commit to user
D. Pembahasan
1. Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin.
Berdasarkan tabel 4.1 diatas responden laki–laki mendominasi jumlahnya yaitu 28 responden 58,3, sedangkan jumlah responden
perempuan berjumlah 20 responden 41,7 . Menurut Simbolon 2007, kejadian TB menurut jenis kelamin sebagian besar 66 terjadi pada laki-
laki. Demikian juga menurut Badan Pusat Statistik BPS mencatat penduduk Indonesia 2010 yang mencapai 237.556.363 jiwa dan lebih banyak laki-laki
dari pada perempuan. Disebutkan rasio jenis kelamin penduduk Indonesia berada pada angka 101 dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak
119.507.580 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 118.048.783 jiwa.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34 pada laki- laki dan 28,9 pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-
laki cenderung meningkat sebanyak 2,5, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru dimana
kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali, Amirullah, 2011.
commit to user
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan kenapa laki-laki kecenderungan lebih terkena penyakit tuberkulosis diakibatkan karena laki-
laki cenderung punya kebiasaan merokok dari pada perempuan.
2. Distribusi frekuensi responden menurut kelompok umur.
Hasil tabel 4.2 menunjukkan bahwa kelompok umur responden yang paling banyak adalah kelompok umur 46–55 sebanyak 15 responden 31,3
yang diikuti kelompok umur 36–45 sebanyak 11 responden 22,9 dan kelompok umur 26–35 sebanyak 11 responden 22,9. Hal ini sesuai yang di
ungkapkan oleh Sumardi, 2008 bahwa tiga perempat dari kasus TB ini terdiri dari usia produktif 18–40 tahun yang tentunya akan berdampak pada proses
dan kualitas pendidikan, pekerjaan dari generasi penerus bangsa ini. Demikian juga pernyataan Depkes 2007, bahwa sekitar 75 pasien
TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis 15-50 tahun. Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata
waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30. Jika ia meninggal
akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti
penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai
commit to user
dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75 penderita TB Paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun, Amirullah. 2011. Menurut Amu 2008 dalam Jurnal Tuberkulosis Indonesia Volumen 5
menyatakan, berdasarkan survey yang dilakukan oleh WHO di 87 negara pada 85 populasi dunia, menunjukkan 47 laki-laki dan 12 perempuan
berusia 15 tahun ke atas adalah perokok. Kekerapan merokok remaja di Indonesia menurut data survey SKRT 1997 menunjukkan bahwa penduduk
perokok berumur 10 tahun keatas terdiri dari laki-laki 45 dan perempuan 1,5. Diuraikan menurut kelompok umur maka kekerapan kebiasaan
merokok pada laki-laki cenderung meningkat secara drastis pada kelompok umur 20-24 dan selanjutnya terus meningkat pada kelompok umur 40–44
tahun.
3. Distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikan.
Menurut tabel 4.3 di atas didpatkan bahwa responden penelitian ini paling banyak berpendidikan Sekolah Menengah Pertama SMP yaitu 15
responden 31,3, kemudian SD 14 responden 29,2, responden dengan pendidikan SMA sejumlah 10 responden 20,8, sementara responden dengan
pendidikan Perguruan Tinggi menduduki peringkat akhir yaitu sebanyak 2 responden 4,2 . Menurut hasil diatas maka tingkat pendidikan responden
pada penelitian ini didominasi oleh responden dengan pendidikan dasar.
commit to user
Menurut Notoatmodjo 2003, ketidaktahuan dapat disebabkan karena pendidikan yang rendah, seseorang dengan tingkat pendidikan yang terlalu
rendah akan sulit menerima pesan, mencerna pesan, dan informasi yang disampaikan. Ini dapat diartikan bahwa dengan kurangya atau rendahnya
pendidikan seseorang memudahkan terserang penyakit menular tuberkulosis karena ketidaktahuan proses penularan, cara pencegahan dan didukung
dengan kebiasaan pola hidup sehat yang rendah, seperti pencahayaan ruangan yang kurang, tingkat kelembaban rumah yang cukup tinggi dan kebiasaan
merokok. Kebiasaan dan pola hidup seperti diatas adalah kebiasaan dan pola
hidup sebagian besar masyarakat miskin. Depkes 2007, menyatakan bahwa penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Menurut data BPS 2010
penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen. Menurut Aditama 2005, masalah kesehatan masyarakat memang
tidak dapat dipisahkan dari masalah kemiskinan. Setidaknya sekitar 1,3 milyar penduduk dunia adalah orang miskin, yaitu mereka yang harus hidup
dengan uang kurang dari 1 US Dolar per hari. Karena miskin, orang menjadi kurang gizi, tinggal ditempat yang tidak sehat, dan tidak dapat melakukan
pemeliharaan kesehatan dengan baik.
commit to user
4. Distribusi frekuensi responden menurut jarak rumah pasien dengan Rumah
Sakit Paru Dungus Madiun Menurut tabel 4.4 didapatkan hasil bahwa jarak responden yang
paling banyak adalah sangat jauh atau lebih dari 20 Km dari 48 responden terdapat 23 responden 48. Ini karena wilayah kerja Rumah Sakit Paru
Dungus adalah meliputi Ex Karisidenan Madiun dan sekitarnya yaitu meliputi Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan
dan Kabupaten Ngawi. Menurut data kunjungan tahun 2010 pasien asal Kabupaten Ponorogo sebesar 40 dari total kunjungan.
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun adalah rumah sakit Unit Pelaksana Tehnis Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang memiliki area wilayah
meliputi Jawa Timur Bagian Barat, sehingga pasien yang berobat di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun adalah sebagian besar dari luar KabupatenKota
Madiun yang jaraknya lebih dari 20 Km. Selain itu juga rumah sakit ini telah berdiri sejak tahun 1934 sehingga namanya sudah sangat familier oleh
masyarakat Madiun dan sekitarnya.
5. Hubungan tingkat pendidikan dengan motivasi penderita TB paru berobat
rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Tingkat pendidikan yang dimaksud di sini adalah tingkat pendidikan
yang telah ditempuh oleh pasien atau responden. Berdasarkan uji korelasi untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan motivasi penderita
TB paru berobat rutin sebesar korelasi 0,119 dengan angka signifikan 0,210
commit to user
ρ 0,05 berarti tidak ada hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan motivasi penderita TB berobat rutin. Berbeda dengan Muksin 2006
menyatakan bahwa, tingkat pendidikan mempengaruhi kepatuhan, sejalan dengan itu Suhartono 2010 juga menyatakan hal yang sama dalam
penelitiannya tentang hubungan antara tingkat pendidikan PMO, jarak rumah dan pengetahuan pasien TB paru dengang kepatuhan berobat. Memang ada
sedikit perbedaan variebel terikat dengan penelitian-penelitian yang terdahulu yaitu tentang kepatuhan, menurut peneliti bahwa kepatuhan adalah suatu
perilaku, sedangkan perilaku akan timbul bermula dari sikap motivasi seseorang terhadap tujuan atau hasil apa yang akan dicapai. Motivasi
merupakan suatu keadaan dalam diri seseorang innerstate yang mendorong mengaktifkan atau menggerakkan dan yang mengarahkan atau menyalurkan
perilaku ke arah tujuan, Barelson Stainner, 2001. Menurut Notoatmodjo 2003, ketidaktahuan dapat disebabkan karena
pendidikan yang rendah, seseorang dengan tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan sulit menerima pesan, mencerna pesan, dan informasi yang
disampaikan. Ini dapat diartikan bahwa dengan kurangya atau rendahnya pendidikan seseorang memudahkan terserang penyakit menular tuberkulosis
karena ketidaktahuan proses penularan, cara pencegahan dan didukung dengan kebiasaan pola hidup sehat yang rendah, seperti pencahayaan ruangan
yang kurang, tingkat kelembaban rumah yang cukup tinggi dan kebiasaan merokok.
commit to user
Notoatmodjo 2003, menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan yang mereka peroleh pada umumnya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. Pendidikan dapat
membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih
luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.
Dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media masa,
sebaliknya tingkat pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan dan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan
Ketidaktahuan dapat disebabkan karena pendidikan yang rendah, seseorang dengan tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan sulit menerima pesan,
mencerna pesan, dan informasi yang disampaikan . Jadi kalau menurut teori diatas, maka tingkat pendidikan berhubungan
langsung dengan pengetahuan, sedangkan pengetahuan berhubungan dengan motivasi, sehingga hipotesis “Ada hubungan tingkat pendidikan dengan
motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun” tidak terbukti.
commit to user
6. Hubungan pengetahuan dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan pasien tentang
penyakit Tuberkulosis, program pengobatan yang sedang dijalani serta dampak negatif dari ketidak-tuntasan pengobatan. Dari hasil uji korelasi
hubungan pengetahuan dengan motivasi penderita TB berobat rutin menghasilkan korelasi 0,404 dengan angka signifikan 0,002
ρ0,05 yang artinya ada hubungan positif antara pengetahuan dengan motivasi penderita
TB berobat rutin sehingga semakin bagus pengetahuannya tentang TB maka akan semakin baik pula motivasinya.
Dari hasil penelitian ini bahwa penderita TB semakin baik memiliki pengetahuan tentang penyakit, prognosa dan proses pengobatanya maka, akan
memotivasi dirinya untuk bisa sembuh dari penyakit yang diderita dengan jalan berobat rutin sesuai anjuran dokter. Ini sesuai dengan “teori harapan”
Victor H. Vroom yang menyatakan bahwa, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan
bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan
tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh
sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk
commit to user
memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya
akan menjadi rendah. Motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: 1 Ekspektasi harapan keberhasilan pada suatu tugas, 2
Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas keberhasilan tugas untuk mendapatkan
outcome tertentu, dan 3 Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau negatif. Motivasi tinggi jika usaha
menghasilkan sesuatu yang melebihi harapan dan motivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan. Sehingga dengan fakta
yang demikian maka, pihak yang terkait dengan program TB-DOTS dalam hal ini Pengelola Program TB–DOTS RS Paru Dungus Madiun pada
khususnya supaya meningkatkan penyuluhan kepada penderita dan keluarga khususnya serta masyarakat pada umumnya akan bahaya penyakit TB dan
pentingnya pengobatan rutin supaya tidak jatuh pada MDR–TB yang berdampak pada resiko tinggi menularkan penyakit dan pengobatannya jauh
lebih sulit serta menurunkan usia harapan hidup. Depkes 2003, menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam
merencanakan program masyarakat dan kader peduli TBC adalah: 1 Tingginya pengetahuan tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan
perilaku, 2 Pengetahuan yang tidak disegarkan kembali atau diperbaharui berangsur-angsur akan menurun, dan 3 Keberadaan kader perlu didukung
secara swadaya oleh masyarakat untuk mencegah drop-out.
commit to user
Dengan demikian program penyuluhan harus dilakukan dengan media dan cara yang tepat kepada sasaran yang tepat pula, harus dilaksanakan secara
berkala dan berkesinambungan serta pembentukan kader harus sedapat mungkin berdasarkan rasa inisiatif dan kreatifitas masyarakat sendiri
utamanya adalah anggota keluarga terdekat dari pasien sehingga pengawasannya bisa optimal.
Motivasi selain datangnya dari diri sendiri instrinsik yaitu seorang termotivasi, karena orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan
pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan karena ingin sembuh dari
penyakit dan tidak menjadi beban keluarga. Selain itu juga tidak kalah pentingnya adalah motivasi yang dari luar dalam hal ini adalah terutama
dukungan keluarga, PMO, masyarakat, Program DOTS dan petugas RS serta komitmen pemerintah untuk memberatas rantai penularan TB.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sutanta, 2008 dan suhartono, 2009 tentang Hubungan antara Tingkat Pendidikan PMO, Jarak
Rumah dan Pengetahuan Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Berobat yang menyatakan ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan, dimana kepatuhan
adalah suatu bentuk perilaku sedangkan motivasi adalah sikap pendorong perilaku. Sehingga hipotesis penelitian“Ada hubungan pengetahuan dengan
motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun” pada penelitian ini terbukti kebenarannya.
commit to user
7. Hubungan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Hasil uji korelasi untuk mengetahui hubungan jarak rumah dengan
motivasi penderita TB paru berobat rutin menghasilkan angka korelasi 0,102 dengan angka signifikan 0,245
ρ 0,05 yang artinya tidak ada hubungan positif antara jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin.
Berbeda dengan hasil penelitian Sutanta 2008 menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara jarak ke sarana pelayanan secara signifikan,
sedangkan Suhartono 2010 ada hubungan antara jarak rumah dengan sarana pelayanan secara signifikan. Perbedaan ini terjadi karena wilayah kerja
Rumah Sakit Paru Dungus Madiun sangat luas meliputi Ex Karisidenan Madiun dan sekitarnya dan juga berdirinya rumah sakit juga sudah cukup
lama sehingga pendapat sebagian besar masyarakat kalau sakit paru-paru harus berobat ke Dungus.
Dari hasil tabel 4.7 dapat diperlihatkan bahwa dari 48 responden didominasi oleh responden yang jarak rumahnya dengan kriteria jauh terdapat
13 responden 27,1 dan sangat jauh sejumlah 23 responden 47,9. Dari gambaran di atas dapat dijelaskan bahwa pasien RS paru Dungus sebagian
besar berasal dari luar Kabupaten Madiun yang mengakibatkan jarak rumah tidak ada hubungan secara langsung dengan motivasi.
Ada hubungan tetapi tidak signifikan terhadap motivasi ini dikarenakan transportasi yang cukup bahkan sangat jauh mengakibatkan
sebagian besar pasien perlu diantar oleh keluarganya utamanya pasien yang
commit to user
usia lanjut. Sehingga tingkat ketergantungannya dengan pengatar cukup tinggi mengakibatkan terjadi kendala motivasi ekstrinsik. Sehingga hipotesis
penelitian,“Ada hubungan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun” pada penelitian ini tidak
terbukti kebenarannya.
8. Hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi
penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Hasil analisis melalui uji Anova tentang Hubungan tingkat pendidikan,
pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun dengan mengguanakn uji F
memperlihatkan nilai F hitung 3,827 dengan signifikan 0,016, dengan v1 = 3 dan v2 = 44 diperoleh hasil 2.80 dengan kondisi dimana nilai F hitung lebih
besar dari F tabel dan nilai signifikan lebih kecil dali α 0,05, maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah menolak Ho yang berarti koefisien korelasi signifikan secara statistik. Yang berarti ada hubungan positif tingkat
pendidikan, pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun. Dari hasil penelitian ini
kontribusi terbesar adalah variabel pengetahuan dengan signifikansi 0,016, kemudian variabel tingkat pendidikan sebesar sig. 0,210 dan variabel jarak
rumah sig. sebesar 0,245. Dari hasil penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut, walaupun
dengan luasan wilayah kerja rumah sakit paru dungus yang sangat luas
commit to user
mengakibatkan jarak rumah dengan sarana pelayanan sangat jauh, demikian juga didukung oleh sarana transportasi umum ke rumah sakit yang kurang
memadai, ternyata jarak tidak menjadikan kendala yang berarti terhadap motivasi pasien untuk berobat rutin, ini karena didukung oleh pengetahuan
yang baik dari penderita dan di topang dari tingkat pendidikan pasien yang cukup serta upaya penyuluhan yang dilakukan oleh petugas rumah sakit.
Dimungkinkan juga karena dampak dibukanya Pojok DOTS yang mana untuk pasien TB dilayani secara eksklusif dari pelayanan kesehatan, konsultasi dan
pengambilan obat pada satu ruangan yang tersendiri, sehingga pasien mempuyai waktu yang cukup banyak untuk berdiskusi dengan petugas. Pada
ruangan tersebut juga banyak ditempeli poster-poster, gambar-gambar yang berhubungan dengan penyakit TB, sehingga ini juga merupakan media yang
bagus untuk mentransfer pengetahuan kepada penderita. Kegiatan PKMRS Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit
juga termasuk proses pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh Rumah Sakit Paru Dungus Madiun dalam rangka meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman pengguna atau customer rumah sakit tentang penyakit- penyakit yang saat ini diderita atau penyakit yang sedang trend terjadi di
dalam masyarakat, managemen gizi, proses administrasi pelayanan dan lain- lain. Ini adalah sejalan dengan pendidikan sebagai suatu proses menanamkan
dan mengembangkan pada peserta didik pengetahuan tentang hidup, sikap dalam hidup agar kelak ia dapat membedakan barang yang benar dan yang
salah, yang baik dan yang benar, sehingga kehadirannya ditengah-tengah
commit to user
masyarakat akan bermakna dan bermakna dan berfugsi secara optimal, Zamroni, 2001.
Pengalaman merupakan guru yang terbaik experient is the best teacher, pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman merupakan
sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman
pribadi pun dapat dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang
diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapi pada masa lalu Notoatmodjo, 2003.
Sesuai pernyataan Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai
“Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa
tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka
untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa
jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh
hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
commit to user
Jarak rumah penderita menurut hasil di atas apabila dikorelasikan langsung hasilnya tidak ada hubungan yang signifikan dengan motivasi,
demikian juga dengan tingkat pengetahuan. Tetapi apabila ketiga variabel bebas secara bersamaan dihubungkan dengan motivasi ternyata ada hubungan
yang signifikan. Ini terjadi karena faktor variabel pengetahuan mempunyai kontribusi yang sangat kuat terhadap dua variabel bebas tersebut.
Pengetahuan berisi informasi-informasi yang bisa berasal langsung dari dokter atau petugas kesehatan lainnya yang berkaitan dengan penyakit dan
proses pengobatan, tetapi juga bisa berasal dari sesama penderita TB yang saling ketemu saat kontrol. Biasnya pasien pada saat menunggu di ruang
tunggu dimanfaatkan saling tukar pengalaman tentang keluhan penyakitnya, dampak setalah minum obat dan penanganannya dan lain sebagainya yang
tentunya dapat menambah informasi yang positif. Informasi juga bisa didapatkan dari tetangga dekat tentang di mana harus berobat kalau terkena
penyakit batuk dan sesak nafas, karena pemahaman masyarakat Madiun dan sekitarnya bahwa kalau sakit tersebut harus dibawa ke Rumah Sakit Paru
Dungus yang dulu dikenal dengan sebutan “Sanatorium”. Sehingga hipotesis penelitian“Ada hubungan tingkat pendidikan,
pengetahuan dan jarak rumah dengan motivasi penderita TB paru berobat rutin di Rumah Sakit Paru Dungus Madiun” pada penelitian ini terbukti
kebenarannya.
commit to user
E. Keterbatasan Penelitian