Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat Sistem Pemilik dan Penggunaan Hutan Rakyat

pemiliknya dan tidak ditemukan kondisi hutan rakyat yang sesuai dengan rancangan. Disebabkan pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut adalah pola penanaman pengkayaan yang sebelumnya sudah terdapat tanaman, maka tanaman baru sebagai tanaman pembatas maksimal 200 batangha.

5.2 Kondisi Hutan Rakyat

Untuk mengetahui kegiatan dari pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo, dilakukan wawancara semi terstruktur menggunakan kuesioner dengan 35 responden pemilik hutan rakyat dari 3 dusun, yaitu: Pakis II, Pokoh II, dan Dlingo II. Lokasi GNRHL berada pada tanah yang miring dan tidak subur sehingga sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dibuat terasering atau piringan dari batu yang disusun. Penanaman harus dilakukan pada saat awal musim penghujan karena jika musim kemarau tanah sangat kering.

5.2.1 Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat

Penduduk Desa Dlingo mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Dari 35 responden merupakan petani hutan rakyat, baik sebagai mata pencaharian pokok maupun hanya sampingan. Petani Desa Dlingo selain mengelola hutan rakyat juga mengelola tanaman pertanian. Namun, bertani tanaman pertanian lebih diprioritaskan pengelolaannya karena memiliki hasil dengan jangka waktu yang lebih pendek tidak seperti hasil dari hutan rakyat. Selain itu, mereka juga memiliki pekerjaan sampingan karena hasil dari pertanian saja tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya, pekerjaan sampingan yang dilakukan yaitu sebagai pedagang, pengrajin mebel, dan sebagai tukang bangunan.

5.2.2 Sistem Pemilik dan Penggunaan Hutan Rakyat

Status kepemilikan lahan merupakan lahan milik petani dengan telah memiliki pengakuan dari masyarakat dan kelurahan, namun sebagian masih ada yang belum memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah. Berdasarkan wawancara dengan responden, luasan hutan rakyat yang dimiliki berbeda-beda. Umumnya letak hutan rakyat GNRHL berbentuk blok dan dimiliki oleh beberapa petani dengan batas lahan berupa patok dari badan pertanahan dan berupa susunan batu terasering. Tujuan utama responden membudidayakan hutan rakyat berbeda-beda, sebagian besar responden beralasan untuk keperluan sendiri dan digunakan sebagai bahan baku mebel dan sebagian juga digunakan untuk investasi tambahan di masa depan. Harga kayu jati yang tinggi diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan untuk keperluan masa depan, seperti keperluan tambahan biaya pendidikan, atau kegiatan lainnya yang membutuhkan modal besar. Sebelum dilakukan penanaman dari proyek GNRHL, lahan hutan rakyat tersebut berupa lahan kritis, tegalan, dan pekarangan. Pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut yaitu dengan pola penanaman pengkayaan dengan sebelumnya sudah terdapat tanaman sehingga diperlukan penambahan tanaman dengan proyek GNRHL ini agar tanaman lebih produktif. Setelah penanaman GNRHL dilakukan, lahan hutan rakyat masyarakat ini ditumbuhi pohon jati dengan bentuk hutan rakyat yang berbeda-beda. Bentuk hutan rakyat jati di Desa Dlingo terdiri dari sistem monokultur jati, sistem campuran dengan tanaman kayu keras lainnya seperti mahoni, sonokeling, dan bentuk tumpangsari. Tumpangsari dilakukan dengan menggunakan jenis tanaman pertanian yaitu ketela, umbi- umbian dan tanaman pisang. Pemilihan tanaman keras campuran berdasarkan pertimbangan agar tidak mudah terserang penyakit dan variasi jenis di lahan miliknya, sedangkan pemilihan jenis tanaman pertanian berdasarkan pertimbangan kebutuhan untuk mendapatkan hasil panen jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari.

5.2.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat