Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

f. Persentase penyusutan perlengkapan produksi sesuai Lampiran 8a. g. Biaya tenaga kerja sebesar Rp 300.000,00siklus h. Biaya listrik Rp. 826,45KWH. i. Harga benih ikan lele ukuran 0,77±0,03 cm sebesar Rp.7ekor. j. Harga jual benih ikan lele ukuran 2-3 cm sebesar Rp.50ekor. k. Setiap 1000 ekor maka dikeluarkan biaya panen sebesar Rp.2000 l. Setiap 1000 ekor dikemas dalam satu kantong plastik, setiap kantong plastik memerlukan biaya kantong plastik dan karet sebesar Rp.500 dan gas sebesar Rp.500. m. Persentase ukuran 2-3 cm pada semua perlakuan adalah 100 dari nilai SR. n. Harga pakan alami cacing sutra sebesar Rp.8.000takar ±1000 gram. Tabel 2. Analisis usaha pada tiap perlakuan Parameter Perlakuan 35 ekorliter 40 ekorliter 45 ekorliter 50 ekorliter Investasi Rp 7.527.000 Rp 7.527.000 Rp 7.527.000 Rp 7.527.000 Biaya tetap Rp 10.331.636 Rp 10.331.636 Rp 10.331.636 Rp 10.331.636 Biaya tidak tetap Rp 3.592.736 Rp 4.151.504 Rp 4.700.192 Rp 5.022.920 Total biaya Rp 13.924.372 Rp 14.483.140 Rp 15.031.828 Rp 15.354.556 Penerimaan Rp 12.720.800 Rp 15.731.200 Rp 17.977.600 Rp 15.920.000 Keuntungan Rp 1.203.572 Rp 1.248.060 Rp 2.945.772 Rp 565.444 RC 0,91 1,09 1,20 1,04 BEPp Rp 13.924.372 Rp 14.483.140 Rp 15.031.828 Rp 15.354.556 BEPu Ekor 207705 207824 207933 207994 Payback Periode Bulan 72 31 160 HPP Rp 59,86 Rp 52,61 Rp 47,78 Rp 55,11

3.2 Pembahasan

Peningkatan kepadatan yang dilakukan dalam penelitian ini berkaitan dengan peningkatan kebutuhan pakan. Peningkatan kebutuhan pakan tersebut terlihat dari parameter FCR yang meningkat sejalan dengan peningkatan kepadatan ikan Gambar 7. Dengan demikian, sejalan dengan peningkatan kepadatan juga akan menghasilkan metabolit yang tinggi di media pemeliharaan ikan lele, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Peningkatan metabolit tersebut berdampak pada menurunnya kualitas air dalam media pemeliharaan dan penurunan pertumbuhan sesuai dengan pernyataan Suresh dan Lin 1992 bahwa kualitas air akan menurun seiring peningkatan padat tebar yang diikuti dengan penurunan tingkat pertumbuhan. Namun dalam penelitian ini berdasarkan Gambar 2, 3 dan 4 di atas menunjukkan bahwa hasil analisis ragam menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata p0,05 perlakuan padat penebaran terhadap laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan bobot harian dan pertumbuhan panjang mutlak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan masih dapat terjadi dikarenakan lingkungan ikan masih berada dalam kisaran yang baik untuk tumbuh Tabel 1. Lingkungan masih berada dalam kisaran baik dikarenakan adanya pergantian air 100. Pergantian air tersebut berpengaruh terhadap kualitas air media pemeliharaan, terutama oksigen dan akumulasi racun sisa metabolisme. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Goddard 1996 bahwa oksigen yang semakin berkurang dapat ditingkatkan dengan pergantian air dan pemberian aerasi. Berdasarkan keterkaitan tersebut diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot dan panjang adalah kepadatan ikan, pakan dan kondisi lingkungan. Selama masa pemeliharaan ikan diberikan pakan secara at satiation sehingga kebutuhan pakan untuk setiap ikan dapat terpenuhi. Demikian pula dengan kondisi lingkungan pada masa pemeliharaan masih berada dalam kisaran yang baik untuk mendukung pertumbuhan benih lele Tabel 1. Menurut Hepher 1978, pada keadaan lingkungan yang baik dan pakan yang mencukupi, peningkatan kepadatan ikan akan menghasilkan pertumbuhan yang stabil. Perlakuan padat penebaran ini berpengaruh nyata p0,05 terhadap laju pertumbuhan biomassa yield benih lele. Nilai yield berbeda nyata antara perlakuan padat penebaran 45 ekorliter dengan 50 ekorliter. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kepadatan 45 ekorliter telah mencapai titik maksimal hasil yang ditandai dengan penurunan hasil pada kepadatan 50 ekorliter. Penurunan ini sesuai dengan data pertumbuhan bobot harian yang menurun pada padat penebaran 50 ekorliter meski berdasarkan analisis ragam tidak berbeda nyata p0,05. Menurut Hepher dan Pruginin 1981, parameter pemeliharaan ikan pada kepadatan tinggi adalah hasil yield yang maksimal. Pada pemeliharaan ikan secara intensif peningkatan padat penebaran biasa dilakukan untuk mengetahui hasil maksimal yang dapat dicapai. Jika hasil yang didapat belum mencapai hasil maksimal atau belum terlihat menurun, maka peningkatan kepadatan masih dimungkinkan walaupun pertumbuhan ikan cenderung lambat. Pada penelitian ini telah terlihat titik maksimal terdapat pada padat penebaran 45 ekorliter. Nilai kelangsungan hidup yang didapat dalam penelitian ini cenderung menurun sejalan dengan peningkatan padat penebaran benih. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kelangsungan hidup pada kepadatan ikan yang meningkat adalah kualitas air yang telah menurun Suresh dan Lin, 1992. Namun selama masa pemeliharaan kualitas air masih dalam kisaran yang memungkinkan ikan lele hidup dengan baik. Oleh karena itu, penurunan nilai kelangsungan hidup diduga terjadi dikarenakan faktor lain, diantaranya perkembangan benih ikan lele antara satu yang lainnya berbeda akibat selama masa pemeliharaan tidak dilakukan pemisahan ukuran grading sehingga terjadi kompetisi dan kanibalisme oleh benih ikan yang berukuran lebih besar, khususnya pada perlakuan padat penebaran tertinggi. Hal tersebut didukung dengan data kematian harian yang berbeda dengan jumlah panen yang dilakukan di akhir pemeliharaan Lampiran 4a. Data koefisien keragaman yang menunjukkan bahwa perlakuan padat penebaran yang dilakukan berpengaruh secara nyata p0,05 terhadap nilai koefisien keragaman, sehingga benih yang dihasilkan selama percobaan cenderung beragam, terutama pada padat penebaran 50 ekorliter sedangkan benih yang lebih seragam dihasilkan pada padat penebaran 45 ekorliter. Pada perlakuan 45 ekorliter diketahui bahwa nilai koefisien keragaman panjangnya lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya meskipun tidak berbeda nyata terhadap perlakuan 35 dan 40 ekorliter. Hal tersebut diduga karena pada perlakuan padat penebaran 45 ekorliter, pakan dapat dimanfaatkan secara merata, sehingga menghasilkan pertumbuhan benih yang hampir seragam sedangkan pada perlakuan 35, 40 dan 50 ekorliter, pakan yang diberikan tidak termanfaatkan karena terlalu berlebihan. Data koefisien keragaman ini juga mendukung dari data kelangsungan hidup benih lele yang cenderung menurun pada perlakuan padat penebaran 50 ekorliter yang diduga disebabkan ukuran benih yang beragam. Seperti yang dikemukakan oleh Lovell 1989 dalam Hartini 2002, jika ukuran benih beragam, menyebabkan kesempatan mendapatkan makanan akan berbeda, dimana benih yang berukuran besar mendapatkan kesempatan menguasai makanan daripada ikan kecil karena ditunjang ukuran tubuhnya. Perlakuan padat penebaran yang dilakukan tidak berpengaruh secara nyata p0,05 terhadap feed convertion ratio FCR. Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa nilai FCR semakin meningkat sejalan dengan peningkatan padat penebaran dengan nilai FCR tertinggi pada perlakuan padat penebaran 50 ekorliter, yakni sebesar 2,52±0,08 dan nilai FCR terendah pada padat penebaran 35 ekorliter dengan nilai FCR sebesar 1,9±0,45. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan padat penebaran maka nilai konversi pakannya pun meningkat. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Suresh dan Lin 1992 yang menyatakan bahwa pada kepadatan yang meningkat, nilai konversi pakan ikan nila cenderung. Namun, menurut Zonneveld et al. 1991 kejadian yang berbeda pada ikan lele merupakan suatu pengecualian. Ikan lele memiliki organ pernapasan tambahan yang berfungsi sebagai alat pernapasan tambahan. Dengan adanya organ pernapasan tambahan tersebut memungkinkan ikan lele dapat secara langsung memanfaatkan oksigen dari udara luar jika terjadi penurunan kandungan oksigen di air. Oleh karena itu, pada ikan lele nilai konversi pakan yang didapat cenderung berbeda, yakni memungkinkan terjadinya peningkatan nilai konversi pakan sejalan peningkatan kepadatan. Hasil penelitian mengenai parameter biologi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan padat penebaran 35, 40, 45 dan 50 ekorliter terhadap kinerja produksi pendederan untuk menghasilkan benih lele Sangkuriang ukuran 2-3 cm dengan ketinggian media 30 cm tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak dan feed conversion ratio FCR, namun berpengaruh nyata terhadap derajat kelangsungan hidup nilai yield, dan koefisien keragaman panjang. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa pada setiap parameter biologi, padat penebaran 45 ekorliter merupakan padat tebar yang optimal karena nilai derajat kelangsungan hidupnya paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yakni mencapai 82,57. Demikian pula dengan laju pertumbuhan biomassa yield yang mencapai 11,55 gramhari. Hal tersebut juga ditunjang dengan ukuran benih yang seragam dengan nilai koefisien keragaman yang hanya sebesar 9,30 dan paling rendah dibandingkan perlakuan yang lain. Berdasarkan hasil penelitian kali ini menunjukkan bahwa lingkungan tempat ikan dipelihara masih dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan ikan. Hasil ini didukung oleh hasil pertumbuhan ikan yang baik Gambar 2, 3 dan 4 dan penerapan teknologi ketinggian air 30 cm dapat menunjang kondisi lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan benih lele baik secara bioteknis maupun bioekonomis Witjaksono, 2009. Salah satu parameter yang memberikan pengaruh besar pada perlakuan tersebut adalah kandungan oksigen terlarut. Ikan lele Sangkuriang mampu mentoleransi kandungan oksigen terlarut 3 mgL Rahman et al, 1992. Namun pada kisaran oksigen terlarut 2 mgL, ikan lele dapat tumbuh meskipun lambat. Hal tersebut dapat terjadi karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan berupa aborescent organ yang memungkinkan benih ikan lele Sangkuriang untuk mengambil oksigen secara langsung di udara Zonneveld et al., 1991. Kadar TAN selama pemeliharaan pada perlakuan padat penebaran 35, 40, 45 dan 50 ekorliter secara berturut-turut adalah 0,73-1,32 gramliter, 0,63-1,30 gramliter, 0,68-1,42 gramliter dan 0,64-1,55 gramliter. Kadar TAN tersebut tergolong tinggi karena menurut Rahman et al., 1992 kadar TAN sebaiknya 1 mgl atau berkisar antara 0,05-0,2 Wedemeyer, 2001. Namun, menurut UNESCOWHOUNEP 1992 dalam Effendi 2003, tingkat toleransi ikan terhadap TAN pada umumnya dapat mencapai 1,37-2,2 mgl. TAN tersebut akan menjadi toksik jika kandungan oksigen di air rendah. Maka diperlukan peningkatan oksigen di air agar mengurangi toksisitasnya. Peningkatan kadar oksigen di air dapat dilakukan salah satunya dengan dengan pergantian air dan pemberian aerasi Goddard, 1996. Oleh karena itu, pergantian air 100 setiap hari dan pemberian aerasi pada media pemeliharaan diharapkan mampu mengurangi kandungan amonia di air sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan ikan secara signifikan. Kisaran alkalinitas selama pemeliharaan pada perlakuan padat penebaran 35, 40, 45 dan 50 ekorliter secara berturut-turut adalah 24-76 mgl CaCO3, 28-80 mgl CaCO3, 24-76 mgl CaCO3 dan 20-84 mgl CaCO3. Alkalinitas merupakan gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau sebagai kapasitas penyangga buffer capacity terhadap perubahan pH. Perairan yang mengandung alkalinitas ≥20 ppm menunjukkan bahwa perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam dan basa sehingga kapasitas buffer atau basa lebih stabil Boyd, 1990. Berdasarkan data tersebut, pada padat penebaran 35, 40, 45 dan 50 ekorliter menunjukkan kapasitas penyangga yang relatif stabil karena kisaran alkalinitas di atas 20 mgL CaCO 3 . Analisis usaha pada Tabel 2 menunjukkan bahwa keuntungan terbesar terdapat pada perlakuan padat penebaran 45 ekorliter, yaitu Rp 2.945.772 per tahun dan kerugian terbesar terjadi pada perlakuan padat penebaran 35 ekorliter, yakni sebesar Rp 1.203.572. Dengan demikian peningkatan kepadatan dapat meningkatkan penerimaan dan keuntungan namun hanya mencapai kepadatan maksimal yakni pada kepadatan 45 ekorliter. Menurut Boyd 1990, pertumbuhan dan kelangsungan hidup dipengaruhi kepadatan populasi, metabolisme ikan, pergantian air, dan suhu. Oleh karena itu, dengan adanya kepadatan populasi yang optimal dalam penerapan teknologi ketinggian air 30 cm dapat menciptakan kondisi air yang cenderung baik sehingga ikan dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Analisis RC digunakan untuk mengetahui setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai rupiah penerimaan. Kegiatan usaha yang menguntungkan memiliki nilai RC yang besar Rahardi et al., 1998. Nilai RC Tabel 2 terendah terdapat pada perlakuan padat penebaran 35 ekorliter yaitu sebesar 0,91 yang berarti dengan pengeluaran biaya sebesar Rp 1,00 terjadi kerugian sebesar Rp 0,09. Nilai RC tertinggi terdapat pada perlakuan padat penebaran 45 ekorliter, yaitu sebesar 1,20. Sedangkan nilai RC pada padat penebaran 40 dan 50 secara berturut-turut, yaitu 1,09 dan 1,04. Seperti halnya dengan penerimaan dan keutungan, hasil RC juga menunjukkan bahwa peningkatan kepadatan dapat meningkatkan nilai RC namun hanya mencapai kepadatan maksimal yakni pada kepadatan 45 ekorliter. Nilai BEPp pada perlakuan padat penebaran 35 ekorliter, yaitu sebesar Rp 13.924.372 dan BEPu sebanyak 207.705 ekor, artinya titik impas pada perlakuan perlakuan dicapai saat penerimaan mencapai Rp 13.924.372 dengan produksi benih sebanyak 207.705 ekor. Pada perlakuan 40 ekorliter nilai BEPp sebesar Rp 14.483.140 dan BEPu sebanyak 207.824 ekor, artinya titik impas dicapai saat penerimaan mencapai Rp14.483.140 dengan produksi benih sebanyak 207.824 ekor. Pada perlakuan padat penebaran 45 ekorliter, nilai BEPp sebesar Rp15.031.828 dan BEPu sebanyak 207.933 ekor, artinya titik impas pada perlakuan tersebut dicapai saat penerimaan mencapai Rp15.031.828 dengan produksi benih sebanyak 207.933 ekor. Sedangkan pada perlakuan padat penebaran 50 ekorliter dicapai BEP tertinggi yaitu BEPp sebesar Rp15.354.556 dan BEPu sebanyak 207.994 ekor, artinya titik impas pada perlakuan padat penebaran 50 ekorliter dicapai saat penerimaan mencapai Rp15.354.556 dengan produksi benih sebanyak 207.994 ekor. Payback periode PP adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui lamanya waktu pengembalian modal. Nilai PP pada perlakuan padat penebaran 40, 45 dan 50 ekorliter secara berturut-turut adalah 72, 31 dan 160 bulan. Berdasarkan nilai PP tersebut diketahui bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada perlakuan padat penebaran 45 ekorliter. Namun untuk perlakuan padat penebaran 35 ekorliter nilai PP tersebut tidak dapat dihitung karena nilai keuntungan usahanya tidak ada rugi. Berdasarkan Tabel 2 diketahui nilai harga pokok produksi HPP pada perlakuan padat penebaran 35, 40, 45 dan 50 ekorliter secara berturut-turut adalah Rp 59,86; Rp 52,61; Rp 47,78; dan Rp 55,51. Harga pokok produksi terendah terdapat pada perlakuan padat penebaran 45 ekorliter, yaitu Rp 47,78 per ekor. Dari hasil perhitungan tersebut menunjukkan tidak terdapat selisih antara harga jual benih per ekor dengan harga pokok produksi. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh tidak terlalu besar namun apabila dibandingkan dengan perlakuan lain, pada perlakuan 45 ekorliter, harga pokok produksi cenderung lebih besar dari harga penjualan sehingga mengalami kerugian. Oleh karena itu perlakuan padat penebaran 45 ekorliter akan menghasilkan keuntungan yang terbesar. Dari hasil perhitungan analisis usaha diketahui bahwa perlakuan padat penebaran 45 ekorliter merupakan perlakuan yang ideal baik secara bioteknis maupun bioekonomis, yang dapat terlihat dari besarnya keuntungan, kecilnya harga pokok produksi, tingginya nilai RC, dan waktu pengembalian investasi yang relatif cepat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4. 1 Kesimpulan

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan padat penebaran 35, 40, 45 dan 50 ekorliter pada ketinggian media 30 cm tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak dan feed conversion ratio FCR, namun berpengaruh nyata terhadap nilai yield, nilai kelangsungan hidup dan koefisien keragaman panjang. Kinerja produksi yang optimal dan efisien dalam percobaan ini adalah perlakuan padat penebaran 45 ekorliter, dengan derajat kelangsungan hidup 82,57±3,66, laju pertumbuhan spesifik sebesar 21,33±1,15, pertumbuhan bobot harian 0,0062±0,0015 gramhari, laju pertumbuhan biomassa yield 11,60±2,23, pertumbuhan panjang mutlak 1,33±0,25 cm, koefisien keragaman panjang 9,30±1,05, FCR 2,37±0,43, keuntungan Rp 2.945.772, RC 1,20. Nilai BEP dalam rupiah yang diperoleh sebesar Rp15.031.828, BEP dalam unit sebanyak 207.933 ekor, payback period 31 bulan, dan HPP sebesar Rp 47,78 per ekor.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk produksi pendederan lele Sangkuriang ukuran 2-3 cm pada padat tebar 45 ekorliter. Namun, produksi optimal masih dapat ditingkatkan hingga 50 ekorliter dengan pergantian air yang dilakukan lebih sering, yakni pada pagi dan sore hari. Pada penelitian selanjutnya dapat diteliti mengenai kegunaan shelter sebagai tempat berlindung untuk lele guna mengurangi tingkat kanibalisme lele.