Upaya Penyelesaian Konflik ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Latar Belakang Pembangunan BandaraBaru di Kulon Progo

116 Mereka yang pro bandara membolehkan lahanya untuk diukur dan di data oleh BPN. Dengan alasan pembangunan bandara inimerupakan kebijakan pemerintah Kulon Progo untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Antara yang kelompok masyarakat pro dan kontra mereka sama-sama saling tidak peduli. Hal itu ditunjukan ketika ada acara berupa hajatan, lalayu atau taziah dan acara-acara yang lainya mereka saling memisahkan diri, dalam artian mereka datang ke acara tersebut apabila mereka satu kelompok dengan dia in-group-nya. “Seperti ketika ada sripahan orang meninggal, baik yang pro ataupun kontra seakan tidak peduli, ketikan orang meninggal pada warga pro, warga yang kontra tidak datang, contoh kedua yaitu ketika ada hajatan di salah satu warga pro atau kontra maka tidak datang meskipun ada undanganya. Ada juga ketika ada yang sakit, baik yang pro atau kontra tidak peduli, yang peduli ya yang sepaham dengan dia”, ungakap Sumartono 47, 17012016. Jadi antara kelompok dalam in group dan kelompok luar out group mempunyai saling ketergantungan dengan konflik, karena biasanya kekompkan muncul disebabkan adanya ancaman dari luar kelompoknya. Sehingga hal itu membuat atau menciptakan kekompakan kelompok dalam in-group-nya untuk melawan musuh dari luar out group, Utsman, 2007, hal. 27.

7. Upaya Penyelesaian Konflik

Upaya penyelesaian konflik atau yang dikenal dengan istilah conflict management menurut Rubenstein dalam bukunya Novri Susan 117 2014; 122-123 bahwa conflict management bertujuan memoderasi atau memberadabkan efek-efek konflik tanpa perlu menangani akar konflik dan sebab-sebabnya, dalam artian semua konflik tidak perlu diselesaikan tetapi mempelajari cara mengelola berbagai konflik agar dapat mengurangi kekerasan. Pemerintah Kulon Progo dalam menangani konflik atau masalah mengenai pembangunan bandara yang menimbulkan pro dan kontra, khususnya dalam mengahadapi masyarakat yang kontra WTT lebih bersifat persuasif dan melakukan-melakukan pendekatan kepada mereka yang menolak pembangun bandara ini. Menurut Rubenstein 1996 dan Carpenter 1988 menyatakan secara eksplisit bahwa istilah conflict management adalah upaya pencegahan konflik dari kekerasan tanpa harus mencapai pemecahan masalah Susan, 2014, hal. 123. Pembebasan lahan dalam pembangunan bandara di lima desa yaitu Desa Glagah, Palihan, Kebonrejo, Jangkaran, dan Sindutan yang sudah berlangsung prosesnya sejak tahun 2015 lalu sampai awal tahun 2016 ini memang tidak berjalan mulus. Hal itu dikarenakan beberapa dari masyarakat yang kontra bandara WTT belum juga mau lahanya didata oleh petugas dari BPN Kulo Progo. Dari pemerintahpun melakukan upaya-upaya untuk segera menyelesaikan masalah tersebut supaya tidak berkepanjangan. Pemerintah menilai penolakan yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai dampak dari alih fungsi 118 lahan yang nantinya berdampak bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Memang selama ini mereka bertempat tinggal dan bertani di lokasi bandara baru yang akan dibangun. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari rencana relokasi bagi warga terdampak langsung ataupun tidak langsung pembangunan bandara ini sudah disiapkan. Adapun rencana relokasi bagi warga terdampak nantinya akan dipindahkan di tanah Kas Desa, yang masing-masing berada di lima desa terdampak. Sementara itu mengenai ketenagakerjaan pemerintah terkait dalam hal ini Pemda Kulon Progo juga mengupayakan supaya warga terdampak akan mendapat pekerjaan baik ketika dalam proses pembangunan bandara dan ketika bandara itu sudah jadi. Masyarakat terdampak tidak perlu kawatir akan keberlangsungan hidupnya, mulai dari tempat tinggal, pekerjaan dan sebagainya karena Pemerintah Kulon Progo dan PT Angkasa Pura I akan memprioritaskan warga terdampak pembangunan bandara dalam hal penyerapan tenaga kerja di bandara tersebut dan memberikan ganti rugi. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ir. RM. Astungkoro, M.Hum, selaku Sekda Kulon Progo; “Jadi gini, kekawatiran terhadap anak cucu mereka menurut saya sah-sah saja. Tapi saya bagian dari pemerintah ini kan memperhatikan betul dan mengupayakan betul terhadap mata pencaharian mereka, sesuai dengan kemampuanya. Artinya apa kalau menjanjikan ke anak cucu mereka, di sini kan ada perusahaan besar, jadi kan membutuhkan tenaga besar juga, dengan tenaga lokal tentunya yang diutamakan” 23022016. 119 Memprioritaskan warga terdampak dalam lapangan pekerjaan memang sudah seharusnya dilakukan oleh pemrintah dan instansi terkait. Sehingga adanya jaminan bagi mereka yang terdampak untuk keberlangsungan kehidupanya setelah ataupun sebelum adanya bandara baru itu. Untuk masalah penyerapan tenaga kerja tentunya disesuaikan dengan kemampuan dan potensi setiap masyarakat setempat. Selain mengupayakan ganti rugi bagi masyarakat terdampak bandara, sikap pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang ada juga lebih bersifat persuasif kepada mereka yang menolak pembangunan bandara WTT. Masyarakat yang menolak pembangunan bandara dengan sikap tidak membolehkan tanah mereka untuk di data dan diukur oleh BPN, pemerintah selaku pemangku kekuasaan atau kebijakan menilai hal itu syah-syah saja dilakukanya, yang penting baik aparat atau masyarakat terdampak tidak melakukan hal-hal yang anarkis. Jadi dalam hal ini mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada. seperti hasil wawancara dengan Pak Astungkoro 56; “Ya dengan upaya-upaya persuasif, melakukan pendekatan-pendekatan, berikan informasi dan beri tahu kepada mereka atas hak-hak mereka, kita lakukan berulang kali. Kita lebih suka persuasif, dan pendekatan manusiawi, perkara di lapangan kita di kata-katai tidak bagus, tidak apa-apa kita sebagai pelayan masyarakat memang harus demikian” 23022016. 120 Penyelesain masalah alih fungsi lahan untuk pembangunan berkaitan dengan kepentingan umum, memang sudah diatur sedemikian rupa di dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Dari mulai tahap-tahap proses pembagunan sampai pada tahap-tahap ganti rugi sudah diatur di dalam UU No.2 Tahun 2012. Meskipun demikian, walaupun sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan mulai dari tahap-tahap persiapan, proses sosialisasi, konsultasi publik, pendataan dan inventarisasi tanah, dan penilain tanah, tidak menutup kemungkinan konflik tersebut berhenti. Seperti yang disampaikan di atas bahwa conflict management bukanlah cara untuk menyelesaikan konflik yang ada akan tetapi bagaimana mempelajari cara mengelola konflik agar dapat mengurangi kekerasan. Terlepas dari conflict management, juga tata kelola konflik conflict governance yaitu bukan hanya bagaimana mengelola konflik dengan baik, akan tetapi bagaimana mengkonstruksikan pemecahan masalah dan menangani akar-akar konflk Susan, 2014, hal. 124. Mengkonstruksikan kembali diperlukan supaya dapat mengidentifikasi dan membuat pemetaan-pemetaan konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan demikian akan mempermudah dalam menangani berbagai masalah konflik di dalam masyarakat, yang kemudian dapat tercapailah penyelesaian konflik tersebut. 121

C. Pokok Temuan Penelitian