat ikan dan pukat udang yang mengejar ikan target dengan cara dihela. Alat tangkap yang secara ekologi kurang berlanjut adalah pukat ikan dengan skor 58,51; sedangkan pukat udang secara eokologi statusnya buruk dengan skor 38,50. Sifat selektivitas alat serta cara pengoperasiannya juga mempengaruhi atribut ekologi lainnya secara positif seperti sedikitnya bycatch dan discard, tidak banyaknya jenis spesies ikan yang tertangkap, sedikitnya tangkapan pre-maturity bahkan tidak ada, rendahnya dampak terhadap status eksploitasi, perubahan trophic level, serta kolaps-nya perikanan. Ukuran ikan tangkapan perubahannya merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan secara ekologi di Laut Arafura. Hal ini ditunjukkan oleh persentase nilai perubahan rms yang paling tinggi 4,22 dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya. Ukuran ikan merupakan atribut yang paling efektif karena berkaitan langsung dengan ikan sebagai target usaha penangkapan. Berbeda dengan atribut lainnya yang memang berpengaruh tetapi hubungannya dengan usaha penangkapan relatif tidak secara langsung. Atribut yang paling kurang berpengaruh pada dimensi ekologi adalah jumlah spesies ikan tangkapan yaitu dengan nilai perubahan rms = 1,11. Hal ini terjadi karena ketertangkapan jenis-jenis ikan yang sama oleh alat penangkap ikan yang berbeda. Sebagai contoh adalah jenis ikan yang ditangkap pukat ikan dapat tertangkap pula oleh pukat udang, gillnet oseanik, dan pancing rawai dasar. Hal ini sering dijumpai pada perikanan di wilayah tropis yang memiliki banyak jenis spesies ikan multispesies dan penggunaan jenis alat penangkapan ikan yang beragam multigear. Untuk meningkatkan keberlanjutan ekologi perikanan di Laut Arafura maka perlu diprioritaskan alat penangkap ikan yang bersifat selektif untuk menjamin konsistensi ukuran ikan yang ditangkap yaitu yang memang pas ukurannya. Agar keberlanjutannya secara ekologi dapat meningkat, selektivitasnya pukat ikan dan pukat udang perlu lebih ditingkatkan. Pengaturan mesh-size dan daerah operasi pukat ikan dan pukat udang harus dibarengi dengan pengawasannya di lapangan. Disamping itu dapat diterapkan management measures berupa closed-season pada saat ikan belum dewasa atau belum waktunya ditangkap, atau closed-area pada daerah pemijahan spawning ground dan daerah asuhan ikan spawning ground serta daerah ikan-ikan juvenil. 4.1.2 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi Penentuan atribut pada dimensi ekonomi dilakukan dengan mengunakan indikator yang digunakan oleh RAPFISH yang disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Penentuan keberlanjutan perikanan tangkap dalam dimensi ekonomi pada pendekatan RAPFISH ini didasarkan atas 10 atribut ekonomi berdasarkan Pitcher and Preiksot 2001 yang dimodifikasi sesuai kondisi lapangan Tabel 13, sedangkan definisinya diuraikan pada Tabel 14. Atribut pada dimensi ekonomi antara lain : kontribusi pada PNBP, gajiupah rata-rata, pembatasan masuk, sifat pemasaran, pendapatan lain, ketenagakerjaan, kepemilikan, pasar utama, subsidi, dan konsumsi BBM. Modifikasi yang dilakukan untuk atribut pada dimensi ini adalah: 1 penggunaan atribut kontribusi PNBP sebagai pengganti kontribusi PDB; dan 2 penambahan atribut konsumsi energi BBM. Atribut kontribusi PNBP dianggap lebih relevan dan mencerminkan langsung peran ekonomi usaha perikanan skala besar diatas 30 GT melalui perizinan. Kontrribusi PNBP juga lebih mudah untuk dihitung dan didapatkan datanya. Sedangkan konsumsi BBM merupakan salah satu isu strategis di Laut Arafura karena ketergantungan kapal perikanan kepada ketersediaan BBM sementara suplainya semakin terbatas. Tabel 13 Atribut dan skor kriteria pada dimensi ekonomi No. Atribut Skor Kriteria pemberian skor 1. Kontribusi PNBP 0; 1; 2 Rendah 0; medium l; tinggi 2

2. Gajiupah rata-rata 0; 1; 2