Tegakan dan Nilai Tegakan

sedangkan pada hutan alam terdiri dari tegakan dengan berbagai umur setelah penebangan. Penelitian Onrizal dan Sulistiyono 2002 menyatakan bahwa penilaian tegakan untuk IUPHHK-HT hanya pada kuantifikasi potensi produksi, yakni berupa volume kayu yang dihasilkan. Selain kuantifikasi potensi tegakan, adakalanya juga dilakukan pengukuran terhadap kondisi lahan atau tapak untuk mendapatkan Nilai Harapan Lahan SEV: Soil Expectation Value. Namun, secara umum penghitungan SEV untuk pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI tidak dilakukan atau tidak diukur, karena dalam konsesi IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT lahan bukan milik perusahaan dan tidak bisa diagunkan.

2.3 Tegakan dan Nilai Tegakan

Tegakan stumpage hakekatnya adalah kayu timber pada kumpulan pohon-pohon yang masih hidup atau sudah mati misal pohon jati yang diteres yang ada di hutan, termasuk juga pohon yang sudah tumbang karena alam maupun ditebang tetapi belum dilakukan pembagian batang dijadikan sortimen kayu bulat logs dan pohon kayu tersebut siap untuk dijual, dengan demikian pohon itu sudah masak tebang. Pengertian tegakan seperti ini berlaku di wilayah Amerika, hal ini juga pada umumnya dianut di Indonesia, sedangkan di Eropa adalah kayu bulat yang berada di tempat pengiriman tempat penjualan, seperti TPK tempat penimbunan kayu, logs pond tempat penimbunan kayu di sungai, loading point tempat pemuatan untuk pengapalan, umumnya di muara sungai. Jika pengertian tegakan ini adalah kayu bulat, maka penilai assesor perlu memperhitungkan biaya pemanenan dan pengangkutan ke tempat pengiriman ini, untuk ditambahkan kepada nilai tegakan tersebut. Perbedaan pengertian ini berkaitan dengan pasar yang ada di kedua tempat tersebut, di Amerika umumnya dijual dalam bentuk pohon berdiri atau sudah ditebang tetapi masih di tempat di dalam hutan sedangkan di Eropa umumnya pemilik pengelola melakukan penebangan dan mengangkut kayu bulat ke lokasi yang mudah dijangkau oleh pembeli atau di sepakati, harga jual franco di tempat ini Davis and Johnson 1987, di acu dalam Bahruni 1999. Nilai tegakan dapat ditaksir melalui tiga cara pendekatan yaitu pendekatan nilai biaya, nilai pendapatan, dan nilai pasar Davis and Johnson 1987. Cara pendekatan mana yang dipilih adalah tergantung pada situasi dan kondisi hutan yang dihadapi. Untuk hutan tanaman, nilai tegakan dapat ditaksir dengan menggunakan gabungan pendekatan nilai biaya dan nilai pendapatan. Apabila tegakan hutan belum menyediakan tegakan yang masak tebang maka pendekatan nilai biaya lebih cocok digunakan daripada pendekatan nilai pendapatan. Kedua cara pendekatan ini memerlukan perhitungan cashflow dengan memasukkan biaya bunga modal opportunity cost of capital. Apabila cara pendekatan nilai biaya yang digunakan maka diperlukan proses compounding dengan compounding factor sebagai bilangan pengali terhadap nilai suatu investasi untuk menentukan nilainya pada akhit tahun t yang akan datang dengan tingkat bunga i per tahun yang dianggap dengan segera ditanamkan kembali Warsito 1986, diacu dalam Isfiati 2001. Darusman dan Bahruni 2004 menyatakan bahwa secara konsepsional stok tegakan yang dipanen pada suatu areal merupakan hasil akumulasi riap selama siklus tebang, yang di dalam pengaturan hasil tahunan, kelestarian produksi tercapai apabila laju panen sama dengan laju pertumbuhan riap tegakan di seluruh areal. Berbasis pada prinsip di atas, maka pendapatan atau harga hasil hutan kayu bulat yang diterima sekarang merupakan nilai saat kini hasil kayu bulat dari tegakan masa akan datang yang dihasilkan dari proses produksi pengelolaan hutan secara lestari. Pada hutan yang dikelola secara lengkap regulated forest seluruh macam aktivitas pengelolaan hutan menjadi aktivitas tahunan, sehingga terjadi aliran penggunaan input dan aliran hasil output dalam proses pengelolaan hutan lestari tersebut secara lengkap setiap tahun. Nilai hasil kayu bulat ini terdiri terbagi atas tiga komponen, yaitu: 1. Seluruh biaya pengelolaan hutan yang besarnya mencukupi penerapan seluruh aktivitas pengelolaan hutan lestari pemenuhan kriteria dan indikator selama siklus tebang sampai terbentuk kembali tegakan sebagai wujud dari kelestarian produksi, ekologi dan sosial, atau mencakup biaya produksi tegakan, biaya pemanenan kayu bulat, biaya lingkungan dan biaya aspek sosial 2. Laba profit sebelum maupun sesudah pajak Pajak penghasilan atau PPh yang diperoleh perusahaan sebagai imbalan atas jasa modal, risiko usaha dan kewirausahaan, yang besarnya cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidup usaha dalam jangka panjang 3. Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP dari nilai sumberdaya hutan tegakan yang dikelola tersebut economic rent.

2.4 Pertumbuhan dan Riap