Kenduri Cinta Pada awal Era Reformasi

juga menggunakan kata yang sama di gua Tsur, tatkala dikejar-kejar pasukan musuh untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita radiallahu‟anhu : “La takhaf wa la tahzan, innallaha ma‟ana”. Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita. Jadi, asal usulnya dari ma‟a. Artinya, dengan, bersama, beserta. Ma‟iyatullah, kebersamaan dengan Allah. Ma‟iyah itu kebersamaan. Ma‟ana bersama kita. Ma‟iya, bersamaku. Lantas kata-kata dan bunyi Arab itu „kesandung‟ oleh lidah etnik kita menjadi Maiya, atau Maiyah, atau Maiyahan. Sedikit argumentasi dengan kata kebersamaan. Mengenai Ibu Bapakmu, hal anak cucu para keponakan dan sanak famili, tentu kau ucapkan inna ma‟iya, sesungguhnya mereka bersamaku. Bersamaku artinya bukan ke mana-mana ubyang-ubyung bareng, makan bareng, mandi bareng. Maknanya substansial, haqiqiyah. Kalau engkau bersamaku berarti engkau adalah bagian dari hatiku. Engkau adalah salah satu serat-serat dari struktur perasaanku. Kalau engkau riang, aku gembira. Kalau engkau berduka, aku menderita. Kalau engkau disakiti, aku mengaduh. Kalau engkau disengsarakan, aku menangis. Kalau engkau ditimpa masalah, itu juga masalahku. Kalau engkau memerlukan, aku mengupayakan pemenuhan. Kalau engkau membutuhkan, aku mengusahakan keberesan. Engkau dan aku sayang menyayangi, kasih mengasihi, tolong menolong, bela membela satu sama lain. 3. Maiyah dan Nilai Sosial Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warga negara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak haruskah engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga: inna ma‟iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada bersama mereka? Kiai Kanjeng berkeliling kemana-mana, menembus berbagai sisi, segmen, lapisan, golongan, kelompok, wilayah, daerah dan jenis sosiologis masyarakat untuk menumbuhkan pertanyaan dan kesadaran inna ma‟iya semacam itu. Adakah dengan tetanggamu, masyarakat dan bangsamu, engkau tidak bersedia tolong menolong, melainkan ancam mengancam? Tidak bersedia saling setia, melainkan saling khianat? Tidak mau saling membela, melainkan saling menghancurkan? Tidak siap saling ikhlas, melainkan tidak saling rela? Tidak saling mengharapkan kebahagiaan bagi yang lain, melainkan diam-diam mensyukuri penderitaan mereka? 4. Sudut Bahasa Bahasa kenegaraan Maiyah itu nasionalisme. Bahasa mondialnya universalisme. Bahasa peradabannya pluralisme. Bahasa kebudayaannya heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metoda atau manajemen pengelolaan itu namanya demokrasi. Bahasa ekonominya Maiyah adalah tidak adanya kesenjangan penghidupan antara satu orang atau suatu kelompok dengan lainnya. Tapi ini terlalu ideal dan utopis, jadi mungkin lebih realistis kita pakai ungkapan Maiyah adalah proses dinamisnya menyempitnya atau mengecilnya jarak atau kesenjangan penghidupan di antara manusia. Diproses secara sistem kolektif jangan sampai ada yang terlalu kaya sementara lainnya terlalu fakir. Kadar Maiyah semakin tinggi dan kualitatif berbanding lurus dengan semakin mengecilnya kesenjangan itu. Di dalam teori Maiyah nasionalisme, selalu ditemukan ada banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan warnanya sendiri- sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Setiap ika tunggal menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing, sehingga pada semuanya tampak sebagai bhineka beragam. Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat oleh prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan menyejahterakan. Demikianlah berita gembira berdirinya Republik Indonesia dulu sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua. Di era sejarah bangsa Indonesia yang mungkin masih bertahan hingga saat ini, yakni berlangsung policy politik nasional atau strategi kebudayaan di mana para „masing-masing‟ itu dilarang menunjukkan kemasing- masingannya. Maksudnya baik, orang jangan menonjolkan siapa dirinya, bagaimana wajahnya dan apa warnanya. Semua disatukan, diseragamkan, identitas masing-masing disembunyikan semaksimal mungkin. Bila demikian maka masih berprinsip Tunggal Ika. Maiyah berusaha merealisasikan Bhineka Tunggal Ika. Yang Batak omonglah dengan logat Batak. Yang Bugis ya dialek Bugis. Yang Madura ya cengkok Madura. Tak ada perlunya ditutup-tutupi, sepanjang ada kesepakatan untuk saling melindungi, saling menyayangi dan memproses tujuan kebahagiaan bersama. Yang Budha, berpakaianlah Budha. Yang Katolik , Katoliklah. Yang Islam Islamlah. Om swastiastu tak usah diganti Padamu Negeri. Heleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalatullah salamullah tak usah diganti Ibu Kita Kartini. Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip : saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. Itulah Maiyah. 5. Lingkaran Maiyah Dulu Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton. Kiai Kanjeng yang bermaiyah tidak berada dipanggung dan tidak ditonton siapa-siapa. Mereka duduk melingkar, sehingga terserah orang lain akan bergabung menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya atau tidak. Kiai Kanjeng tidak mempertunjukan musik dan suaranya kepada penonton. Mereka hanya bernyanyi, bershalawat, berwirid, membaca puisi, atau apapun, tetapi yang ada di hadapan mata kesadaran mereka adalah Allah SWT. Maka pada kebanyakan momentum selama ber-maiyah, hampir tak seorangpun di antara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele: materi, benda-benda, gedung- gedung, lembaran-lembaran uang, kecantikan wanita dan kegantengan lelaki, menara pencakar langit. Dan itu semua bersifat sementara dan sangat gampang hancur. Jemaah Maiyah serak-serak suaranya untuk Allah. Habis bunyinya untuk mencintai Nya. Bernyanyi, membunyikan alat musik, berkeringat, untuk memelihara hubungan baik dengan Allah. Karena Allah sebagai pengasuh, penyantun, tempat bergantung tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tentara, menteri ekuin, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang dituhankan oleh sangat banyak orang. Allah berjanji kepada para kekasihnya untuk menjalankan empat fungsi, asalkan oleh para kekasihnya dibeli dengan taqwa dan tawakkal. 54 Peran pertama, Allah sebagai pemberi jalan keluar, solusi atas apa saja: coba sebut satu masalah yang Allah tidak sanggup menyelesaikannya Peran kedua, Allah sebagai penabur rizqi melalui jalan, cara, metoda dan modus yang semau-mau Dia, sehingga para kekasih Nya tidak bisa menduga atau memperhitungkannya. Para kekasih Allah tinggal terima jadi, terima matang – anugrah rejeki yang mereka beli dengan „mata uang‟ taqwa dan tawakkal. Ah, apa sih taqwa? Rindukan Allah kapan saja. menjadikan Allah sebagai tuan rumah batin kita. Tawakkal adalah taqwa yang diperdalam ditancapkan dihujamkan terus menerus. Peran ketiga, Allah sebagai manager dan akuntan. Kalau berasmu menipis, jangan memfitnah dan menganggap Allah bersikap acuh tak acuh atas keadaan dapurmu itu. Ia managermu, ia atur nafkahmu, ia jamin 54 Wawancara dengan Jamaah Maiah di Kenduri Cinta, Jumat, 11 Oktober 2013 di TIM pukul 11.40 penghidupan keluargamu. Engkau cukup menyetor taqwa dan tawakkal. Allah adalah menjadi humasmu, publik relation-mu. Keperluanmu atas seseorang atau suatu pihak, kebutuhanmu terhadap akses ini atau itu, disampaikan oleh Allah kepada yang bersangkutan. Engkau cukup memberi „honor‟ taqwa dan tawakkal. 55 55 Emha Ainun Nadjib. Siapa atau Apa Itu Kyai Kanjeng? dari www.maiyah.net201202siapa- atau-apa-itu-kiai-kanjeng.html diunduh pada tanggal 13 Oktober 2013 pukul 20.05 49 BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN

A. Komunitas Kenduri Cinta dan Jamaah Maiyah

Komunitas Kenduri Cinta Lahir di Jakarta tepatnya di Taman Ismail Marzuki, sebagai wadah refleksi serta respon Emha Ainun Nadjib terhadap kondisi masyarakat pada saat itu yang mengalami ketidak puasan, keputusasaan, amarah terpendam. 56 . Tanpa ada batas feodalisme tanpa ada batas golongan. Topik yang dibahas adalah bahasan-bahasan yang jujur atau verbal. Dan ini sangat sulit ditemukan ditempat dan acara lain. Acara Kenduri Cinta yang dilaksanakan tiap Jumat malam, minggu kedua dalam setiap bulannya berupa dialog interaktif dua arah ada penceramah atau aktor dan audiens dan disertai dengan pementasan kesenian nyanyian, pembacaan puisi, pembacaan cerita, dan lain sebagainya. Setelah tragedi Nasional tahun 1998 yang mana perubahan politik yang terjadi begitu sangat rentan akan serangan baik dari dalam negri maupun luar negri membuat Inonesia pada saat itu sangat rentan baik dalam Ekonomi maupun politik, para seniman dan budayawan yang biasa mengkritisi pemerintahan melalui seni dan kebudayaan di anggap segai golongan kiri yang harus disingkirkan. Pada tahun 2001 Komunitas kenduri cinta melahirkan Jamaah Maiyah pada malam menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001, tepatnya pada tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik semakin memanas, Emha secara khusus menggelar acara “Sholawatan Maulid” di kediamannya bersama sahabat-sahabatnya Kiai Kanjeng untuk mensikapi situasi politik yang semakin tidak menentu. Dari data temuan yang ada Maiyah bukanlah agama baru, serta tidak pernah dimaksudkan oleh pelakunya sebagai suatu aliran teologi, mahzab 56 Prayogi : “Spitual Journey” ,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012, Pemikiran Perenungan Emha, hlm. 30. maupun Thoroqot. Apalagi diniatkan sebagai organisasi massa. Terlebih-lebih sebagai suatu lembaga politik. 57 Doktor Nursamad Kamba, peraih doktor filsafat dalam bidang tasawuf dari Al Azhar pernah menuliskan sebuah artikel pendek tentang Maiyah. Doktor Kamba memfokuskan pandangannya untuk melihat isi atau sepuhan Maiyah. Doktor Kamba memandang “Maiyah yang secara kreatif mengadopsi atau lebih tepatnya menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan, dan ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ikhlas dan jujur yang bersumber dari inspirasi Gua Tsur dan momentum hijrah Nabi, merupakan kreasi sufistik Emha yang jiha disandingkan dengan gerakan- gerakan sufi dalam sejarah, menempati posisi setara dengan kaum Malamatiyah ”. 52 Momentum Gua Tsur terjadi saat Rosululloh Muhammad dan Abu Bakar dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Saat mereka sedang berlindung di Gua Tsur, mereka dilempari batu oleh anak pasukan Quraish Mekkah hingga Rosululloh terluka. Saat itulah Abu Bakar menangis karena tidak sampai hati melihat Rosululloh terluka. Dia menangis. Maka, Rosululloh menenangkan Abu Bakar dengan mengatakan: Tenang saja, Alloh bersama kita. Itulah pesan pokok yang disampaikan Rosulullaoh kepada teman seperjalanannya tersebut. Lalu, siapa kaum Malamatiyah itu? Kaum Malamatiyah adalah kelompok sufi yang berkembang di Khurasan, Persia mulai abad ke-3 dan ke- 4 Hijriyah. Al Matiyah di bangun di atas sikap pengorbanan diri sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealism alfutuwwah, yaitu semangat kepemudaan dal;am berjuang seperti halnya ashabul kahfi. Kaum Malamatiyah menjadi tempat berteduh masyarakat umum yang menjadi kezdaliman ataupun kesewenang-wenangan pemerintah maupun masyarakat. Bahkan kaum malamatiyah cenderung mempraktekkan “rasa bahagia ” dan sikap “menikmati” ketidakadilan dan penderitaan yang di 57 Prayoga: “Spitual Journey” ,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012, Pemikiran Perenungan Emha, hlm. 34. alaminya. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut malamatiyah dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid Al Bustami, Al Hallaj, Al Juneid, hingga ibnu Arabi. 58 Sementara, Timothy P. Daniels, Associate Professor di Universitas Hofstra, New York yang penah melakukan penelitian soal Maiyah lebih memfokuskan pandangannya sebagai antropolog. Dia melihat Maiyah sebagai jasad. Menurutnya Maiyah merupakan a revolutionary religious force in the world. Timothy memasukkan Maiyah kepada gerakan penyegaran – untuk tidak menyebut pembaharuan Islam. Doktor antropolog ini menilai bahwa kekuatan Maiyah yang unik adalah Maiyah tidak berada pada struktur sosial normatif dan sampai hari ini bertahan untuk tidak mengalami siklus atau lingkaran setan penyegaran. Prayogi; “Spiritual Journey”, Hal-36. Seperti banyak ditemukan dalam gerakan-gerakan penyegaran di dunia, mereka tidak sanggup keluar dari lingkaran setan itu. Gerakan penyegaran awalnya muncul karena ketigakpuasan atau rutinitas dan kemandegan lingkungan yang ada yang melahirkan distorsi budaya. Kemudian, gerakan penyegaran itu melampaui fase-fase anti struktur – counter struktur dan akhirnya kembali menyusun struktur social nomatif yang baru. Struktur yang baru ini kelak akan mengalami kemandegan lagi. Begitu seterusnya. Maiyah berupaya menghindari itu dengan cara melakukan proses penyegaran dalam kerangka ideologi dan organisasi yang fleksibel. Lebih jauh muslim Afro-Amerika ini menyatakan bahwa gerakan Maiyah merupakan kombinasi yang kreatif dari mistisisme Islam, fundamentalis dan politik yang berakar pada pengajian bulanan. Salah satu pemikiran Maiyah yang menarik adalah paradigma perang Badr. Perlawanan Badr yang sabar dan berilmu matang sebagai alat pandang untuk melakukan ijtihad. 59 58 Prayoga: “Spitual Journey” ,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012, Pemikiran Perenungan Emha, hlm. 35. 59 Prayogi; “Spiritual Journey”, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012 Hal-36.

B. Pemanfaatan Ruang Publik Sebagai Tempat Diskusi Sosial

Kebudayaan sebagai ruang publik dapat diartikan bahwa mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam sudut pandang umum. Kajian budaya menegaskan bahwa budaya harus dipelajari terkait dengan hubungan sosial dan sistem dimana budaya di produksi dan dikonsumsi. Dengan demikian studi mengenai budaya erat kaitnya dengan studi tentang masyarakat, politik dan ekonomi. Kajian budaya menunjukkan bagaimana budaya media mengartikulasikan nilai-nilai dominan, ideologi politik, perkembangan sosial dan hal baru pada zaman tersebut. Televisi, film, musik, dan bentuk-bentuk budaya populer sering bersifat liberal atau konservatif, atau kadang-kadang mengepresikan pandangan yang lebih radikal atau oposisi. Komunitas Kenduri Cinta KKC adalah ruang publik. Konsep “Ruang publik” ingin mendorong partisipasi seluruh warga Negara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Selanjutnya Jurgen Hebermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan media untuk mengkomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, berbincang, berdiskusi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru di ciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani. Secara sederhana masyarakat madani bisa dipandang sebagai masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa paksaan yang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara yang bersifat memaksa. “Pada kenyataannya kebudayaan sebagai alat politik. Suatu kebudayaan yang baik seharusnya menjadi landasan dasar atau menjadi sebuah pakem yang kuat untuk mengontrol aktivitas politik yang ada, jadi dunia kebudayaan tidak dapat menembus dunia politik. Kebudayaan yang