Hasil diagnosis dokter di Tegal menunjukkan bahwa partisipan memiliki kista ovarium ovari dan harus menjalani
histerektomi. Partisipan kaget dan tidak percaya atas vonis yang diberikan dokter karena merasa telah menjaga pola makannya
dengan baik dan tidak ada penyakit serupa dalam keluarganya. Atas pemikiran tidak ada yang menjaga partisipan jika dirawat di
Tegal, partisipan lalu memilih untuk dihisterektomi di kota Semarang tempat anaknya berkuliah.
Partisipan kemudian dihisterektomi. Atas ijin dari suaminya dan tanpa sepengetahuan partisipan, selain pengangkatan kedua
ovariumnya, dokter juga melakukan pengangkatan uterus. Walaupun keputusan pengangkatan uterus tidak melibatkan
partisipan, faktor usia dan kecemasan penyakitnya bertambah parah membuat partisipan mampu menerima keadaannya.
Pengalaman penyakit dan histerektomi yang dijalani semakin memperkuat kehidupan spiritual partisipan. Terdapat keinginan
untuk meningkatkan frekuensi “doa kepada orang tua” sebagai bagian dari kepercayaan agamanya yang selalu diabaikan
partisipan karena sibuk bekerja..
b. Laporan Observasi Pre-histerektomi Partisipan 2
Secara fisik, partisipan memiliki tubuh kurus dan kecil. Pada saat wawancara pertama dilakukan, partisipan baru bangun tidur.
Partisipan tidur terlentang sambil memegangi perutnya bekas
histerektominya. Partisipan tampak sendiri tanpa ditemani oleh satupun anggota keluarga seperti yang terlihat pada pasien yang
lain di bangsal tersebut yang rata-rata ditemani oleh anggota keluarganya. Partisipan mencoba mengatur posisinya senyaman
mungkin ketika wawancara akan dimulai ditandai dengan partisipan mengambil bantal dan meletakkan di belakang, agar partisipan
dapat bersandar. Intonasi suara partisipan sangat kecil sehingga peneliti seringkali kurang mampu mendengar dengan baik apa yang
dikatakan partisipan. Hal ini terjadi saat peneliti menanyakan kapan partisipan mengetahui penyakitnya. Namun, intonasi suara
partisipan membesar saat partisipan mengatakan ketakutannya jika
kista ovariumnya akan menjadi kanker.
Intonasi suara partisipan kembali mengecil saat menceritakan suaminya yang tidak memperdulikan perkataan partisipan saat
mengeluhkan gejala dan keluhan fisik yang dialami. Selama wawancara berlangsung, partisipan kebanyakan tidak
melakukan kontak mata dengan peneliti. Kontak mata hanya dilakukan ketika partisipan menjawab pertanyaan yang diajukan
peneliti untuk memperjelas maksud pernyataan yang diberikan partisipan.
Partisipan tampak tersenyum ketika menceritakan tentang rasa takutnya yang berkurang saat mengetahui banyak pasien yang
ditemui sudah melakukan histerektomi sama seperti yang dijalani
partisipan dan berhasil. Ekspresi ini juga yang ditunjukan partisipan saat menceritakan dirinya yang tetap aktivitas seperti biasa
walaupun telah mengetahui penyakitnya. Partisipan menunduk ketika peneliti menanyakan tentang apakah ada keinginan
partisipan untuk melakukan sesuatu yang berbeda sebelum dihisterektomi. Suara partisipan bergetar ketika menceritakan
tentang pandangannya terhadap penyakit yang diderita.
c. Analisis Verbatim Pre-histerektomi Partisipan 2