HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN DAN JARAK RUMAH DENGAN MOTIVASI PENDERITA TB PARU BEROBAT RUTIN DI RUMAH SAKIT PARU DUNGUS MADIUN

(1)

TESIS

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN DAN JARAK RUMAH DENGAN MOTIVASI PENDERITA TB PARU BEROBAT RUTIN

DI RUMAH SAKIT PARU DUNGUS MADIUN

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan

Oleh : PRIADI S541002023

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN DAN JARAK RUMAH DENGAN MOTIVASI PENDERITA TB PARU BEROBAT RUTIN

DI RUMAH SAKIT PARU DUNGUS MADIUN

Disusun Oleh : Priadi S541002023

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal : 4 Juli 2011

Jabatan Nama Tanda tangan

Pembimbing I Prof. Dr. dr. Didik Tamtomo, PAK, MM, MKK

NIP. 19480313 197610 1 001

……….. Pembimbing II dr. Putu Suriyasa, MS.,PKK., Sp.OK

NIP. 19481105 198111 1 001

………..

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prof.Dr.dr.Didik Tamtomo, PAK, MM, MKK NIP. 19480313 1976101001


(3)

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, PENGETAHUAN DAN JARAK RUMAH DENGAN MOTIVASI PENDERITA TB PARU BEROBAT

RUTIN

DI RUMAH SAKIT PARU DUNGUS MADIUN

Disusun Oleh : Priadi S541002023

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada tanggal :

Dewan Penguji

Jabatan : Nama Tanda tangan

Ketua : Dr. Nunuk Suryani, M.Pd

NIP. 19661108 199003 2 001 ………

Sekretaris : Ir. Ruben Dharmawan, dr. Ph.D

NIP. 19511120 198601 1 001 ………

Anggota : Prof. Dr.,Didik Tamtomo, dr., MM., M.Kes., PAK

NIP. 19480313 197610 1 001 ………

: Putu Suriyasa, dr.,MS., PKK., Sp.Ok

NIP. 19481105 198111 1 001 ……….

Mengetahui, Direktur PPS UNS

Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D NIP. 19570820 198503 1 004

Surakarta, Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr, MM, M.Kes. PAK NIP. 19480313 197610 1 001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan benar.

Penyelesaian penyusunan tesis ini tiada lain berkat bantuan dengan ketulusan hati dan sumbang saran dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis dalam proses perencanaan, penelitian sampai dengan penyusunan laporan tesis. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan dengan tulus dan banyak terima kasih, dengan teriring doa semoga amal ibadah saudara mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

Atas tersusun dan terselesaikannya laporan tesis ini, penulis haturkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan dukungan untuk mengikuti program pascasarjana.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D., Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk studi di Program Pascasarjana Prodi Kedokteran Keluarga Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan.

3. Prof. Dr., Didik Tamtomo, dr., MM., M.Kes., PAK., selaku Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga dengan Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi ijin dalam penyusunan tesis dan selakui pembimbing I.


(5)

4. Putu Suriayasa, dr, MS.,PKK., Sp.OK, selaku pembimbing II tesis ini yang dengan ketulusan membimbing penulis dari sejak penyusunan proposal sampai dengan penyusunan tesis ini selesai.

5. Seluruh dosen pengajar program studi Kedokteran Keluarga minat Utama

Pendidikan Profesi Kesehatan.

6. Kepala Rumah Sakit Paru Dungus Madiun yang telah yang telah mengizinkan penulis untuk menempuh pendidikan pascasarjana dan memberi kesempatan penulis untuk melakukan pengambilan data dirumah sakit.

7. Teman seperjuangan paralel II yang banyak meberikan support dalam

penyelesaian tesis ini.

8. Ayah dan ibu tercinta yang selalu dengan tulus mendo’akan penulis agar sukses dalam studinya.

9. Istri dan anak-anak tercinta yang merelakan waktunya terbagi demi

kelanjutan studi Ayahnda.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang budiman demi kesempurnaan tesis ini supaya lebih bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 20 Juli 2011


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………. i

LEMBAR PENGESAHAN ……… ii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI ………. v

DAFTAR GAMBAR………. viii

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR LAMPIRAN ……… x

ABSTRAK ……… xi

BAB I. PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Rumusan Masalah ………. 4

C. Tujuan Penelitian ………... 5

D. Manfaat Penelitian ………... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..……… 7

A. Kajian Teori ……….…. 7

1. Tingkat Pendidikan……….……... 7

a. Definisi Pendidikan……….……. 7

b. Tujuan Pendidikan……….... 9

c. Jalur Pendidikan ………... 9


(7)

2. Pengetahuan ……….…… 11

a. Definisi Pengetahuan ………... 11

b. Cara Mendapatkan Pengetahuan ………..…… 12

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan………….. 13

d. Tingkat Pengetahuan………. 15

e. Pengukuran Pengetahuan……….. 18

3. Jarak Rumah….. ………... 19

4. Motivasi………. 20

a. Definisi Motivasi…………..……..……….. 20

b. Teori Motivasi………… ……….. 22

5. Penyakit Tuberkulosis………... 33

a. Definisi………. 33

b. Etiologi………. … 33

c. Cara Penularan……….. .. 33

d. Resiko Penularan………..……… 34

e. Tanda dan Gejala Tuberkulosis………..…….. 35

f. Penemuan Pasien Tuberkulosis………. 36

g. Penegakan Diagnosis Tuberkulosis………..… 37

h. Klasifikasi dan Tipe Penyakit Tuberculosis ………. 39

B. Hubungan Variabel Bebas (Tingkat Pendidikan, Pengetahuan, Jarak Rumah ) dengan Variabel Terikat (Motivasi)…….……… 50

C. Penelitian yang Relevan ………...……… 51


(8)

E. Hipotesis Penelitian………... 54

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 56

A. Desain Penelitian ………..…. 56

B. Tempat dan Waktu Penelitian …..……….…. 56

C. Populasi dan Sampel Penelitian ……… 56

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional….………... 57

E. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data ………..………... 60

F. Uji Validitas dan Reliabilitas……..………... 60

G. Pengolahan Data………. … 60

H. Analisa Data………..………. 61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….….………….… 62

A. Hasil Penelitian………….. ……….… 62

B. Pengujian Persyaratan Analisis………. 68

C. Hasil Analisis Penelitian…………..………...… 69

D. Pembahasan ……….…….. 71

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI…..………...….. 87

Kesimpulan ……… 87

Saran ………. 88

Implikasi………. ... 89

DAFTAR PUSTAKA ………. 91


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru……… 38

Gambar 2. Kerangka Berpikir ……. ……….…. 53

                                 


(10)

   

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin……… 62

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden menurut kelompok umur…... 63 Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikan.. 63 Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden menurut jarak rumah pasien

dengan Rumah Sakit Paru Dungus Madiun………. 64

Tabel 4.5 Data Cross tabulasi antara tingkat pendidikan dengan

motivasi……….. 65

Tabel 4.6 Data Cross tabulasi antara pengetahuan dengan motivasi….. 66

Tabel 4.7 Data Cross tabulasi antara jarak rumah dengan motivasi…… 67

Tabel 4.8 Hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah

Sakit Paru Dungus Madiun………. 69

Tabel 4.9 Anova yang menggambarkan hubungan variabel bebas dan


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1  Permohonan Penelitian……….. 94

Lampiran 2  Persetujuan Penelitian……… 95

Lampiran 3  Permohonan Menjadi Responden……….. 96

Lampiran 4  Persetujuan menjadi responden……… 97

Lampiran 5  Kuesioner penelitian……… 98

Lampiran 6  Lembar Jawaban………. 105

Lampiran 7  Uji Validitas Pengetahuan……… 106

Lampiran 8  Uji Validitas Motivasi……… 107

Lampiran 9  Uji relabilitas pengetahuan……… 108

Lampiran 10  Uji reliabilitas motivasi……….. 109

Lampiran 11  Cross tabulasi tingkat pendidikan dengan motivasi……… 110

Lampiran 12  Cross tabulasi pengetahuan dengan motivasi……… 111

Lampiran 13  Cross tabulasi jarak rumah dengan motivasi………. 112

Lampiran 14  Uji korelasi variabel bebas dengan variabel terikat……….. 113

ABSTRAK

Priadi, S541002023, 2011 Hubungan Tingkat Pendidikan, Jarak Rumah, dan Pengetahuan dengan Motivasi Penderita TB Berobat Rutin (di Rumah Sakit


(12)

Paru Dungus Madiun). Tesis: Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang: Penyakit Tuberculosis (TB) sampai saat ini telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Pada tahun 2010, diperkirakan ada 8 juta pasien TB baru dan 2 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% penderita dan 98% kematian akibat TB di dunia berada di negara-negara berkembang. Indonesia merupakan negara penyumbang kasus pasien TB terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India. WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993.

Tujuan: menganalisa hubungan tingkat pendidikan, jarak rumah dan pengetahuan dengan motivasi pasien TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.

Metode: cross-sectional. Penelitian dimulai bulan Februari sampai dengan awal Juni 2011, dicuplik dengan teknik accidental sampling. Sampel mencakup 48 pasien tuberculosis yang menjalani program pengobatan DOTS yang periksa di Poli Klinik Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Data penelitian dikumpulkan menggunakan kuisioner. Data kemudian dianalisis menggunakan analisis regresi berganda.

Hasil: (1) tingkat pendidikan dengan motivasi penderita TB berobat rutin menghasilkan korelasi sebesar 0,119 dengan angka signifikan 0,210; (2) hubungan pengetahuan dengan motivasi penderita TB berobat rutin menghasilkan korelasi korelasi sebesar 0,404 dengan angka signifikan 0,002; (3) hubungan jarak rumah dengan motivasi penderita TB berobat rutin menghasilkan korelasi sebesar 0,102 dengan angka signifikan 0,245; dan (4) hasil analisis melalui uji anova tentang hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB berobat rutin menggunakan uji F memperlihatkan nilai F hitung sebesar 3,827 dengan nilai kebermaknaan sebesar 0,016, dan F tabel sebesar 2, 80; nilai F hitung lebih besar dari F tabel dengan nilai signifikan lebih kecil dari α = 0.05 .

Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan, jarak rumah dan pengetahuan mempunyai hubungan positif dan signifikan secara statistik dengan motivasi penderita TB berobat rutin.

Kata kunci: Tingkat pendidikan, pengetahuan, jarak rumah, dan motivasi

berobat rutin

ABSTRACT

Priadi, S541002023. The Correlation of the Educational Level, the Residence Distance, and the Knowledge of the Lung Tuberculosis Clients to Their


(13)

Motivation to Undergo Routine Medications (at Lung Hospital of Dungus, Madiun). Thesis: The Graduate Program in Family Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta, 2011.

Background: Tuberculosis disease has hitherto infected one third of the world’s population. In 2010, there were approximately 8 million new victims of the tuberculosis disease and 2 million mortalities due to the disease all over the world. It is predicted that 95% of the victims and 98% of the mortalities have occurred in the developing countries. Indonesia is the third-biggest country after China and India with the victims of the lung tuberculosis. In 1993, World Health Organization (WHO) issued a global warning for the tuberculosis disease.

Objective: to analysis the correlation of the educational level, the residence distance, and the knowledge of the lung tuberculosis clients to their motivation to undergo routine medications at Lung Hospital of Dungus, Madiun.

Method: a cross-sectional approach. It was conducted from February to early June 2011, were taken by using an accidental sampling technique. The samples consisted of 48 lung tuberculosis clients undergoing DOTS medication program at Lung Hospital of Dungus, Madiun. The data of the research were gathered through questionnaire. They were then analyzed by using a multiple regression analysis.

Result: (1) the educational level of the lung tuberculosis clients and their motivation to undergo routine medications result in the correlational value of 0.119 at the significance level of 0.210; (2) the knowledge of the lung tuberculosis clients and their motivation to undergo routine medications result in the correlational value of 0.404 at the significance level of 0.002; (3) the residence distance of the lung tuberculosis clients and their motivation to undergo routine medications result in the correlational value of 0.102 at the significance level of 0.245; and (4) the analysis of variance on the correlation of the educational level, the residence distance, and the knowledge of the lung tuberculosis clients and their motivation to undergo routine medications by using F test shows that Fcount is

3.827 dan Ftable is 2.80 at the significance level of 0.016; the value of Fcount is

greater than that of Ftable, with the value of the significance level of 0.016 which is

smaller than that of α  = 0.05 .

Conclusion: Based on the results of the research, a conclusion is drawn that the education level, the residence distance, and the knowledge of the tuberculosis clients statistically have a positive and significant correlation to their motivation to undergo routine medications.

Keywords: Educational level, knowledge, residence distance, and motivation to undergo routine medications. 


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Diperkirakan sekitar 135 kasus per 100.000 penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2010, diperkirakan ada 8,8 juta pasien TB baru dan 1,6 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Penyakit Tuberculosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, maka sejak tahun 1993 WHO telah mencanangkan TBC sebagai kedaruratan global (global

emergency), (WHO, 2008).

Berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, TBC merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam penyakit kelompok infeksi. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Hasil survei prevalensi tahun 2004, setiap tahun di Indonesia terdapat 245.000 penderita baru dengan jumlah TBC menular dengan Basil Tahan Asam Positif (BTA +) sejumlah 107.000 kasus, dan kematian yang disebabkan TBC sekitar 46.000 kasus. TBC menyerang sebagian besar kelompok usia produktif, ekonomi lemah, dan pendidikan rendah. Penderita TBC terus


(15)

meningkat oleh karena setiap satu penderita TBC BTA positif akan menularkan 10-15 orang lain setiap tahunnya, sehingga perlu adanya upaya penanggulangan secara optimal, terpadu dan menyeluruh, (WHO, 2008).

Program Penanggulangan Tuberculosis paru di Indonesia, sejak tahun 1995 dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observered Treatment

Shortcourse ) dalam Program Penaggulangan TB Nasional (P2TB). Keberhasilan

pelaksanaan program penanggulangan TBC diukur dari pencapaian angka penemuan penderita TBC (Case Detection Rate = CDR), angka kesembuhan penderita (cure rate) dan angka sukses pengobatan. Namun upaya pemberatasan TB masih lamban. Hambatan ini dikarenakan antara lain letak geografis wilayah Indonesia yang terpencar-pencar dan kurang teraturnya pengobatan. Padahal pengobatan penyakit TB tidak boleh setengah-setengah, harus rutin, berturut-turut sampai tuntas dan memakan waktu paling sedikit 6 bulan, (Depkes, 2007).

Pengobatan TB yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak adequate di masa lalu menyebabkan terjadinya kekebalan kuman TB terhadap obat Anti TB (OAT) secara meluas atau Multi Drugs Resistance (MDR), (Depkes, 2007). Berdasarkan laporan Orgnisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementrian Negara Republik Indonesia yang disebarkan pada peringatan Hari Tuberculosis 24 Maret 2010, perkiraan kejadian TB kebal obat 2 % sampai 3 % diantara kasus baru. Perkiraan jumlah pasien TB kebal obat di antara keseluruhan kasus TB di Indonesia pada tahun 2007 sekitar 12.209 jiwa. Perkiraan insiden

tuberculosis-multidrugs resistance (TB-MDR) mencapai 6.395 kasus per tahun, (Kompas.com,


(16)

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energy) seseorang yang dapat menimbulkan persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik bersuber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkan, baik dalam kontek kesehatan, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Penderita TB akan berusaha sekuat tenaga apabila dia memiliki motivasi yang besar untuk mencapai tujuan kesembuhan dari penyakitnya. Pasien atau penderita akan berusaha sungguh-sungguh dalam arti kontrol tepat waktu dan mematuhi segala aturan pengobatan program TB tanpa dipaksa apabila memiliki motivasi yang besar, yang dengan demikian diharapkan akan mencapai prestasi yang tinggi yaitu sembuh dari penyakit tuberculosis. Adanya motivasi berprestasi yang tinggi dalam diri pasien merupakan syarat agar pasien terdorong oleh kemapuannya sendiri untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapinya, lebih lanjut pasien akan sanggup untuk kontrol berobat rutin dengan teratur, (Sudrajat. A, 2008).

Data di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun tahun 2009 terdapat 238 penderita TB dengan rincian, 18 penderita dengan BTA (+) dan 220 penderita dengan BTA (-). Dari data di atas pasien yang berobat rutin dan dinyatakan sembuh (sucses rate) 72 penderita (30%), sedangakan yang droup out (DO) terdapat 34 penderita (14%) dan sisanya 133 penderita (56%) pindah pengobatan atau pindah alamat yang tidak bisa dilacak oleh Wasor TB Rumah Sakit. Untuk tahun 2008 terdapat 219 penderita dengan success rate (SR) 68%, sedangkan penderita yang DO 27% . Padahal biaya pengobatan di rumah sakit bisa dibilang


(17)

sangat murah karena semua obat program TB diberikan kepada penderita gratis secara nasional, selain itu masih ditunjang program Jamkesmas (Nasional) dan Jamkesda (Provinsi Jawa Timur) bagi penduduk miskin yang di gratiskan dari segala biaya rumah sakit. Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa angka keberhasilan program TB di Rumah Sakit cukup rendah di bandingkan dengan Renstra Penangulangan TB di Indonesia tahun 2006-2010, Angka Kesembuhan minimal 85%. sehingga dalam jangka waktu 5 tahun ke depan angka prevalensi TB di Indonesia dapat diturunkan sebesar 50%, (Depkes RI, 2007).

Muksin (2006) membuktikan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi keteraturan minum obat pasien, sedangkan pengetahuan dan jarak rumah dengan rumah sakit mempengaruhi kepatuhan berobat rutin (Sutanta, 2008). Dengan permasalahan di atas peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah pasien TB dengan motivasi berobat rutin di RS Paru Dungus Madiun.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan tingkat pendidikan dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?

2. Apakah ada hubungan pengetahuan dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?


(18)

3. Apakah ada hubungan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?

4. Apakah ada hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah penderita TB dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.

b. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan motivasi penderita TB

paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.

c. Mengetahui hubungan jarak rumah dengan motivasi penderita TB

paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.

d. Menganalisa hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.


(19)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan upaya pengobatan Program TB.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan rencana strategis dalam mengambil keputusan pengobatan dan mengembangkan kegiatan program pengobatan TB di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun pada khususnya dan semua provider penyelenggara program TB pada umumnya.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Tingkat Pendidikan a. Definisi Pendidikan

Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 pasal 1 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan tencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaman, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidkan meliputi pengajaran keahlian khusus dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Dengan dengan demikian proses pendidikan akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap tingkah laku seseorang. Dalam bahasa jawa

penggulowantah berarti mengolah, jadi mengolah kejiwaan ialah mematangkan

perasaan, pikiran, kemauan dan watak seseorang.

Dalam bahawa Arab pendidikan pada umumnya menggunakan kata

tarbiyah (Darajat, 2000). Menurut M.J Langelved pendidikan adalah pemberi

pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seseorang dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggungjawab susila atas tindakan-tindakannya menurut pilihanya sendiri.


(21)

Sementara Zamroni memberikan definisi pendidikan sebagai suatu proses menanamkan dan mengembangkan pada peserta didik pengetahuan tentang hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan barang yang benar dan yang salah, yang baik dan yang benar, sehingga kehadirannya ditengah-tengah masyarakat akan bermakna dan bermakna dan berfugsi secara optimal, (Zamroni, 2001).

Dewey (2003) sendiri memandang pendidikan sebagai perkembangan, pemeliharaan dan pengadaan yang dalam arti luas merupakan alat untuk menjamin kelangsungan atau kontinuitas hidup.

Menurut Muhammad (2002), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang, maka cara berkomunikasi seseorang akan terpengaruh karena jika ditinjau dari prosesnya, pendidikan adalah untuk mengarahkan anak didik atau peserta didik (bisa orang dewasa) kesuatu yang menguntungkan peserta didik.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan adalah merupakan usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Dengan demikian pendidikan intinya menolong meningkatkan pengetahuan bagi seseorang untuk dapat meningkatkan kualitas dan memaknai hidupnya sesuai dengan harapannya, sehingga pendidikan akan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia.


(22)

b. Tujuan Pendidikan

Menurut Hebert Spencer (1860) suatu pendidikan bertujuan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup, usaha untuk mencari nafkah, pendidikan anak, pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan Negara serta penggunaan waktu luang, dengan demikian tujuan pendidikan tersebut hanya didasarkan atas apa yang dianggap berharga dan perlu untuk setiap orang bagi kehidupannya dalam masyarakat.

c. Jalur Pendidikan

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Jalur pendidikan dibedakan menjadi:

1) Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

2) Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan. Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Alqur’an (TPA), maupun pendidikan lanjut usia. Pemberatasan buta aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara SLTP), paket C (setara SLTA),


(23)

kursus, pendidikan vokasi, latihan ketrampilan baik dilakukan secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi.

Kegiatan PKMRS (Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit) juga termasuk proses pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh rumah sakit dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengguna atau customer rumah sakit tentang penyakit-penyakit yang saat ini diderita atau penyakit yang sedang trend terjadi di dalam masyarakat, managemen gizi, proses administrasi pelayanan dan lain-lain.

3) Pendidikan Informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegitan belajar secara mandiri.

d. Jenjang Pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasakan perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan. Menurut Undang-undang Sisdiknas jennjang pendidikan terdidi atas :

1) Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Tingkat Pertama).

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak mulai umur 7 tahun berkewajiban untuk mengukuti tamat pendidikan dasar (wajib belajar 9 tahun) yang melandasi jenjang pendidikan menengah.


(24)

Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dari pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kempampuan mengadakan hubungan timbal-balik dalam lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat meningkatkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah merupakan pendidikan yang lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar dan diselenggarakan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA dan pendidikan yang sederajat).

3) Pendidikan Tinggi.

Pendidikan tinggi merupakan lanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan dan atau kesenian.

2. Pengetahuan

a. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah pengideraan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2005). Ada anggapan dasar bahwa manusia berperilaku karena dituntut oleh dorongan atau motivasi dari dalam, sedangkan dorongan merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan yang terpuaskan (Purwnato. H, 1998).


(25)

Pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk mengunakannya (Sudijono, 2006). Pengetahauan kognitif merupakan domain yang sangat penting terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan tentang penyakit, dampak penyakit dan cara pengobatan akan memegang peranan penting bagi seseorang untuk mempengaruhi motivasinya dalam mencapai tujuan untuk menyehatkan dirinya.

b. Cara Mendapatkan Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

1) Cara Tradisional Untuk Memperoleh Pengetahuan

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini dilakukan sebelum ditemukan metode ilmiah, yang meliputi :

a) Cara Coba Salah (Trial Dan Error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila tidak berhasil, maka akan dicoba kemungkinan yang lain lagi sampai didapatkan hasil mencapai kebenaran.


(26)

Di mana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan baik tradisi, otoritas pemerintahan, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

c) Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. Apabila dengan cara yang digunakan tersebut orang dapat memecahkan masalah yang sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut.

d) Melalui Jalan Pikiran

Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan fikiran.

2) Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah (Notoatmodjo, 2005).

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

1) Umur

Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat beberapa tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi


(27)

kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang belum cukup tinggi kedewasaannya.

Singgih D. Gunarso (1990) mengemukakan bahwa makin tua umur seseorang maka proses–proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu bertambahnya proses perkembangan ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun.

Abu Ahmadi (1997) juga mengemukakan bahwa memori atau daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada bertambahnya pengetahuan yang diperoleh, tetapi pada umur–umur tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau pengingatan suatu pengetahuan akan berkurang.

2) Pendidikan

Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Pendidikan adalah salah satu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup, (Notoatmodjo, 1993).

Wiet Hary dalam Notoatmodjo (2003), menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh pada umumnya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.


(28)

Dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media masa, sebaliknya tingkat pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan dan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan Ketidaktahuan dapat disebabkan karena pendidikan yang rendah, seseorang dengan tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan sulit menerima pesan, mencerna pesan, dan informasi yang disampaikan .

3) Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experient is the best

teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pemngalaman merupakan

sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 2003).

Pengalaman akan menghasilkan pemahaman yang berbeda bagi tiap individu, maka pengalaman mempunyai kaitan dengan pengetahuan. seseorang yang mempunyai pengalaman banyak akan menambah pengetahuan.

d. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, karena dari pengalaman


(29)

penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Notoadmodjo (2005), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu :

1) Tahu (Know).

Tahu diartikan mengingat sesuatu materi yang telah diberikan sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

2) Memahami (Komprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi (Aplication).

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu situasi atau kondisi sebenarnya.

4) Analitis (Analisys).

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (Synthesis).

Sintesis berkaitan dengan kempampuan untuk melakukan justifikasi atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk


(30)

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan menyusun formasi baru dari formasi-formasi yang ada.

6) Evaluasi (Evaluation).

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk pelakukan penilaian teradap suatu materi atau obyek penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditargetkan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1) Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang. 2) Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

3) Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bias mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif.


(31)

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuann seseorang, misalnya : radio, televisi, majalah, koran, dan buku. 5) Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

6) Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

e. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain diatas (Notoatmodjo, 2003). Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Green, dalam Notoatmodjo, 2003) mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3 faktor, yaitu :

1) Faktor-faktor pengaruh (predisposing factor) yang terwujud dalam


(32)

2) Faktor–faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.

3. Jarak Rumah

Strategi DOTS dicanangkan WHO sejak tahun 1993 dan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1995 dalam Program Penanggulangan TB Nasional (P2TB). Namun upaya pemberantasan TB masih lamban, diantaranya karena hambatan letak geografis wilayah Indonesia yang terpencar-pencar dan letak pelayanan kesehatan yang kurang terjangkau oleh masyarakat serta tingkat sosial ekonomi yang masih rendah. Padahal pengobatan ini tidak boleh putus ditengah jalan dalam arti harus rutin sampai tuntas dan memakan waktu minimal enam bulan, (Depkes, 2007).

Dari letak geografis tersebut kalau tidak didukung oleh sarana transportasi yang memadai dan kurangnya motivasi penderita untuk datang kepelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan tepat waktu atau teratur, maka pengobatan TB tidak akan tuntas, sehingga akan menimbulkan Multi

Drug Resintance TB (MDR-TB) yang akan memperparah penyakit yang

berdampak memperlama pengobatan dan memperbesar biaya kesehatan bagi masyarakat serta pemerintah.


(33)

Sehingga jarak rumah penderita TB dengan pelayanan kesehatan berpengaruh dengan motivasi penderita TB mengingat biaya dan perlu adanya pendamping bagi penderita yang dalam kondisi tertentu akan mempengaruhi kepatuhan menjalani program pengobatan. Dengan hal ini maka petugas kesehatan sangat berperan penting dalam memberikan motivasi kepada pasien untuk tetap dapat melaksanakan program pengobatan secara teratur.

4. Motivasi

a. Definisi Motivasi

Motivasi berasal dari kata “motif” yang berarti daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Dengan demikiaa motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi internal (kesiap-siagaan). Berawal dari kata motif maka motifasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah aktif, motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujun sangat dirasakan mendesak. Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik) (Sudrajat A, 2008).

Motivasi adalah dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia termasuk perilaku dalam berobat. Dalam


(34)

motovasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap dan perilaku individu.

Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan.

Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobinya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen-elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi.

Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Landy dan Becker membuat pengelompokkan pendekatan teori motivasi ini menjadi 5 kategori yaitu teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan, teori penetapan sasaran.


(35)

Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.

Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003), mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.

b. Teori Motivasi

Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi (Sudrajat A, 2008).


(36)

1) Teori Motivasi Abraham Maslow

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety

needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal

dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual. Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman


(37)

tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan“ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :


(38)

a) Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;

b) Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.

c) Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.

Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.

2) Teori Mc. Clelland (Teori Kebutuhan Berprestasi).

Dari Mc. Clelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan “Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit”. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.


(39)

Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil. Menurut Mc. Clelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high

achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk

mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.

3) Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG”. Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan).

Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan


(40)

pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :

a) Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya.

b) Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan.

c) Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.

4) Teori Herzberg (Teori Dua Faktor).

Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status


(41)

seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.

Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.

5) Teori Keadilan.

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :

a) Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau

b) Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas

yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :

a) Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima

berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;


(42)

b) Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri; c) Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan

yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;

d) Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai.

Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.

6) Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory).

Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.


(43)

Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And

Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori

Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.

8) Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku.

Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada


(44)

kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut. Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.

Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan. Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari. Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi


(45)

perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas. Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.

9) Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.

Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu. Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.

Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.


(46)

5. Penyakit Tuberculosis a. Definisi

Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosa. Tuberkulosis (TB) dapat menyerang berbagai organ tubuh selain paru-paru, tetapi jugan mengenai organ tubuh lainnya, (Depkes RI, 2007).

b. Etiologi

Depkes (2007), menyebutkan etiologi dari TB adalah

mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan

asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).

c. Cara Penularan

Menurut Depkes RI (2007), cara penularan kuman TB adalah sebagai berikut : (1) Sumber penularan adalah pasien TB dengan BTA positif. (2) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. (3) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. (4) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, semakin menular pasien tersebut. (5) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB


(47)

ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

d. Resiko Penularan

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis

Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama

satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif, (Depkes RI, 2007).

Menurut Depkes RI (2007), bahawa hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta


(48)

sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Risiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.

e. Tanda dan Gejala Tuberculosis

Pasien TB mempunyai gejala umum yaitu batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan disertai penurunan berat badan, badan lemes, nafsu makan berkurang, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama. Kadang-kadang serangan demam seperti influensa dan bersifat hilang timbul.

Gejala tersebut di atas juga dijumpai pula pada penyakit paru non TB. Oleh sebab itu setiap orang yang datang sarana pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas dianggap sebagai seorang suspek TB atau tersangka TB dan perlu diakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang biasa di sebut dengan pemeriksaan sputum Bakteri Tahan Asam (BTA). Pada anak, uji tuberculin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang terinfeksi mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam screening TB. Efektivitas dalam menemukan infeksi TB


(49)

dengan uji tuberculin adalah lebih dari 90%. Bila gejela-gejala diperkuat dengan riwayat kontak dengan seorang pasien TB maka kemungkinan besar dia juga menderita TB.

f. Penemuan Pasien Tuberculosis

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan pasien TB adalah sebagai berikut: (1) Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. (2) Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. (3) Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efective.

g. Penegakan Diagnosa Tuberculosis

Memenurut Depkes RI (2007), penemuan kasus TB ditegakkan dengan pemeriksaan sputum BTA. Semua suspek TB diperiksa 3 (tiga)


(50)

spesimen dahak dalam waktu 2 (dua) hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto thoraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto thoraks saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.


(51)

Gambar 1. Alur Diagnosis TB Paru Sumber: Depkes RI, 2007

Suspek TB Paru

Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA + + +

+ + -

Hasil BTA + - -

Hasil BTA - - -

Antibiotik Non OAT

Tidak ada perbaikan

Ada perbaikan

Foto thorak dan pertimbangan dokter

Pemeriksaan dahak mikroskopik

Hasil BTA + + +

+ +

-Hasil BTA _ _ _

TB

Foto thorak dan pertibangan dokter


(52)

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto thoraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto thoraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: (1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto thoraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif, (lihat bagan alur). (2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian anti biotika non OAT, (lihat bagan alur). (3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumothorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). h. Klasifikasi dan Tipe Penyakit Tuberculosis

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu: (1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit adalah paru atau ekstra paru. (2) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) adalah BTA positif atau BTA negatif. (3) Tingkat keparahan penyakit adalah ringan atau berat. (4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah: (1) Menentukan paduan pengobatan yang sesuai. (2) Registrasi kasus secara


(53)

benar. (3) Menentukan prioritas pengobatan TB dengan BTA positif. (4) Analisis kohort hasil pengobatan.

Beberapa istilah dalam definisi kasus: (1) Kasus TB: Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau di diagnosis oleh dokter. (2) Kasus TB pasti (definitive): pasien dengan biakan positif untuk

Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan,

sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk: (1) Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi, (2) Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost-effective), (3) Mengurangi efek samping.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1) Tuberkulosis paru.

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru.

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.


(54)

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thoraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB

positif.

d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. 3) Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.

TB paru BTA negatif foto thoraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto thoraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang


(55)

luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.

4) TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b) TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Catatan:

a) Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka

untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

b) Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat. 5) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).


(56)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, di diagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c) Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d) Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. e) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f) Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 6) Pengobatan Tuberculosis

Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder. OAT primer lebih tinggi kemanjurannya dan lebih baik keamanannya dari OAT sekunder. OAT primer adalah isoniazid, rifampicin, ethambutol, pyrazinamide. Dengan keempat macam OAT primer itu kebanyakan penderita tuberkulosis dapat disembuhkan. Penyembuhan penyakit umumnya terjadi setelah pengobatan


(57)

selama 6 bulan. Keempat macam OAT primer itu diberikan sekaligus setiap hari selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan dua macam obat (isoniazid dan rifampicin) selama 4 bulan berikutnya. Bila dengan OAT primer timbul resistensi, maka yang resisten itu digantikan dengan paling sedikit 2-3 macam OAT sekunder yang belum resisten, sehingga penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus. Strategi pengobatan yang dianjurkan oleh WHO adalah DOTs (directly observed treatment, short course) untuk penggunaan OAT primer dan DOTS-plus untuk penggunaan OAT sekunder. OAT sekunder adalah asam para-aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone, fluorokinolon, aminoglikosida dan capreomycin, cycloserine, penghambat betalaktam, clarithromycin, linezolid, thioacetazone, dan lain-lain.

Pengobatan dengan OAT sekunder menghasilkan konversi sputum setelah 4-7 bulan, dan dilanjutkan selama minimal 18 bulan, jauh lebih lama dari pengobatan yang berintikan isoniazid dan rifampicin pada penderita yang masih sensitive terhadap OAT primer. Obat diberikan setiap hari, tidak ada regimen intermiten dengan OAT sekunder. Bila fasilitas memungkinkan, selama masih berpotensi mernularkan, penderita sebaiknya dirawat dan diisolasi di rumah sakit atau di sanatorium sambil memantapkan kepatuhan penderita melalui edukasi yang intensif. Karena tingginya ancaman kegagalan pengobatan dan tingginya biaya pengobatan MDR-TB, jalan yang terbaik adalah menekan sekecil mungkin terjadinya kasus MDRTB melalui peningkatan kemanfaatan pengobatan penyakit tubekulosis melalui program DOTS, (PPTI, 2006).


(58)

Indonesia sukses dalam mencapai target mengendalikan pendektesian kasus (CDR) yaitu mencapai 89.75, lebih tinggi dibanding target global yaitu 85%. Bagaimanapun kesuksesan tersebut tidak berarti di Indonesia TB tidak lagi merupakan ancaman kesehatan. Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengedalikan TB yaitu tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah, informasi seputar TB yang masih terbatas dan besarnya biaya pengobatan TB (WHO, 2007).

Terbatasnya informasi mengakibatkan kurangnya pengetahuan pasien atau masyarakat yang menderita penyakit TB. Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit TB yang dialaminya adalah merupakan kemampuan untuk mengingat kembali, dan memahami dampak resiko dari penyakit tersebut, diharapkan dapat memotivasi dirinya untuk melaksanakan program pengobatan DOTS sesuai dengan yang di intruksikan oleh dokter atau petugas kesehatan di rumah sakit kepadanya sampai tuntas dan sembuh (success rate).

a) Tujuan pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

b) Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

i. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori


(59)

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

ii. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

iii. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

c) Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

d) Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan.

e) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:


(60)

i. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

ii. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

iii. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. f) Paket Kombipak.

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: (1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin Efektifitas obat dan mengurangi efek samping. (2) Mencegah


(61)

penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. (3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

7) Paduan OAT dan peruntukannya.

a) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3).

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: i. Pasien baru TB paru BTA positif.

ii. Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif iii. Pasien TB ekstra paru

b) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

i. Pasien kambuh.

ii. Pasien gagal.

iii. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

c) OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut


(62)

jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

8) MDR-TB

Resisten multi-obat TB (MDR-TB) didefinisikan sebagai TB yang resisten paling tidak untuk INH dan RMP. Isolat yang multiply-resisten terhadap kombinasi lainnya anti-obat TB tetapi tidak untuk INH dan RMP tidak digolongkan sebagai MDR-TB. Pada Oktober 2006, "resistan terhadap obat secara luas TBC" (XDR-TB) di definisikan sebagai MDR-TB yang resisten terhadap quinolones dan juga kepada salah satu kanamycin, capreomycin, atau amikasin. definisi kasus tua XDR -TB adalah TB-MDR yang juga kebal terhadap tiga atau lebih dari enam golongan obat lini kedua. Definisi ini seharusnya tidak lagi digunakan, tetapi dimasukkan di sini karena banyak mengacu pada publikasi tua itu.

Prinsip-prinsip pengobatan MDR-TB dan XDR-TB adalah sama. Perbedaan utama adalah bahwa TB-XDR dikaitkan dengan angka kematian yang jauh lebih tinggi dari MDR-TB, karena berkurangnya jumlah pilihan pengobatan yang efektif. yang epidemiologi TB-XDR saat ini tidak diteliti dengan baik, tetapi diyakini bahwa XDR-TB ini tidak menular dengan mudah di populasi yang sehat, tetapi mampu menyebabkan epidemi dalam populasi yang sudah terserang oleh HIV dan karena itu lebih rentan terhadap infeksi. TB.


(63)

B. Hubungan Variabel Bebas (Tingkat Pendidikan, Pengetahuan, Jarak Rumah ) dengan Variabel Terikat (Motivasi)

1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Motivasi

Pendidikan pada seseorang juga berfungsi untuk memberikan suatu motivasi dan dorongan pada seseorang. Tanpa suatu dorongan pada seseorang, maka tidak akan ada kekuatan yang menggerakkan dan mengarahkan mekanisme bertindak sebagai pemuncul tingkah laku. Dorongan itu sendiri diaktifkan oleh kebutuhan yang timbul akan keadaan kekurangan fisiologis, tetapi tidak semuanya, karena insentif juga bisa menimbulkan dorongan. Dorongan tersebut juga bersifat mengarahkan pada tingkah laku mendekat atau menghindar, serta bertindak sebagai pemelihara kesinambungan tingkah laku sampai betujuan tetentu.

Selain menimbulkan dorongan atau motivasi pada seseorang, tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor struktur sosial yang mencerminkan gaya hidup seseorang hubunganya dengan pemilihan pelayanan kesehatan. Perbedaan tingkat pendidikan menyebabkan perbedaan pengetahuan untuk memahami tentang kesehatan secara luas. Rendahnya pendidikan merupakan akan mempersulit upaya peningkatan ketrampilan serta pengetahuan untuk menghayati atau memahami kesehatan, (Supriyadi, 2003).

2. Hubungan Pengetahuan dengan Motivasi

Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit TB yang dialaminya adalah merupakan kemampuan untuk mengingat kembali, dan memahami


(1)

85 

Jarak rumah penderita menurut hasil di atas apabila dikorelasikan langsung hasilnya tidak ada hubungan yang signifikan dengan motivasi, demikian juga dengan tingkat pengetahuan. Tetapi apabila ketiga variabel bebas secara bersamaan dihubungkan dengan motivasi ternyata ada hubungan yang signifikan. Ini terjadi karena faktor variabel pengetahuan mempunyai kontribusi yang sangat kuat terhadap dua variabel bebas tersebut. Pengetahuan berisi informasi-informasi yang bisa berasal langsung dari dokter atau petugas kesehatan lainnya yang berkaitan dengan penyakit dan proses pengobatan, tetapi juga bisa berasal dari sesama penderita TB yang saling ketemu saat kontrol. Biasnya pasien pada saat menunggu di ruang tunggu dimanfaatkan saling tukar pengalaman tentang keluhan penyakitnya, dampak setalah minum obat dan penanganannya dan lain sebagainya yang tentunya dapat menambah informasi yang positif. Informasi juga bisa didapatkan dari tetangga dekat tentang di mana harus berobat kalau terkena penyakit batuk dan sesak nafas, karena pemahaman masyarakat Madiun dan sekitarnya bahwa kalau sakit tersebut harus dibawa ke Rumah Sakit Paru Dungus yang dulu dikenal dengan sebutan “Sanatorium”.

Sehingga hipotesis penelitian“Ada hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun” pada penelitian ini terbukti kebenarannya.


(2)

E. Keterbatasan Penelitian

1. Kriteria baku untuk variabel motivasi berobat rutin belum ada, sehingga

peneliti mencoba menggunakan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu kuesioner motivasi latihan yang telah diuji validitasnya dan reliabilitasnya.

2. Gangguan validitas internal berupa recall-bias karena heterogenitas

responden dari usia, tingkat pendidikan, lama pengobatannya tidak dapat dihindari, sehingga menjadi kendala responden dalam mengungkap kembali dan mengukapkan secara lengkap informasi apa yang telah diterima selama menjalani pengobatan.

3. Gangguan validitas eksterna berupa intervew-bias yang terjadi pada pasien

saat mengisi data, peneliti tidak tahu apakah pasien tergesa-gesa, merasa tidak ada hubungan dengan dirinya sehingga peneliti tidak tahu apakah kuesioner ini diisi dengan sungguh-sungguh atau tidak. Walaupun pada lembar penjelasan peneliti sudah berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa penelitian ini ada hubungannya dengan program pengobatan yang pasien jalani selama ini.


(3)

87   

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang di dapat dari penelitian yang berjudul “Hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun” tahun 2011 dalah sebagai berikut:

1. Tidak ada hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan motivasi

penderita TB berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun menghasilkan korelasi 0,119 dengan angka signifikan 0,210, karena sebagian besar pendidikan reponden SD dan SMP.

2. Ada hubungan positif antara pengetahuan dengan motivasi penderita TB

berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun menghasilkan korelasi 0,404 dengan angka signifikan 0,002.

3. Tidak ada hubungan positif antara jarak rumah dengan motivasi penderita TB

paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun menghasilkan korelasi 0,102 dengan angka signifikan 0,245, karena sebagian besar responden jarak rumah dengan rumah sakit sangat jauh.

4. Ada hubungan positif tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah

dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun, nilai F hitung 3,827 dengan signifikan 0,016 dengan nilai F hitung > F tabel dan nilai signifikan lebih kecil dari α (0,05).


(4)

B. Saran

1. Tingkat pendidikan berpengaruh dengan penyerapan atau penerimaan

pengetahuan untuk itu dokter atau petugas kesehatan hendaknya sangat perlu memperhatikan tingkat pendidikan pasien pada saat memberikan penyuluhan kesehatan dalam hal pemakaian bahasa, media serta yang lebih penting lagi adalah lebih meluangkan waktu yang banyak bagi pasien dengan tingkat pendidikan semakin rendah.

2. Semakin tinggi pengetahuan pasien tentang penyakitnya maka semakin tinggi

pula motivasinya untuk berobat rutin sesuai dengan ketentuan program DOTS, untuk itu maka kegiatan penyuluhan perlu di intensifkan. Penyuluhan

dengan Focus group Discussion (FGD) atau pembentukan Paguyuban

Penderita TB mungkin perlu dipertimbangkan, karena menurut penelitian cara itu menunjukkan hasil yang lebih baik untuk meningkatkan pengetahuan pasien sehingga akan meningkatkan motivasi untuk berobat rutin.

3. Bagi pasien yang jauh jaraknya dengan rumah sakit perlu dipertimbangkan

dilakukan kunjungan rumah (Home visite) dalam rangka pelacakan kasus

penderita mangkir, untuk itu perlu mengusulkan kepada penentu kebijakan perlunya dialokasikan anggaran untuk kegiatan tersebut mengingat jarak rumah akan berdampak bagi motivasi pasien untuk berobat rutin atau perlu dilakukan penekanan penentuan pilihan pada saat terdiagnosa TB akan berobat di RS Paru atau kembali ke Puskesmas terdekat dengan penjelasan yang bisa diterima oleh pasien.


(5)

89   

4. Tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah merupakan variabel yang

perlu diperhatikan karena berimplikasi pada motivasi pasien untuk berobat rutin, untuk itu ketiga variabel tersebut sangat perlu dipertimbangkan dalam menjalankan program pengobatan TB, dengan begitu goal program TB

nasional yaitu angka kesebuhan (sucses rate) 85% akan bisa tercapai

khususnya pada program TB di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun.

C. Implikasi

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan upaya pengobatan Program TB dan perlunya dikembangkan lagi penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi penderita TB berobat rutin diantaranya faktor ekonomi, dukungan keluarga dan kemudahan aksesbilitas pelayanan kesehatan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan rencana strategis dalam mengambil keputusan pengobatan dan mengembangkan kegiatan program pengobatan TB di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun pada khususnya dan semua provider penyelenggara program TB pada umumnya.


(6)

komitmen bersama dari pelaksana sampai penentu kebijakan, provider dan

stake holder untuk bersama-sama berkomitmen untuk memutus rantai

penularan TB dengan cara mengobati penderita secara tuntas dan memberikan penyuluhan yang efektif dan efisien sehingga yang sakit diobati dan yang sehat dapat diproteksi, karena yang sakit mau berobat rutin dan berperilaku sehat sehingga bisa sembuh dan tidak menularkan penyakitnya ke keluarga maupun masyarakat sekitarnya.


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Risiko Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah di Kabupaten Aceh Timur

3 68 135

Konversi Sputum Bta Pada Fase Intensif Tb Paru Kategori I Antara Kombinasi Dosis Tetap (Kdt) Dan Obat Anti Tuberkulosis (Oat) Generik Di Rsup. H. Adam Malik Medan

0 68 72

Hubungan antara karakteristik penderita dengan kepatuhan berobat pasien rawat jalan TB Paru di rumah sakit paru Jember Tahun 2005

0 5 102

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG PENYAKIT TB PARU DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PASIEN TB PARU PADA RAWAT JALAN DI RS PARU JEMBER

1 19 17

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN KECEMASAN PADA PENDERITA TB PARU YANG MENJALANI PENGOBATAN Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Kecemasan Pada Penderita Tb Paru Yang Menjalani Pengobatan Di Ruang Pojok Tb Rumah Sakit Dr. R. Soeprapto Cepu.

0 3 14

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN KECEMASAN PADA PENDERITA TB PARU YANG MENJALANI PENGOBATAN Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Kecemasan Pada Penderita Tb Paru Yang Menjalani Pengobatan Di Ruang Pojok Tb Rumah Sakit Dr. R. Soeprapto Cepu.

0 2 15

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TB PARU DENGAN KEPATUHAN MENJALANI PROGRAM PENGOBATAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang TB Paru Dengan Kepatuhan Menjalani Program Pengobatan Pada Penderita TB Paru di BBKPM Surakarta.

0 0 15

TINGKAT PENGETAHUAN TB PARU MEMPENGARUHI PENGGUNAAN MASKER PADA PENDERITA TB PARU

0 0 16

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita TB Paru di Rumah Sakit Paru Surabaya - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

0 0 22