Retensi Bahan Pengawet HASIL DAN PEMBAHASAN

Dibandingkan dengan penelitian terdahulu, penelitian ini memperlihatkan hasil yang berbeda, kecuali untuk kayu durian. Menurut Abdurachman dan Hadjib 2006, kayu manii masuk dalam Kelas Awet III-IV, sedangkan menurut Wahyudi et al. 2007, masuk dalam Kelas Awet IV. Kayu petai masuk dalam Kelas Awet V Oey Djoen seng 1990, sementara kayu karet Kelas Awet IV Martawijaya 1981 dalam Barly dan Martawijaya 2000. Tingginya kelas awet kayu petai dibandingkan kelas awet ketiga jenis kayu lainnya menandakan bahwa zat ekstraktif yang terkandung dalam kayu petai lebih bersifat racun terhadap faktor perusak dalam hal ini rayap tanah. Menurut Wistara et al. 2002, keawetan alami kayu sangat dipengaruhi oleh jumlah dan sifat zat ekstraktif yang dimiliki. Semakin tinggi kadar zat ekstraktif, keawetan alami kayu cenderung semakin meningkat. Meskipun kadar zat ekstraktifnya lebih sedikit, namun karena lebih beracun, persentase kehilangan berat kayu dapat lebih rendah. Dibandingkan dengan Wahyudi et al. 2007, hasil penelitian khususnya pada kayu durian, karet dan manii memperlihatkan adanya perbedaan. Menurut Wahyudi et al. 2007, kayu durian dan karet masuk dalam Kelas Awet IV-V, sedangkan kayu manii masuk dalam Kelas Awet IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga jenis kayu tersebut semuanya masuk dalam Kelas Awet V. Hal ini dapat dimungkinkan karena adanya perbedaan umur pohon dan atau lokasi contoh uji dalam batang yang digunakan sebagai contoh uji.

4.2 Retensi Bahan Pengawet

Hasil perhitungan nilai retensi senyawa boron pada keempat jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 5. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 2,3 dan 4. Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA Lampiran 8 menggunakan program SPSS v16 menunjukkan bahwa jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap nilai retensi. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 12 menunjukkan bahwa kayu petai yang diawetkan dengan bahan pengawet berkonsentrasi 15 memiliki nilai retensi yang tertinggi dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Gambar 5 Retensi senyawa boron pada masing-masing jenis kayu dan konsentrasi larutan. Dari Gambar 5 diketahui bahwa rata-rata besarnya retensi senyawa boron pada kayu karet, durian, manii dan petai masing-masing sebesar 3,32 kgm 3 , 2,37 kgm 3 , 3,96 kgm 3 dan 4,31 kgm 3 . Pada seluruh jenis kayu, retensi cenderung meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan. Diketahui pula bahwa pada kayu durian, seluruh konsentrasi bahan pengawet yang diterapkan menghasilkan nilai retensi yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pada kayu manii, hanya konsentrasi 5 yang menghasilkan nilai retensi yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada kayu petai konsentrasi 5 dan 10 memberikan nilai retensi yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Hasil penelitian membuktikan bahwa retensi senyawa boron dipengaruhi oleh interaksi antara jenis kayu dengan konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan. Faktor jenis kayu yang berpengaruh diantaranya adalah struktur anatomi sel-sel penyusun terutama proporsi sel penyusun, ketebalan dan kondisi lapisan dinding sel, serta isi rongga sel dan komposisi kimiawi dinding selnya terutama jumlah gugus hidroksil bebas -OH - yang menandakan reaktif-tidaknya kayu terhadap bahan kimia. Faktor konsentrasi larutan bahan pengawet yang berpengaruh adalah banyaknya bahan aktif yang terkandung di dalam larutan. Menurut Hunt dan Garrat 1986, semakin tinggi konsentrasi berarti bahan aktif semakin banyak. Semakin banyak bahan aktif, maka peluang terjadinya ikatan antara bahan aktif dengan gugus hidroksil bebas -OH - akan semakin besar. Hal ini sekaligus akan meningkatkan nilai retensinya. Dari Gambar 5 diketahui pula bahwa rentensi senyawa boron pada konsentrasi larutan 5 dalam kayu petai merupakan nilai yang terkecil dibandingkan dengan nilai yang sama pada kayu karet, durian dan manii. Dibandingkan dengan kayu durian, nilai retensi pada kayu petai tersebut bahkan lebih rendah, padahal penetrasi senyawa boron dalam kayu petai sedikit lebih dalam dibandingkan penetrasi pada kayu durian 26,27 berbanding 24,87, lihat ulasan tentang penetrasi. Hasil ini membuktikan bahwa meskipun penetrasi bahan pengawet ke dalam kayu lebih dalam, retensinya bisa lebih sedikit. Fenomena antar jenis kayu relatif mudah dipahami akibat perbedaan struktur anatomi penyusun kayu antara durian dan petai. Perbedaan nilai retensi pada konsentrasi larutan bahan pengawet yang sama dalam kayu yang berbeda dipengaruhi oleh perbedaan struktur anatomi dan kandungan kimiawi di dinding sel terutama proporsi sel penyusun, isi rongga sel, serta keberadaan dan jumlah gugus OH - yang terdapat di dinding sel. Gugus yang menandakan reaktif-tidaknya suatu jenis kayu terhadap bahan kimia tersebut pada umumnya terdapat pada komponen selulosa dan hemiselulosa di dinding sel. Gambar 6 memuat rata-rata retensi senyawa boron pada masing-masing jenis kayu, sedangkan Gambar 7 memuat rata-rata retensi pada berbagai konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan. 3.32 2.37 3.96 4.31 1 2 3 4 5 6 Karet Kontrol Durian Manii Petai R e te n si k g m 3 Gambar 6 Rata-rata retensi senyawa boron pada masing-masing jenis kayu. Gambar 7 Rata-rata retensi senyawa boron pada masing-masing konsentrasi larutan bahan pengawet. Dari segi retensi dibandingkan dengan kontrol dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengawetan secara rendaman dingin menggunakan boron dengan konsentrasi 5, 10 dan 15 ternyata kurang cocok diterapkan pada kayu durian. Pada kayu manii, perlakuan yang cocok adalah menggunakan konsentrasi sebesar 10 dan 15; sedangkan pada kayu petai hanya dengan konsentrasi sebesar 15.

4.3 Penetrasi Bahan Pengawet