“Dulu KC ada untuk mengimbangi macan-macan di istana. Nah, setelah kemudian macannya hilang, masih perlu nggak kita menjadi macan?
Yang kemudian diperlukan adalah masyarakat yang kembali lahir untuk men- decode nilai yang sesuai dengan prinsip benar-baik-indah. Perkembangan tiga
prinsip ini tidak mungkin hanya dilakukan sebulan sekali, maka ditransisikanlah menjadi sekali setiap pekan dan diadakan pada hari Rabu. Inti
dari aktivitas ini adalah saling belajar untuk setiap harinya berubah menjadi lebih baik.”
“Yang lain korupsi, anda enggak. Anda tahukah, EMHA Ainun Nadjib itu sendirian atau tidak? Semua datang ke Cak Nun hanya untuk kepentingan
mereka, setelah mendapat apa yang dicari, mereka tinggalkan Cak Nun. Pejalan Maiyah adalah pejalan sunyi; tapi sunyi yang damai. Anda akan
memberi manis dunia sekitar dengan nilai yang anda pegang.” “Reboan adalah sarana untuk silaturahmi. Reboan merupakan
komitmen kita sebagai individu-individu yang sungguh-sungguh bersaudara. Dari Reboan pula tema KC didapatkan. Di Reboan kita bicarakan KC secara
teknis, kita bicarakan ilmu secara lebih mendalam, kita mempererat pertemanan yang ikhlas. Yang mau merapat di Reboan, dipersilahkan,” Mas
Rusdi menambahkan.
49
Hadir di sesi Diskusi ada Teuku Chandra peneliti simbol, Mas Nanang Hape dhalang, pengusung Wayang Urban, dengan dimoderasi oleh
Mas Ibrahim. Teuku Chandra yang sejak tahun 1981 menekuni kegiatan meneliti
simbol-simbol, 17 tahun kemudian menemukan pola yang lalu dituangkannya dalam „9 hipotesis‟ di dalam buku yang terbit pada tahun 2003, „Selamat
Tinggal Indonesia”. Seminggu setelah terbit, Beliau dipanggil Menko
Polhukam dan mendapatkan ucapan terima kasih. Pak Chandra pertama kali pada tahun 1996 mengangkat ke permukaan
bahwa ada kesalahan dalam pemilihan nama Indonesia pada waktu itu dalam forum-forum kecil.
Beberapa catatan yang disampaikan oleh Pak Chandra adalah sebagai berikut:
1. Imbuhan ke-an menjadikan kata dasar yang diimbuhinya menjadi rusak.
Contoh: menteri; ketika diimbuhi menjadi kementerian. Tuhan; ketika diimbuhi menjadi ketuhanan;
2. Sebuah kata jika ditambah dengan kata „Raya‟ akan menjadi kata yang
hebat;
49
Doc Foto Agus Setiawan, Red KC Ratri Dian Ariani 11 Februari 2013.
3. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 9 Ramadhan, tapi tak
pernah berdoa pada tanggal 9 Ramadhan. Mas Nanang Hape membuka uraiannya dengan mengatakan bahwa di
dunia pewayangan sebagaimana di pesantren adalah warisan, melanjutkan pewarisan cerita-cerita ke generasi berikutnya. Mungkin masa lalu kita punya
banyak cacat, tapi jangan-jangan kita belum cukup mengenalnya. Sejarah sering dihidangkan dalam bentuk satu sisi mata uang tanpa kita pernah tahu
seperti apa sisi sebaliknya. Mas Nanang kemudian bercerita bahwa Sudjiwo Tedjo pernah
mengatakan, “Di tataran makrifat, baik-buruk, kejam-tak kejam, itu tak ada bedanya.” Balik ditanya, “Berarti negeri ini mau lanjut atau tidak, mau
berubah bentuk atau tidak, itu sama saja?” Beliau tak bisa menjawab.
“Bicara kedalaman itu untuk diri sendiri, tapi kalau pas nyembul itu untuk orang lain. Saya anggap pembicaraan ini sebagai mimpi. Boleh
bermimpi, tapi harus berani bangun. Kalau nggak kerja, nggak akan terjadi riilnya.”
Ustadz Wijayanto yang kebetulan mampir di KC, diminta mengisi waktu beberapa saat sebelum beliau pulang untuk kembali ke Yogya. “Tidak
mudah untuk
membangun Indonesia,
harus ada decoding serius.
Decoding berasal dari kata code. Dalam terminologi bahasa ada tiga macam kode, yakni indeks, icon, dan simbol. Indeks adalah tanda yang hanya
berfungsi sebagai pembeda, tidak memiliki konsekuensi. Icon sudah memiliki makna. Kalau ada gambar kuda laut, itu berarti menunjukkan Pertamina, dan
sebagainya. Sementara itu, simbol sarat dengan makna dan memiliki konsekuensi. Kalau lampu merah menyala, Anda harus berhenti.” Dalam
semua aspek diperlukan simbol. Decoding harus menyangkut setiap aspek. Al- aqil yakfi bil isyaroh. Orang pandai cukup dengan isyarat.
50
50
Dari arsip dan essai Kenduri cinta www.kenduricinta.com
diunduh pada tanggal 5 Maret 2014 pukul 13.00
51
Foto Agus Setiawan Sehebat apapun orang orang yang hadir dalam jamaah maiyah ini,
mulai dari Mahasiswa terutama aktifis, para tokoh, pejabat, para seniman, budayawan dan lain sebagainya, kita tidak pernah di liput oleh media, entah
apa yang terjadi media hanya sibuk mengurus kepentingan para petinggi untuk mengamankan posisi pada Pil-Pres 2014 nanti, media kita saat sangat
mengkonstruk dan menghilangkan tanggung jawab sebagai media yang seharusnya bisa mendidik saudara-saudaranya yang buta menjadi terbelalak
akan realita yang harusnya mereka terima dengan kepolosan, harus dihadapkan pada kepentingan segelintir orang semata. Saya bangga Sangat-
sangat bangga karena, 12 tahun perjalanan kita selama ini tidak menyurutkan semangat untuk terus memperbaiki diri dan memimpikan bangsa ini akan
benar-benar sehat lahir dan batin. Amin
52
51
Doc Foto Agus Setiawan, Red KC Ratri Dian Ariani 11 Februari 2013.
52
Emha Ainun Najib, “untuk kesejahteraan dan kebersamaan Indonesia” diakses dari
www.YouTube.com pada tanggal 7 Maret 2014 pukul 16.00
E. Kenduri Cinta Pada awal Era Reformasi
Setelah tragedi Nasional tahun 1998 yang mana perubahan politik yang terjadi begitu sangat rentan akan serangan baik dari dalam negri maupun
luar negri membuat Indonesia pada saat itu sangat rentan baik dalam Ekonomi maupun politik, para seniman dan budayawan yang biasa mengkritisi
pemerintahan melalui seni dan kebudayaan di anggap sebagai golongan kiri yang harus disingkirkan. Pada tahun 2001 Komunitas kenduri cinta
melahirkan Jamaah Maiyah pada malam menjelang akan digelarnya Sidang
Istimewa MPR 2001, tepatnya pada tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik semakin memanas, Emha secara khusus menggelar acara
“Sholawatan Maulid” di kediamannya bersama sahabat-sahabatnya Kiai Kanjeng untuk mensikapi situasi politik yang semakin tidak menentu.
Kegiatan semacam ini sebelumnya sudah sering digelar namun belum menggunakan kata-kata Jamaah Maiyah, sebab hanya berupa kegiatan
pengajian yang tidak hendak menekankan pada eksistensi substansif. Dalam perkembangannya sebutan Jamaah Maiyah tetap dipertahankan nilai
esensialnya bukan mengacu pada kelompok, golongan, ataupun aliran. Pendekatan dengan nama Jamaah Maiyah lebih bertujuan sebagai bentukan
kebersamaan meraih semangat bertahan hidup bahwa Allah berada pada setiap napas kehidupan.
Di hadapan sahabat-sahabat setianya itu, Emha memberi ilmu dan hikmah, bahwa rakyat Indonesia semakin tidak mendapat jaminan apapun dari
negara dan pemerintahnya. Nyawa dan keamanan hidupnya tidak dijamin oleh kepolisian, kedaulatan negerinya tidak dijamin oleh tentara, kesejahteraan
ekonominya tidak dijamin oleh produsen-produsen budaya serta media massa. Bahkan Indonesia secara transparan mempertunjukkan politik iblis, industri
iblis, budaya iblis. Artinya apa yang sehari-hari diperoleh oleh masyarakat adalah hal-hal yang memusnahkan kemandirian ekonominya serta
memerosotkan akhlak kebudayaannya. Maka Emha kemudian mengajak,
untuk membangun sendiri negeri-negeri di dalam dirinya, negeri kemandirian dalam kebersamaan, yang dilukiskannya sebagai lingkaran, yang kemudian
disebut sebagai Lingkaran Maiyah atau Lingkaran Kebersamaan, suatu kumpulan sebagian rakyat Indonesia yang bergandengan tangan untuk
semaksimal mungkin memerdekakan dirinya dari keadaan-keadaan yang membahayakan.
Maiyah yang berarti kebersamaan, pertama melakukan apa saja bersama Allah. Kedua bersama siapa saja mau bersama. Maiyah bisa berarti
komitmen nasionalisme, kedewasaan heterogenisme, kearifan pluralisme, dan tidak ada kesenjangan eko
nomi. Maiyah sendiri secara “kata” muncul dari untaian hikmah yang disampaikan oleh Ustadz Wijayanto, MA, di tengah-
tengah acara internal itu, dengan menyebut beberapa kalimat : “Inna ma‟iya
rabbi”, menirukan Musa AS. Untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya.
“La takhaf wa la tahzan, Innallaha ma‟ana”, Jangan takut jangan sedih, Allah bersama kita. Tutur Muhammad SAW, tatkala dikejar-
kejar oleh pasukan musuh, untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar. Maka di dalam Maiyah, Emha dan Kiai Kanjeng tidak memfokuskan
kegiatannya pada musik dan kesenian, melainkan proses dan komunikasi sosial yang komprehensif. Emha dan Kiai Kanjeng berkeliling Indonesia
untuk menumbuhkan spiritualitas manusia, melalui sholawat, wirid, dan doa, untuk pencerdasan pikiran masyarakat, untuk mengajak membangun
kemandirian, dan untuk menawarkan alternatif kebudayaan yang tidak membahayakan jiwa masyarakat, tetapi bergembira dan diridhoi Allah di
dunia dan akhirat. Dulu Emha dan Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung.
Mereka ditonton oleh penonton, dalam Maiyah tidak berada dipanggung dan tidak ditonton oleh siapapun. Dulu berpakaian hitam-hitam, dalam Maiyah
mereka berpakaian putih-putih, yang tidak untuk menunjukkan bahwa mereka sudah putih melainkan agar terdorong untuk putih. Mereka duduk melingkar,
menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya, tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton, Emha dan Kiai Kanjeng hanya
bernyanyi, bersholawat, berwirid, membaca puisi atau apapun dengan membawa kesadaran bahwa yang dihadapan mereka adalah Allah.
1. Maiyah Dan Alunan Bunyi
Kenapa Shalawatan, wiridan, berdzikir, mengaku dosa kok pakai musik? Karena manusia itu khalifatullah, mandataris yang ditunjuk oleh Allah
untuk mengurus dirinya sendiri dan alam semesta. Khalifah itu pengelola. Manager, Direktur kehidupan. Eksekutif, badan pelaksana.
53
Para khalifah alias direktur-direktur ini menentukan apakah saron dibunyikan untuk mengiringi tayuban ataukah untuk memperindah
pernyataan cinta kepada Allah. Mereka yang mengambil keputusan apakah biola digesek, kibor dipencet, seruling ditiup, perkusi ditabuh, terbang
ditampar – untuk memeriahkan tarian atau lagu-lagu yang tidak terjamin
keamanannya di depan pandangan nilai Allah, ataukah dipakai untuk memperasyik lagu puja-puji atas keagungan Allah. Tentu saja, asalkan
jangan lantas orang azan diiringi biola, orang salat ditabuhi pakai gendang, orang thawaf diiringi genderang massal. Maiyah bukan ibadah makhdloh.
Ia hanya kegiatan budaya yang menggali inspirasi dari Agama. Ia hanya mereligiouskan perilaku budaya. Ia hanya aktivitas sosial budaya yang
tidak merelakan dirinya kalau hanya diperuntukkan buat yang bukan Allah. Karena sabbaha lillahi ma fis samawati wa ma fil ardli, seluruh
mahluk yang dilangit dan dibumi ini bertasbih kepada Allah. Dan para khalifah Kiai Kanjeng tahu, bahwa yang bertasbih kepada Allah itu bukan
hanya Jin dan manusia, tapi juga benda-benda, saron, biola, seruling, terbang, bahkan capung, rumput, daun-daun kering. Bukankah Allah tidak
menggunakan kata man fis samawati, melainkan ma fis samawati? 2.
Etimologi Maiyah “Inna ma‟iya rabbi”, tutur Musa, Nabi „alaihissalam, untuk meyakinkan
ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad Rasulullah saw,
53
Hasil Wawancara dengan Jamaah Maiah Ahmad Ubaydillah, J um‟at, 11 Oktober 2013 di
TIM pukul 11.23.
juga menggunakan kata yang sama di gua Tsur, tatkala dikejar-kejar pasukan musuh untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar,
sahabat beliau, Sayyid kita radiallahu‟anhu : “La takhaf wa la tahzan, innallaha ma‟ana”. Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.
Jadi, asal usulnya dari ma‟a. Artinya, dengan, bersama, beserta. Ma‟iyatullah, kebersamaan dengan Allah. Ma‟iyah itu kebersamaan.
Ma‟ana bersama kita. Ma‟iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu „kesandung‟ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah,
atau Maiyahan. Sedikit argumentasi dengan kata kebersamaan. Mengenai Ibu Bapakmu,
hal anak cucu para keponakan dan sanak famili, tentu kau ucapkan inna ma‟iya, sesungguhnya mereka bersamaku. Bersamaku artinya bukan ke
mana-mana ubyang-ubyung bareng, makan bareng, mandi bareng. Maknanya substansial, haqiqiyah. Kalau engkau bersamaku berarti engkau
adalah bagian dari hatiku. Engkau adalah salah satu serat-serat dari struktur perasaanku. Kalau engkau riang, aku gembira. Kalau engkau
berduka, aku menderita. Kalau engkau disakiti, aku mengaduh. Kalau engkau disengsarakan, aku menangis. Kalau engkau ditimpa masalah, itu
juga masalahku. Kalau engkau memerlukan, aku mengupayakan pemenuhan. Kalau engkau membutuhkan, aku mengusahakan keberesan.
Engkau dan aku sayang menyayangi, kasih mengasihi, tolong menolong, bela membela satu sama lain.
3. Maiyah dan Nilai Sosial
Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warga negara, sesama manusia, apapun saja sukunya,
bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa
tahu tidak haruskah engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga: inna ma‟iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya
aku ada bersama mereka? Kiai Kanjeng berkeliling kemana-mana,