BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengawetan Kayu
Pengawetan kayu tidak lain adalah proses memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu untuk melindungi diri dari serangan organisme perusak seperti
serangga, jamur dan binatang laut Hunt dan Garratt 1986; Dumanauw 2001. Pada prinsipnya, tindakan pengawetan kayu berfungsi untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan kayu yang diakibatkan oleh berbagai mikroorganisme perusak kayu. Tujuan dari pengawetan kayu adalah untuk meningkatkan masa
pakai kayu sehingga menurunkan biaya akhir produk dan menghindarkan penggantian kayu yang berulang.
Sebelum diawetkan, bentuk dan ukuran kayu harus sudah final sehingga tidak ada lagi proses pengerjaan terhadap kayu pemotongan, pengampelasan dan
lain sebagainya setelah kayu diawetkan. Kadar air kayu juga harus disesuaikan dengan metode pengawetan yang akan dilakukan. Pada umumnya sebelum
diawetkan, kayu harus dalam keadaan kering udara kecuali apabila diawetkan dengan metode difusi.
Keefektifan suatu bahan pengawet tergantung pada daya racun yang dimiliki Hunt dan Garratt 1986, sedangkan keberhasilan proses pengawetan yang
dilakukan dilihat dari nilai retensi dan penetrasi yang dihasilkan SNI 03-5010.1- 1999. Kayu yang sudah diawetkan umumnya disebut kayu awetan.
Menurut Nandika et al. 1996, manfaat yang diperoleh melalui penerapan pengawetan kayu antara lain:
a. Nilai guna jenis-jenis kayu kurang awet dapat meningkat secara nyata, sejalan
dengan peningkatan umur pakainya. b.
Biaya untuk perbaikan dan penggantian kayu dalam suatu penggunaan akan berkurang.
c. Dalam jangka panjang, kelestarian hutan lebih terjamin karena konsumsi kayu
per satuan waktu lebih rendah.
2.2 Keawetan Alami Kayu
Menurut Martawijaya 2000 dalam Barly 2007, keawetan alami merupakan salah satu sifat dasar kayu yang penting. Nilai suatu jenis kayu sangat
ditentukan oleh keawetannya karena bagaimananpun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya akan kurang optimal jika keawetannya rendah. Selain bergantung
kepada jenis kayunya, keawetan kayu bergantung kepada jenis organisme perusak kayu yang menyerangnya. Kayu yang mempunyai daya tahan tinggi terhadap
suatu organisme, belum tentu tahan terhadap organisme lain. Sebagian besar kayu tidak tahan terhadap iklim yang berubah-ubah, khususnya suhu dan kelembaban
udara. Keawetan alami kayu sangat dipengaruhi oleh kadar ekstraktif yang
dimilikinya. Meskipun tidak semua zat ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, namun terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar zat ekstraktif
kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat Wistara et al. 2002. Indonesia memiliki ± 4.000 jenis kayu, namun 80-85 diantaranya masuk
dalam kelompok kayu dengan Kelas Awet III, IV dan V Martawijaya 1981 dalam Barly dan Martawijaya 2000. Keawetan alami dapat diperbaiki melalui
pengawetan kayu. Perumahan yang menggunakan kayu-kayu yang telah diawetkan, dapat mencapai umur pakai minimal 20 tahun Abdurrohim 2007.
Kayu rentan terhadap serangan beragam jenis organisme perusak seperti bakteri, jamur, rayap kayu kering, rayap tanah, bubuk kayu kering dan binatang
penggerek kayu Wilkinson 2005 dalam Barly 2007. Dalam kondisi basah, kayu mudah terserang jamur, bubuk kayu basah dan rayap tanah, sedangkan dalam
kondisi kering, kayu dapat diserang oleh rayap kayu kering, rayap tanah dan bubuk kayu kering. Kayu-kayu yang digunakan di laut dapat terserang oleh
binatang laut penggerek kayu marine borer.
2.3 Keterawetan kayu