Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
4
keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Adapun tujuan dari perkawinan tersebut adalah: 1.
Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 2.
Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
6
Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Umum UU perkawinan itu
sendiri, sebagai berikut: 1.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
6
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003, Cet.1, h.10 dan 22
5
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu telah harus
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. 4.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan.
5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami istri.
7
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami-istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada
kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bias menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan suami-
istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu,
upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu
7
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2011, Cet. 1, h. 7
6
dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi
kasih sayang.
8
Perkawinan merupakan konsep hukum legal conceptal di mana perbuatan tersebut menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban antara para pihak
yang membuat perjanjian yaitu suami-istri. Akad perkawinan merupakan sumber yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban
suami istri berlangsung selama mereka terikat dengan akad, dan putusnya perkawinan menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban suami istri dalam suatu
rumah tangga. Perkawinan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, mawadah
dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah. Allah menyatakan: “Diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu agar kamu cenderung kepadanya, dan kami jadikan diantara kamu mawadah wa
rahmah …” QS. Ar-Rum: 21. Perkawinan juga akan melahirkan keturunan yang merupakan pelanjut generasi manusia di muka bumi. Perkawinan menjadi
kebutuhan naluriah manusia, karena manusia cenderung untuk hidup berpasang- pasangan yang melahirkan keturunan yang sah, sehingga kedudukan manusia
sebagai makhluk mulia dan bermartabat akan tetap terjaga.
9
8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010, Cet. 3, h. 96
9
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: Prenada Media, 2011, Cet. 2, h. 176
7
Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral dapat dipertahankan untuk selamanya oleh suami istri. Namun, Islam juga memahami
realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang mengalami persengketaan dan percekcokan yang berkepanjangan. Perselisihan
antara suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga tidak harmonis, sehingga akan mendatangkan kemudaratan. Oleh karena itu, Islam membuka jalan
berupa perceraian. Perceraian merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh suami istri, bila rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian
dalam Islam memiliki proses panjang. Persengketaan suami istri tidak serta-merta menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi mengandung
proses mediasi dan rekonsiliasi, agar rumah tangga mereka dapat dipertahankan.
10
Terkadang juga dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan
dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga
sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya dalam porsi yang tidak terlalu banyak.
11
Pada setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya keharmonisan dalam berumah tangga dan menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,
10
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 181
11
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, Cet. 1, h. 172
8
namun adakalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi kebaikan bersama terbukalah pintu perceraian. Dalam menyelesaikan perkara
perceraian di pengadilan agama di awali dengan mediasi. Mediasi adalah merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa
yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Mediasi dari sisi kebahasaan lebih menekankan pada pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga ini disebut mediator. Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang
bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.
12
Peran hakim Pengadilan Agama dalam proses persidangan pertama dan utama, tujuannya adalah untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, karena
mendamaikan itulah sebagai prioritas utama. Termasuk dalam hal ini perkara perceraian pasal 28 ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan
“selama pekara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sida
ng pemeriksaan”. Karena itu penulis berkeinginan meneliti mediasi dalam perkara
perceraian dalam bentuk skripsi dengan judul
“PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN Studi di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Tahun 2012- 2014”
12
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2011, Cet. 2, h. 3
9