Majapahit Kerajaan Bercorak Hindu-Buddha di Indonesia
53
pemerintahan dan digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk. Pada tahun 1372 M Tribhuwana meninggal dan didharmakan di Panggih Sumadio, 1994.
Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Dalam menjalankan pemerintahannya
ia didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan patih Hamangkubhumi. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah kerajaan Majapahit mengalami
puncak kebesarannya. Untuk menjalankan politik Indonesianya, satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit
ditundukkan dan dipersatukan oleh Hayam Wuruk. Akan tetapi politik Indonesia itu berakhir sampai tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa Bubat, yaitu
perang antara orang Sunda dan Majapahit. Dalam masa pemerintahannya, Hayam Wuruk sering mengadakan
perjalanan keliling daerah-daerah kekuasaannya yang dilakukan secara berkala. Pada masa ini bidang kesusastraan sangat maju. Kitab Nagarakretagama yang
merupakan kitab sejarah tentang Singhasari dan Majapahit berhasil dihimpun dalam tahun 1365 oleh Prapanca. Sedangkan pujangga Tantular berhasil
menggubah cerita Arjunawiwaha dan Sutasoma. Selanjutnya dalam kitab Pararaton XXX:24 disebutkan bahwa pada tahun
1311 S 1389 M Raja Hayam Wuruk meninggal, namun tempat pendharmaannya tidak diketahui. Sepeninggal Hayam Wuruk, tahta kerajaan
Majapahit dipegang oleh Wikramawarddhana. Ia adalah menantu dan keponakan Raja
Hayam Wuruk
yang dikawinkan
dengan putrinya
bernama Kusumawarddhani. Wikramawarddhana mulai memerintah tahun 1389 M. Pada
tahun 1400 M ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi seorang pendeta. Wikramawarddhana kemudian mengangkat anaknya yang bernama
Suhita untuk menggantikannya menjadi raja Majapahit. Diangkatnya Suhita di atas tahta kerajaan Majapahit ternyata telah
menimbulkan pangkal konflik di Majapahit, yaitu timbulnya pertentangan keluarga antara Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi. Pada tahun 1404 M
persengketaan itu makin memuncak, dan muncul huru hara yang dikenal dengan nama Perang Paregreg. Dari Pararaton disebutkan bahwa dalam Perang
Paregreg akhirnya Bhre Wirabhumi berhasil dibunuh Bhre Narapati. Walaupun Bhre Wirabhumi sudah meninggal, peristiwa pertentangan keluarga itu belum
54
reda juga. Bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi benih balas dendam dan persengketaan keluarga itu menjadi berlarut-larut.
Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1447 M. Ia didharmakan di Singhajaya. Oleh karena Suhita tidak memiliki
anak, maka tahta kerajaan diduduki oleh adiknya yang bernama Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya dengan gelar Prabu Brawijaya I. Ia tidak lama memerintah.
Pada tahun 1451 M ia meninggal dan didharmakan di Krtawijaya pura. Dengan meninggalnya Kertawijaya, Bhre Pamotan menggantikannya
menjadi raja dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Ia dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara atau Prabu Brawijaya II. Ia memerintah hampir 3 tahun lamanya.
Pada tahun 1453 M ia meninggal dan didharmakan di Sepang. Menurut Pararaton sepeninggal Rajasawarddhana selama 3 tahun 1453-1456 M
Majapahit mengalami masa kekosongan tanpa raja interregnum. Baru pada tahun 1456 M tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menduduki tahta
dengan gelar Brawijaya III. Ia memerintah selama 10 tahun 1456-1466 M. Pada tahun 1466 M ia meninggal dan didharmakan di Puri Soekmono, 1985.
Sebagai penggantinya kemudian Bhre Pandan Salas diangkat menjadi raja dengan gelar prabu Brawijaya IV. Setelah Bhre Pandan Salas meninggal,
kedudukannya sebagai
raja Majapahit
digantikan oleh
anaknya Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebelum menjadi raja Majapahit,
Ranawijaya berkedudukan
sebagai Bhattara
i Kling.
Pada masa
pemerintahannya ia tidak berkedudukan di Majapahit, melainkan tetap di Kling karena Majapahit di duduki Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V. Pada
tahun 1478 M Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Kertabhumi. Dalam perang tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan
Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi, dan Kertabhumi gugur di Kadaton Djafar, 2009.
Mengenai masa akhir kekuasaan Majapahit dapat diketahui dari beberapa sumber sejarah yang ada. Serat Kanda dan Pararaton mneyebutkan bahwa
kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 S 1478 M. Saat keruntuhannya itu disimpulkan dalam candra sengkala ”sirna-ilang-kertaning-bumi”, dan disebutkan
pula bahwa keruntuhannya itu dikarenakan serangan dari kerajaan Islam Demak.
Berdasarkan bukti sejarah ternyata bahwa pada saat itu kerajaan Majapahit belum runtuh benar dan masih berdiri untuk beberapa waktu yang cukup lama
55
lagi. Rajanya bernama Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana. Bahkan berita Cina dari dinasti Ming 1368-1643 M masih menyebutkan adanya
hubungan diplomasi antara Majapahit dengan Cina pada tahun 1499 M. Dari Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda diketahui bahwa antara 1518-
1521 M di Majapahit telah terjadi suatu pergeseran politik, yaitu kekuasaan Majapahit telah beralih dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus
Pangeran Sabrang Lor penguasa Islam dari Demak. Demikian Majapahit telah ditaklukkan dan dikuasai Pati Unus dari Demak Graaf Pigeaud, 1974.
Penguasaan Majapahit oleh Dema itu dilakukan oleh Adipati Unus, anak Raden Patah sebagai tindakan balasan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang telah
mengalahkan kakeknya yaitu Prabu Brawijaya V atau Kertabhumi Djafar, 2009.