d. Kategori Pre-histerektomi Partisipan 3 No
Kategori
1. Gejala dan keluhan fisik.
2. Pandangan tentang kesehatan sebelum didiagnosis
3. Reaksi
emosional tentang
keharusan menempuh
histerektomi 4.
Pergumulan dan pengambilan keputusan histerektomi 5.
Tidak adanya kecemasan mengenai penyakit dan dampak histerektomi terhadap fisik dan kehidupan seksual
6. Pergumulan tentang biaya pemeriksaan dan histerektomi
7. Relasi dan dukungan sosialkeluarga
8. Perasaan tidak sendiri menderita
9. Keinginan untuk tetap bekerja dan beraktivitas pre- dan
post-histerektomi 10.
Pelayanan kepada orang lainnilai kebaikan 11.
Perasaan bermakna dengan apa yang telah dilakukan 12.
Kehidupan spiritual dan relasi dengan Tuhan 13.
Pandangan tentang penyakit sebelum dihisterektomi 14.
Makna.arti hidup yang muncul dari pergumulan 15.
Keinginan untuk berbagi pengalaman dengan wanita lain. Berdasarkan kategori-kategori yang peneliti buat, maka
langkah selanjutnya adalah merekonstruksi kategori-kategori tersebut dalam sebuah narasi.
e. Analisis Narasi Pre-histerektomi Partisipan 3
SS adalah seorang adalah seorang ibu rumah tangga yang berdomisili di kota Semarang. Sekitar tiga atau empat bulan
sebelum wawancara ini, partisipan merasa perutnya membuncit dan terdapat lempengan batu pada bagian bawah perut. Keadaan
ini membuat partisipan berasumsi bahwa terjadi penurunan uterus. Tidak adanya gejala lain seperti mual atau muntah membuat
partisipan selalu menunda memeriksakan diri ke dokter walaupun telah disarankan oleh suami dan kakak-kakaknya.
Tiga minggu sebelum wawancara dilakukan, partisipan merasa tidak enak badan. Dengan ditemani suaminya, partisipan
berobat ke salah satu klinik dokter umum di Semarang dan tanpa sengaja, menanyakan perihal lempengan batu yang dirasakannya.
Berdasarkan pemeriksaan
yang dilakukan,
dokter lalu
mendiagnosis partisipan memiliki mioma uteri yang telah parah dan menyarankan untuk segera melakukan cek lab. Namun, hal
tersebut diurungkan partisipan karena pemikiran akan biaya yang diperlukan. Pemeriksaan yang bukan dilakukan oleh dokter
kandungan membuat partisipan tidak mengganggap hal tersebut
sebagai sesuatu yang serius.
Berdasarkan saran dari suami, kakak, keponakan dan teman- temannya, partisipan ditemani suaminya memeriksakan diri ke
dokter kandungan. Berdasarkan pemeriksaan dalam dan USG yang
dilakukan, partisipan positif memiliki mioma uteri. Saat mendapat vonis dari dokter kandungan mengenai penyakitnya, reaksi
emosional yang muncul dalam diri partisipan adalah perasaan kaget dan tidak percaya mengenai vonis yang diberikan tetapi
kemudian ia mulai menerima hasil pemeriksaan ini dan mencoba menenangkan diri.
Bukan saja divonis memiliki mioma uteri, partisipan juga disarankan untuk segera dihisterektomi karena mioma uterinya
telah parah. Mendengar kata histerektomi, partisipan yang takut akan tindakan invasif kemudian cemas dan lebih memilih untuk
melakukan terapi dengan obat-obatan tanpa harus dihisterektomi. Akan tetapi, hal ini tidak disarankan dokter dengan alasan
partisipan harus mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama dan tidak menjamin partisipan sembuh total.
Suami partisipan yang cemas akan keadaannya turut menyarankan partisipan untuk segera dihisterektomi ketika melihat
hasil pemeriksaan dokter. Reaksi suaminya membuat partisipan
kesal.
Saat ditanya tentang kecemasan partisipan akan efek histerektomi dalam hal ini penuaan dini, partisipan tidak
menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang serius, hanya saja pemikiran
akan prosedur
histerektomi yang
merupakan pengalaman pertama baginya serta nyeri post-histerektomi
membuat partisipan cemas. Partisipan yang masih bergumul akan iya dan tidaknya histerektomi, tetap diberikan surat pengantar
histerektomi oleh dokter.
Bukan saja prosedur dan nyeri post-histerektomi yang menjadi pergumulan partisipan, pemikiran akan biaya histerektomi
yang harus dipersiapkan juga menjadi beban tersendiri bagi partisipan maupun suaminya. Walaupun demikian, suaminya tetap
mendorong partisipan agar mau dihisterektomi karena yakin bahwa Tuhan pasti akan membuka jalan bagi mereka.
Selama dalam
pergumulan pengambilan
keputusan histerektomi, dukungan emosional yang didapat dari keluarganya,
baik itu dari suami, keponakan maupun dari kakak-kakaknya mampu membuat partisipan merasa kuat dan menerima keadaan
dirinya. Dengan alasan usia partisipan yang semakin bertambah, kakaknya menyarankan partisipan untuk segera dihisterektomi.
Selain itu, pemikiran akan beragamnya penyakit yang sering terjadi
dewasa ini membuat partisipan lebih tenang.
Pergumulan atas apa yang terjadi di atas juga mendorong partisipan untuk berkonsultasi dengan pendeta dan teman-
temannya gerejanya. Sharing dan doa bersama membuat partisipan semakin yakin bahwa atas kehendak Tuhan, histerektomi
merupakan jalan terbaik yang dipilih.
Lewat sharing bersama teman-temannya pula, muncul perasaan tidak sendiri menderita dalam diri partisipan saat tahu
bahwa banyak wanita juga mengalami hal yang sama. Selain itu, pengalaman kakaknya yang pernah terkena kanker serta adiknya
yang pernah dikuretasi membuat partisipan yakin bahwa iapun dapat menjalani proses histerektominya dengan baik. Sehingga,
tiga hal yang menjadi alasan partisipan untuk akhirnya mau dihisterektomi yaitu pemikiran bahwa mioma uteri merupakan
penyakit yang harus diangkat, partisipan berkeyakinan bahwa dengan adanya mioma uteri membuat mata rohaninya dapat
melihat apa yang harusnya dilakukan selama ini, serta dukungan emosional dari suami, kakak, pendeta, adik, dan teman-teman
gerejanya membuat partisipan terdorong untuk akhirnya mau
dihisterektomi.
Partisipan mencari
kesibukan untuk
mengalihkan pemikirannya tentang histerektomi dengan tetap menjalankan tugas
dan aktivitasnya seperti biasa. Kecemasan tentang penyakitnya tidak mengganggu partisipan selama beraktivitas. Begitu juga
dengan pemikiran setelah dihisterektomi, partisipan merasa tidak akan ada perubahan dalam aktivitasnya dan akan tetap berusaha
menyelesaikan tugasnya dengan baik jika telah sembuh total.
Walaupun telah divonis memiliki mioma uteri, dalam kesehariannya, partisipan yang juga berperan sebagai aktivis
gereja dalam pembina komunitas keluarga muda tetap menjalankan pelayanannya dengan melakukan sharing bersama keluarga muda
dan membantu mereka mencari solusi menyelesaikan masalah dalam keluarga. Partisipan memandang pelayanan kepada orang
lain sebagai nilai yang penting dan wajib dilakukan. Partisipan merasa bersyukur ketika mampu melayani orang lain yang
membutuhkan tanpa pandang bulu dengan kasih Tuhan karena dengan demikian, iapun dapat melayani dan mengasihi Tuhan.
Selain itu, peran partisipan dan suaminya sebagai ketua RT di tempat partisipan berdomisili didasarkan pada keinginan untuk
melayani, sehingga partisipan sering melakukan kunjungan kepada warga yang sakit sambil memberikan sumbangan. Partisipan
merasa senang, ketika dapat menjadi berkat bagi orang lain. Partisipan merasa bahwa hidup akan terus berlanjut dan sangat
baik jika diisi dengan melayani. Sehingga muncul perasaan bermakna dengan apa yang telah dilakukan. Bantuan maupun
pelayanan yang diberikan di gereja maupun di masyarakat tempat partisipan berdomisili membuat partisipan merasa berarti. Namun,
semua yang dilakukan partisipan tidak membuatnya sombong karena keyakinan bahwa hal ini karena kasih Tuhan dalam
hidupnya.
Untuk kehidupan spiritualnya sendiri, perasaan kecewa dengan adanya mioma uteri tidak membuat partisipan menyalahkan
Tuhan dan mengeluh atas apa yang dialaminya. Sebelum akhirnya divonis memiliki mioma uteri, partisipan merasa ia dan suaminya
telah dipersiapkan Tuhan melalui kotbah pendetanya untuk memperbesar kapasitas jiwa mereka. Ia memandang penyakitnya
sebagai hal yang disyukuri, karena penyakit yang dihadapi semakin memperkuat imannya. Selain itu, dengan demikian iapun tahu
bahwa kondisinya dalam keadaan tidak sehat dan mioma uterilah yang menyebabkan partisipan belum dikarunia keturunan. Hal ini
membuat partisipan belajar untuk lebih baik ke depannya dengan lebih memperhatikan kesehatannya. Partisipan berpendapat bahwa
keinginannya saat tidak ingin dihisterektomi merupakan sifatnya yang egois.
Dengan penyakitnya, ia dan suaminya sadar bahwa tindakan mereka menunggu dikaruniai anak tanpa berusaha memeriksakan
diri ke dokter walaupun telah dua belas tahun menikah merupakan tindakan yang salah. Sebelum didiagnosis, partisipan dan suaminya
berkomitmen untuk tidak melakukan pemeriksaan kedokter kandungan dan menunggu hingga dikaruniai keturunan. Komitmen
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa jika melakukan pemeriksaan dan salah satu pasangan tidak bisa memiliki
keturunan maka pasangan yang lain akan kecewa, sehingga akan muncul konfik dalam keluarga. Selain itu, partisipan juga berpikir
bahwa jika Tuhan mengijinkan partisipan untuk memiliki keturunan,
maka partisipan akan mengandung. Partisipan dan suaminya juga berkomitmen untuk menerima apa yang Tuhan buat untuk mereka.
Pengalaman adik juga teman partisipan yang belum dikaruniai anak walaupun telah berusaha semaksimal mungkin bahkan ada yang
sampai sakit karena mengkonsumsi obatan-obatan herbal, membuat partisipan dan suaminya semakin yakin untuk tidak
memeriksakan diri ke dokter. Sehingga dengan penyakitnya, pola pikir partisipan berubah untuk lebih mengerti tentang keadaan
kandungannya. Melalui pesan berisi ayat Alkitab yang dikirimi temannya,
partisipan semakin yakin bahwa Tuhan akan mendatangkan kebaikan lewat apa yang dialaminya. Hal ini membuat partisipan
kuat. Walaupun sakit, partisipan tetap percaya bahwa Tuhan baik baginya sehingga muncul keinginan untuk berbagi pengalaman
dengan pasangan lain yang juga mengalami hal yang sama. Dengan penyakit yang ada, mata rohaninya terbuka sehingga
partisipan mengetahui apa yang Tuhan inginkan untuk ia lakukan dengan mengubah cara pandang partisipan tentang Tuhan dan
diberi pelajaran berharga. Partisipan tahu bahwa walaupun secara fisik ia sakit menghadapi histerektomi yang ada tetapi ia percaya
bahwa Tuhan yang akan memberikan kebaikan baginya dengan memulihkan kembali uterusnya. Partisipan yang belum diberitahu
jika uterus dan kedua ovariumnya telah diangkat sempat
berrencana untuk memiliki keturunan setelah dihisterektomi, namun hal tersebut tidak menjadi masalah bagi ia dan suaminya jika Tuhan
belum memberikannya mereka keturunan. Sedangkan untuk target maupun perencanaan kedepan,
partisipan tidak memiliki target dalam kehidupannya karena takut kecewa ketika tidak dapat mencapainya tetapi partisipan
mempunyai keinginan melakukan Firman Tuhan. Menjadi berkat di manapun berada merupakan tujuan hidup partisipan.
Partisipan berdandan saat menunggu waktu histerektomi. Suami dan kakak partisipan merasa heran dengan tindakan
partisipan tersebut. Partisipan berasumsi bahwa dengan terlihat fresh, tim medis yang menanganinya pun akan senang. Namun,
walaupun telah mengenakan baju pilihannya untuk dihisterektomi, partisipan sedikit kecewa saat diminta untuk menggantinya dengan
pakaian histerektomi. Relasi yang terbina dengan baik dengan orang lain membuat
dukungan emosional dirasakan partisipan bukan saja saat pengambilan keputusan histerektomi, namun juga menjelang
histerektomi. Partisipan merasa dikuatkan dengan kehadiran keluarga, teman, serta pendetanya. Partisipan bersyukur karena
sempat didoakan oleh dua pendetanya yang membuatnya merasa tidak sendiri, lebih tenang dan semakin yakin bahwa Tuhan akan
menolong dan melancarkan proses histerektominya. Walaupun
takut, partisipan berusaha untuk siap dan yakin bahwa apapun yang terjadi semuanya atas seijin Tuhan. Dukungan emosional
yang didapat dari keluarga, pendeta maupun teman-temannya dipandang sebagai wujud kebaikan Tuhan atas dirinya.
Walaupun telah merasa siap untuk dihisterektomi, pada kenyataannya partisipan tetap takut menjelang histerektomi
dilakukan. Hal ini membuat partisipan tidak ingin dianastesi parsial karena takut memikirkan proses histerektomi yang dijalani.
Walaupun tidak tahu apa yang nantinya akan diangkat karena tidak ada penjelasan lanjut dari dokter, partisipan tetap berharap dapat
menjalani proses histerektominya dengan baik. Tidak ada ketakutan terhadap kematian dengan histerektomi yang dijalani. Keyakinan
akan Firman Tuhan yang mengatakan bahwa mati adalah untung dan hidup melayani Tuhan membuat partisipan tidak takut jika
harus meningggal akibat proses histerektomi maupun penyakit
yang diderita.
Terdapat pergumulan
yang besar
ketika partisipan
menghadapi penyakitnya
mulai dari
didiagnosis sampai
pengambilan keputusan histerektomi. Adanya reaksi emosional yaitu perasaan kaget dan tidak percaya ketika divonis, pemikiran
akan biaya histerektomi, sampai ketakutan akan proses histerektomi yang harus dijalani. Hal ini membuat partisipan
mengalami dilema antara iya tidaknya histerektomi. Walaupun
demikian, partisipan memandang penyakitnya sebagai hal yang disyukuri. Partisipan akhirnya mampu menerima keberadaan
dirinya. Bahkan ia merasa puas dengan apa yang dicapainya sebelum dihisterektomi serta merasa bahwa pengalaman sakitnya
membuat kehidupan spiritualnya semakin kuat. f.
Laporan Observasi Post-histerektomi Partisipan 3
Wawancara post-histerektomi dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2012, setelah peneliti melakukan wawancara pre-
histerektomi kedua. Peneliti mengkondisikan partisipan untuk
berfokus pada keadaan post-histerektomi yang dirasakannya.
Saat peneliti bertanya tentang perasaan partisipan pasca dihisterektomi, partisipan tampak berpikir sejenak, barulah
menjawab pertanyaan peneliti. Saat menceritakan tentang keadaannya yang ke depannya tidak lagi merasakan sakit yang
diderita, volume suara partisipan sedikit membesar dan selesai
menjawab partisipan tersenyum.
Volume suara partisipan juga meningkat saat peneliti bertanya tentang nyeri yang dirasakan. Partisipan berpikir sejenak
baru menjawab saat peneliti bertanya tentang nyeri pasca dihisterektomi. Partisipan tampak bersemangat saat menceritakan
suaminya yang memberikan dukungan saat partisipan berpikir
positif akan nyeri yang dirasakan.
Volume suara partisipan mengecil saat peneliti menanyakan tentang perasaannya saat tahu bahwa uterus dan ovariumnya telah
diangkat. Namun suara partisipan membesar saat mengatakan ia sempat merasa kecewa. Partisipan tampak bersemangat saat
menceritakan tentang kegemarannya berpenampilan menarik. Dan partisipan tertawa saat menceritakan dirinya yang berdandan
sebelum dihisterektomi. Volume suara partisipan membesar dan terdengar lebih tegas saat yakin menceritakan bahwa karakter yang
baik dari Tuhan tidak akan sirna. Pada pertengahan jawaban yang diberikan, volume suara
partisipan membesar saat peneliti bertanya tentang nyeri yang
dirasakan. Selama wawancara, partisipan sesekali mengulang
pertanyaan yang diberikan peneliti untuk meyakinkan maksud pertanyaan yang peneliti ajukan. Tampak partisipan masih
merasakan nyeri pasca histerektomi karena sesekali partisipan mengatur posisi duduknya.
g. Analisis Verbatim Post-histerektomi Partisipan 3