Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan

(1)

Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada

Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan

SKRIPSI

Oleh :

Maristha Roswati

111101121

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan”.

Penulis banyak menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat adanya bantuan, bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Penulis mengucapkan terima kasih yang terutama kepada Ibu Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat untuk penyusunan skripsi ini.

Rasa terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada keluarga yang terkasih, Ibunda I. Simatupang tersayang yang telah berjuang membesarkan dengan penuh cinta dan selalu berdoa serta berusaha memenuhi kebutuhan moral dan materil terutama untuk mendukung pendidikan, juga kepada seluruh kakanda dan abangnda yang memberikan semangat, perhatian dan motivasi yang berharga demi selesainya penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M. Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.


(5)

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Direktur Utama RSUP. H. Adam Malik Medan

4. Ibu Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, Ns, MNS selaku dosen penguji I. 5. Ibu Reni Asmara Ariga, S.Kp, MARS selaku dosen penguji II.

6. Ibu/Bapak staf pengajar, staf administrasi, bagian pendidikan dan bagian perpustakaan Fakultas Keperawatan USU.

7. Teman-teman S-1 Keperawatan USU 2011

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik bagi perkembangan ilmu keperawatan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi tambahan informasi demi kemajuan pengetahuan khususnya dalam dunia keperawatan.

Medan, Juli 2015


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN HASIL SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... ix

ABSTRAK ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terapi Sinema ... 7

2.1.1 Definisi ... 7

2.1.2 Manfaat Terapi Sinema ... 7

2.1.3 Jenis Terapi Sinema ... 8

2.1.4 AreaTerapi Sinema ... 11

2.1.4.1 Terapi Sinema Individual ... 11

2.1.4.2 Terapi Pasangan dan Keluarga ... 16

2.1.4.3 Terapi Sinema Kelompok ... 16

2.1.5 Tahapan Terapi Sinema ... 17

2.1.6 Sinema pada Anak ... 18

2.2. Anak Usia Sekolah ... 19

2.2.1 Definisi Anak Usia Sekolah ... 19

2.2.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah ... 19

2.2.2.1 Perkembangan Biologis ... 19

2.2.2.2 Perkembangan Psikososial ... 20

2.2.2.3 Perkembangan Kognitif ... 20

2.2.2.4 Perkembangan Moral ... 21

2.2.2.5 Perkembangan Spiritual ... 22

2.2.2.6 Perkembangan Sosial ... 22

2.3. Konsep Praoperatif ... 23

2.3.1 Definisi Praoperatif ... 23

2.3.2 Indikasi dan Klasifikasi Operasi ... 23

2.3.3 Persiapan Praoperatif pada Anak ... 23

2.3.4 Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah ... 27

BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Penelitian ... 29

3.2. Hipotesis Penelitian ... 29


(7)

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian ... 32

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 33

4.3. Waktu dan Tempat ... 34

4.4. Pertimbangan Etik ... 34

4.5. Instrumen Penelitian ... 35

4.6. Validitas dan Reliabilitas ... 37

4.8. Pengumpulan Data ... 38

4.9. Analisis Data ... 40

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 42

5.1.1. Karakteristik Responden ... 42

5.1.2. Distribusi Kecemasan Responden Berdasarkan Kategori ... 47

5.1.3. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif ... 48

5.2. Pembahasan ... 48

5.2.1. Karakteristik Demografi Responden ... 48

5.2.2. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif ... 50

5.3. Keterbatasan Penelitian ... 53

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 54

6.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 56 LAMPIRAN

1. Instrumen Penelitian

2. Informed Consent dan Lembar Persetujuan Menjadi Responden 3. Prosedur Pelaksanaan Terapi Sinema

4. Anggaran Biaya Penelitian 5. Jadwal Penelitian

6. Lembar Konsul 7. Surat Izin Penelitian

8. Lembar PersetujuanValiditas 9. Daftar Riwayat Hidup


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian... 30

Tabel 4.1 Desain Penelitian ... 32

Tabel 4.2 Nilai Reliabilitas Kappa ... 38

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden ... 43

Tabel 5.2 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Sebelum Terapi ... 44

Tabel 5.3 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Sesudah Terapi ... 45

Tabel 5.4 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Sebelum Terapi ... 47

Tabel 5.5 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Sesudah Terapi... 47

Tabel 5.6 Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah ... 48


(9)

DAFTAR SKEMA


(10)

Judul : Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan Nama Mahasiswa : Maristha Roswati

NIM : 111101121

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2015

ABSTRAK

Prosedur operasi dapat menimbulkan kecemasan praoperatif pada anak karena anastesi, lingkungan rumah sakit, orang asing, cidera fisik dan perpisahan dari orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan pendekatan

pre-post test design yang terdiri dari satu kelompok intervensi. Tehnik

pengambilan sampel dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 8 orang. Analisis data menggunakan uji statistik wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor kecemasan semua responden (8 orang) menurun sesudah diberi terapi sinema dibandingkan sebelum diberi terapi sinema. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,012, maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah. Oleh karena itu disarankan untuk menerapkan terapi sinema sebagai salah satu intervensi asuhan keperawatan pada anak usia sekolah yang akan dioperasi.


(11)

(12)

Judul : Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan Nama Mahasiswa : Maristha Roswati

NIM : 111101121

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2015

ABSTRAK

Prosedur operasi dapat menimbulkan kecemasan praoperatif pada anak karena anastesi, lingkungan rumah sakit, orang asing, cidera fisik dan perpisahan dari orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan pendekatan

pre-post test design yang terdiri dari satu kelompok intervensi. Tehnik

pengambilan sampel dengan purposive sampling dengan jumlah sampel 8 orang. Analisis data menggunakan uji statistik wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor kecemasan semua responden (8 orang) menurun sesudah diberi terapi sinema dibandingkan sebelum diberi terapi sinema. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,012, maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah. Oleh karena itu disarankan untuk menerapkan terapi sinema sebagai salah satu intervensi asuhan keperawatan pada anak usia sekolah yang akan dioperasi.


(13)

Title of the Thesis

Name of Student Std. LD Number Study Program Academic Year

: The Influence of Cinema Therapy on Anxiety in Pre-Operation in School-Aged Children in RSU P H. Adam Malik, Medan

: Marishta Roswati : 1111 01121

: S 1 (Undergraduate) Nursing (S.Kep) : 2015

ABSTRACT

Operation procedure can cause pre-operative anxiety in childrf!n because of

anesthesia, hospital environment, strange people, physical deJecl, 1:md separation from their parents. The objective oj this research was to identifY the influence oj

cinema therapy on pre-operative anxiety in school-aged children in RSUP H.

Adam Malik, Medon. The research was quasi experiment with pre-post test design which consisted oj one intervention group. The samples were 8 respondents, taken

by using purposive sampling technique. The data were analyzed by using

Wilcoxon statistic lest. The result of the research showed thaI anxiety score in the

eight respondents decreased after cinema therapy had been given. The result oj statistic test showed that p-value = 0.012 which indicated that there was the

influence oj cinema therapy on pre-operative anxiety in school-aged children. It is recommended that cinema therapy should be applied as one oJthe interventions in nursing care Jor school-aged children who will be operated


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Departemen kesehatan beserta organisasi profesi, lembaga donor dan beberapa universitas di Indonesia telah lama menyusun program jaminan mutu layanan kesehatan di rumah sakit. Jaminan mutu layanan kesehatan atau quality

assurance adalah kegiatan pengukuran derajat kesempurnaan layanan kesehatan

yang dibandingkan dengan standar layanan kesehatan dan dilanjutkan dengan tindakan perbaikan yang sistematis serta berkesinambungan untuk mencapai layanan kesehatan yang optimal, dimana upaya ini telah dikerjakan dan terus ditingkatkan terutama lewat layanan kesehatan dalam ruang lingkup rumah sakit (Pohan, 2007). Salah satu pelayanan kesehatan yang terus diupayakan peningkatan mutunya ialah prosedur medis operasi, dimana standar yang ditetapkan diharapkan dapat mengurangi variasi tindakan (Al-Assaf, 2009).

Jumlah kasus operasi di dunia telah meningkat tajam 20 tahun terakhir. Indonesia mengalami peningkatan operasi dimana tahun 2000 sebesar 47.22%, tahun 2001 sebesar 45.19%, tahun 2002 sebesar 47.13%, tahun 2003 sebesar 46.87%, tahun 2004 sebesar 53.22%, tahun 2005 sebesar 51.59 %, tahun 2006 sebesar 53.68% (Grace, 2007). Nurhafizah (2012) dalam penelitiannya mendapatkan data bahwa kasus operasi di Medan, yaitu di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, selama tahun 2010 dan 2011 adalah 3547 kasus bedah.

Keberhasilan operasi ditentukan oleh beberapa hal, antara lain keterampilan ahli bedahnya, ketepatan diagnosa, perencanaan operasi yang matang serta


(15)

2

persiapan praoperatif khususnya persiapan kondisi pasien yang juga sangat berperan dalam penanganan praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif (Satyanegara, 2010). Praoperatif merupakan masa sebelum dilakukannya operasi yang dimulai sejak persiapan operasi dan berakhir sampai pasien berada di meja operasi (Uliyah, 2008). Kondisi pasien yang harus dipersiapkan pada masa praoperatif tidak hanya kondisi fisik, tetapi juga terutama kondisi psikologisnya (Wong, 2009).

Tarigan (2014) dalam penelitiannya The Anxiety Levels of Preoperative

Patients in General Hospital of Dr. Pirngadi Medan mengungkapkan fenomena

bahwa faktor lain selain kondisi fisik sering diabaikan pemberi layanan kesehatan pada masa praoperatif. Pasien properatif dapat mengalami berbagai ketakutan seperti takut terhadap anastesia, takut terhadap nyeri atau kematian, takut tentang ketidaktahuan atau takut tentang deformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh dapat menyebabkan ketidaktenangan atau kecemasan (Gruendemann & Fernsebner, 2006).

Kecemasan merupakan masalah psikologis yang paling sering timbul selama masa praoperatif (Wong, 2009). Makmuri (2007) dalam penelitiannya tentang tingkat kecemasan praoperatif pada pasien dewasa menunjukkan bahwa dari 40 orang responden terdapat 16 orang atau 40% yang memiliki tingkat kecemasan dalam kategori sedang, 15 orang atau 37,5 % ringan, responden dengan tingkat kecemasan berat 7 orang atau 17,5 %, responden yang merasa tidak cemas 2 orang atau 5%.


(16)

3

Kain, et al. (1996 dalam Wright 2009) menjelaskan kecemasan praoperatif

pada anak sebagai fenomena umum, dimana 60% anak yang menjalani operasi dengan anastesi umum merasa cemas terutama sebelum operasi dan selama induksi. Anak-anak lebih mudah mengalami kecemasan dari pada orang dewasa karena tingkat emosional dan perkembangan perilaku mereka belum cukup matang (Wright, 2009).

Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa kecemasan pada anak sangat mudah distimulasi, dimana mereka mudah merasa takut dan gelisah karena berbagai penyebab seperti lingkungan rumah sakit, orang asing (termasuk tenaga kesehatan), kurang mengetahui tentang status kesehatan dan pengobatan, takut terhadap cidera fisik dan perpisahan dari orang tua.

Kecemasan praoperatif dapat mengakibatkan munculnya perilaku negatif seperti mimpi buruk, kecemasan perpisahan dan tremor berlebihan, juga meningkatkan insiden munculnya delirium, peningkatan konsumsi analgesik karena nyeri pascaoperasi yang semakin buruk dan peningkatan durasi perawatan pascaoperatif di rumah sakit. Anak dengan nilai observasi kecemasan anak menggunakan Modified Yale Preoperative Anxiety Scale ≥ 70 bahkan tidak diizinkan untuk memasuki ruang operasi (Lee, et al., 2013).

Smeltzer dan Bare (2002) mengatakan strategi kognitif dapat bermanfaat menghilangkan kecemasan yang berlebihan. Contoh strategi tersebut dapat meliputi imajinasi, distraksi dan pikiran optimis diri. Setiawan dan Tanjung (2009) menyimpulkan hasil penelitiannya terhadap pasien praoperatif bahwa komunikasi terapeutik juga mempunyai pengaruh yang signifikan dalam


(17)

4

menurunkan kecemasan praoperatif. Komunikasi pada pasien praoperatif harus mempertimbangkan status perkembangan pasien dalam etika pemberian informasi (Gruendemann dan Fernsebner, 2006). Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa pemberian sedatif dan kehadiran orang tua membantu menurunkan kecemasan praoperatif, namun cara ini memiliki efek yang kurang baik dan terbatas.

Anak-anak kecil umumnya berespon lebih baik terhadap permainan dan anak-anak yang lebih besar berespon lebih baik terhadap film sebaya yang dilihatnya (Bates & Brome, 1986 dalam Wong, 2009). Lee. et al., (2012) menjelaskan penelitiannya yang bertujuan untuk menilai pengaruh film kartun terhadap kecemasan anak dan melibatkan 130 anak praoperatif usia 5 sampai 7 tahun yang mengalami kecemasan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan membiarkan pasien pediatrik praoperatif menonton kartun sangat efektif dalam membantu mengurangi kecemasannya.

Film merupakan media dalam terapi sinema (Olivia, 2010; Wolz,2011; dan Goldberg, 2007). Terapi sinema adalah sebuah intervensi terapeutik yang secara visual membiarkan pasien mengkaji interaksi antar karakter dalam film, lingkungannya dan isu-isu personal untuk memfasilitasi perkembangan terapeutik yang positif yang bertujuan untuk mengubah kognitif dan perilaku pasien sesuai tujuan terapeutik yang diharapkan (Caron, 2005 dalam Goldberg, 2007).

Film dalam terapi sinema diharapkan dapat membantu pasien praoperatif untuk mengubah kecemasan yang dialami menjadi perilaku yang lebih adaptif. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan.


(18)

5

1.2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi karakteristik responden anak usia sekolah yang menjalani fase praoperatif di RSUP. H. Adam Malik Medan

2. Untuk mengidentifikasi kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan sebelum dilakukan intervensi terapi sinema

3. Untuk mengidentifikasi kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan sesudah dilakukan intervensi terapi sinema

4. Untuk membandingkan kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi terapi sinema.


(19)

6

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan kepada perawat khususnya yang bertugas di ruang bedah anak bahwa terapi sinema dapat dijadikan salah satu pilihan intervensi keperawatan bagi pasien anak untuk mengurangi kecemasan praoperatif.

1.4.2 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau sumber data bagi penelitian lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai terapi sinema dalam pengaruhnya bagi kondisi psikologis pasien.

1.4.3 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini memberikan informasi sekaligus mensosialisasikan kepada peserta didik di institusi pendidikan keperawatan bahwa terapi sinema dapat membantu mengurangi kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Terapi Sinema 2.1.1 Definisi

Olivia (2010) menjelaskan bahwa terapi sinema adalah proses menggunakan film bioskop atau televisi yang dapat memberi efek positif bagi banyak orang untuk tujuan penyembuhan, kecuali orang-orang yang mengalami gangguan psikotik. Film yang merupakan alat kebudayaan yang populer menyingkapkan dan menyiarkan nilai-nilai, konflik dan juga tujuan akhir dalam cerita yang dapat dibagikan dalam terapi sinema (Jones, 2007 dalam Goldberg, 2007).

Terapi sinema adalah sebuah intervensi terapeutik yang membiarkan klien secara visual mengkaji interaksi antarkarakter, lingkungan-lingkungan dan isu-isu personal dalam sebuah film yang bertujuan mendorong perkembangan terapeutik secara positif (Tyson, et al., 2000; Caron, 2005 dalam Goldberg, 2007).

2.1.2 Manfaat Terapi Sinema

Olivia (2010) mengatakan bahwa terapi sinema dapat membantu memperbaiki kondisi emosi dan mental dengan jalan memberikan efek untuk berimajinasi dengan plot, karakter, musik dan sebagainya yang membuat pikiran seseorang mendapat ilham, terinspirasi, pelepasan emosional atau kelegaan dan perubahan alami. Terapi sinema dapat menjadi katalis yang sangat kuat untuk penyembuhan dan pertumbuhan untuk siapa saja yang mau membuka diri dan


(21)

8

belajar bagaimana film dapat memengaruhinya serta menonton beberapa film dengan kesadaran dan kewaspadaan diri.

Wolz (2011) juga menerangkan bahwa film dalam terapi sinema dapat memberikan peningkatan kesehatan emosional yang dapat dijelaskan dengan penelitian medis mengenai tertawa dan menangis. Tertawa mendorong sistem imun dan menurunkan hormon stress sedangkan menangis melepaskan neurotransmitter yang mengurangi nyeri.

2.1.3 Jenis Terapi Sinema

Wolz (2011) memadukan pengalaman menonton film dalam terapi sinema dengan metode terapeutik tradisional yang efektif dan membedakannya menjadi tiga cara, yaitu cara evokatif yang tidak membutuhkan rekomendasi film secara spesifik, cara preskriptif yang menyarankan film tertentu dan cara katartik yang merekomendasikan film ataupun jenis film secara spesifik.

2.1.3.1Cara Evokatif

Wolz (2011) mengatakan bahwa respon emosional terhadap beberapa jenis film dapat mengajarkan klien untuk memahami dirinya dengan lebih baik lagi. Ketika film-film tertentu menggetarkan klien, film tersebut menyentuh sampai ke dalam jiwa alam bawah sadarnya. Sebuah film mampu menggerakkan klien secara mendalam. Karakter maupun adegan dalam film mungkin juga menjadi sangat mengecewakan baginya. Pemahaman terhadap respon emosional klien pada film membantu membuka akses menuju alam bawah sadar. Cara evokatif membantu membawa dunia tidak sadar klien kepada tingkat kesadarannya.


(22)

9

Klien mengerti reaksi-reaksi yang ditimbulkannya terhadap karakter-karakter dalam film sehingga ia akan tahu sendiri bagian dalam dirinya yang tidak disadari sebelumnya. Akibatnya reaksi-reaksi tersebut akan mengajarkannya bagaimana mencapai peningkatan kesehatan. Hal ini mungkin terjadi karena timbulnya kesadaran sendiri akan membantu melepaskan pola yang tidak sehat dan membangkitkan kembali dirinya yang sebenarnya (Wolz, 2011).

Reaksi negatif terhadap sebuah karakter dalam film penting untuk ditelusuri. Reaksi ini dapat membantu menemukan bagian yang selama ini ditekan ke dalam jiwa dan dipungkiri oleh klien sehingga klien dapat melepaskan pola hidup yang tidak sehat akibat bagian-bagian tersebut dan kembali pada diri yang sebenarnya (Wolz, 2011).

2.1.3.2Cara Preskriptif

Wolz (2011) memandang cara preskriptif sebagai cara yang didasarkan pada asumsi bahwa menonton film dapat menempatkan klien pada area tidak sadar. Area kerja keadaan tidak sadar ini dirancang untuk membantu menghubungkan klien dengan bagian yang dewasa dan bijaksana dalam dirinya yang dapat membantunya keluar dari masalah dan memperkuat kualitas positifnya. Film tertentu dipilih sebagai model perilaku penyelesaian masalah secara spesifik ataupun untuk mengakses dan mengembangkan potensi diri klien sehingga melalui cara preskriptif, klien dapat belajar oleh wali yaitu tokoh dalam film untuk tidak melakukan sesuatu karena telah melihat konsekuensi buruk dari tindakan tokoh tersebut. (Salomon, 2011 dalam Wolz, 2011).


(23)

10

2.1.3.3Cara Katartik

Nichols dan Bierenbaum (1978 dalam Wolz, 2011) mengatakan bahwa teknik terapeutik katartik membantu terapis dalam mengakses emosi-emosi klien yang terpendam dan membebaskannya. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengalaman katartik klien, semakin cepat pula proses penyembuhannya.

Perasaan yang menyedihkan tidak hanya dapat menyebabkan klien menangis tetapi juga terbukti dapat menghasilkan bahan kimiawi penyebab stress pada tubuh manusia. Cara katarsis dapat membantu menetralkannya dengan jalan melepaskan perasaan-perasaan terpendam. Pada dasarnya, manusia telah diberikan proses katartik alami seperti tertawa dan menangis untuk melepaskan diri dari rasa sedih yang menyakitkan (Wolz, 2011).

Wolz (2011) menjelaskan bahwa film pada umumnya lebih banyak menyebarkan gagasan-gagasannya melalui emosi dari pada melalui intelektual sehingga dapat menetralisir naluri untuk menekan perasaan dan mencetuskan pelepasan emosi. Film membantu menyalurkan perasaan klien dengan menimbulkan emosi-emosi yang selama ini tertahan di dalam dirinya dengan lebih mudah dari pada menuangkan perasaan tersebut pada kehidupan nyata dengan orang yang sebenarnya. Klien juga dapat merasakan pengalaman emosional yang tersembunyi dari kesadaran mereka melalui identifikasi karakter tertentu dan keadaan-keadaan sulit para tokoh dalam film.

Wolz (2011) menerangkan teori Aristoteles yang menyatakan bahwa permainan sandiwara tragis memiliki kemampuan membersihkan jiwa dan


(24)

11

menolong untuk memilih koping terhadap aspek-aspek kehidupan yang tidak dapat didamaikan dengan pemikiran rasional. Tragedi memiliki kekuatan katartik karena hal itu membersihkan gangguan-gangguan emosi dan menyembuhkan truma (Murnaghan, 1951 dalam Wolz, 2011).

Air mata dapat mengalir melalui sebuah film yang menyentuh perasaan, namun dalam beberapa kondisi tidak terjadi pada kehidupan nyata, terutama ketika berada dibawah tekanan atau ancaman. Proses menonton dan berempati dengan sebuah karakter film yang mengalami tragedi dapat menstimulasi keinginan pelepasan emosional. Pelepasan tersebut biasanya meningkatkan semangat dalam jiwa klien sementara waktu karena emosi yang meluap-luap. Energi yang dialirkan oleh depresi dapat saja muncul kembali sewaktu-waktu. Kesempatan ini dapat digunakan untuk mulai menelusuri dan menyembuhkan alasan mendasar atas depresi yang dialami, termasuk dukacita (Wolz, 2011).

2.1.4 Area Terapi Sinema

Wolz (2011) membagi beberapa area terapi sinema berdasarkan lingkungan terapeutiknya. Area tersebut yaitu terapi individual, terapi pasangan atau keluarga, terapi kelompok dan konseling sekolah.

2.1.4.1Terapi Sinema Individual

Wolz (2011) mengatakan bahwa pengalaman menonton film pada klien secara individu dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan terapeutik yaitu:


(25)

12

1. Psikoterapi Mendalam

Wolz (2011) menjelaskan bahwa menonton film menjadi jalan menuju alam bawah sadar klien. Alam bawah sadar mengkomunikasikan isinya lewat simbol-simbol. Komunikasi seperti itu biasanya dapat kita sadari lewat mimpi dan imajinasi aktif yang menjadi celah menuju alam bawah sadar. Keduanya mengubah bentuk visual dari yang tidak disadari menjadi gambar-gambar yang dapat diterima pikiran sadar klien. Oleh karena itu, terapis psikologi mendalam dapat menggunakan respon terhadap film seperti mengunakan mimpi maupun imajinasi aktif. Respon yang ditimbulkan sering menjadi tanda bahwa jalan menuju alam bawah sadar telah diaktifkan.

Pikiran tidak sadar kita sering mengalami konflik dengan gagasan, maksud dan tujuan yang berasal dari pikiran sadar. Keingintahuan terhadap simbolisasi dan pengaruh sebuah film dapat menerobos penghalang diantara kedua tingkat psikologis tersebut dan mengatur aliran komunikasi yang sejati antara keduanya sehingga materi dalam alam bawah sadar menjadi lebih disadari (Wolz, 2011). 2. Terapi Kognitif

Film mendukung pemahaman model kognitif dimana seseorang akan memikirkan dan menginterpretasikan situasi yang menentukan perasaannya. Terapis mengajarkan model kognitif untuk memberikan klien sebuah gambaran dan mengajak mereka mengendalian reaksi emosionalnya. Film sangat berguna untuk membantu proses pengajaran hal-hal tersebut (Wolz, 2011).

Wolz (2011) mengatakan bahwa film yang berisikan karakter dengan penyimpangan kognitif membuat klien dengan hal yang sama merasa tidak


(26)

13

sendirian dan mengurangi perasaan menghakimi diri sendiri. Contohnya pada pasien depresi biasanya memiliki penyimpangan kognitif dan kecenderungan untuk membenci diri sendiri, sehingga dalam menjalani terapi kognitif film dapat membantu untuk menerangkannya.

3. Terapi Modifikasi Perilaku

Wolz (2011) mengatakan bahwa film membantu latihan asertif dengan jalan pemodelan yang jelas. Contoh dari perilaku asertif yang tepat ditunjukkan kepada klien, kemudian mereka diminta untuk meniru perilaku tersebut. Hal ini disebut latihan pengulangan perilaku. Film atau klip-klip film yang ditunjukkan menyajikan contoh yang sangat baik.

Wolz (2011) menerangkan bahwa teknik pemodelan tersembunyi dapat dilakukan dengan cara mewajibkan klien untuk membayangkan berespon asertif. Terapis mengarahkan klien kepada suasana dan pemandangan yang disarankan. Imajinasi ini dapat juga menggunakan gambaran karakter-karakter dalam film yang telah disaksikan klien.

Film sebagai metode paparan membantu mempersiapkan desensitisasi sistematis. Desensitisasi sistematis didasarkan pada pengkondisian yang berlawanan dari keadaan yang ada dan melibatkan upaya untuk mengganti respon rasa takut terhadap rangsangan fobia dengan respon baru yang tidak sesuai dengan rasa takut. Klien mulanya diberi latihan relaksasi. Gambar-gambar di dalam film seperti tempat yang nyaman atau sebuah panduan batin dapat mendukung relaksasi (Wolz, 2011).


(27)

14

Film juga membantu mempersiapkan Flooding and Implosion. Flooding

and Implosion adalah terapi induksi kecemasan untuk memadamkan respon fobia.

Flooding dilakukan dengan membiarkan klien terpajan objek yang ditakuti tanpa

memiliki kesempatan untuk melarikan diri atau menghindar. Terapi implosion mewajibkan klien untuk membayangkan hal yang tidak nyata, berlebihan atau peristiwa berbahaya yang berkaitan dengan reaksi fobia (Wolz, 2011).

Kecemasan merupakan hal yang ditekan selama terapi ini sehingga klien perlu mengakses kekuatan dan keberanian batinnya. Klien perlu mengingat dan mengidentifikasi karakter dalam film yang memodelkan kekuatan dalam menghadapi kesulitan agar dapat membantu dalam usaha ini (Wolz, 2011).

Ketika klien dipaparkan sebuah situasi yang menakutkan, mereka sepenuhnya berinteraksi dengan rangsangan tersebut, seperti menyentuh gagang pintu, lantai dan kursi toilet dimana pada titik ini klien merasa takut mereka timbul. Pencegahan respon berarti bahwa mereka harus memblokir setiap kegiatan yang digunakan untuk mencegah bahaya yang merupakan konsekuensi paparan, misalnya mencuci tangan. Klien harus bersedia mentoleransi ketidaknyamanan yang ditimbulkan sampai mereka terbiasa dengan stimulus. Identifikasi film membantu mengakses kekuatan dan keberanian jiwa seseorang sehingga menolongnya dalam mentoleransi rasa takutnya (Wolz, 2011).

4. Hipnoterapi

Wolz (2011) mengatakan bahwa hipnoterapi dan terapi sinema memiliki persamaan dimana keduanya menjadi pengalaman yang merasuki penontonnya (konsentrasi difokuskan) dan pesan yang disampaikan melalui kiasan dalam film


(28)

15

juga dapat melewati pikiran bawah sadar. Klien merasa memasuki sebuah film dalam sebuah adegan tertentu sebagai karakter tertentu atau dalam sebuah hubungan dengan karakter yang penting menurut mereka. Kemudian klien membiarkan kisah mereka sendiri terungkap dengan bimbingan dari terapis. Biasanya pada saat ini hal-hal yang bahkan tidak disadari klien akan terungkap (Wolz, 2011).

Klien dipandu untuk menjadi sebuah karakter yang perilaku dan keterampilannya telah dimodelkan. Cara ini membantu mereka memperoleh atribut karakter yang diinginkan dalam sebuah film (Wolz, 2011).

Film dalam hipnoterapi juga dapat berguna untuk menciptakan tempat yang aman melalui adegan-adegan film yang menenangkan. Adegan-adegan ini dapat membantu terapis yang biasanya akan membimbing klien untuk membayangkan tempat yang nyaman sesuai pilihan mereka untuk memperdalam klien memasuki terapi. Klien akan masuk dalam tempat nyaman mereka dengan cara masuk dalam adegan film yang didalamnya terdapat tempat yang aman dan menenangkan (Wolz, 2011).

5. Terapi Naratif

Terapi naratif didasarkan pada asumsi bahwa sebagian orang memaknai hari-hari hidup mereka dengan cara menyusun kehidupan mereka dalam bentuk narasi atau cerita yang dibentuk dalam pola dan urutan yang sesuai perasaan oleh diri sendiri. Klien membentuk kembali persepsinya melalui terapi naratif tentang diri, hubungan dan kehidupan dengan merekonstruksi narasi tersebut. Film dalam terapi ini membantu klien mengalami apa yang mereka tolak sebelumnya karena


(29)

16

mereka merasa tidak cocok dengan pandangan dominan mereka sendiri. Pengalaman-pengalaman yang luar biasa ini menghubungkan kembali klien kepada sumber informasi yang mereka lupakan (Wolz, 2011).

2.1.4.2Terapi Pasangan dan Keluarga

Wolz (2011) mengatakan bahwa terapi pasangan dan keluarga berorientasi pada sistem dan pelatihan komunikasi yang dikombinasikan dengan menonton film yang bertujuan menunjukkan dinamika dalam keluarga. Hal ini membantu klien untuk memahami masalah mereka sebagai fungsi dari bagian sistem yang lebih besar, mengidentifikasi dan membandingkan apa yang dirasakan telah memuaskan dan belum memuaskan sesuai dengan sistem mereka, menkomunikasikan konsep yang tidak lazim pada pasangan mereka melalui film yang memperkenalkannya pada mereka dalam gambar-gambar yang mudah dipahami, serta berguna untuk menghubungkan atau memperbaiki hubungan mereka melalui peningkatan komunikasi.

Solusi dicari dengan menonton film yang berisi perjuangan tokoh dalam masalah yang sama ketika salah satu anggota keluarga menolak terapi, sehingga akan membantu klien untuk lebih bersifat terbuka karena tidak lagi terintimidasi oleh proses terapi dan tidak takut untuk disalahkan (Wolz, 2011).

2.1.4.3Terapi Sinema Kelompok

Wolz (2011) menjelaskan bahwa dalam terapi dengan grup pendukung, anggota kelompok sering mengalami penyembuhan dan transformasi karena orang lain juga hadir untuk berbagi dan berempati. Dampak dari film sebagai katalis


(30)

17

untuk proses psikologis sejalan dengan efek terapi dari dinamika kelompok. Refleksi anggota kelompok mengenai respon emosional pada film adalah komponen utama yang memperkaya terapi kelompok. Peserta memperoleh alat yang efektif untuk mengenal diri mereka sendiri dan orang lain melalui pemahaman dan saling berbagi tentang adegan atau karakter yang menyentuh.

Suasana hati yang menyenangkan muncul setelah menonton film yang lucu dan menggembirakan, sedangkan suasana hati yang lebih berat dirasakan setelah menonton film yang membahas hubungan dan kehidupan yang penuh masalah (Wolz, 2011). Hal ini membuktikan bahwa manusia rentan terhadap pengaruh dari luar. Film yang bahkan bukanlah sebuah kenyataan melainkan merupakan cahaya yang diproyeksikan melalui layar juga dapat mempengaruhi manusia. Pengalaman batin seseorang dibentuk oleh proyeksi terhadap lingkungan disekitarnya (Wolz, 2011).

2.1.5 Tahapan Terapi Sinema

Olivia (2010) memberikan kiat agar efek terapi sinema bisa berjalan lebih efektif dengan langkah-langkah yaitu: (1) memilih tema film sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Misalnya jika hanya ingin rileks, dapat menonton film komedi. Jika ingin mendapat inspirasi maka dapat menonton film yang inspiratif; (2) memilih film yang bermutu dimana jalan cerita film tersebut realistis, diambil dengan sudut pengambilan gambar, tata cahaya, serta tata suara yang baik dan mencerminkan pengalaman pribadi; (3) saat menonton film dianjurkan untuk duduk senyaman mungkin dan bernapas dengan teratur. Menonton film dapat dimulai setelah merasa tenang dan fokus; (5) terapi sinema dilakukan dengan


(31)

18

memperhatikan bagaimana jalan cerita film tersebut, karakter tokohnya, percakapan demi percakapannya tanpa berkomentar atau mengkritiknya; (6) film bisa ditonton sendiri atau juga berkelompok yang berisi tiga sampai delapan orang apabila ingin menonton bersama, berdiskusi dan saling berbagi; (7) setelah menonton film maka kondisi dalam film dapat dikaitkan dengan kondisi pribadi. Cara ini memiliki tiga fungsi yaitu kreatif (menempatkan satu keadaan dalam berbagai kondisi), adaptif (sudah menghadapinya, lalu apa tindakan selanjutnya), akomodatif (jika belum terjadi bagaimana cara mencegahnya).

2.1.6 Sinema pada Anak

Bandura & Ros (1963 dalam Papalia,dkk, 2008) mencatat informasi riset pembelajaran sosial yang menyatakan bahwa anak-anak mengimitasi contoh yang difilmkan bahkan lebih dari yang nyata. Pengaruh tersebut bertambah kuat apabila anak yakin bahwa kondisi yang diceritakan dalam film adalah nyata sehingga ia mengidentifikasikan dirinya dengan setiap adegan dan karakter-karakter yang bermain didalamnya. Misalnya ketika anak menonton kekerasan di televisi, mereka mungkin menyerap nilai yang digambarkan dan memandangnya sebagai perilaku yang dapat diterima.

Papalia (2008) mengatakan bahwa pengaruh jangka panjang tindakan kekerasan di televisi lebih besar pada masa usia sekolah dibandingkan dengan usia yang lebih muda; anak usia 8-12 tahun sangat mudah terpengaruh (Eron dan Huesmann, 1986 dalam Papalia, 2008). Eron (1980,1982 dalam Papalia, 2008) mencatat bahwa diantara 427 dewasa awal dengan kebiasaan menonton yang telah dipelajari sejak mereka berusia 8 tahun, predictor agresivitas terbaik pada usia 19


(32)

19

tahun (baik pria maupun wanita) adalah tingkat kekerasan dalam pertunjukan yang mereka tonton saat mereka masih anak kecil.

2.2Anak Usia Sekolah

2.2.1 Definisi Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah adalah anak yang berada pada rentang usia kehidupan mulai dari enam sampai dua belas tahun yang diawali dengan masuknya anak ke lingkungan sekolah dasar sehingga mengalami dampak perkembangan dan hubungan dengan orang lain (Wong, 2009).

2.2.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah

Usia sekolah merupakan saat dimana terjadi pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap dengan peningkatan yang lebih besar pada aspek fisik dan emosional (Wong, 2009).

2.2.2.1 Perkembangan Biologis

Wong (2009) mengatakan bahwa tinggi badan anak usia 6 tahun adalah sekitar 116 cm dan berat badannya sekitar 21 kg sedangkan tinggi badan anak usia 12 tahun adalah sekitar 150 cm dan berat badannya mendekati 40 kg. Pertumbuhan tinggi badan pada anak usia sekolah bertambah sekitar 5 cm per tahun untuk mencapai tinggi badan 30 hingga 60 cm dan berat badannya akan bertambah hampir dua kali lipat, bertambah dua sampai tiga kilogram per tahun (Wong, 2009).


(33)

20

2.2.2.2 Perkembangan Psikososial

Wong (2009) menyebutkan bahwa tahapan keempat dalam perkembangan psikososial menurut Erikson adalah tahap industri dan inferioritas (enam sampai dua belas tahun). Tahap ini adalah tahap dimana anak siap bekerja dan berproduksi. Mereka mau terlibat dalam melaksanakan tugas dan aktivitas hingga selesai dan menginginkan pencapaian yang nyata. Pada masa ini anak akan belajar berkompetisi dan bekerja sama dengan mempelajari aturan-aturan yang akan mendorong mereka untuk memproduksi kompetensi. Saat ini adalah waktu dimana anak memantapkan hubungan sosial mereka. Rasa inferioritas dapat terjadi apabila terlalu banyak yang diharapkan dari mereka atau jika mereka percaya bahwa mereka tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan orang lain pada mereka. Perasaan inferioritas atau kurang berharga dapat diperoleh dari anak sendiri atau dari lingkungan mereka.

Wong (2009) menjelaskan bahwa masa usia sekolah merupakan masa perkembangan psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu periode antara fase Odipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisme pada masa remaja. Periode laten merupakan periode dimana anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis setelah pengabaian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas.

2.2.2.3 Perkembangan Kognitif

Anak usia sekolah mulai memperoleh kemampuan untuk menghubungkan serangkaian kejadian yang dapat menggambarkan mental anak, dimana gambaran tersebut dapat diungkapkan secara verbal atau pun simbolik.


(34)

21

Tahap ini disebut sebagai tahap operasional konkret menurut Pieget, yaitu tahap dimana anak mampu menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan, juga merupakan tahap dimana egosentris telah digantikan dengan proses pikir yang memungkinkan anak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (Wong, 2009).

Keterampilan yang paling penting pada usia sekolah yaitu keterampilan membaca yang merupakan alat paling berharga untuk menyelidiki kemandirian anak. Kemampuan anak untuk mengeksplorasi, berimajinasi dan memperluas pengetahuan ditingkatkan dengan kemampuan membaca (Wong, 2009).

2.2.2.4 Perkembangan Moral

Perkembangan psikomoral anak menurut Kohlberg disimpulkan kembali oleh Wong (2009) dalam tiga tingkat utama, yaitu tingkat prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional, autonomi atau prinsip. Anak usia sekolah berada pada tingkat konvensional, yaitu tahap dimana anak terfokus pada kepatuhan dan loyalitas. Perilaku yang disetujui atau membantu orang dianggap sebagai perilaku yang baik.

Anak usia enam sampai tujuh tahun mengetahui peraturan dan perilaku yang diharapkan dari mereka tetapi tidak memahami alasannya sehingga penguatan dan hukuman menjadi tolak ukur apakah suatu tindakan benar atau salah. Anak usia sekolah yang lebih besar lebih mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat dibandingkan akibat yang dihasilkannya, menggunakan berbagai pandangan yang berbeda untuk membuat penilaian, dan mampu memahami dan


(35)

22

menerima konsep memperlakukan orang lain seperti bagaimana mereka ingin diperlakukan (Wong, 2009).

2.2.2.5 Perkembangan Spiritual

Anak pada usia sekolah berpikir dalam batasan yang sangat konkret tetapi tetap berkemauan besar dalam mempelajari Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan sebagai manusia yang memiliki sifat penyayang dan penolong. Anak juga tertarik terhadap konsep surga dan neraka sebagai bentuk imbalan dari setiap perilaku. Pada usia ini anak mulai belajar membedakan antara natural dan supranatural tetapi mengalami kesulitan dalam memahami simbol-simbol. Kegiatan doa dalam beribadah cenderung menuntut balasan yang nyata (Wong, 2009).

2.2.2.6 Perkembangan Sosial

Salah satu agens sosialisasi terpenting dalam kehidupan anak usia sekolah adalah kelompok teman sebaya, selain keberadaan orang tua dan sekolah. Identifikasi dengan teman sebaya memberi pengaruh kuat bagi anak dalam memperoleh kemandirian dari orang tua. Selama masa awal sekolah hanya terdapat sedikit perbedaan terkait jenis kelamin dalam pengalaman bermain anak. Permainan dan aktivitas dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan bersama-sama (Wong, 2009).


(36)

23

2.3Konsep Praoperatif 2.3.1 Definisi Praoperatif

Praoperatif adalah fase awal dari sebuah pengalaman operasi yang disebut perioperatif, dimana setelah fase ini akan dilanjutkan kepada fase berikutnya yaitu intraoperatif dan pascaoperatif. Fase praoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi operasi dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.2 Indikasi dan Klasifikasi Operasi

Operasi mungkin dilakukan karena berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut yaitu diagnostik, seperti ketika dilakukan biopsi atau laparotomi eksplorasi; kuratif, seperti ketika mengeksisi masa tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi; reparatif, seperti ketika harus memperbaiki luka multipel; rekonstruktif atau kosmetik, seperti ketika melakukan mammoplasti atau perbaikan wajah; dan paliatif, seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah seperti contohnya ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi terhadap ketidakmampuan untuk menelan makanan. Operasi juga dapat diklasifikasikan sesuai tingkat urgensinya yaitu kedaruratan, urgen, diperlukan, elektif (yang direncanakan) dan pilihan (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.3 Persiapan Praoperatif pada Anak

Anak-anak yang akan mengalami prosedur operasi memerlukan persiapan praoperatif meliputi persiapan fisik dan psikologik. Selain itu terdapat poin-poin penting yang ditekankan pada fase praoperatif maupun pascaoperatif yaitu


(37)

24

penerimaan, uji darah, injeksi obat praoperatif (jika diresepkan), periode sebelum dan selama pemindahan ke ruang operasi, dan kembalinya ke unit perawatan pasca-anastesi (PACU) (Wong, 2009).

2.3.3.1. Persiapan Fisik

Persiapan fisik yang paling umum menjelang prosedur operasi ialah menyangkut kebutuhan nutrisi dan cairan. Masukan makanan atau air per oral harus sudah tidak diberikan 8 sampai 10 jam sebelum operasi. Makanan kecil diperbolehkan pada malam sebelumnya jika pembedahan dijadwalkan pagi hari. Pasien dehidrasi cairan per oral dianjurkan minum sebelum operasi dilakukan dan selain itu cairan diresepkan secara intravena, terutama pada pasien yang tidak mampu minum. Sarapan pagi lunak bisa saja diberikan jika pembedahan dijadwalkan pada siang hari dan tidak melibatkan bagian gastrointestinal manapun (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.3.2. Persiapan Psikologik

Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa segala bentuk prosedur operasi selalu didahului dengan suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien yang bisa saja terlihat jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal. Tindakan mempersiapkan anak menghadapi prosedur operasi akan menurunkan kecemasan anak dan meningkatkan kerja sama, mendukung keterampilan koping yang baru dan memfasilitasi perasaan untuk menguasai keadaan-keadaan yang berpotensi menimbulkan stress (Greundemann & Fernsebner, 2006).


(38)

25

Secara umum persiapan psikologik dapat menggunakan berbagai tehnik seperti yang dipakai pada persiapan anak untuk hospitalisasi, yaitu film, buku, permainan dan tur. Intervensi psikologik terdiri atas persiapan yang sistematik, latihan kejadian yang akan datang dan perawatan penunjang selama saat-saat stress (misalnya saat masuk rumah sakit) yang telah terbukti efektif dalam mempersiapkan anak. Peningkatan pengenalan dengan prosedur medis dapat menurunkan kecemasan (Wong, 2009).

Bermain adalah salah satu cara yang dapat digunakan anak untuk memanipulasi atau mengendalikan situasi, dan bermain dapat membantu anak mengatasi stress. Bermain praoperatif telah terbukti dapat mengurangi rasa cemas pada anak-anak (Greundemann & Fernsebner, 2006).

Secara umum anak-anak berespon lebih baik terhadap materi permainan, dan anak-anak yang lebih besar berespon lebih baik terhadap film sebaya yang dilihatnya (Greundemann dan Fernsebner, 2006). Selain itu tempramen anak, strategi koping yang sudah ada dan pengalaman sebelumnya terkait proses persiapan secara individual penting dipertimbangkan (Greundemann & Fernsebner, 2006 ).

Kehadiran orang tua selama induksi menjadi lebih sering dilakukan karena keinginan sebagian besar anak untuk terus bersama orang tua mereka selama prosedur sering menimbulkan stress pada anak. Anak diberikan benda kesukaan milik mereka jika orang tua memilih untuk tidak menghadiri atau tidak diperbolehkan menghadiri induksi, namun penting untuk segera dipertemukan dengan orang tua sesegera mungkin setelah prosedur operasi (Wong, 2009). Lee,


(39)

26

et al. (2013) mengatakan bahwa salah satu intervensi untuk menangani kecemasan

praoperatif ialah dengan mengizinkan orang tua mendampingi anak selama induksi anastesi, namun pengaruh intervensi ini terbatas.

Pasien anak praoperatif penting untuk mendapatkan informasi terkait tindakan operasi yang akan dijalaninya. Usia dan perkembangan anak mempengaruhi jenis informasi yang diberikan dan kapan harus diberikan. Bayi dan anak toddler muda biasanya secara kognitif tidak mampu mengerti informasi prosedural yang terinci atau mengantisipasi kejadian. Anak toddler tua dapat diberikan penjelasan yang sederhana. Anak yang lebih tua memperoleh manfaat dari persiapan yang dilakukan beberapa hari sebelum prosedur karena memiliki waktu untuk berpikir respon apa yang akan diberikan dan perilaku apa yang dapat digunakan untuk mengatasi pengalaman operasi (Melamed et al., 1976 dalam Greundemann & Fernsebner, 2006). Penjelasan dengan waktu yang berdekatan sebelum prosedur aktual akan semakin baik untuk mencegah fantasi dan kekhawatiran pada anak yang lebih kecil. Prosedur yang kompleks lebih membutuhkan banyak waktu untuk asimilasi informasi, terutama pada anak-anak yang lebih besar (Greundemann & Fernsebner, 2006).

Persiapan psikologik farmakologi dengan menggunakan sedatif sebelum anastesi (premedikasi) juga merupakan salah satu intervensi penanganan kecemasan praoperatif namun memiliki efek yang kurang baik (Lee, et al., 2013).


(40)

27

2.3.4 Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah

Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa kecemasan adalah wilayah

emosional negatif yang ditimbulkan oleh stres maupun keadaan sekitar yang mengancam. Videbeck (2008) mengatakan bahwa kecemasan dapat timbul tanpa peristiwa pencetus atau dapat terjadi karena peristiwa akut yang menimbulkan stress atau bahkan stressor kronis seperti masalah kesehatan dan medikasi dimana salah satu prosedur medis yang berpotensi besar untuk menimbulkan kecemasan adalah prosedur operasi. Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa segala bentuk prosedur operasi selalu didahului dengan suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien, dimana reaksi tersebut bisa telihat jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal. Kecemasan praoperatif merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh atau bahkan kehidupannya itu sendiri (Smeltzer & Bare, 2002).

Kejadian yang paling mengkhawatirkan pada pasien praoperatif usia anak umumnya adalah injeksi praoperatif atau anastesi dan juga masker wajah khususnya untuk anak usia sekolah (Wong, 2009). Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa sumber kecemasan praoperatif anak usia 4 sampai 6 tahun ialah rasa takut terhadap operasi itu sendiri, sedangkan pada anak yang lebih tua merasa takut mengenai kesadaran selama operasi dan kemungkinan untuk tidak sembuh dari anastesi.

Gruendemann & Fernsebner (2006) mencatat bahwa 10% - 30% dari anak yang mengalami stress yang sangat besar karena prosedur operasi akan


(41)

28

memperlihatkan masalah emosi atau perilaku yang akut atau bertahan lama seperti mimpi buruk, peningkatan ketergantungan, regresi, hilangnya kemampuan buang air sendiri, gangguan makan dan peningkatan rasa takut. Lee, et al. (2013) menambahkan dampak kecemasan praoperatif yaitu munculnya perilaku negatif seperti kecemasan perpisahan dan tremor berlebihan, juga meningkatkan insiden munculnya delirium, peningkatan konsumsi analgesik karena nyeri pascaoperasi yang semakin buruk dan peningkatan durasi perawatan pascaoperasi di rumah sakit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan praoperatif pada anak ialah karakter anak, kecemasan orang tua, status perkembangan yang belum dewasa dan riwayat perawatan di rumah sakit (Lee, et al., 2013).

Kecemasan praoperatif pada anak diukur dengan observasi karena mempertimbangkan kemampuan anak merespon secara verbal masih terbatas sesuai status perkembangannya. Observasi kecemasan dapat menggunakan

Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (m-YPAS) yang terdiri dari 22 kriteria

pengkajian yang berada pada 5 domain yang menggambarkan kecemasan dalam rentang 0-100 (Kain, et al.,1997; Lee, et al.,2013).


(42)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Penelitian

Kerangka konseptual adalah model pendahuluan yang menggambarkan sebuah masalah penelitian, dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-variabel yang diteliti (Swarjana, 2012). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah dan variabel independen adalah terapi sinema yang dilakukan kepada anak yang akan dioperasi. Penelitian ini terdiri atas satu kelompok yaitu kelompok intervensi. Hasil yang diharapkan adalah berkurangnya kecemasan pada anak usia sekolah yang diberi intervensi terapi sinema saat menjalani fase praoperatif.

Variabel Independen Variabel Dependen

Skema 1.Skema Kerangka Konsep

3.2. HipotesisPenelitian

Hipotesa penelitian adalah hipotesa alternatif, yaitu ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah Terapi Sinema


(43)

30

3.3. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Terapi

Sinema

Terapi Sinema adalah suatu kegiatan terapi yang sengaja direncanakan dan dilakukan pada anak usia 6-12 tahun yang akan menjalani prosedur operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan untuk memberikan peningkatan kesehatan emosional dengan menggunakan film kartun Upin Ipin berjudul “Gigi Susu” yang dilakukan selama 18 menit dan diakhiri dengan diskusi singkat antara responden penelitian dan peneliti mengenai film selama 2 menit sehingga terapi sinema secara keseluruhan dilakukan selama 20 menit untuk setiap responden yang berada di ruang rawat dan akan segera dibawa ke ruang operasi.


(44)

31

Kecemasan Praoperatif

Kecemasan praoperatif merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh atau bahkan kehidupannya itu sendiri yang dirasakan anak usia 6-12 tahun yang akan menjalani prosedur operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan. Lembar Observasi Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (mYPAS) yang terdiri

dari 5

domain dan 22 kategori

Observasi (dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan terapi sinema) Total skor kecemasan yang diperoleh dari hasil penjumlahan skor dari 5 domain yaitu: A.Aktivitas= 4 kategori (nilai 1-4) B.Vokalisasi=6 kategori (nilai 1-6) C. Ekspresi

Emosional = 4 kategori (nilai 1-4) D. Keadaan yang timbul dengan jelas = 4 kategori (nilai 1-4)

E.Penggunaan Orang Tua= 4 kategori (nilai 1-4);

Skor total kecemasan >30=cemas

<30=tidak cemas.


(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi-eksperimen dengan pendekatan pre post test design yaitu menggunakan satu kelompok subjek penelitian dengan observasi sebelum dan sesudah perlakuan. Subjek perlakuan diberikan terapi sinema selama 20 menit untuk mengidentifikasi pengaruh terapi sinema dalam mengurangi kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah.

Desain ini digambarkan:

Pre Test Perlakuan Post Test

01 X 02

Tabel 4.1 Desain Penelitian

Keterangan:

01: Pengukuran kecemasan praoperatif sebelum dilakukan terapi sinema pada responden penelitian

X : Perlakuan intervensi terapi sinema pada responden penelitian

02: Pengukuran kecemasan praoperatif setelah dilakukan terapi sinema pada responden penelitian


(46)

33

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 6-12 tahun yang akan menjalani operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan sebanyak 146 orang anak pada bulan Januari-September 2014 (diperoleh dari jadwal operasi Instalasi Bedah Pusat RSUP. H. Adam Malik Medan).

4.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari elemen populasi yang dihasilkan dari strategi sampling dan dapat mewakili populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling dengan besar sampel ditentukan menggunakan rumus :

n = N

N.d2+1

= 146 146( 0,1)2+1

= 146 2,46 = 59 orang

Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 59 orang anak, namun dikarenakan keterbatasan waktu penelitian dan sulitnya menemukan responden yang sesuai kriteria maka sampel yang didapatkan dari penelitian 8 April - 8 Juni 2015 berjumlah 8 orang anak, dengan kriteria inklusi yaitu pasien berusia 6-12 tahun (anak usia sekolah); pasien yang akan menjalani operasi elektif; menjalani rawat inap terlebih dahulu; sadar dan mampu berkonsentrasi menonton film; tidak menderita gangguan


(47)

34

pendengaran, penglihatan dan pengucapan; dapat berbahasa Indonesia dengan baik; pasien dan orang tua / wali setuju anak menjadi responden; bersedia tanpa didampingi orang tua selama penelitian; tidak dalam pengaruh sedatif

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini ialah pasien anak yang mengalami gangguan psikotik, gangguan tumbuh kembang dan tidak kooperatif.

4.3. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan karena mempertimbangkan sulitnya menemukan responden penelitian di beberapa rumah sakit lainnya di kota Medan, dan karena RSUP. H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan, sekalipun responden penelitian juga sulit ditemukan di RSUP. H. Adam Malik Medan selama penelitian.

Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 - Juli 2015, terhitung sejak pengajuan judul penelitian sampai pengumpulan skripsi. Pengumpulan data penelitian dilakukan sejak 8 April - 8 Juni 2015.

4.4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari insitusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan USU dan izin Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian ini memberikan aspek pertimbangan etik yang meliputi


(48)

35

discomfort. Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga dengan cara

tidak menuliskan nama responden di Instrumen, tetapi menggunakan inisial. Data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan tidak adanya deskriminasi dari penelitian.

Penelitian juga menyangkut beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan etik, yaitu memberikan penjelasan kepada responden tentang tujuan penelitian, manfaat, dan prosedur pelaksanaan penelitian. Peneliti kemudian meminta persetujuan menjadi responden penelitian kepada pasien praoperatif anak usia sekolah dalam bentuk penjelasan dan kepada orang tua / walinya dalam bentuk informed consent. Pasien anak atas izin orangtua atau wali sebagai penanggung jawab anak secara hukum, memiliki kebebasan dengan sukarela untuk menjadi responden penelitian ini dengan menandatangani lembar persetujuan yang diwakilkan oleh orang tua atau wali, dan dapat pula menolak atau mengundurkan diri dalam berpartisipasi pada penelitian ini.

4.5. Instrumen Penelitian

4.5.1 Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi

Instrumen penelitian terdiri dari dua bagian yaitu kuesioner data demografi dan lembar observasi kecemasan anak. Kuesioner data demografi berisi informasi mengenai jenis kelamin, umur, suku dan agama.

Lembar observasi kecemasan anak yang dipakai dalam penelitian ini adalah

Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (mYPAS) yang diisi oleh peneliti


(49)

36

Instrumen ini dipakai dengan terlebih dahulu telah meminta izin kepada pembuat instrumen mYPAS. Instrumen ini telah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh LIA.

Cara penilaian dalam mYPAS adalah dengan memilih 22 kategori untuk menilai 5 domain mulai dari skor 1-4 atau 1-6 yang semakin besar nilainya maka menunjukkan kecemasan yang semakin meningkat pada masing-masing domain, lalu dimasukkan ke dalam rumus (A/4 + B/6 + C/4 + D/4 + E/4) × 100/5 untuk mendapatkan skor total kecemasan yang berada pada skor maksimal 100. Skor total mYPAS < 30 dikatakan tidak cemas pada anak yang akan dioperasi dan >30 dikatakan ada cemas (Lee, 2013). Semakin besar skor total yang didapatkan maka semakin meningkat kecemasan pada anak.

4.5.2 Terapi Sinema

Terapi sinema dalam penelitian eksperimen ini menggunakan film kartun Upin dan Ipin berjudul “Gigi Susu” berdurasi total 20 menit yang ditayangkan menggunakan tablet Asus Fonepad 8. Alat ini tidak sesuai dengan yang tercantum dalam prosedur pelaksanaan penelitian terapi sinema yaitu menggunakan notebook. Tablet Asus Fonepad 8 dipilih karena mempertimbangkan pemakaiannya yang lebih praktis.

Film Upin Ipin merupakan kartun asal Malaysia karya Burhanuddin Radzi dan Ainon. Karena berbagai keterbatasan, peneliti belum meminta izin dalam pemakaian film ini kepada pihak perusahaan produksi film dan animasi LES


(50)

37

Film tersebut memberikan nilai positif karena lucu dan menghibur serta mengajarkan bagaimana menjaga kesehatan gigi dan mulut sekaligus memberikan pesan bahwa tindakan medis yang terkesan menakutkan pada anak (dalam film ini adalah pencabutan gigi) bertujuan memulihkan kesehatannya kembali.

4.6. Validitas dan Realibilitas 4.6.1. Uji Validitas

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur data dari variabel yang diteliti secara tepat. Uji validitas instrument Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (mYPAS) dilakukan dengan content validity oleh ahli perawatan anak sekaligus wakil kepala instalasi Rindu B RSUP. H. Adam Malik Medan yaitu Ibu Saodah Hanim, S.Kep, Ns dan Ibu Efri Suriati Pakpahan, S. Kep, Ns sebagai Kepala ruang Kenanga III RSUD Dr. Pirngadi Medan, dengan nilai CVI yang didapatkan yaitu 0,8.

4.6.2. Uji Reliabilitas

Instrumen Modified Yale Preoperative Anxiety Scale dalam penelitian ini diuji reliabilitasnya dengan menggunakan inter-rater reliability yaitu dilakukan oleh 4 orang raters untuk mengobservasi dan menilai perilaku 3 orang anak yang sudah memiliki rencana operasi dan saat itu sedang dirawat inap di ruang RB2A RSUP H. Adam Malik Medan. Raters dalam reliabilitas ini adalah peneliti dan perawat-perawat di ruang RB2A yaitu Ibu Maharani,


(51)

38

ibu Roselin, ibu Tety dan ibu Oktisa. Uji reliabilitas dilakukan sejak 18 Maret – 8 April 2015.

Hasil observasi kemudian dihitung dengan menggunakan Fleiss

Kappa. Fleiss Kappa merupakan pengukuran statistik untuk mengkaji

reliabilitas dari kesepakatan antar sejumlah raters yang melakukan penilaian secara kategorik terhadap sejumlah subjek atau penggolongan subjek, dimana subjek yang berbeda dapat dinilai oleh individu / raters yang berbeda (World Public Library Association, 2015).

Nilai reliabilitas kappa dikatakan sangat jelek apabila bernilai < 0; jelek 0 - 0,20; kurang 0,21 - 0,40; sedang 0,41 - 0,60; baik 0,61 - 0,80 dan sangat baik 0,81 – 1 (Landis & Koch dalam Hussein & Zolait, 2013). Nilai reliabilitas kappa masing-masing domain pada instrument Modified Yale

Preoperative Anxiety Scale didapatkan sebagai berikut:

Tabel 4.2 Nilai Reliabilitas Kappa

Domain Nilai kappa Nilai reliabilitas

A.Kegiatan 0,65 Baik

B.Pernyataan 0,65 Baik

C.Luapan Emosi 0,74 Baik

D.Keadaan Ingin Tahu 0,65 Baik

E. Peranan orang tua 0,55 Sedang

4.7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai setelah peneliti menerima surat izin penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan telah mendapat izin dari Litbang RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala instalasi Rindu B dan Kepala ruang RB2A dan RB2B.


(52)

39

Setelah mendapat izin penelitian, peneliti melakukan uji reliabilitas terlebih dahulu dengan meminta bantuan 4 orang perawat yang bertugas di ruang RB2A untuk mengobservasi kecemasan praoperatif pada 3 orang anak usia sekolah yang dirawat di ruangan tersebut menggunakan instrumen penelitian yaitu mYPAS. Selanjutnya baru peneliti melakukan penelitian dengan cara memantau jadwal operasi anak setiap harinya ataupun apabila jadwal tidak peneliti temui maka peneliti berkunjung langsung ke tiap kamar di ruang RB2A dan RB2B untuk melihat ada tidaknya pasien anak di kamar-kamar tersebut. Apabila peneliti menemukan pasien anak, peneliti menyapa pasien dan keluarga, bertanya tentang usia anak dan ada tidaknya rencana operasi pasien anak tersebut demi mendapatkan responden yang sesuai kriteria.

Setelah peneliti menemukan calon responden di RSUP H. Adam Malik Medan, peneliti menjumpai calon responden sehari sebelum operasi dilaksanakan untuk semakin mengenal sekaligus membina trust setelah sebelumnya telah berkomunikasi dengan anak dan keluarga saat masih mencari calon responden. Peneliti juga menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian pada kesempatan itu, kemudian meminta kesediaan untuk menjadi responden penelitian pada anak dan orang tua / wali dalam bentuk tanda tangan pada lembar persetujuan (informed consent). Pada hari berikutnya, yaitu hari dimana operasi dilaksanakan, peneliti menjumpai kembali responden untuk melakukan pengukuran kecemasan terlebih dahulu (pre-test) pada pasien di ruang rawat sebelum dilakukan terapi sinema, lalu membimbing pasien untuk melakukan terapi tersebut dengan cara mempersiapkan posisi nyaman dan siap berfokus pada


(53)

40

film. Peneliti memfasilitasi responden penelitian untuk menonton film kartun berdurasi 18 menit menggunakan tablet Asus Fonepad 8 dan menemani responden untuk menonton sambil mengamati reaksi klien . Peneliti juga berdiskusi singkat selama dua menit untuk menegaskan kembali pesan positif film dan mengaitkan dengan kondisinya. Peneliti kemudian mengakhiri dengan pengukuran kecemasan kembali (post-test) di ruang rawat sebelum responden dibawa ke ruang operasi.

Responden yang peneliti dapatkan selama kurang lebih 2 bulan sejak 8 April 2015 berjumlah 8 orang yaitu anak usia sekolah yang akan dioperasi dan telah dirawat inap di ruang RB2A atau RB2B. Penelitian ini dilakukan pada responden di ruang rawat inap yang dalam waktu kira-kira satu jam kemudian akan didorong ke ruang operasi. Keadaan responden pada saat dilakukan penelitian ini yaitu sedang menjalani puasa, diberikan tambahan cairan IV dan area yang akan dioperasi pada umumnya sudah digambar oleh dokter menggunakan spidol.

4.8. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan peneliti melalui beberapa tahap yaitu: (1) tahap

editing yang dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data

responden dan memastikan bahwa penilaian observasi atau jawaban terisi, (2) Tahap coding yaitu tahap dimana data diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan menggunakan komputer, (3) tahap scoring dan entri data, yaitu peneliti memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu diberi penilaian, dalam penelitian ini yaitu menjumlahkan skor dari masing-masing domain pada instrumen Modified Yale Preoperative Anxiety Scale dan memasukkan data yang telah diberi kode ke dalam tabel, (4) processing, peneliti


(54)

41

memasukan data ke dalam komputer untuk dilakukan uji statistik, (5) cleaning, hasil data diperiksa ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan, (6) saving, data disimpan sebagai hasil penelitian.

Analisis data dibedakan menjadi dua yaitu:

4.8.1. Analisis Univariat

Analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif untuk menyajikan karakteristik responden dari data demografi yaitu umur, jenis kelamin, suku, agama serta kecemasan anak sebelum dan sesudah dilakukan terapi sinema.

4.8.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat pengaruh dari variabel independen (terapi sinema) terhadap variabel dependen (kecemasan praoperatif) yang dalam penelitian ini distribusi datanya tidak normal. Perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah perlakuan dengan distribusi data yang tidak normal tidak menggunakan uji t dependen melainkan menggunakan uji nonparametrik yaitu uji Wilcoxon (Riyanto, 2013). Besar taraf kesalahan yaitu 5% (0,05) dengan ketentuan pengambilan keputusan yaitu apabila nilai sig > 0,05 maka Ho diterima dan bila sig < 0,05 maka Ho ditolak.


(55)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan. RSUP. H. Adam Malik Medan adalah rumah sakit besar yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17 Medan dan merupakan rumah sakit negeri kelas A yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan sub spesialis yang luas. Rumah sakit ini ditetapkan pemerintah sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di wilayah Sumatera Utara.

Pengumpulan data di RSUP. H. Adam Malik dilakukan dari tanggal 8 April 2015 sampai dengan 8 Juni 2015 dengan jumlah responden sebanyak 8 orang. Responden merupakan kelompok yang dilakukan intervensi terapi sinema.

5.1.1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian diperoleh data bahwa mayoritas responden berumur 6 tahun sebanyak 4 orang (50%), berjenis kelamin perempuan sebanyak 5 orang (62,5%), bersuku batak yaitu 8 orang (62,5%) dan beragama Islam sebanyak 5 orang (62,5%). Penjelasan yang lebih spesifik mengenai karakteristik responden tergambar pada tabel 5.1 berikut.


(56)

43

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Penelitian di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Karakteristik f (%)

Umur 6 tahun 10 tahun 12 tahun 4 2 2 50 25 25 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 3 5 37,5 62,5 Suku Aceh Batak Jawa 1 5 2 12,5 62,5 25 Agama Islam Kristen 5 3 62,5 37,5

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa observasi kecemasan praoperatif sebelum dilakukan terapi sinema paling banyak bernilai 2 pada domain kegiatan yaitu sebanyak 4 orang (50%), bernilai 2 pada domain pernyataan yaitu sebanyak 5 orang (62,5%), bernilai 3 pada domain luapan emosi yaitu sebanyak 4 orang (50%), bernilai 2 pada domain keadaan ingin tahu yaitu sebanyak 5 orang (62,5%), dan bernilai 2 pada domain peranan orang tua yaitu sebanyak 5 orang (62,5%). Informasi yang lebih lengkap terlihat pada tabel 5.2 berikut.


(57)

44

Tabel 5.2 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Praoperatif Anak Sebelum dilakukan Terapi Sinema di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Pernyataan Sebelum

ya % tidak % A. Kegiatan

1. Memperhatikan sekeliling, ingin tahu, bermain, membaca (atau kebiasaan lainnya)

2. Tidak mau melakukan kegiatan, menunduk, gelisah dengan memainkan tangan, duduk dekat dengan orang tua

3. Bergerak tanpa aktivitas yang jelas, menggeliat,

memegang orangtuanya

4. Menghindari tenaga kesehatan, menolak

perlakuan dengan kaki dan tangan atau dengan seluruh tubuh, tidak mau bermain dan tidak mau terpisah dari orang tua

B. Pernyataan

1. Membaca (tanpa suara), bertanya, berkomentar,

menjawab pertanyaan, terlalu asyik bermain untuk merespon

2. Menanggapi orang yang lebih dewasa dengan

berbisik, hanya menganggukkan kepala

3. Diam, tidak ada respon terhadap orang yang lebih dewasa

4. Merengek, mengerang, merintih

5. Menangis atau bahkan berteriak “tidak mau dioperasi”

6. Menangis, berteriak keras terus menerus

C. Luapan Emosi

1. Terlihat senang, tersenyum, atau asyik dengan

kegiatannya

2. Netral, tidak terlihat emosi yang berarti pada

wajah

3. Sedih, wajah ketakutan, terlihat tegang

4. Menangis, menjadi sangat marah

D. Keadaaan Ingin Tahu

1. Berjaga-jaga, melihat sekeliling, melihat apa yang dilakukan tenaga kesehatan

2. Anak berdiam diri dengan duduk tenang dan diam, menatap orang yang lebih dewasa

3. Waspada melihat sekitarnya, terkejut akan suara-suara tertentu, mata waspada, badan menegang

2 4 0 2 0 5 2 1 0 0 1 2 4 1 2 5 1 25 50 0 25 0 62,5 25 12,5 0 0 12,5 25 50 12,5 25 62,5 12,5 6 4 8 6 8 3 6 7 8 8 7 6 4 7 6 3 7 75 50 100 75 100 37,5 75 87,5 100 100 87,5 75 50 87,5 75 37,5 87,5


(58)

45

4. Panik dan merengek, menangis, mendorong orang di sekitarnya

E. Peranan Orang tua

1. Sibuk bermain atau sibuk dengan kebiasaannya, duduk tenang, tidak membutuhkan orang tua, mau berinteraksi dengan orang tua apabila orang tuanya yang memulai

2. Menggapai orang tua, mencari perlindungan dan kenyamanan, bersandar pada orang tua

3. Menatap orang tua, tidak ingin berhubungan dengan orang lain, melakukan apa yang disuruh bila orang tua berada di dekatnya

4. Tidak bisa jauh dari orang tua dan akan marah/menangis apabila berpisah dengan orang tuanya, memegang erat orang tua dan tidak melepaskannya, atau mendorong menjauhi orangtuanya 0 3 5 0 0 0 37,5 62,5 0 0 8 5 3 8 8 100 62,5 37,5 100 100

Observasi kecemasan praoperatif berikutnya dilakukan setelah perlakuan terapi sinema, dimana hasil yang didapatkan paling banyak bernilai 1 pada domain kegiatan yaitu sebanyak 6 orang (75%), bernilai 1 pada domain pernyataan yaitu sebanyak 5 orang (62,5%), bernilai 1 dan 2 pada domain luapan emosi dengan hasil yang sama sebanyak 4 orang (50%), bernilai 1 pada domain keadaan ingin tahu yaitu sebanyak 5 orang (62,5%), dan bernilai 1 pada domain peranan orang tua yaitu sebanyak 7 orang (87,5%). Informasi yang lebih jelas terlihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Hasil Observasi Kecemasan Praoperatif Anak Sesudah dilakukan Terapi Sinema di ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Pernyataan Sesudah

ya % tidak % A. Kegiatan

1. Memperhatikan sekeliling, ingin tahu, bermain, membaca (atau kebiasaan lainnya)

2. Tidak mau melakukan kegiatan, menunduk,

6 2 75 25 2 6 25 75


(59)

46

dengan orang tua

3. Bergerak tanpa aktivitas yang jelas, menggeliat,

memegang orangtuanya

4. Menghindari tenaga kesehatan, menolak

perlakuan dengan kaki dan tangan atau dengan seluruh tubuh, tidak mau bermain dan tidak mau terpisah dari orang tua

B. Pernyataan

1. Membaca (tanpa suara), bertanya, berkomentar,

menjawab pertanyaan, terlalu asyik bermain untuk merespon

2. Menanggapi orang yang lebih dewasa dengan

berbisik, hanya menganggukkan kepala

3. Diam, tidak ada respon terhadap orang yang lebih dewasa

4. Merengek, mengerang, merintih

5. Menangis atau bahkan berteriak “tidak mau

dioperasi”

6. Menangis, berteriak keras terus menerus

C. Luapan Emosi

1. Terlihat senang, tersenyum, atau asyik dengan

kegiatannya

2. Netral, tidak terlihat emosi yang berarti pada

wajah

3. Sedih, wajah ketakutan, terlihat tegang

4. Menangis, menjadi sangat marah

D. Keadaaan Ingin Tahu

1. Berjaga-jaga, melihat sekeliling, melihat apa yang dilakukan tenaga kesehatan

2. Anak berdiam diri dengan duduk tenang dan diam, menatap orang yang lebih dewasa

3. Waspada melihat sekitarnya, terkejut akan suara-suara tertentu, mata waspada, badan menegang 4. Panik dan merengek, menangis, mendorong orang

di sekitarnya

E. Peranan Orang tua

1. Sibuk bermain atau sibuk dengan kebiasaannya, duduk tenang, tidak membutuhkan orang tua, mau berinteraksi dengan orang tua apabila orang tuanya yang memulai

2. Menggapai orang tua, mencari perlindungan dan kenyamanan, bersandar pada orang tua

0 0 5 3 0 0 0 0 4 4 0 0 5 3 0 0 7 1 0 0 62,5 37,5 0 0 0 0 50 50 0 0 62,5 37,5 0 0 87,5 12,5 8 8 3 5 8 8 8 8 4 4 8 8 3 5 8 8 1 7 100 100 37,5 62,5 100 100 100 100 50 50 100 100 37,5 62,5 100 100 12,5 87,5


(60)

47

3. Menatap orang tua, tidak ingin berhubungan dengan orang lain, melakukan apa yang disuruh bila orang tua berada di dekatnya

4. Tidak bisa jauh dari orang tua dan akan marah/menangis apabila berpisah dengan orang tuanya, memegang erat orang tua dan tidak melepaskannya, atau mendorong menjauhi orangtuanya 0 0 0 0 8 8 100 100

5.1.2. Distribusi Kecemasan Responden Berdasarkan Kategori Kecemasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 8 orang responden (100%) yang cemas sebelum dilakukan terapi sinema dan tidak ada responden yang tidak mengalami kecemasan. Hal ini digambarkan pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Kecemasan Sebelum Dilakukan Terapi Sinema di Ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Variabel f %

Kecemasan Praoperatif Cemas Tidak Cemas 8 0 100 0

Hasil observasi kecemasan praoperatif anak setelah dilakukan terapi sinema menunjukkan bahwa terdapat 5 orang responden yang cemas (62,5%) dan 3 orang (37,5%) yang tidak cemas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi Kecemasan Berdasarkan Kategori Kecemasan Sesudah Dilakukan Terapi Sinema di Ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Variabel f %

Kecemasan Praoperatif Cemas Tidak Cemas 5 3 62,5 37,5


(61)

48

5.1.3. Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah

Tabel 5.6 menjelaskan a sebagai nilai kecemasan sesudah terapi sinema < kecemasan sebelum terapi sinema dilakukan, b sebagai nilai kecemasan sesudah terapi sinema > kecemasan sebelum dilakukan terapi sinema, dan nilai c sebagai nilai kecemasan sesudah terapi sinema = kecemasan sebelum terapi sinema.

Hasil penelitian diperoleh data skor kecemasan semua responden (8 orang) menurun sesudah diberi terapi sinema dibandingkan sebelum diberi terapi sinema. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,012, maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi sinema terhadap kecemasan praoperatif pada anak usia sekolah. Hasil uji statistik tersebut dapat ditemukan pada tabel 5.6 berikut.

Tabel 5.6 Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif Anak di Ruang RB2A dan RB2B RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2015 (n=8)

Variabel Negative Ranks (a)

Positive Ranks (b)

Ties (c)

Z p

Kecemasan Praoperatif

8 0 0 2,524 0,012

5.2. Pembahasan

5.2.1. Karakteristik Demografi Responden

Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas anak berusia 6 tahun dengan jumlah mencapai 4 orang (50%). Ahmed (2011) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko kecemasan praoperatif pada anak dan manajemen non-farmakologi menunjukkan hasil bahwa anak-anak dengan


(1)

81

Uji Normalitas Data

Explore

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

sebelum 8 100.0% 0 .0% 8 100.0%

sesudah 8 100.0% 0 .0% 8 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

sebelum Mean 50.2038 3.95225

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 40.8582

Upper Bound 59.5493

5% Trimmed Mean 49.6714

Median 48.3300

Variance 124.962

Std. Deviation 1.11786E1

Minimum 36.66

Maximum 73.33

Range 36.67

Interquartile Range 12.92

Skewness 1.275 .752

Kurtosis 2.294 1.481

sesudah Mean 30.8288 2.43932

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 25.0607

Upper Bound 36.5968

5% Trimmed Mean 30.6436

Median 32.4950

Variance 47.602

Std. Deviation 6.89945

Minimum 23.33

Maximum 41.66

Range 18.33

Interquartile Range 12.50

Skewness .137 .752

Kurtosis -1.195 1.481


(2)

82

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

sebelum .198 8 .200* .915 8 .389

sesudah .236 8 .200* .883 8 .201

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Hasil Analisa Data Kategori Kecemasan Anak Sebelum dan Sesudah

Terapi Sinema

Frequencies

Statistics

sebelum Sesudah

N Valid 8 8

Missing 0 0

Frequencies

sebelum

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid cemas 8 100.0 100.0 100.0

sesudah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid cemas 5 62.5 62.5 62.5

tidak cemas 3 37.5 37.5 100.0


(3)

83

HASIL ANALISA DATA OBSERVASI SEBELUM TERAPI SINEMA

Frequencies

Statistics

Kegiatan Pernyataan Luapan Emosi

Keadaan Ingin Tahu

Peranan Orang Tua

N Valid 8 8 8 8 8

Missing 0 0 0 0 0

Mean 2.25 2.50 2.62 1.88 1.62

Median 2.00 2.00 3.00 2.00 2.00

Std. Deviation 1.165 .756 .916 .641 .518

Minimum 1 2 1 1 1

Maximum 4 4 4 3 2

Frequencies

Kegiatan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 2 25.0 25.0 25.0

2 4 50.0 50.0 75.0

4 2 25.0 25.0 100.0

Total 8 100.0 100.0

Pernyataan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 5 62.5 62.5 62.5

3 2 25.0 25.0 87.5

4 1 12.5 12.5 100.0

Total 8 100.0 100.0

Luapan Emosi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 1 12.5 12.5 12.5

2 2 25.0 25.0 37.5

3 4 50.0 50.0 87.5

4 1 12.5 12.5 100.0

Total 8 100.0 100.0

Keadaan Ingin Tahu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

84

Valid 1 2 25.0 25.0 25.0

2 5 62.5 62.5 87.5

3 1 12.5 12.5 100.0

Total 8 100.0 100.0

Peranan Orang Tua

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 3 37.5 37.5 37.5

2 5 62.5 62.5 100.0


(5)

85

HASIL ANALISA DATA OBSERVASI SESUDAH TERAPI SINEMA

Frequencies

Statistics

Kegiatan Pernyataan Luapan Emosi

Keadaan Ingin Tahu

Peranan Orang Tua

N Valid 8 8 8 8 8

Missing 0 0 0 0 0

Mean 1.25 1.38 1.50 1.38 1.12

Median 1.00 1.00 1.50 1.00 1.00

Std. Deviation .463 .518 .535 .518 .354

Minimum 1 1 1 1 1

Maximum 2 2 2 2 2

Frequencies

Kegiatan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 6 75.0 75.0 75.0

2 2 25.0 25.0 100.0

Total 8 100.0 100.0

Pernyataan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 5 62.5 62.5 62.5

2 3 37.5 37.5 100.0

Total 8 100.0 100.0

Luapan Emosi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(6)

86

Valid 1 4 50.0 50.0 50.0

2 4 50.0 50.0 100.0

Total 8 100.0 100.0

Keadaan Ingin Tahu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 5 62.5 62.5 62.5

2 3 37.5 37.5 100.0

Total 8 100.0 100.0

Peranan Orang Tua

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 7 87.5 87.5 87.5

2 1 12.5 12.5 100.0

Total 8 100.0 100.0