G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sitematika pennulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dalam bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian : Bab I.
Pendahuluan Dalam bab ini akan diuraikan tentang penjelasan umum,
seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan keputakaan, Metode Penulisan serta sistematika Penulisan.
Bab II Pemberian Penetapan Pembebasan Bersyarat dalam
Pengawasan BAPAS Kelas I Medan. Dalam bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai
pembebasan bersyarat mulai dari tahap pengajuan pemberian pembebasan bersyarat hingga hal-hal yang menjadi prosedur
pemeberian penetapan pembebasan bersyarat. Dan juga disajikan hasil sebaran angket terhadap klien narapidana
pembebasan bersyarat. Bab III
Faktor – faktor yang mempengaruhi kegagalan Pembebasan Bersyarat .
Dalam bab ini, akan dijelaskan hal-hal yang menjadi penyebab kegagalan pemberian penetapan pembebasan
bersyarat, serta akibat yang terjadi atas kegagalan tersebut. Bab IV
Kesimpulan dan Saran.
Universitas Sumatera Utara
Bab ini adalah penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan disajikan kesimpulan dari seluruh hasil
penelitian dan sertai saran atas permasalahn yang menjadi pokok pembahasan
Universitas Sumatera Utara
BAB II
PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN BAPAS Balai Pemasyarakatan KELAS I MEDAN.
A. Pembebasan Bersyarat
Pembebasan bersyarat ini telah ada sejak diberlakukannya KUHP 1918, yang berbeda dengan lembaga pidana bersyarat yang baru dimasukkan
dalam KUHP pada Tahun 1927. Pembebasan bersyarat ini dua belas 12 tahun lebih dulu ada daripada pemidanaan bersyarat.
16
Pembebasan bersyarat ini terlahir karena pada prinsipnya, pengawasan terhadap narapidana yang dilepas dengan bersyarat relatif lebih mudah karena
ia telah dibina dan menjalani pidana penjara selama waktu tertentu, yang telah ditentukan oleh negara melalui undang-undang sebagaimana yang telah
ditentukan pada pasal 15 KUHP. Keputusan untuk memberikan pembebasan bersyarat dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, setelah mendengar
pendapat penuntut umum dan petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya. Pihak
Lembaga Pemasyarakatan mengusulkan seseorang pada Menteri Hukum dan Perbedaan antara kedua
lembaga ini ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang
ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pembebasan bersyarat terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per tiga-nya 23.
16
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I, Grafindo, Malang, 2001. Hlm. 63.
26
Universitas Sumatera Utara
HAM selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat 1
KUHP, untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat.
Pembebasan bersyarat memiliki tujuan yang sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi
warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah, sebelum diberikan pembebasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan kepentingan
masyarakat yang akan menerima bekas terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang telah
diperolehnya selama berada di Lembaga Pemasyarkatan. Ketentuan tentang pembebasan bersyarat diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b, 16, dan 17 KUHP dan
stbl. 1917 No.749, stbl.1962 No.151 jo.486 dan stbl.1939 No.77, yang diganti dengan Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
17
Semula lembaga ini menentukan harus dijalani pidana sekurang- kurangnya tiga per empat 34 dan paling kurang tiga 3 tahun, jadi hanya
diperuntukkan bagi pidana penjara yang lama. Akan tetapi, dengan stbl. 1926 No.251 jo.486 jangka waktu tersebut diperpendek menjadi dua per tiga dan
paling kurang sembilan bulan telah dijalani. Ini berarti tidak ada pembebasan bersyarat sebelum sembilan bulan pidana dijalani. Pengawasan terhadap
pembebasan bersyarat oleh pemerintah cukup lama karena seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat 3 KUHP tersebut lamanya sama dengan sisa pidana yang
belum dijalani ditambah satu tahun. Jika pidana yang dijatuhkan lamanya
17
P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia. Armico, Bandung, 1984. Hlm. 248.
Universitas Sumatera Utara
sembilan tahun, pembebasan bersyarat dapat dilakukan setelah pidana dijalani enam 6 tahun. sisa tiga tahun merupakan pembebasan bersyarat dan lama
pengawasan oleh pemerintah ialah empat tahun tiga tahun ditambah satu tahun.
Klien Pamasyarakatan yang menerima pembebasan bersyarat diberikan suatu surat lepasbebas bersyarat, dimana di dalamnya dimuat syarat-syarat
yang harus ditaatinya selama masa percobaan tersebut. Jika terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan dalam surat
pembebasan verlofpas, terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya. Pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali atas usul jaksa
maupun BAPAS dibantu oleh tim Pengamat Pemasyarakatan di tempat terpidana berdiam. Jika narapidanaklien melanggar perjanjian atau syarat-
syarat yang ditentukan, selama menunggu keputusan Menteri Hukum dan HAM, jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya selama 60 hari. Jika
waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan tersebut, terpidana harus dikeluarkan dari tahanan Pasal 16 ayat 3 4 KUHP. Pencabutan surat
lepas tersebut dibuat oleh Menteri Hukum Dan HAM, atas usul atau setelah memperoleh keterangan dari jaksa tempat asal terpidana, dan setelah
mendapat keterangan dari Dirjen Pemasyarakatan.
18
18
A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik dan Hukum Penitensier, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hlm. 77.
Universitas Sumatera Utara
B. Syarat Pemberian Pembebasan Bersyarat