15
tindih karena belum diadakan pengukuran dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Mesuji Intan, 2011, hal. 190.
Dari dua sengketa lahan di atas menunjukan bahwa pemilik modal atau investor dari pihak swasta ataupun dari pemerintah selaku
yang membuat kebijakan seringkali merugikan pemilik lahan. Misalnya dari segi ganti rugi yang dibayarkan tidak sesuai dengan apa
yang menjadi kesepakatan di awal, ganti rugi yang dibayarkan membutuhkan waktu yang cukup lama, dan kadangkala ganti rugi
tidak dibayarkan. Masalah penolakan pembebasan lahan yang terjadi di
masyarakat Desa Palihan dan Desa Glagah terhadap pembangunan bandara di Kulon Progo menimbulkan konflik kepanjangan bahkan
sampai saat ini belum juga terselesaikan. Masyarakat yang menolak lahanya untuk dijadikan bandara bersikeras tidak mau merelakan
tanahnya diukur oleh Badan Pertanahan Negara Kulon Progo, hal ini jelas membuat terhambatnya pembangunan bandara di Kulon Progo.
Masyarakat yang menolak lahanya untuk dijadikan bandara ini tergabung dalam paguyuban Wahana Tri Tunggal WTT.
2. Sengketa Lahan Sebagai Penyebab Konflik di Masyarakat
Usmadi Murad 1991
menjelaskan bahwa kasus
pertanahan terdiri dari masalah pertanahan dan sengketa pertanahan. Masalah pertanahan adalah lebih bersifat teknis yang penyelesaiannya
cukup melalui petunjuk teknis kepada aparat pelaksana berdasarkan
16
kebijaksanaan maupun peraturan-peraturan yang berlaku, sedangkan sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak
atau lebih karena merasa diganggu hak dan penguasaan tanahnya yang diselesaikan melalui musyawarah atau pengadilan. Adapun sengketa
merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berkembang menjadi sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan kelanjutan dari konflik,
atau sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa apabila tidak dapat diselesaikan Sembiring, 2009.
Konflik lahan atau sengketa lahan yang terjadi dalam masyarakat seringkali menyebabkan retaknya hubungan antara lapisan
masyarakat yang membuat mereka tidak harmonis. Adapun konflik tersebut dapat terjadi antara individu dengan individu, idividu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Namun berbeda dengan Coser dalam bukunya Poloma: 2004, bahwa konflik itu mempunyai
nilai positif yang dapat meningkatkan solidaritas in-groupnya atau ikatan anggota kelompoknya di dalam masyarakat. Selain itu konflik
juga dapat memperkuat dan mempertegas kembali identitas para anggota kelompok dengan tujuan melindunginya dari ancaman luar
Poloma, 2004, hal. 107-108. Ketika terjadi konflik maka akan adanya kewaspadaan-kewaspadaan yang muncul akibat kecurigaan
atau prasangka dari masing-masing yang berkonflik.
17
Ketika terjadi konflik maka antara pihak-pihak yang berkonflik mempunyai tingkat emosional yang tinggi. Sehingga antara
anggota kelompok saling menguatkan satu sama lainya. Adapun dapat lebih diperinci lagi seperti berikut: 1 semakin besar solidaritas di
antara pihak-pihak yang berkonflik, semakin besar pula tingkat keterlibatan emosional, dan 2 semakin besar tingkat keharmonisan di
kalangan anggota-anggota pihak yang berkonflik, semakin besar pulaketerlibatan emosionalnya Lumintang, 2012. Hal tersebut yang
menjadi perhatian Coser ketika menganalisis konflik sosial yang terjadi di dalam masyarakat, bahwa kedekatan hubungan sosial
berkaitan erat dengan emosional setiap anggota kelompoknya. Integritas sosial dan stabilitas sosial di dalam masyarakat
tercipta bukan hanya terjadi karena adanya konsensus dan kerjasama di dalam masyarakat, akan tetapi justru Coser melihat bahwa konflik
sosialah yang menciptakan keadaan masyarakat dalam kestabilan di dalam struktur sosial. Dalam hal ini Coser memperlihatkan bagaimana
konflik memiliki fungsi terhadap sistem sosial, yang pertama yaitu bagaimana konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain
daripada perlawanan kelompok kepentingan; yang kedua konflik memperlihatkan atau mempunyai konsekuensi dalam stabilitas dan
perubahan sosial. Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau
fungsi positif di dalam masyarakat Susan, 2010, hal. 59-60. Dengan
18
kata lain bahwa konflik sosial yang muncul di dalam masyarakat sebagai bentuk atau upaya menciptakan dan menemukan aturan-
aturan, nilai baru yang nantinya menghasilkan konsensus bersama di dalam masyarakat yang berkonflik. Sehingga kita perlu melihat ketika
terjadi konflik tidak selamanya membawa dampak negatif akan tetapi juga dampak positif di dalam struktur masyarakat.
Sementara itu Coser membedakan konflik yang ada dalam masyarakat menjadi dua. Pertama konflik realistis berkaitan dengan
konflik yang muncul dari rasa kekecewaan masyarakat terhadap tuntutan-tuntutan yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Kedua konflik non-realistis
yaitu konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan
biasanya dari salah satu pihak yang berkonflik mengkambinghitamkan orang lain Poloma, 2004, hal. 110. Ketika Coser membedakan
konflik menjadi dua seperti yang telah diuraikan di atas, maka dalam masyarakat bisa saja konflik realistis dan non-realistis terjadi secara
bersamaan, sehingga hal tersebut menjadi semakin kompleks konflik yang ditimbulkanya.
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia
sebagai makhluk
sosial di
dalam berkehidupan
bermasyarakat. Selain itu, perbedaan kepentingan setiap individu juga
19
merupakan hal dasar yang menyebabkan timbulnya konflik di dalam masyarakat. Perbedaan kepentingan adalah salah satu faktor utama
yang dapat menimbulkan konflik sosial. Kepentingan setiap individu didasarkan pada kebutuhan dan keinginan yang melekat dalam diri
individu tersebut. Konflik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan di dalam
masyarakat yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau keinginan yang saling bertentangan untuk saling menguasai dan mempengaruhi
orang lain. Di dalam bukunya Dean G. Pruit, 2011: 10
mendefinisikan konflik sosial berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan
perceived divergence of interest, atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi-aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Artinya bahwa terjadinya suatu
konflik sosial disebabkan oleh banyak faktor sehingga konflik tersebut bersifat kompleks yang melibatkan berbagai unsur masyarakat di
dalamnya. Karl Marx dalam Raditya, 2002 seorang Sosiolog, yang
mengenalkan teori konflik antar kelas menjelaskan bahwa latar belakang munculnya konflik sosial di dalam masyarakat adalah
adanya kesenjangan sosial pada masyarakat. Pernyataan Karl Marx mengenai kenyataan sosial antara lain; adanya struktur kelas dalam
masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara
20
orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran,
dan pelbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, yang kiranya sangatlah penting. Terbalik
dengan Karl Marx, menurut Dahrendorf dalam Raditya, 2002 konflik terjadi bukan karena adanya pertentangan antara mereka yang
memiliki modal produksi dan yang memiliki tenaga kerjanya, melainkan karena derajat otoritas dan dominasi di dalam asosiasi
Raditya, 2002, hal. 25. Dominasi kelompok yang mempunyai otoritas atau kedudukan tertinggi dalam masyarakat memunculkan
ketimpangan berupa hak dan kewajiban dalam memainkan peran dan status sosialnya. Biasanya kelompok lemahlah yang menjadi sasaran
pemegang otoritas tertinggi dalam pembuatan kebijakan misalnya penggusuran rumah di dekat sungai yang akan didirikan kanal banjir,
dan sebgaianya. Selain itu Dahrendorf juga menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat tidak lagi terbagi ke dalam kelas atas dan kelas
bawah namun sekarang ini terdapat adanya kelas menengah yang dikategorikan berdasarkan
spesialisasi masyarakat.
Spesialisasi merupakan pembagian pekerjaan berdasarkan pada kemampuan dan
keahlianya. George Simmel, salah satu tokoh dari aliran fungsionalisme
menganalisis dari sisi fungsinya. Dia mengatakan bahwa struktur sosial adalah gejala yang mencakup berbagai proses asosiatif dan
21
disosiatif yang tidak mungkin dipisahkan, tetapi bisa dibedakan dalam analisis Raditya, 2002, hal. 18. Proses asosiatif lebih menekankan
pada aspek saling hubungan satu sama lain di dalam masyarakat dalam bentuk kerja sama. Masyarakat yang merupakan satu kesatuan
tentunya saling berinteraksi sehingga terbentuklah hubungan di antara mereka. Sedangakan proses disosiatif melihat masyarakat mengalami
retaknya hubungan sosial atau perpecahan. Hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu; perbedaan ideologi,
perbedaan tujuan atau pandangan hidup, perbedaan pendapat, dan masih banyak lagi faktor yang menyebabakan perpecahan di dalam
masyarakat. Lewis Coser dalam Raditya, 2001, Coser mempertegas argumen Simmel bahwa konflik dapat menjadi media integratif,
persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial, serta penguatan identitas kelompoknya Raditya, 2002, hal. 19.
Konflik di dalam masyarakat baik itu konflik horizontal maupun vertikal tidak selamanya membawa dampak buruk bagi
masyarakat yang berkonflik. Ketika adanya ancaman dari luar maka kelompok tersebut hubunganya akan semakin kuat. Emosianal antar
anggota kelompok yang terlibat konflik akan meningkat, begitu juga rasa solidaritas diantara mereka.
Mereka merasa senasib dan sepenanggungan dalam mengahadapi ancaman dari luar. Namun hal itu tidak menjamin bahwa
luapan emosi antar anggota kelompok itu dapat meminimalisir
22
terjadinya kekerasan. Luapan emosional yang berlebihan kadangkala diluapkan dengan menggunakan kekerasan fisik.
3. Upaya Penyelesaian Sengketa Lahan Pertanian