Diabetes Melitus Diabetes Melitus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. World Health Organization WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat, tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan permasalahan anatomik dan kimiawi akibat adanya defisiensi insulin relatif dan gangguan fungsi insulin Purnamasari, 2009. Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang sangat memengaruhi kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak PERKENI, 2011. 2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi Klasifikasi dan etiologi DM berdasarkan American Diabetes Association ADA, 2009 adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus Purnamasari, 2009 No. Tipe Etiologi 1. Diabetes Melitus tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut yang dikarenakan proses imunologik maupun idiopatik

2. Diabetes Melitus

tipe 2 Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin

3. Diabetes Melitus

tipe lain A. Defek genetik fungsi sel beta - Kromosom 12, HNF- 1α dahulu MODY 3 Universitas Sumatera Utara - Kromosom 7, glukokinase dahulu MODY 2 - Kromosom 20, HNF- 4α dahulu MODY 1 - Kromosom 13, insulin promotor factor-1 IPF-1, dahulu MODY 4 - Kromosom 17, HNF- 1β dahulu MODY 5 - Kromosom 2, Neuro D1 dahulu MODY 6 DNA Mitochondria - Lainnya B. Defek genetik kerja insulin Resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya C. Penyakit Eksokrin Pankreas Pankreatitis, traumapankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya D. Endokrinopati Akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya E. Karena obatzat kimia Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazosid, agonis β adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya F. Infeksi Rubella congenital, CMV, lainnya G. Imunologi jarang Sindrom “stiff man”, antibodi anti reseptor insulin, lainnya Universitas Sumatera Utara H. Sindroma genetik lain Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya 4. Diabetes Kehamilan 2.1.3. Faktor Resiko a. Genetik Orang tua dapat menurunkan gen penyebab DM kepada anaknya. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga memiliki riwayat DM. b. Usia Lebih banyak pada usia diatas 45 tahun, tetapi kini frekuensi kasus DM tipe 2 meningkat pada usia yang muda. c. Obesitas Pada orang obesitas sangat berisiko terjadi DM, karena ia berperan sebagai faktor diabetogenik melalui peningkatan resistensi insulin dan gangguan sel beta pankreas secara genetik. Risiko terjadi DM tipe 2 juga tinggi pada orang yang mempunyai BMI Body Mass Index 25 kgm². d. Kurang aktivitas fisik Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan sensitivitas regulasi insulin dan meningkatkan akumulasi lemak pada jaringan. Aktivitas fisik menyebabkan produksi insulin oleh sel beta pankreas akan berkurang dan glukosa dapat diambil oleh jaringan tanpa insulin. e. Hipertensi Tekanan darah lebih dari 14090 mmHg merupakan salah satu risiko terjadinya DM tipe 2. f. Dislipidemia Universitas Sumatera Utara Seseorang dikatakan dislipidemia jika kadar HDL 35mgdL atau kadar trigliserida 250mgdL. g. Diabetes gestasional dan melahirkan bayi makrosomia Jika semasa kehamilan mengalami diabetes gestasional atau memiliki riwayat melahirkan bayi makrosomia, maka berisiko tinggi untuk terjadi DM tipe 2. h. Polycystic ovarian syndrome Hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin Powers, 2008. 2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi 2.1.4.1 Patogenesis dan Patofisiologi DM tipe 1 Bentuk diabetes ini terjadi karena kekurangan insulin yang berat akibat destruksi autoimun sel-sel beta dalam pulau-pulau Langerhans pancreas. DM tipe 1 paling sering terjadi pada usia kanak-kanak, bermanifestasi pada usia pubertas, dan berjalan progresif mengikuti pertambahan usia Mitchel, et.al, 2006 - Mekanisme Destruk si sel β. Limfosit T bereaksi terhadap antigen sel- β dan menyebabkan kerusakan sel. Sel-sel ini meliputi: sel-sel T CD4+ dari subkelompok Th1 yang menyebabkan jejas jaringan dengan mengaktifkan sel-sel makrofag, sementara sel-sel makrofag menyebabkan kerusakan dalam bentuk respons hipersensitivitas tipe-lambat yang khas. Limfosit T sitotoksik CD8+ yang membunuh langsung sel β dan juga menyekresi sitokin yang mengaktifkan makrofag. Sitokin yang diproduksi secara local merusak sel- sel β. Diantara sitokin yang terlibat dalam jejas sel adalah IFN- γ, dihasilkan oleh sel 7 dan TNF serta IL1 yang diproduksi oleh sel- sel makrofag yang diaktifkan selama reaksi imun. Autoantibodi terhadap sel-sel pulau dan insulin juga terdeteksi dalam darah pada 70 hingga 80 pasien. Autoantibodi tersebut bersifat reaktif dengan sejumlah antigen sel β, yang meliputi enzim glutamic acid decarboxylase GAD. Pada anak-anak yang rentan tapi belum menderita diabetes misalnya, Universitas Sumatera Utara sanak keluarga pasien, keberadaan antibody terhadapsel pulau merupakan tanda prediktif untuk meramalkan terjadi DMT1. - Kerentanan Genetik. Diabetes tipe 1 memiliki pola korelasi yang kompleks dengan sedikitnya 20 lokus genetic yang berpotensi menimbulkan perubahan toleransi imun hospes yang akhirnya menyebabkan autoimunitas. Sejauh ini korelasi genetic yang paling penting terdapat antara diabetes tipe 1 dan lokus HLA MHC kelas II. Antara 90 dan 95 orang-orang kulit putih mengidap diabetes tipe 1 memiliki haplotype HLA-DR3 atau DR4. Alel tertentu di dalam haplotype ini seperti alel DQβ10302 memperlihatkan korelasi dengan diabetes tipe 1 yang derajatnya bahkan lebih besar lagi. Gen-gen non-MHC yang berkaitan dengan kerentanan penyakit meliputi gen insulin itu sendiri dan gen yang mengode reseptor inhibisi sel-T CTLA-4. - Faktor Lingkungan. Beberapa virus turut terlibat sebagai pemicu potensial untuk terjadinya serangan autoimun; virus tersebut meliputi virus coxsackie, virus parotitis, virus campak, sitomegalovirus, virus rubella dan mononucleosis infeksiosa. Salah satu postulat mengemukakan bahwa virus-virus tersebut memproduksi virus bereaksi silang dengan jaringan sendiri Mitchel et.al, 2006. 2.1.4.2. Patogenesis dan Patofisiologi DM tipe 2 Resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal memegang peran sentral dalam perjalanan DM tipe 2. Walaupun sejumlah kontroversi timbul terkait yang mana dari dua hal tersebut yang merupakan defek primer munculnya DM tipe 2, kebanyakan hasil studi mendukung pendapat bahwa resistensi insulin mendahului gangguan sekresi insulin dan bahwa DM muncul hanya jika sekresi insulin menjadi tidak adekuat Powers, 2008. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan DM secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, mulai Universitas Sumatera Utara timbul DM secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis DM Soewondo, 2009. DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan sekresi insulin, produksi glukosa yang berlebihan oleh hepar, dan metabolisme lemak yang abnormal Powers, 2008. - Resistensi Insulin. Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target khususnya otot dan hepar. Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 belum dapat dijelaskan secara utuh. Terdapat pengurangan jumlah reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka, namun perubahan ini lebih kepada akibat sekunder dari kondisi hiperinsulinemia yang terjadi dan bukan defek primernya. Patogenesis dari resistensi insulin saat ini lebih fokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang mengakibatkan penurunan translokasi GLUT-4 ke membran plasma, dibandingkan abnormalitas- abnormalitas lainnya. Namun, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin resisten terhadap efek insulin. Contohnya, jalur yang mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi sel dan menggunakan jalur Mitogen- Activated Protein MAP kinase, berpotensial meningkatkan kondisi terjadinya aterosklerosis pada diabetes. - Gangguan Sekresi Insulin. Sekresi dan sensitivitas insulin saling berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin terutama meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin guna mempertahankan kadar glukosa darah normal. Gangguan sekresi insulin yang terjadi sebenarnya ringan dan hanya secara selektif melibatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa saja. Respon terhadap bahan-bahan nonglukosa seperti arginin masih dipertahankan. Namun, gangguan sekresi insulin ini akan berjalan sampai pada tahap sekresi insulin inadekuat yang berat. Alasan terjadinya penurunan kapasitas sekresi insulin pada DM tipe 2 masih belum jelas. - Peningkatan Produksi Glukosa Hepar. Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hepar merefleksikan kegagalan hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menyebabkan kondisi hiperglikemia dan Universitas Sumatera Utara penurunan simpanan glikogen oleh hepar pada masa pascaprandial. Peningkatan produksi glukosa oleh hepar terjadi pada masa-masa awal diabetes, meskipun sepertinya hal itu terjadi setelah onset gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin pada otot rangka. - Metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas terutama viseral dan sentral sangat umum ditemui pada DM tipe 2. Adiposit menghasilkan sejumlah produk-produk biologis leptin, TNF- α, asam lemak bebas, resistin dan adiponektin yang memodulasi sekresi dan kerja insulin serta berat badan, dan mungkin juga berperan dalam terjadinya resistensi insulin Mitchel et.al, 2006. 2.1.5. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal ≤ 126 mgdL, atau mengalami toleransi glukosa setelah makan karbohidrat ≥ 200 mgdL. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka gula akan diekskresikan ke dalam urin glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine poliuria dan timbul rasa haus polidipsia. Karena glukosa hilang bersama urine ± 4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar polifagia mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien juga mengeluh lelah dan mengantuk Schteingart, 2005. 2.1.6. Diagnosis Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan Universitas Sumatera Utara dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif Purnamasari, 2009. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral TTGO standar Purnamasari, 2009. Tabel 2.2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM Purnamasari, 2009 Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu mgdL Plasma vena 110 110-199 ≥200 Darah kapiler 90 90-199 ≥200 Kadar glukosa darah puasa mgdL Plasma vena 110 110-125 ≥126 Darah kapiler 90 90-109 ≥110 Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita Purnamasari, 2009. 2.1.7. Komplikasi Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi kompliasi akut dan kronik. Komplikasi akut terdiri dari: - Ketoasidosis Diabetik KAD. Ketoasidosis diabetik KAD merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi300-600 mgdL, disertai dengan adanya tanda dangejala asidosis dan plasma keton + kuat. Osmolaritas plasma meningkat 300- 320 mOsmL dan terjadipeningkatan anion gap. - Hiperosmolar non Ketotik HNK. Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi 600-1200 mgdL, tanpa tanda dan gejala Universitas Sumatera Utara asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat 330-380 mOsmL, plasma keton +-, anion gap normal atau sedikit meningkat. - Hipoglikemia. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah 60 mgdL PERKENI, 2011. Sedangkan komplikasi kronik terdiri dari: - Makroangiopati. Pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah otak, dan pembuluh darah tepi. Pada pembuluh darah tepi penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal laudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul. - Mikroangiopati. Retinopati diabetik dan nefropati diabetik. - Neuropati. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. - Dislipidemia pada Diabetes. Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskular. - Hipertensi pada diabetes. - Obesitas pada diabetes. Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai - Gangguan koagulasi pada diabetes PERKENI, 2011.

2.2. Badan Keton