Selanjutnya riap tahunan diameter pohon dikalikan dengan daur yaitu 25 tahun sehingga diperoleh diameter pohon pada umur 25 tahun. Tinggi pohon pada akhir
daur dihitung dengan cara yang sama dengan perhitungan riap diameter. Pendapatan yang diperoleh jika kayu dijual pada akhir daur dengan asumsi daur
tebang 25 tahun sebesar Rp 2.156.000.000ha dengan asumsi harga per m
3
pohon jati adalah tetap. Keuntungan yang diperoleh yaitu dengan mengurangi
pendapatan dari penjualan tegakan jati di akhir daur dengan biaya pembangunan tegakan hutan rakyat dan biaya pemeliharaan. Biaya pembangunan hutan rakyat
adalah Rp 347.990.000 atau Rp 1.070.700ha dan biaya pemeliharaan Rp 9.546.700ha, sehingga keuntungan yang diperoleh dari hutan rakyat sampai akhir
daur panen sebesar Rp 2.145.382.600ha. Perkiraan potensi volume umur 25 tahun dengan perhitungan tersebut
menghasilkan nilai yang sangat besar, sementara tegakan yang tidak dilakukan penjarangan seharusnya memiliki pertumbuhan riap yang kecil karena persaingan
antar pohon yang sangat ketat. Sehingga perhitungan potensi volume akhir daur dilakukan dengan menggunakan tabel tegakan jati bonita II dan diperoleh potensi
volume sebesar 209,32 m
3
ha. Pendapatan jika pada umur 25 tahun dilakukan penebangan yaitu sebesar Rp 683.018.000ha. Keuntungan setelah pendapatan
dikurangi biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp 1.070.700ha dan pemeliharaan Rp 9.546.700ha yaitu sebesar Rp 672.400.600ha.
5.5 Potensi Karbon
Metode pendugaan karbon tegakan dilakukan dengan empat persamaan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil dari masing-masing
persamaan yang digunakan. Masing-masing persamaan dapat dibandingkan dari hasil pendugaan karbon dan dapat diketahui faktor-faktor penyebab perbedaan
hasil pendugaan karbon dari persamaan-persamaan tersebut sehingga dapat ditentukan persamaan terbaik untuk pendugaan karbon hutan rakyat jati di Desa
Dlingo ini. Metode pertama yaitu persamaan umum dengan mensubstitusikan
diameter dan tinggi total tegakan ke dalam rumus volume pohon dan memperhitungan faktor angka bentuk pohon jati sebesar 0,759 Novendra 2008
sehingga diperoleh nilai volume tegakan diperoleh sebesar 23.364,25 m
3
atau 71,89 m
3
ha. Pendugaan biomassa pohon diperoleh dengan cara mengalikan volume dengan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 APHI dan Cerindonesia
2011 sehingga diperoleh kandungan biomassa sebesar 15.654,05 ton atau 48,17 tonha dan menurut SNI 7724:2011 sebesar 0,47 dari biomassa merupakan
kandungan karbon sebesar 7.357,189 tonC atau 22,64 tonCha. Pada persamaan pertama pengukuran tinggi di lapangan cenderung mengakibatkan penyimpangan
yang tinggi karena kesalahan dari pengukur dalam mengukur tinggi dengan hagahypsometer.
Metode kedua merupakan persamaan umum yang sering digunakan adalah rumus Ketterings et al. 2001. Persamaan ini dilakukan dengan cara
mensubstitusikan diameter total tegakan dan memperhitungkan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 APHI dan Cerindonesia 2011 sehingga diperoleh nilai
biomassa sebesar 12.869,211 ton atau 39,59 tonha. Menurut SNI 7724:2011, sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon yaitu sebesar 6.048,53
tonC atau 18,61 tonCha. Persamaan pertama dan persamaan kedua merupakan persamaan umum
yang mudah diaplikasikan, bisa meminimalkan kesalahan pengukuran, serta cukup sederhana. Kelemahannya adalah kurang bisa mengakomodasi jumlah
karbon selain biomassa atas pohon seperti jumlah karbon pada akar, daun dan tanah Ginoga et al. 2005. Selain itu, kedua persamaan ini menggunakan
pendekatan berat jenis yang memungkinkan peluang penyimpangan pada pemilihan berat jenis yang digunakan. Berat jenis jati berkisar antara 0,62 sampai
dengan 0,75 Purnamasari 2008, sedangkan berat jenis yang digunakan yaitu berat jenis rata-rata sebesar 0,67.
Penetapan persamaan alometrik yang akan dipakai dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting dalam proses pendugaan biomassa. Setiap
persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Pemakaian suatu persamaan yang
dikembangkan belum tentu cocok apabila diterapkan di daerah lain Sutaryo 2008.
Metode ketiga dan keempat merupakan metode persamaan biomassa diperoleh dari hasil penelitian destruktif pohon jati di dua tempat, yaitu: Desa
Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dan Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah. Persamaan alometrik C= 0,1986 D
2,13
menggunakan sampel 15 pohon jati dengan kelas diameter 5-14 cm, 15-24 cm, dan 25 cm keatas, sedangkan
persamaan C= 0,2759 D
2,2227
x 0,47 merupakan persamaan hasil destruktif pohon jati di KPH Cepu, Jawa tengah menggunakan 24 pohon jati dengan tingkatan
umur 2, 11, 22, 41, 45, 53, 70, dan 88 tahun. Kedua persamaan ini dipilih karena pertimbangan peluang kesalahan yang tinggi terhadap tinggi tegakan yang diambil
di lapangan. Persamaan ketiga dipilih dengan alasan lokasi yang berdekatan dengan lokasi penelitian untuk Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul
sehingga memungkinkan untuk kemiripan kondisi tanah, cuaca, ketinggian lokasi karena berada di lereng pegunungan seperti di hutan rakyat Desa Dlingo.
Persamaan alometrik hasil destruktif di KPH Cepu, Jawa Tengah dipilih untuk perbandingan terhadap perlakuan silvikultur antara tegakan jati di hutan
rakyat yang kurang mendapat perlakuan silvikultur dengan tegakan jati di KPH Cepu yang mendapat perlakuan silvikultur secara intensif. Tabel 8 menyajikan
hasil dari pendugaan karbon dari keempat persamaan tersebut. Tabel 8 Persamaan pendugaan kandungan karbon
No. Metode persamaan
Lokasi persamaan diperoleh
Potensi karbon
tonha Nilai
ragam Sumber
penyimpangan 1
C= ߩ x V x 0,47
Persamaan umum 22,64
0,864 Pengukuran
tinggi dan faktor berat jenis
2 C= 0,052
ߩ D
2,62
x 0,47 Ketterings et al. 2001
Muara Bungo, Bungo Tebu,
Jambi 18,61
0,810 Faktor berat
jenis 3
C= 0,1986 D
2,13
Saleh 2008 Desa Dengok,
Kecamatan Playen
Gunungkidul 29,11
0,895 Perbedaan
lokasi
4 C= 0,2759 D
2,2227
x 0,47 Hendri 2001 diacu
dalam Tiryana et al. 2011
Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa
Tengah 24, 50
0,879 Perbedaan
lokasi
Persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11 tonCha dianggap yang terbaik
karena berdasarkan pertimbangan kemiripan kondisi geografis karena lokasi
berdekatan dan sama-sama berada pada daerah pegunungan. Lokasi Kecamatan Dlingo sebelah timur berbatasan langsung dengan kecamatan Playen. Menurut
AHPI dan Cerindonesia 2011, metode alometrik digunakan tergantung pada jenis atau curah hujan, untuk itu digunakan rumus sesuai dengan jenis atau curah
hujan pada lokasi. Lokasi Desa Dlingo memiliki curah hujan 1500─2000 mmtahun,
sedangkan Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul 2000─2100 mmtahun. Kedua tempat ini sama-sama berlokasi di daerah pegunungan karst yang
berdekatan dengan ketinggian untuk Desa Dlingo yaitu 200─295 mdpl sedangkan
untuk Desa Dengok yaitu 200─300 mdpl. Dari hubungan diameter dan karbon, persamaan ini diperoleh nilai ragam terbesar dibandingkan persamaan lainnya
sebesar 0,895. Dari pertimbangan ini persamaan alometrik ketiga dipilih sebagai yang terbaik.
Hasil perhitungan dengan persamaan alometrik keempat yaitu alometrik dari pendugaan destruktif di perum perhutani, KPH Cepu, Jawa Tengah menunjukkan
nilai yang lebih kecil daripada persamaan ketiga yaitu sebesar 7.962,5 ton atau 24,50 tonha. Seharusnya nilai dengan persamaan keempat lebih besar daripada
persamaan ketiga, karena perlakuan silvikultur tanaman di Perhutani lebih intensif dibandingkan dengan perlakuan tanaman di hutan rakyat yang kurang bahkan
tanaman dibiarkan tumbuh tanpa ada pemeliharaan lanjutan hingga akhir daur. Menurut Malsheimer et al. 2009 diacu dalam Butarbutar 2009 hutan yang
dikelola akan menyerap karbon lebih banyak daripada hutan yang tidak dikelola Menurut Pramono et al. 2010 untuk mendapatkan tegakan jati yang
menghasilkan kayu berkualitas tinggi, dipilih lahan yang memiliki kandungan kapur dan lempung-liat cukup tinggi, memiliki perbedaan musim kemarau dan
musim penghujan yang nyata, berada pada ketinggian kurang dari 700 m dpl. Kondisi tanah di Desa Dlingo memiliki kandungan kapur yang tinggi yang dapat
memacu pertumbuhan pada jati walaupun tidak dilakukan pemeliharaan. Tabel 9 menyajikan informasi mengenai hasil pendugaan karbon dengan
persamaan terbaik yaitu persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dengan satu variabel yaitu diameter.
Tabel 9 Potensi stok karbon tegakan hutan rakyat
Kelas diameter cm
Kerapatan Nha Potensi karbon
per ha tonCha Serapan karbondioksida
per ha tonCO
2
ha D 5
175 0,51
1,87 5 ≤ D 10
376 5,66
20,77 10 ≤ D 15
254 10,51
38,57 15 ≤ D 20
82 6,98
25,61 20 ≤ D 25
27 3,76
13,79 D ≥ 25
7 1,78
6,53 Total
921 29,11
106,83
Berdasarkan hasil pendugaan karbon dengan persamaan alometrik hasil destruktif 15 pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen,
Gunungkidul diperoleh potensi karbon terbesar yaitu pada kelas diameter antara 5 cm sampai dengan 10 cm sebesar 10,51 tonCha. Hal itu dikarenakan kelas
diameter antara 5 cm hingga 10 cm memiliki kerapatan terbesar dibandingkan dengan kelas diameter lainnya. Total potensi karbon hutan rakyat dalam satu desa
yang memiliki luasan 325 ha sebesar 9.460,75 tonC atau 29,11 tonCha. Estimasi serapan karbondioksida CO
2
dilakukan dengan persamaan yaitu: CO
2
= 3,67 C Rochmayanto et al. 2010. Potensi serapan karbondioksida diperoleh sebesar
34.720,95 tonCO
2
atau 106,83 tonCO
2
ha. Tabel 10 merupakan perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat hutan rakyat Desa Dlingo
jika di skemakan ke perdagangan karbon. Tabel 10 Perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat
Tahun proyek TonCtahun
TonCO
2
tahun Jumlah sertifikat
1 2.380,979
8.738,19 8.738
2 2.666,038
9.784,36 9.784
3 2.954,657
10.843,59 10.843
4 3.246,562
11.914,88 11.914
5 3.541,523
12.997,39 12.997
6 3.839,342
14.090,39 14.090
7 4.139,847
15.193,24 15.193
8 4.442,884
16.305,38 16.305
9 4.748,321
17.426,34 17.426
10 5.056,036
18.555,65 18.555
11 5.365,923
19.692,94 19.692
12 5.677,885
20.837,84 20.837
13 5.991,831
21.990,02 21.990
14 6.307,683
23.149,20 23.149
15 6.625,366
24.315,09 24.315
Hasil serapan karbon yang diperoleh hutan rakyat Desa Dlingo tergolong kecil. Hal itu disebabkan tanaman yang seumur cenderung menghasilkan serapan
karbon yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman dengan kelas umur yang
bervariasi. Hutan dengan semua kelas umur dengan berbagai tipe mempunyai kapasitas penyerapan yang lebih besar dan penyimpanan karbon dalam jumlah
besar juga, tetapi hutan campuran semua umur umumnya mempunyai kapasitas penyerapan karbon yang lebih besar dan penyimpanan juga karena leaf area luas
permukaan daun yang lebih besar Butarbutar 2009.
5.6 Biaya Kegiatan Perdagangan Karbon