Bentuk-bentuk Konflik yang Terjadi di Dalam Pembangunan Bandara Baru di Kulon Progo

103 Alasan kenapa pak Yadi menolak pembangunan bandara seperti beberapa warga terdampak lainya, yaitu karena dia merasa sudah nyaman dan tenang tinggal di tempatnya sekarang ini. Namun setelah muncul isu bandara tersebut masyarakat mengalami gejolak dan hubungan antar warga tidak lagi harmonis. Perbedaan sikap dan persepsi diantara masyarakat, baik itu yang pro dan kontra, bahkan yang kurang peduli dengan adanya isu pembangunan bandara ini, sekiranya menjadi perhatian pemerintah dalam menyelesaikan permaslahan yang ada. Sehingga keadaan sosial atau rukun warga dapat menjalin hubungan dengan baik, tidak ada lagi gap-gap di masyarakat.

4. Bentuk-bentuk Konflik yang Terjadi di Dalam Pembangunan Bandara Baru di Kulon Progo

Konflik yang terjadi di masyarakat dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis atau bentuk konflik. seperti halnya konflik yang terjadi di masyakarakat Kulon Progo yang menolak atau menerima pembangunan bandara baru. Bentuk-bentuk konflik yang muncul pada masyarakat terdampak pembangunan bandara di antaranya yaitu:

a. Konflik Kepentingan

Dahrendof dalam bukunya Poloma, 2013, hal. 134- 135menyatakan; secara emperis, pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, 104 kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan yang bersifat manifes disadari atau laten kepentingan potensial. Munculnya paguyuban Wahana Tri Tunggal WTT sebagai kelompok penolak bandara, menunjukan bahwa keberadaan mereka secara formal atau legal tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas, akan tetapi keberadaan mereka diakui oleh pemerintah dan masyarakat. Adapun paguyuban WTT ini mempunyai kepentingan mempertahankan hak mereka yaitu lahan terdampak bandara, yang selama ini mereka menggantungkan hidupnya dari pertanian. Seperti hasil wawancara dengan pak Agus Widodo 30, salah satu anggota WTT yang bertindak selaku PAL; “Kalau saya tidak setuju soalnya lahan saya yang menjadi sumber penghasilan saya akan hilang mas, nanti kalau lahan saya dijadikan bandara keluarga anak istri saya mau makan apa, dan kerja apa”, ungkap Agus Widodo 30, 20012016. Perbedaan kepentingan diantara pemangku kebijakan dengan masyarakat menjadi faktor utama kenapa konflik lahan dalam pembangunan bandara tersebut muncul. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat yang didasarkan pada lahan yang selama ini 105 menjadi tumpuan dan mata pencaharian hidup akan beralih fungsi menjadi bandara. Alih fungsi lahan untuk suatu pembangunan untuk kepentingan umum. Memang hal itu sudah diatur di dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, jadi pada dasarnya prosedur ataupun tahapan- tahapan dalam alih fungsi lahan sudah diatur sedemkian rupa di dalam UU. Meskipun demikian yang perlu diperhatikan adalah faktor sosial atau dampak sosialnya, seperti yang dialami oleh masyarakat terdampak pembangunan bandara di Kulon Progo, dari mulai masalah relokasi tempat tinggal, ketenagakerjaan, dan kelangsungan hidup lainya.

b. Konflik Antar Kelas Sosial

Konflik yang terjadi antar kelas sosial biasanya berupa konflik yang bersifat vertikal, konflik antara kelas sosial atas dan kelas sosial bawah yaitu antara masyarakat petani yang tergabung dalam paguyuban Wahana Tri Tunggal dengan Pemerintah Kulon Progo. Konflik ini terjadi karena kepentingan yang berbeda antara dua golongan atau kelas sosial yang ada Setiadi Kolip, 2011, hal. 355. Konflik antar kelas yang terjadi di daerah Kulon Progo, tepatnya di kecamatan Temon yang meliputi 5 desa yaitu; Desa Glagah, Palihan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Sindutan, bersifat vertikal-horizontal. 106 Yang pertama konflik lahan pertanian dalam pembangunan bandara di Kulon Progo melibatkan antara masyarakat petani dengan Pemda dan BPN Kulon Progo. Selain itu juga pihak yang pemrakarsa pembangunan bandara yaitu P.T Angkasa Pura I. Ini bisa kita lihat dari beberapa kasus, misalnya pada tanggal 16 Januari 2014, dimana terjadi penghadangan dan pemblokiran jalan ketika akan dilakukan pemasangan patok oleh BPN. Pada tanggal 16 Februari 2016 saat peneliti sedang melakukan penelitian di lapangan hal serupa juga terjadi lagi, yaitu penghadangan pemasangan patok titik kordinat bandara. Aksi saling dorong antara aparat atau petugas dengan warga tidak dapat terhindarkan. Beruntungnya tidak menimbulkan korban jiwa atau kerusakan yang berarti, hanya saja beberapa petugas BPN, Polisi yang mengalami luka ringan, begitu juga dengan beberapa warga yang mengalami luka ringan karena saling dorong. Selain konflik antar kelas yang melibatkan antara warga terdampak dengan pemerintah, konflik lahan dalam pembangunan bandara ini juga terjadi antara masyarakat itu sendiri, yaitu antara masyarakat yang pro bandara dengan masyarakat yang kontra WTT. Munculnya konflik yang sifatnya horizontal ini lebih disebabkan oleh perbedaan sikap, pendirian, dan pandangan antar masyarakat terdampak. Adapun konflik yang sifatnya horizontal ini bisa kita lihat dari hubungan antara warga terdampak yang tidak 107 harmonis, terjadinya gap-gap antar warga, lunturnya budaya gotong royong dan masih banyak lagi. Untuk lebih lengkapnya peneliti mencoba membahasnya nanti di sub tema lainya, mengenai dampak konflik lahan dalam pembangunan bandara ini. Sikap masyarakat yang pro bandara lebih karena pada mentaati kebijakan yang dibuat pemerintah, mempunyai persepsi bahwa dengan pembangunan bandara ini masyarakat terdampak akan lebih sejahtera. Akan tetapi sikap yang berbeda ditunjukan oleh masyarakat yang kontra WTT, bahwa mereka mempunyai persepsi bahwa dengan adanya pembangunan bandara ini akan membuat lebih sengsara, dan akan menghilangkan sumber mata pencaharian mereka sebagai petani. Sehingga mereka yang kontra WTT, menganggap tidak ada jaminan dari pemerintah nantinya setelah jadinya bandara, dalam artian masyarakat yang kontra WTT masih meragukan apa yang selama ini diutarakan oleh pemerintah atau pihak terkait dalam pembangunan bandara. Misalnya saja masalah ganti rugi, relokasi yang belum jelas. Seperti yang diutarakan oleh Pak Agus 30 salah satu warga WTT; “Sampai detik ini saya belum tahu, bahkan yang pro juga belum tahu berapa ganti ruginya. Dari mulai tahap sosialisasi, konsultasi publik, dan pendataan sampai saat ini belum ada pemberitahuan” 20012016. Belum adanya kejelasan mengenai ganti rugi bagi warga terdampak pembangunan bandara membuat sebagian masyarakat 108 menaruh sikap kurang percaya pada pemerintah selaku pemangku kebijakan.

5. Peluang Munculnya Konflik antara Masyarakat Pro Bandara Dengan Pemerintah