d. Kategori Pre-histerektomi P 1 No
Kategori
1. Gejala dan keluhan fisik.
2. Reaksi emosional tentang keadaan kesehatan setelah
didiagnosis. 3.
Perasaan tidak sendiri menderita. 4.
Keinginan untuk tetap bekerja dan beraktivitas pre- dan post-histerektomi.
5. Harapan yang dimiliki mengenai pekerjaan, diri sendiri dan
keluarga. 6.
Upaya yang dilakukan setelah didiagnosis. 7.
Relasi dan dukungan sosial temankeluarga. 8.
Kecemasan mengenai penyakit dan dampak histerektomi. 9.
Pergumulan tentang gaya hidup pola makan. 10.
Pergumulan dalam mengambil keputusan histerektomi. 11.
Fokus sebelum histerektomi dan pandangan tentang pentingnya uterus.
12. Pelayanan kepada orang lainnilai kebaikan.
13. Pandangan tentang penyakit pre-histerektomi.
14. Maknaarti hidup yang muncul dari pergumulan serta
kehidupan spiritual dan relasi dengan Tuhan. 15.
Perencanan untuk
memperbaiki kesehatan
post- histerektomi.
Berdasarkan kategori-kategori yang peneliti buat, maka langkah selanjutnya adalah merekonstruksi kategori-kategori
tersebut dalam sebuah narasi.
e. Narasi Pre-histerektomi Partisipan 1
THS adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak. Dalam kesehariannya selain menjalankan peran
sebagai seorang ibu rumah tangga, partisipan juga bekerja secara freelance. Pada bulan Juli 2011, sebelas bulan sebelum wawancara
ini, partisipan mengalami perdarahan. Siklus menstruasi yang tidak teratur dan cenderung banyak selama kurang lebih tiga belas hari
mendorongnya untuk memeriksakan diri ke dokter. Melalui pemeriksaan tersebut, ia didiagnosa memiliki mioma uteri pada
uterus dan juga kista ovarium pada salah satu ovariumnya. Saat mendapat vonis dari dokter mengenai penyakitnya, respon
emosional yang muncul dari dalam diri partisipan adalah perasaan kaget dan rasa tidak menerima mengenai vonis penyakit yang
diberikan dokter kepadanya. Hal inilah yang menyebabkan partisipan melakukan pemeriksaan kembali ke dokter lain mengenai
penyakit yang dideritanya sambil berharap bahwa terdapat kekeliruan atau kesalahan pada hasil pemeriksaan sebelumnya.
Akan tetapi, hasil pemeriksaan berikutnya tetap menunjukkan bahwa partisipan positif memiliki mioma uteri dan kista ovarium.
Ketika menerima kenyataan bahwa ia mengidap penyakit tersebut dan memiliki kemungkinan untuk dihisterektomi, perasaan
kecewa kembali dirasakan partisipan. Namun, selama dalam pergumulan dengan vonis yang diterimanya, perasaan tidak sendiri
menderita mampu membuat partisipan merasa kuat serta lebih bisa menerima keadaan dirinya. Informasi yang didapatkan dari teman-
temannya yang telah dihisterektomi dengan penyakit yang sama membuat partisipan semakin yakin bahwa hal yang sama terjadi
pada banyak wanita. Inilah yang membuat partisipan berkeyakinan
bahwa ia bisa sembuh dari penyakitnya.
Vonis dokter yang diterima tidak mengarahkan partisipan untuk selalu berfokus pada penyakitnya. Walaupun didiagnosis
memiliki mioma uteri dan kista ovarium, partisipan lebih memfokuskan dirinya pada usaha untuk menghentikan perdarahan
yang dialami yaitu dengan teratur mengkonsumi obat-obatan yang diberikan dokter dibandingkan pada mioma uteri dan kista
ovariumnya. Bahkan setelah perdarahannya teratasi dan siklus menstruasinya kembali normal, partisipan tetap menunda waktu
untuk melakukan kontrol ke dokter.
Perdarahan dan vonis dokter tentang penyakitnya tidak menjadi penghalang bagi partisipan untuk bekerja. Ia tetap bekerja
dengan bantuan anak dan karyawannya karena merasa harus mencapai target yang telah dibuat. Bagi partisipan, bekerja
merupakan hal yang penting karena dengan demikian ia merasa lebih berarti. Sehingga walaupun sakit, partisipan berusaha
melaksanakan pekerjaannya dengan baiknya dan penuh rasa tanggung jawab. Selain itu, partisipan juga tidak putus asa serta
berusaha berorientasi pada target dan tujuan dengan tetap memiliki harapan, baik untuk keluarga, diri sendiri maupun pekerjaannya.
Partisipan berharap kelak ia bisa melihat anak-anaknya sukses, partisipan dapat sembuh dari penyakit yang diderita, serta targetnya
dalam pekerjaan dapat tercapai. Partisipan juga memiliki kerinduan besar untuk dapat membuka usaha sendiri baik di rumah maupun
dan di luar pulau karena merasa memiliki peluang besar untuk mewujudkannya.
Setelah perdarahannya berhenti dan selama mengalami konflik perasaan untuk iya tidaknya histerektomi, partisipan
kemudian mencari alternatif lain untuk mengobati penyakitnya dengan harapan ia akan sembuh tanpa harus melakukan
histerektomi. Berdasarkan informasi yang didapat dari temannya yang dianggap dapat dijadikan referensi yang baik, partisipan
kemudian lebih intens mengkonsumsi obat-obatan herbal, yaitu ekstrak daun sirsak yang juga pernah dikonsumsi partisipan
sebelum didiagnosis memiliki mioma uteri dan kista ovarium. Selama mengkonsumsi pengobatan herbal partisipan tidak
melakukan kontrol rutin ke dokter walaupun selama itu pula
keluarga maupun teman-temannya terus mendorong partisipan untuk segera dihisterektomi. Tindakan partisipan yang selalu
menunda waktu histerektomi dengan alasan pekerjaan yang harus diselesaikan membuat partisipan mendapat teguran dari kakaknya.
Namun, teguran tersebut membuatnya sedih karena berasumsi
bahwa beban yang ia rasakan tidak dimengerti kakaknya.
Pada bulan April 2012 partisipan merasakan kram pada bagian bawah perut. Awalnya, frekuensi gejala hanya dirasakan
satu kali dalam sehari. Akan tetapi, semakin hari frekuensi munculnya gejala semakin sering dirasakan, yaitu berkisar lima kali
dalam sehari. Gejala semakin sering dirasakan ketika partisipan
mengendarai sepeda motor dan tiduran.
Gejala yang muncul membuat partisipan kembali merasa cemas karena memikirkan penyakitnya semakin parah. Rasa
cemasnya bertambah ketika mendengar kabar dari teman- temannya bahwa orang yang memiliki mioma uteri harus
dihisterektomi, ada teman yang mioma uterinya membesar serta ada yang kritis dan meninggal karena kista ovariumnya pecah. Hal
ini membuat partisipan yang lebih takut kritis dibanding meninggal semakin cemas. Ketakutan akan prosedur yang harus dijalani serta
biaya yang harus dikeluarkan membuat partisipan takut mengalami keadaan tersebut. Dibanding rasa cemas karena gejala yang
muncul, kabar tentang penyakitnya yang didapat dari teman-
temannya dirasakan lebih mengganggu dan berperan dalam menambah rasa cemas partisipan.
Pengalaman temannya yang pernah mengalami kritis hingga meninggal karena penyakit yang sama membuat pengaturan pola
makan menjadi pergumulan tersendiri bagi partisipan. Ia menjadi lebih selektif dalam memilih makanan. Namun, walaupun telah
selektif dalam memilih makanan dan porsi makannya tidak berubah, partisipan mengalami penurunan berat badan. Partisipan merasa
yakin bahwa hal ini merupakan efek dari penyakit yang diderita
serta beban psikologis karena terus memikirkan penyakitnya.
Selama kurang lebih dua bulan sejak kembali memikirkan penyakitnya, partisipan sering terbangun di malam hari karena di
pikirannya berkecamuk banyak hal. Konflik perasaan dialami partisipan dimana, di satu sisi ia takut akan proses histerektomi
yang merupakan pengalaman pertama baginya, namun di sisi lain partisipan merasa histerektomi harus tetap dilakukan karena takut
penyakitnya bertambah parah. Selain proses histerektomi, biaya yang harus disediakan juga menjadi beban bagi partisipan.
Hal yang sama juga dirasakan partisipan mengenai efek histerektomi yang akan dialaminya. Kecemasan akan adanya
penurunan hormon dan penuaan dini akibat diangkat uterus dan ovarium menjadi beban tersendiri bagi partisipan. Terdapat
perasaan kuatir jika penurunan hormon akan berpengaruh pada
penampilannya berhubungan dengan pekerjaan yang ditekuni. Kekuatiran akan efek histerektomi membuat partisipan berrencana
meminta suplemen untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Pengalaman partisipan saat bermimpi tentang ayahnya yang
telah meninggal dan memanggil nama partisipan juga menambah rasa cemas dalam dirinya. Meskipun mimpi dianggap belum tentu
terjadi, namun ada ketakutan dalam diri partisipan jika mimpi tersebut ia alami, karena baginya jika memimpikan orang yang
telah meninggal akan membawanya kepada kematian. Kecemasan lain yang dirasakan partisipan juga mengenai
beban pekerjaan jika harus menjalani histerektomi. Pekerjaan yang harus tertunda karena harus menunggu hingga ia benar-benar pulih
membuat partisipan kembali mempertimbangkan iya tidak
dihisterektomi.
Semua hal yang disebutkan di atas, membuat partisipan marah akan dirinya sendiri karena tidak bisa berkonsentrasi ketika
bekerja. Namun semuanya itu berusaha diatasi partisipan dengan tidak memfokuskan pikirannya pada penyakit yang diderita dan
memikirkan usaha untuk terbebas dari sakitnya serta berdoa dan berolahraga.
Pemikiran partisipan untuk proses histerektominya juga membuat
ia selalu
mengunjungi temannya
yang baru
dihisterektomi. Dukungan dari temannya membuat partisipan kuat
dan merasa tidak sendiri karena ada orang lain yang juga telah mengalami hal yang sama sehingga kelak iapun merasa mampu
melaluinya. Partisipan kemudian memutuskan untuk segera memeriksakan diri ke dokter.
Vonis dokter yang kedua bahwa kista ovariumnya semakin berkembang namun mioma uterinya mengecil membuat partisipan
kembali kaget dan tidak terima karena merasa selama ini telah menjaga pola makannya dengan baik. Perasaan kecewa juga
dialami partisipan karena merasa usaha yang dilakukan untuk menyembuhkan penyakitnya sia-sia.
Bukan saja pengangkatan ovarium yang harus dijalani partisipan karena kista ovariumnya berkembang, partisipan juga
harus menjalani pengangkatan uterus. Pengangkatan uterus dilakukan karena kekuatiran adanya kemungkinan luka histerektomi
partisipan pada uterus dapat memburuk dan berubah menjadi kanker jika hanya dilakukan pengangkatan mioma uteri. Hal ini
membuat partisipan kecewa karena memandang uterus merupakan hal yang penting bagi seorang wanita karena merupakan anugerah
dari Tuhan.
Walaupun sedih dan kecewa dengan vonis yang didapat, partisipan tetap berbesar hati merelakan uterusnya diangkat.
Kekuatiran penyakitnya semakin memburuk serta faktor usia yang telah lanjut dan tidak memungkinkan untuk memiliki keturunan
membuat ia lebih mampu menerima keadaannya. Meski pengangkatan uterus berpengaruh pada kehidupan seksualnya,
partisipan juga tidak merasa kuatir setelah dihisterektomi. Demikian
pula dengan suaminya yang tidak mempermasalahkan bila uterusnya harus diangkat. Faktor keterbukaan dengan suami
membuatnya lebih yakin untuk mengambil keputusan histerektomi. Meskipun kecewa dengan vonis dokter, partisipan telah
mempersiapkan diri untuk dihisterektomi karena berpikir bahwa tindakannya yang selalu menunda waktu untuk histerektomi dapat
menyebabkan keadaanya semakin memburuk. Selain itu, partisipan juga telah mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk proses
pemulihannya serta target yang harus dilakukan beberapa bulan ke depannya. Keputusan untuk dihisterektomi tersebut diambil
partisipan tanpa memberitahu teman-temannya dengan alasan selama ini partisipan pernah mengatakan akan dihisterektomi tapi
selalu menunda melakukannya. Dengan keputusan histerektomi yang diambil, partisipan berharap kelak ia lebih leluasa dalam
beraktivitas dan kondisinya akan lebih baik setelah dihisterektomi. Hal lain yang membuat partisipan lebih siap menghadapi
histerektomi adalah dukungan emosional yang diberikan temannya yang telah dihisterektomi. Selain itu, dukungan dari temannya yang
mengirimkan pesan berisi ayat Alkitab sebelum dihisterektomi membuat partisipan merasa dikuatkan, dan semakin memahami
hikmat dibalik penderitaan serta menambah imannya kepada
Tuhan.
Dalam kesehariannya, partisipan lebih suka bergaul dengan teman-teman gerejanya dibanding dibanding masyarakat sekitar
tempat ia berdomisili. Partisipan menilai kurangnya rasa sosial yang tinggi antar warga, kurang tegasnya peraturan yang dibuat oleh
oleh pengurus serta kegiatan-kegiatan sosial yang tidak terstuktur dan mendadak pelaksanaannya, membuat partisipan tidak
melibatkan diri dalam kegiatan yang dilaksanakan. Kedekatan hubungan dengan teman-temannya membuat
partisipan merasa dirindukan jika tidak melakukan kunjungan ke rumah temannya dalam waktu lama. Dukungan emosional maupun
materi yang berdampak positif terhadap rasa kekeluargaan dan relasi diantara mereka membuat kunjungan kepada teman
dianggap sebagai salah satu bentuk pelayananya bagi orang lain karena dengan demikian ia merasa mampu berbagi dan membantu
orang lain. Selain itu, perasaan puas dirasakan partisipan ketika bisa membantu orang lain yang membutuhkan. Ia memandang
pelayanan kepada orang lain merupakan nilai penting untuk dilakukan. Melalui pelayanan yang diberikan kepada teman-
temannya dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Hal ini dirasakan ketika seseorang mampu
memberikan kontribusi yang berbeda dalam kehidupan orang lain.
Terdapat pergumulan
yang besar
ketika partisipan
menghadapi penyakitnya
mulai dari
didiagnosis sampai
pengambilan keputusan untuk dihisterektomi. Adanya reaksi emosional yaitu perasaan kecewa dan tidak terima ketika divonis,
kecemasan akan proses dan efek histerektomi yang harus dijalani, kecemasan akan beban kerjanya dan berbagai pergumulan lainnya.
Hal ini membuat partisipan mengalami pro dan kontra antara iya tidaknya histerektomi serta memandang penyakitnya sebagai
sesuatu yang disesalkan dan menjadi momok yang dirasakan selama berkarir.
Walaupun demikian, partisipan akhirnya mampu menerima keberadaan dirinya. Menerima dengan penuh ketabahan dan
kesabaran, penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi dapat membuat seseorang melihat makna dan hikmah di balik
penderitaan yang dialami. Bahkan ia merasa puas dengan apa yang dicapainya sebelum dihisterektomi serta merasa bahwa
pengalaman sakitnya membuat kehidupan spiritualnya semakin kuat. Lewat semua yang dialami, partisipan bersyukur karena
walaupun penyakitnya telah lama diketahui, tetapi Tuhan menjaganya hingga waktu yang tepat untuk dihisterektomi. Hal ini
membuat partisipan menemukan arti hidup melalui kehidupan spiritualnya yaitu dengan kekaguman atas apa yang dialaminya.
Selain itu partisipan juga mengalami hal yang sama ketika bekerja,
melayani orang lain dan membantu orang lain.
Sebelum dihisterektomi, partisipan berrencana untuk semakin memperbaiki kesehatan setelah dihisterektomi yaitu dengan
melakukan pemeriksaan kembali ke dokter lain untuk mempercepat penyembuhannya. Akan tetapi, sebelum dihisterektomi perasaan
cemasnya akan prosedur histerektomi bertambah ketika dilakukan sterilisasi daerah histerektomi tanpa penjelasan perawat yang
bertugas. Partisipan cukup puas dengan pelayanan yang diberikan akan tetapi ia merasakan pentingnya penjelasan prosedur
histerektomi kepada pasien sebelum perawat melakukan tindakan. Partisipan berpendapat bahwa perawat seharusnya mampu
mengetahui kondisi psikologis serta mampu menciptakan perasaan tenang dari pasien yang dirawatnya.
f. Laporan Observasi Post-histerektomi Partisipan 1