Metode Pengawetan Retensi dan Penetrasi

Tabel 2 Keawetan alami dan keterawetan kayu hutan rakyat di Kabupaten Bogor No. Jenis Kayu Kelas Awet Keterawetan 1 Agathis Agathis sp IV Sedang 2 Akasia Acacia auriculiformis III-IV Sukar 3 Balsa Ochroma bicolor V Mudah 4 Durian Durio sp IV-V Sukar 5 Gmelina Gmelina arborea IV-V Sukar 6 Jabon Anthocepalus cadamba V Sedang 7 Jati Tectona grandis II Sedang 8 Jengkol Pithecelobium jiringa IV Sedang 9 Jeungjing Paraserienthes falcataria IV-V Sedang 10 Kapuk Ceiba pentandra IV-V Sedang 11 Karet Hevea brasiliensis IV-V Sedang 12 Kecapi Sandoricum koetjape IV Sedang 13 Kelapa Cocos nuicfera IV Mudah 14 Kemiri Aleurites moluccana V Mudah 15 Kenari Canarium commune III Mudah 16 Lamtoro Leucaena leucocephala V Sedang 17 Leda Eucalyptus deglupta IV Sukar 18 Mahoni Swietenia macrophylla III-IV Sukar 19 Mangga Mangifera indica IV Sukar 20 Mangium Acacia mangium III Sukar 21 Manii Maesopsis eminii IV Sedang 22 Menteng Baccauera racemosa IV Mudah 23 Mindi Melia azedarach IV-V Sukar 24 Nangka Artocarpus integra II Sangat sukar 25 Petai Parkia speciosa IV Mudah 26 Puspa Schima wallichii III Mudah 27 Rambutan Nephelium lappaceum IV Sukar 28 Rasama Altingia excelsa II-III Sedang 29 Sentang Azadirochta excelsa IV Sukar 30 Sungkai Peronema canescens III Mudah 31 Suren Toona sureni IV-V Sedang 32 Tusam Pinus merkusii IV Mudah Sumber: Wahyudi et al. 2007

2.4 Metode Pengawetan

Metode pengawetan merupakan cara yang digunakan untuk memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu. Menurut Tsoumis 2003, secara umum ada dua metode pengawetan, yaitu: 1. Pengawetan tanpa tekanan, dimana kayu-kayu diawetkan dengan cara dilabur, disemprot, dicelup dan atau direndam -baik dingin maupun panas. 2. Pengawetan dengan tekanan, dimana kayu-kayu diawetkan menggunakan tekanan dan biasanya diikuti dengan pemberian vakum. Cara ini ada dua yaitu sel penuh full cell dan sel kosong empty cell. Ada pula metode pengawetan secara difusi dan sap replacement method. Secara difusi, kayu-kayu yang diawetkan harus dalam kondisi basah atau segar dan menggunakan bahan-bahan pengawet berkonsentrasi tinggi, sedangkan sap replacement method hanya untuk kayu-kayu yang baru ditebang. Metode pengawetan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengawetan rendaman dingin. Dengan cara ini, kayu direndam dalam larutan bahan pengawet pada suhu kamar dan tanpa pemberian tekanan. Metode ini biasa dilakukan untuk mengawetkan kayu yang akan digunakan pada tempat-tempat yang daya serang organisme perusaknya tergolong sedang atau pada lokasi yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah Bowyer et al. 2003. Kelebihan dari metode rendaman dingin antara lain: murah dan sederhana, tidak membutuhkan peralatan khusus, volume kayu yang diawetkan besar dan untuk beberapa kasus dapat menggunakan larutan yang sama secara berulang Dwi 2007. Kelemahannya adalah penetrasi dan retensi yang tidak terlalu besar.

2.5 Bahan Pengawet

Hunt dan Garratt 1986 menyatakan bahwa bahan pengawet kayu adalah bahan-bahan kimia yang apabila dimasukkan secara baik ke dalam kayu akan membuat kayu menjadi lebih tahan terhadap serangan jamur, serangga dan binatang laut. Menurut Kasmudjo 2010, terdapat beberapa persyaratan bahan pengawet yang baik agar pengawetan memberikan hasil yang optimal, yaitu: a. Beracun terhadap organisme perusak kayu namun tidak berbahaya bagi manusia dan hewan. b. Mudah masuk ke dalam kayu dengan daya penetrasi yang tinggi. c. Bersifat permanen dan tidak mudah luntur atau menguap. d. Bersifat netral terhadap bahan lain misalnya logam, perekat, cat dan sebagainya. e. Tidak merusak kayu baik secara fisik, mekanik maupun kimia dan kayu tetap mudah di-finishing. f. Tidak mempertinggi bahaya kebakaran. g. Mudah dikerjakan, diangkut, diperoleh dan bila mungkin harganya murah. Keefektifan suatu bahan pengawet tergantung pada daya racunnya atau kemampuannya menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme perusak Hunt dan Garratt 1986. Lebih lanjut Nandika et al. 1996 menyatakan bahwa keberhasilan suatu perlakuan dengan bahan pengawet juga dipengaruhi oleh kesempurnaan penetrasi dan jumlah retensinya pada kayu setelah perlakuan.

2.5.1 Bahan Pengawet Larut Air

Sifat-sifat yang menguntungkan dari bahan pengawet kelompok ini antara lain: a dapat diangkut dalam bentuk padat atau dalam konsentrasi tertentu ke tempat penggunaan, b pada umumnya murah, c formulasinya mudah diatur agar bersifat racun terhadap cendawan atau serangga, d kayu awetan tetap bersih dan dapat dicat, e umumnya tidak berbau dan f tidak meningkatkan sifat bakar kayu dan dapat dikombinasikan dengan bahan penghambat api fire retardant. Kelemahannya adalah dapat meningkatkan kadar air kayu awetan sehingga menimbulkan perubahan dimensi dan memerlukan proses pengeringan kembali setelah kayu diawetkan. Kelemahan lain adalah pada umumnya mudah tercuci atau mudah luntur Hunt dan Garratt 1986. Salah satu jenis bahan pengawet golongan ini adalah boron. Boron merupakan garam inorganik berbentuk padat mirip tepung, berwarna putih dan tidak berbau. Senyawa boron terdiri dari campuran asam boraks H 3 BO 3 dan borak Na 2 B 4 O 7 dan termasuk bahan pengawet yang paling banyak digunakan untuk mengawetkan kayu Duljapar 2001. Menurut Hunt dan Garratt 1986, kayu yang diawetkan dengan boron tidak cocok untuk digunakan di lokasi yang berhubungan dengan tanah atau keadaan lembab hujan karena fikasasinya rendah. Sifat-sifat dari senyawa boron adalah Hunt dan Garratt 1986: a Beracun terhadap jamur dan serangga perusak kayu tetapi tidak berbahaya bagi manusia dan ternak. b Dapat diaplikasikan dengan berbagai metode pengawetan. c Tidak korosif terhadap logam, tidak berbau dan tidak merubah warna kayu sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan alat rumah tangga yang terbuat dari kayu. d Kayu yang diawetkan dengan persenyawaan boron dapat dicat, diplitur, atau direkat dengan baik. Bahaya yang dapat disebabkan dari penggunaan senyawa ini adalah dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, kerongkongan dan paru-paru, serta bersifat racun jika termakan atau terserap melalui luka.

2.6 Retensi dan Penetrasi

Hunt dan Garratt 1986 menyatakan bahwa efektifitas suatu metode pengawetan kayu baru dapat ditentukan setelah kayu awetan digunakan hingga rusak. Karena membutuhkan waktu yang lama, maka keefektifan suatu proses pengawetan dinilai dari retensi dan penetrasi bahan pengawet yang digunakan. Retensi adalah banyaknya bahan pengawet yang tertinggal di dalam kayu, sedangkan penetrasi adalah dalamnya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Retensi dinyatakan dalam kgm 3 , sedangkan penetrasi dinyatakan dalam satuan dimensi cm atau mm atau persen SNI 03-5010.1-1999. Retensi minimum yang dibutuhkan agar kayu terlindung dari faktor perusak biologis disebut batas racun toxic limit. Dalam prakteknya, nilai retensi harus lebih tinggi dari batas racun karena konsentrasi bahan pengawet yang sudah masuk ke dalam kayu cenderung berkurang, apalagi bagi bahan pengawet yang mudah menguap Hunt dan Garratt 1986. Penetrasi dan retensi juga dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu, persiapan kayu sebelum diawetkan, metode pengawetan termasuk lamanya proses pengawetan, serta jenis dan konsentrasi bahan pengawet. Struktur anatomi kayu yang mempengaruhinya adalah jumlah, ukuran dan kondisi dari sel serat sel serabut pada kayu daun lebar atau sel trakeida pada kayu konifer dan pori sel pembuluh, serta keberadaan saluran antarsel. Persiapan yang dimaksudkan antara lain pengulitan, pengeringan, sizing dan boring, dan incising. Metode pengawetan yang berbeda akan menghasilkan nilai penetrasi dan retensi yang berbeda pula. Pengawetan dengan tekanan akan menghasilkan nilai penetrasi dan retensi yang lebih baik dibandingkan dengan yang tanpa tekanan. Masing-masing jenis bahan pengawet dan konsentrasinya juga menghasilkan nilai penetrasi dan retensi yang berbeda-beda. Dalam kondisi pengawetan yang sama, retensi dan penetrasi yang lebih baik diperoleh dengan menggunakan bahan pengawet larut air daripada bahan pengawet minyaklarut minyak.

2.7 Kayu Durian