kakaknya tidak ke teman- temannya.
rumah, ke rumah kakak. Ke rumah teman- teman ya nda. P2W1 244-245
P merasa dengan menolong temannya sesama tukang jahit
dengan mencarikan dan meminjamkan karyawan
merupakan bentuk pelayanan kepada orang lain.
Ya bukan bentuk pelayanan apa-apa ya.. ya
paling menolong dalam
bentuk misalkan orang minta carikan tukang jahit
atau misalnya orang minta carikan kerja. ya saya bilang ini ada cari tukang jahit.
Kamu ke sana aja. Gitu. Terus ada teman yang tukang jahit juga “aku minta tolong
ya nih aku tukang jahitnya lagi nda ada nih pinjam tukang jahitnya kamu ya untuk
jahitkan.. ya aku mau nolongin kayak gitu. Tapi sebaliknya yang lain kok jahat sama
aku. P2W1 248-253
P tidak mengikuti kegiatan sosial juga kegiatan
keagamaan di sekitarnya. Nda.. di daerah situ nda ada. Wong
palingan kalau yang ikut itu Magin. Ya ibadah agama Konghucu itu ya di
kelenteng-kelenteng itu, tapi aku nda ikut itu sih. P2W1 255-256
Membantu orang lain merupakan nilai yang
dianggap penting untuk P. Ya kalau aku sampai bisa membantu
teman. ya kayak gitu. Jangan sampai aku menyusahkan teman ya aku pinginnya
membantu…Ya senang saja. Ya penting. Jadi nanti kalau sekali waktu saya ada
kesusahan, mungkin ada orang lain yang menolong. Orang hidupkan kadang ada
kesusahan.
Ya kalau
nda saling
menolong. Jadi nantinya kalau susah sendiri nda ada yang nolong sambil
tersenyum. P2W1 260-267
Setelah melakukan tahap analisis hasil wawancara pre- histerektomi, selanjutnya peneliti melakukan proses kategorisasi
yang mana melalui proses ini menghasilkan beberapa kategori data pre-histerektomi partisipan kedua:
d. Kategori Pre-histerektomi Partisipan 2 No
Kategori
1. Gejala dan keluhan fisik.
2. Kecemasan akan penyakit.
3. Reaksi emosional mengenai vonis dokter
4. Keinginan untuk tetap bekerja dan beraktivitas setelah
didiagnosis 5.
Relasi dan dukungan sosialkeluarga. 6.
Perasaan tidak sendiri menderita. 7.
Perasaan pasrah akan keadaan 8.
Pelayanan kepada orang lainnilai kebaikan. 9.
Pandangan tentang penyakit pre-histerektomi 10.
Berdoa kepada kepada orang tua sebagai sesuatu yang penting.
11. Pergumulan akan pekerjaan yang belum diselesaikan.
12. Pandangan tentang pentingnya uterus.
13. Harapan pre-histerektomi.
Berdasarkan kategori-kategori yang peneliti buat, maka langkah selanjutnya adalah merekonstruksi kategori-kategori
tersebut dalam sebuah narasi.
e. Analisis Narasi Pre-histerektomi Partisipan 2
JCS adalah
seorang ibu
rumah tangga.
Dalam kesehariannya, selain menjalankan peran sebagai ibu rumah
tangga, partisipan juga membuka usaha jahit di rumah untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Tiga
bulan sebelum wawancara dilakukan, partisipan merasakan gejala fisik yang tidak biasa. Perut partisipan terasa kencang dan terdapat
tonjolan ketika berbaring dalam posisi miring, sedangkan ketika
berdiri, perutnya membuncit seperti sedang kekenyangan. Selain itu, partisipan juga merasa ada yang bergerak-gerak di perutnya.
Partisipan kemudian
membandingkan keadaannya
dengan anaknya, dan menyadari kejanggalan yang terjadi. Hal ini
membuatnya kuatir dan berpikir bahwa keadaan yang dialaminya merupakan gejala cacingan.
Pengalaman orang lain yang mengalami cacingan membuat partisipan kuatir mengalami hal yang sama. Walaupun kuatir
dengan keadaannya, partisipan mengurungkan niat untuk meminum obat cacing karena takut keliru. Keluhan atas gejala fisik
yang dialaminya kemudian diberitahukan kepada suaminya. Akan tetapi, gejala tersebut selalu dianggap gejala masuk angin oleh
sang suami, tanpa memberikan inisiatif kepada partisipan untuk melakukan
pemeriksaan ke
dokter. Partisipan
kemudian menceritakan hal tersebut kepada kakaknya yang kemudian
menyarankan partisipan untuk segera memeriksakan diri ke dokter. Atas dorongan dari kakaknya partisipan akhirnya memeriksakan diri
ke salah dokter di Tegal tempat partisipan berdomisili meskipun tanpa ditemani suaminya yang sibuk bekerja.
Selama menunggu hasil pemeriksaan, partisipan pasrah dan sedikit cemas saat memikirkan vonis yang akan diberikan dokter.
Hasil pemeriksaan melalui USG yang dilakukan menunjukkan bahwa adanya kista ovarium pada salah satu ovarium partisipan
dan harus diangkat. Vonis dokter tentang penyakitnya menimbulkan reaksi emosional berupa perasaan sedih, bingung dan kaget karena
partisipan merasa telah menjaga pola makannya dengan baik, jarang sakit serta tidak ada yang mengalami penyakit serupa dalam
keluarganya. Selain itu, partisipan juga cemas penyakitnya bertambah parah. Kecemasan inilah yang membuat partisipan bisa
menerima vonis dokter jika harus menunda untuk dihisterektomi. Setelah
yakin dengan
hasil pemeriksaannya,
partisipan memberitahukan hal tersebut kepada suaminya, namun respon
sang suami terlihat biasa dan tidak kaget ketika mendengarnya. Vonis dokter tentang penyakitnya tidak membuat partisipan
terus bersedih. Partisipan tetap bekerja dan menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga karena merupakan tanggung jawabnya.
Beban pikiran tentang penyakitnya tidak mengganggu selama partisipan bekerja maupun beristiahat. Partisipan tidak mengalami
gangguan pola tidur. Selain itu, walaupun telah divonis memiliki kista ovarium, bebannya dalam bekerja tetap sama seperti
sebelumnya bahkan waktunya untuk bekerjanya lebih banyak dibandingkan waktu untuk beristirahat. Tidak adanya gejala fisik
yang berarti seperti mual dan muntah membuat partisipannya tidak cemas ketika bekerja dan beraktivitas. Demikian juga dengan pola
makannya. Partisipan tetap mempertahankan pola makan seperti biasanya.
Berdasarkan berbagai
pertimbangan yang
dilakukan partisipan dengan suaminya, histerektomi akan dilakukan di
Semarang. Faktor tidak adanya yang menemani partisipan di rumah sakit jika dihisterektomi di Tegal karena anak satu-satunya
berkuliah di Semarang sementara suaminya sibuk bekerja serta informasi yang diperolah dari temannya tentang dokter yang
dianggap kompeten untuk menangani penyakitnya mendasari keputusan tersebut diambil.
Keputusan akan waktu histerektomi diambil secepat mungkin dengan pertimbangan tempat tinggal yang jauh. Sebelum
dihisterektomi, partisipan takut jika proses histerektominya gagal. Namun, dukungan emosional dari keluarga, khususnya kakak
patisipan yang meyakinkannya tentang peralatan dan pengobatan medis yang telah maju, membuat partisipan lebih tenang dan
merasa dikuatkan serta dan tidak lagi berpikir tentang kematian. Selain itu, perasaan tidak sendiri menderita yang dirasakan
partisipan ketika mendapatkan informasi dari pasien lain serta memiliki teman seruangan yang juga mengalami penyakit yang
sama dan telah dihisterektomi membuat partisipan kuat dan mampu menerima keadaannya serta lebih siap menjalani proses
histerektomi yang merupakan pengalaman pertama baginya. Pengalaman orang lain membuat partisipan semakin memasrahkan
keadaannya.
Sedangkan untuk dukungan sosial dari tetangga maupun kerabatnya
sangat minim
diperoleh partisipan.
Walaupun hubungannya dengan warga sekitar dikatakan baik, partisipan yang
memiliki kepribadian tertutup hanya memberitahukan perihal histerektominya kepada salah satu pelanggannya. Sedangkan pada
beberapa tetangga, partisipan mengatakan akan liburan dan sebagian besar tidak diberitahu. Keadaan rumah partisipan yang
tertutup membuat partisipan kurang berinteraksi dengan warga sekitar dan lebih banyak berinteraksi bersama pelanggan dan
karyawannya. Jika berkunjung, partisipan hanya ke tempat kakaknya. Ia juga tidak mengikuti kegiatan sosial maupun
keagamaan di lingkungan sekitar. Perasaan berarti dialami partisipan dengan membantu orang
lain. Perasaan senang ketika mampu membantu orang lain dalam bentuk jasa dengan meminjamkan atau mencarikan karyawan
kepada sesama penjahit. Hal ini merupakan bentuk pelayanan partisipan kepada orang lain. Partisipan berasumsi bahwa dengan
membantu orang lain akan mengindarkannya dari kejahatan. Partisipan memandang penyakitnya sebagai hal yang
disesali. Terdapat pemikiran bahwa penyakit yang diderita disebabkan karena dosa terhadap orang lain. Konflik yang pernah
dialami partisipan dengan sesama penjahit membuatnya merasa penyakit yang diderita merupakan akibat dari sikapnya yang jahat
dan pemarah. Namun, partisipan merasa rasa marahnya merupakan hal yang wajar karena diperlakukan tidak adil oleh
temannya. Sebelum dihisterektomi, tidak ada keinginan untuk melakukan
sesuatu yang berbeda kedepannya dalam diri partisipan. Hanya saja, dengan penyakit yang diderita keinginan untuk meningkatkan
intensitas doa kepada orang tua yang telah meninggal dianggap penting untuk kehidupannya yang lebih baik dengan diberi
kesehatan dan kecukupan dalam hidup. Selama ini partisipan selalu melalaikannya karena sibuk bekerja. Sebelum dihisterektomi,
harapan terbesar dalam diri partisipan hanyalah keinginan untuk cepat sembuh dan kembali bekerja. Walaupun sedikit kuatir
penyakitnya akan menjadi penghambat dalam bekerja, partisipan berharap hal tersebut tidak terjadi.
Keputusan pengangkatan uterus dibuat oleh suami partisipan karena kuatir penyakit partisipan bertambah parah dengan
ditemukannya tumor di dekat ovariumnya. Walaupun keputusan tersebut tidak melibatkannya, partisipan mampu merelakan
uterusnya diangkat karena takut penyakitnya bertambah parah. Hal ini juga didukung oleh faktor usia yang tidak memungkinkan
partisipan untuk memiliki keturunan. Partisipan merasa mampu menerima keadaannya karena takdirnya dari Tuhan.
Sebelum dihisterektomi, terdapat keinginan untuk lebih baik setelah dihisterektomi, yaitu dengan semakin menjaga pola
makannya serta mengantisipasi agar panyakitnya tidak kembali diderita. Partisipan pasrah kepada Tuhan dengan keadaannya dan
berharap ia dapat sembuh dari sakitnya. Selain itu partisipan juga berharap kelak ia dapat membiayai anaknya hingga selesai
berkuliah dan ia tidak lagi berselisih paham dengan kerabatnya. Tidak ada yang partisipan lakukan untuk mencapai targetnya. Ia
hanya memikirkan bagaimana agar penyakitnya dapat sembuh dan anaknya dapat selesai berkuliah.
3. Partisipan Penelitian 3
a. Gambaran Umum Partisipan 3
Identitas
Nama : SS
Tempat, tanggal lahir : Semarang, 12 Mei 1975 Umur
: 37 tahun Jenis Kelamin
: Perempuan Pendidikan Terakhir
: SMK Status
: Menikah Agama
: Kristen Pantekosta Alamat
: Semarang. Anak ke
: 5 dari 6 bersaudara
SS adalah warga keturunan asli suku Jawa. Partisipan bekerja di salah satu perusahaan swasta di kota Semarang
sedangkan suaminya bekerja di salah satu pusat konfeksi baju anak di kota yang sama. Partisipan merupakan anak ke 5 dari 6
bersaudara. Kakak pertama, kedua, ketiga dan adik partisipan beragama Kristen, sedangkan kakak keempatnya menjadi Mualaf
setelah menikah. Kedua orang tua partisipan yang awalnya beragama Islam meninggal kurang lebih satu tahun setelah menjadi
Kristen. Partisipan memiliki relasi yang dekat semua saudaranya.
Walaupun ada yang berbeda agama dan ada pula yang berdomisili di luar kota, rasa kekeluargaan diantara mereka tetap terjalin erat.
Saat hari-hari besar keagamaan, mereka saling mengunjungi untuk menghargai tiap kepercayaan yang dianut. Bahkan saat partisipan
sakit, saudaranya yang berdomisili di luar kota dan tidak sempat datang mengunjungi partisipan tetap menanyakan kabar dan
memberikan dukungan via telepon. Partisipan dan suaminya belum dikaruniai anak walaupun
telah dua belas tahun menikah. Selama itu pula partisipan dan suaminya tidak memeriksakan diri ke dokter dan berkomitmen
untuk menunggu. Mereka kuatir jika memeriksakan diri ke dokter dan salah satu pasangan divonis tidak bisa memberikan keturunan,
maka pasangan lain akan kecewa dan akan memicu konflik dalam rumah tangga.
Sekitar tiga atau empat bulan sebelum wawancara, partisipan merasa perutnya membuncit dan terdapat lempengan batu pada
bagian bawah perut. Keadaan ini membuat partisipan berasumsi bahwa terjadi penurunan uterus. Tidak adanya gejala lain seperti
mual atau
muntah membuat
partisipan selalu
menunda memeriksakan diri ke dokter walaupun telah disarankan oleh suami
dan kakak-kakaknya. Sekitar tiga minggu sebelum wawancara dilakukan, partisipan
merasa tidak enak badan. Partisipan kemudian memeriksakan diri ke salah satu klinik dokter umum di Semarang, dan tanpa sengaja
menanyakan prihal lempengan batu yang dirasakannya. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan dan memvonis partisipan
memiliki mioma uteri yang telah parah dan menyarankannya untuk segera melakukan check lab. Hal ini diurungkan partisipan karena
memikirkan biaya yang diperlukan. Partisipan tidak memandang vonis tersebut sebagai hal yang serius karena pemeriksaan bukan
dilakukan oleh dokter kandungan. Berdasarkan saran dari suami, kakak, keponakan dan teman-
temannya, partisipan ditemani suaminya memeriksakan diri ke dokter kandungan. Berdasarkan pemeriksaan dalam dan USG yang
dilakukan, partisipan positif memiliki mioma uteri. Saat mendapat
vonis dari dokter kandungan mengenai penyakitnya, reaksi emosional yang muncul dalam diri partisipan adalah perasaan
kaget dan tidak percaya mengenai vonis yang diberikan tetapi kemudian ia mulai menerima hasil pemeriksaan ini dan mencoba
menenangkan diri. Partisipan bukan hanya divonis memiliki mioma uteri. Ia juga
disarankan untuk segera dihisterektomi. Partisipan yang takut akan tindakan invasif menolak dan lebih memilih untuk mengkonsumsi
obat oral. Namun, hal ini tidak disarankan dokter karena partisipan akan terus mengkonsumsi obat namun tidak menjamin ia dapat
sembuh total. Dalam
bergumul mengenai
pengambilan keputusan
histerektomi, dukungan suami, keluarga, teman bahkan pendetanya sangat penting dalam membantu partisipan lebih siap untuk
dihisterektomi. Dukungan emosional yang diberikan membuat partisipan lebih yakin bahwa histerektomi merupakan jalan terbaik
yang dipilih dan ada hikmah dibalik penderitaan yang dialami. Keadaan pre-histerektomi membuat kehidupan spiritual partisipan
semakin dikuatkan. Bukan hanya keadaan pre-histerektomi, dukungan dari suami,
keluarga dan teman-temannya membuat partisipan yang awalnya kecewa karena tidak bisa memiliki keturunan dan cemas akan
penuaan dini serta kehidupan seksualnya karena penurunan
hormon merasa dikuatkan. Keadaan post-histerektomi juga membuat kehidupan spiritual partisipan semakin dikuatkan.
Penyerahan diri secara total pada kuasa Tuhan membuat partisipan merasa
tidak perlu
mencemaskan keadaannya
pasca dihisterektomi.
b. Laporan Observasi Pre-Histerektomi Partisipan 3