Perumusan Masalah Kerangka Konsep Jenis Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pola konsumsi pangan keluarga dilihat dari jenis pangan, jumlah pangan, dan frekuensi makan beserta skor Pola Pangan Harapan keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola konsumsi pangan keluarga berdasarkan pola pangan harapan pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pola konsumsi pangan dengan pendekatan pola pangan harapan pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini ialah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui jenis pangan yang dikonsumsi keluarga perokok. 2. Untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga perokok tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein keluarga. 3. Untuk mengetahui frekuensi makan setiap kelompok pangan yang dikonsumsi keluarga perokok. 4. Untuk mengetahui skor mutu Pola Pangan Harapan PPH pada keluarga perokok. Universitas Sumatera Utara

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan pola konsumsi pangan di Kecamatan Berastagi bagi pemerintah atau instansi terkait. 2. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi program pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Tanah Karo, khususnya Kecamatan Berastagi dalam hal ketahanan pangan keluarga. 3. Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi terhadap program pangan dan gizi yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat. 4. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti-peneliti yang relevan. Universitas Sumatera Utara 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya BKP, 2013. Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum 2011, konsumsi pangan merupakan salah satu komponen dalam sistem pangan dan gizi. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Karena itu kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh keadaan status gizinya. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi, disamping kemampuan tubuh dalam absorbsi dan menggunakan zat gizi tersebut. Kebutuhan gizi setiap orang berbeda, tergantung dari umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas ringan, sedang, dan berat, dan keadaan fisiologis tubuh. Setiap orang perlu mengonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan standar gizi yang telah ditentukan yang disebut sebagai Angka Kecukupan Gizi. Rata-rata kebutuhan konsumsi pangan seseorang untuk hidup sehat yaitu 2000 kkalkaphari untuk energi dan 52 gramkaphari untuk protein Sibuea, 2012. Konsumsi pangan yang berlebihan akan mengakibatkan seseorang mengalami gizi lebih dan sebaliknya jika konsumsi pangan yang kurang dari kebutuhan dalam jangka waktu tertentu maka akan menyebabkan gizi kurang atau gizi buruk. Kejadian gizi kurang dan gizi buruk yang kebanyakan terjadi di usia balita 0-5 tahun akan berdampak buruk bagi masa depan anak, sebab Universitas Sumatera Utara kekurangan gizi akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Demikian pula jika gizi lebih terjadi pada usia balita, remaja, ataupun dewasa akan meningkatkan prevalensi kejadian penyakit degenaratif Suhardjo, 1986. Menurut Baliwati 2004, konsumsi pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, atau suatu bangsanegara berpengaruh kuat dan kekal terhadap apapun dan bagaimana penduduk makan. Pola kebudayaan memengaruhi seseorang dalam memilih pangan, jenis pangan yang diproduksi, cara pengolahannya, penyaluran, penyiapan, dan penyajian. Jumlah pangan, jenis pangan, dan banyaknya bahan pangan dalam suatu pola makanan yang ada disuatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau hasil produksi setempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Pangan pokok yang digunakan oleh suatu negara atau daerah biasanya menempati kedudukan yang tinggi. Penggunaan pangan tersebut lebih luas dari pada pangan yang lainnya, besar kemungkinannya berkembang karena merupakan hasil dari produksi setempat atau setelah dibawa ke tempat tersebut tumbuh dengan cepat. Selain itu, tamanan tersebut menghasilkan pangan dalam jumlah besar selama musim tanam yang panjang dan dapat disimpan dengan mudah dalam jangka waktu yang panjang. Konsumsi zat gizi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan atau dapat disebut kebiasaan makan. Kebiasaan makan di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan penduduk setempat. Cara atau kebiasaan makan yang Universitas Sumatera Utara salah dapat berpengaruh negatif terhadap tingkat pertumbuhan yang pada akhirnya menyebabkan gangguan gizi dan menurunnya produktifitas kerja Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam Rosida, 2011. 2.1.1 Pemantauan Konsumsi Pangan Pemantauan konsumsi pangan penduduk pertama kali dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan pada tahun 1995 yang dikenal dengan Survei Konsumsi Gizi. Survei tersebut dilakukan secara periodik untuk kepentingan pelaksanaan program perbaikan gizi sampai tingkat kabupatenkotamadya, sehingga informasi konsumsi dapat dipantau secara berkesinambungan Depkes, 1999 dalam Sembiring, 2002. Secara khusus survei konsumsi gizi bertujuan untuk: 1 diperolehnya gambaran tingkat konsumsi khususnya energi dan protein di tingkat kecamatan, 2 tersedianya informasi perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat kecamatan yang diperlukan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, 3 tersedianya informasi skor mutu konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan Pola Pangan Harapan Aritonang, 2000 dalam Sembiring, 2002. Menurut Depkes 1999 dalam Sembiring 2002, informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk perencanaan dan evaluasi program pangan dan perbaikan gizi oleh tingkat kabupaten maupun provinsi. Tersedianya informasi mengenai tingkat konsumsi pangan dan skor PPH bermanfaat bagi tingkat kabupatenkotamadya untuk mengetahui besar dan luasnya masalah konsumsi pangan di kecamatan dan kelompok desa serta melihat perkembangan dan keragaman konsumsi pangan. Tersedianya informasi mengenai distribusi kabupaten menurut tingkat konsumsi gizi dan skor PPH di tingkat provinsi digunakan sebagai perbandingan Universitas Sumatera Utara antar kabupatenkotamadya. Informasi mengenai perkembangan tingkat konsumsi pangan dan skor PPH setiap tahunnya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan yang terjadi apakah mengalami peningkatan atau penurunan, serta kesesuaian dengan AKG maupun skor PPH. 2.2 Pola Konsumsi Pangan Menurut Departemen Pertanian 2005 dalam Arbaiyah 2013, pola konsumsi pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum seseorang atau sekelompok orang atau penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati. Sedangkan menurut Suhardjo 1986, pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah pangan rata- rata perorang perhari yang umum dikonsumsi penduduk dalam jangka waktu tertentu. Menurut BKP 2005 dalam Rosida 2011, jenis pangan atau kelompok pangan dalam Pola Pangan Harapan terdiri dari sembilan kelompok antara lain: 1 Padi-padian beras, jagung, tepung terigu, gandum, dan lain-lain, 2 Umbi- umbian ubi jalar, kentang, singkong, talas, wortel, dan lain-lain, 3 Pangan Hewani daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan, dan lain-lain, 4 Minyak dan Lemak minyak kelapa, minyak sawit, minyak jagung, dan lain-lain, 5 BuahBiji Berminyak kelapa, kemiri, dan lain-lain, 6 Kacang-kacangan kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, 7 Gula gula aren, gula pasir, dan lain-lain, 8 Sayur dan Buah sayur-sayuran dan buah-buahan, dan 9 Lain-lain minuman, bumbu, dan lain-lain. Secara umum pola konsumsi pangan masyarakat di Indonesia diwarnai dengan berbagai jenis-jenis bahan makanan yang umum dan dapat diproduksi Universitas Sumatera Utara setempat. Misalnya, penduduk nelayan di daerah-daerah pantai, ikan merupakan makanan yang dipilih sehari-hari karena dapat dihasilkan sendiri. Masyarakat daerah pertanian padi, maka pola konsumsi pangan pokok mereka adalah beras. Daerah-daerah yang produksi utamanya adalah jagung, seperti Madura dan Jawa Timur bagian Selatan berpola pangan pokok jagung. Dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan ubi kayu yang merupakan produksi utama mereka Suhardjo, 1986. Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan food habit yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi suatu daerah seperti ciri tanaman pangan, ternak, atau ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan di daerah tersebut Arbaiyah, 2013. Pola konsumsi pangan masyarakat dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan masyarakat yang diamati dari parameter pola pangan harapan PPH. Pola makan atau kebiasaan makan yang terdapat dalam suatu masyarakat dapat dicermati melalui adanya pantangan atau larangan atau tabu. Biasanya, pangan pantangan ini ditujukan pada anak kecil, ibu hamil, dan ibu menyusui. Padahal mereka merupakan kelompok penduduk yang rawan gizi Baliwati, 2004. Penganekaragaman konsumsi pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Berbagai penelitian menunjukkan keanekaragaman pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan pangan, konsumsi serat, dan menurunkan risiko hiperkolesterol, hipertensi, dan penyakit jantung Universitas Sumatera Utara koroner. Penganekaragaman pangan akan berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2004. Menurut Departemen Pertanian 2013, ada empat faktor pendukung utama yang memengaruhi pola konsumsi pangan antara lain: 1 ketersediaan; 2 kondisi sosial ekonomi; 3 letak geografis daerah desa-kota; dan 4 karateristik rumah tangga. Ketersediaan pangan secara makro nasionaltingkat wilayah sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan di daerah tersebut. Sedangkan ketersediaan pangan secara mikro tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan atau daya beli rumah tangga tersebut. Selanjutnya, kondisi sosial ekonomi masyarakat dilihat dari tingkat pendapatan, harga pangan dan nonpangan, selera, dan kebiasaan makan. Letak geografis dapat ditinjau dengan melihat lokasi desa-kota dari rumah tangga yang bersangkutan. Dan yang terakhir yaitu karateristik rumah tangga dilihat dari struktur umur, jenis kelamin, pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Menurut Suhardjo 1986, faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi pangan ada tiga faktor yaitu: 1 ketersediaan pangan, 2 pola sosial budaya, 3 faktor-faktor pribadi. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi pangan, dimana produksi sangat dipengaruhi oleh cara bertani, mutu dan luas lahan, pola penguasaan lahan, pola pertanaman, tempat tinggal, perangsang produksi, peranan sosial, dan tingkat pendapatan Baliwati, 2004. Pola sosial budaya terdiri dari pola makanan, pembagian makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan akseptabilitas. Sedangkan faktor-faktor pribadi terdiri dari pengetahuan gizi, preferensi, dan status kesehatan. Universitas Sumatera Utara 2.3 Pola Pangan Harapan Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan PPH. PPH tidak hanya berperan sebagai standar dalam mengukur pemenuhan kecukupan gizi namun juga sebagai pedoman dalam meningkatkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Melalui pendekatan Pola Pangan Harapan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan dietary score, sehingga semakin tinggi skor mutu pangan hal ini menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisinya BKP, 2013. Pola pangan harapan adalah susunan pangan yang beragam yang didasarkan pada sumbangan energi baik secara absolut maupun relatif dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA tahun 1989 yang dikenal dengan Desirable Dietary Pattern, yang didefenisikan sebagai komposisi pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Tujuan utama disusunnya PPH yaitu untuk membuat suatu reasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi keanekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa FAO-RAPA, 1989 dalam Sembiring, 2002. Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman gizi. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit akan memenuhi hampir semua kebutuhan zat gizi, kecuali pada zat gizi yang sangat defisit pada suatu kelompok pangan. Oleh karena itu skor PPH dapat mencerminkan mutu gizi dan keragaman konsumsi Universitas Sumatera Utara pangan. Disamping itu dalam pemberian nilai bobot setiap kelompok pangan, telah dipertimbangkan kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan Hardinsyah, 2001 dalam Arbaiyah, 2013. Pangan dalam PPH, dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan. Diantaranya yaitu: 1 padi-padian yang terdiri dari beras, jagung, terigu, dan lainnya; 2 umbi-umbian yang terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas, dan lainnya; 3 pangan hewani yang terdiri dari ikan, daging, telur, susu, dan lemak hewani; 4 lemak dan minyak yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit, dan margarin; 5 buah biji berminyak yang terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat; 6 kacang-kacangan yang terdiri dari kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan lainnya; 7 gula yang terdiri dari gula pasir, gula merah, dan lainnya; 8 sayur dan buah yang terdiri dari seluruh jenis sayur dan buah yang dapat dan biasa dikonsumsi manusia; 9 lain-lain terdiri dari kopi, teh, bumbu makanan, dan minuman beralkohol. Skor pangan dalam metode PPH diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan dengan bobotnya. Tabel 2.9 dibawah ini merupakan bobot dari setiap kelompok pangan yang sudah ditetapkan oleh FAO-RAPA 1989 yang didasarkan pada konsentrasi energi, kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Kriteria Pemberian Bobot Untuk Setiap Kelompok Pangan No. Kelompok Pangan Bobot Kriteria 1 Padi-padian 0,5 Konsentrasi energi 2 Umbi-umbian 0,5 Konsentrasi energi 3 Pangan Hewani 2,0 Zat gizi esensial, citarasa, kepadatan energi 4 Lemak dan minyak 1,0 Konsentrasi energi 5 Buah dan biji berminyak 0,5 Konsentrasi energi 6 Kacang-kacangan 2,0 Nilai gizi pemakan nabati 7 Gula 0,5 Konsentrasi energi 8 Sayur dan buah 2,0 Zat gizi mikro, volume, kandungan serat 9 Lainlain 0,0 Penambah citarasa Sumber: FAO-RAPA 1989 dalam Sembiring 2002 Berdasarkan kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 yang menggunakan bobot atau rating FAO RAPA 1989 yang terus disempurnakan menjadi Pola Pangan Harapan PPH yang disepakati bahwa tahun 2020 skor mutu pangan yang ideal untuk hidup sehat bagi penduduk Indonesia adalah 100. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi WKNPG VIII tahun 2004, susunan Pola Pangan Harapan untuk kebutuhan konsumsi per orang per hari sebesar 2000 kalori adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Susunan Pola Pangan Harapan PPH No. Kelompok Pangan Berat grkaphari Energi kkalkaphari AKG 1 Padi-padian 275 1000 50 2 Umbi-umbian 100 120 6 3 Pangan hewani 150 240 12 4 Lemak dan minyak 20 200 10 5 Buah dan biji berminyak 10 60 3 6 Kacang-kacangan 35 100 5 7 Gula 30 100 5 8 Sayur dan buah 250 120 6 9 Lain-lain - 60 3 Total 2000 100 Sumber: BKP Kementerian Pertanian dalam Sibuea, 2012 diolah Suhardjo 1998 dalam Sembiring 2002 melakukan penilaian terhadap keberhasilan diversifikasi pangan berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dengan kategori sebagai berikut ini: Universitas Sumatera Utara a. Segitiga Perunggu Skor mutu pangan = 78, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi diatas norma PPH. 2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah serta kacang-kacangan masih rendah dibawah norma PPH. 3. Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH. b. Segitiga Perak Skor mutu pangan = 78 – 87, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian makin menurun, namun masih diatas norma PPH. 2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah masih rendah dibawah norma PPH masing-masing antara 8-12 dan 4-5. 3. Energi dari minyak, kacang-kacangan, dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH. c. Segitiga Emas 1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian sedikit diatas norma PPH atau relatif sama. 2. Energi dari pangan hewani diatas 12 atau relatif sama dengan norma PPH. 3. Energi dari kelompok pangan lain sudah memenuhi norma PPH. Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Penilaian Situasi Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH

Menurut BKP 2013, penilaian situasi konsumsi pangan dilakukan dengan menganalisis dua aspek penilaian yaitu aspek kuantitas konsumsi AKE dan aspek kualitas konsumsi mutu konsumsi – skor PPH. 1. Aspek Kuantitas Penilaian aspek kuantitas ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal dengan Angka Kecukupan Gizi. Parameter yang digunakan untuk menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat yaitu Tingkat Kecukupan Energi TKE dan Tingkat Kecukupan Protein TKP. Beberapa studi menyebutkan bahwa jika konsumsi energi dan protein sudah terpenuhi dan sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan beragam, maka kebutuhan akan zat-zat gizi lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan. 2. Aspek Kualitas Penilaian pada aspek kualitas lebih ditekankan pada penganekaragaman pangan, bukan hanya keragaman makanan pokok saja namun juga keragaman jenis pangan yang lainnya. Semakin beragam dan seimbang pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satu jenis pangan yang mengandung semua zat gizi. untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan PPH. Semakin tinggi skor PPH yang didapatkan dari Universitas Sumatera Utara perhitungan skor mutu PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan komposisinya semakin baik atau berimbang.

2.3.1.1 Kecukupan Energi Rata-Rata Keluarga

Menurut Hardinsyah 1992, untuk menilai tingkat konsumsi energi rata- rata suatu keluarga atau rumah tangga bukan individu diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-rata keluarga AKERK. Sedangkan Angka Kecukupan Energi Keluarga AKEK diperlukan untuk menyusun menu keluarga. AKEK merupakan penjumlahan Angka Kecukupan Energi Individu dari setiap anggota keluarga yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga atau rumah tangga. Dalam menaksir AKEK dapat dilakukan dengan cara Unit Konsumen dengan menggunakan konsumen tertentu sebagai patokan kecukupan energi, biasanya digunakan pria dewasa dengan nilai 1,000 yang setara dengan 2700 kalorghr. AKE kelompok umur yang lain dibandingkan terhadap AKE patokan ini, sehingga diperoleh nilai-nilai perbandingan kecukupan energi, yang disebut Faktor Unit Konsumen Energi UE. Dengan menggunakan faktor UE dapat dihitung AKEK dan AKERK dengan menggunakan rumus sebagai berikut: = 2700 = 2700 Keterangan: AKEK = Angka Kecukupan Energi keluarga AKERK = Angka Kecukupan Rata-Rata Keluarga UEi = Faktor Unit Konsumen Energi dari anggota keluarga ke-i n = jumlah individu yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga i = individu anggota keluarga ke-i yang makan dalam suatu keluarga 2700 = nilai UE sama dengan 1,000 Universitas Sumatera Utara Tabel di bawah ini merupakan faktor UE yang dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 1988, dengan patokan kecukupan energi pria dewasa 20 – 59 tahun, berat badan 56 kg, dan aktivitas sedang. Faktor UE = 1,000 yang setara dengan 2700 kalorg.hr. Tabel 2.3 Faktor Unit Konsumen Energi UE Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur. Kelompok Umur tahun Kecukupan Energi Kalorghr Faktor Unit Konsumen Energi 1,000 = 2700 0,5 – 1 800 0,296 1 – 3 1220 0,452 4 – 6 1720 0,637 7 – 9 1860 0,689 Pria 10 – 12 1950 0,722 13 – 15 2200 0,815 16 – 19 2360 0,874 20 – 59 240027003250 0,8891,0001,204 = 60 1960 0,726 Wanita 10 – 12 1750 0,648 13 – 15 1900 0,703 16 – 19 1850 0,685 20 – 59 190021002400 0,7040,7780,889 = 60 1700 0,630 Tambahan: Hamil 200245285 0,0740,0910,106 Menyusui 500 0,185 Sumber: Hardinsyah Martianto, 1992 Keterangan: = Dihitung berdasarkan Kecukupan Energi hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988 = Disajikan secara berurutan dari kiri ke kanan menurut tingkat kegiatan ringan, sedang, dan berat.

2.3.1.2 Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga

Untuk menghitung Angka Kecukupan Protein Keluarga AKPK dan Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga AKPRK juga menggunakan faktor unit konsumen dengan patokan angka kecukupan protein pria atau wanita dewasa. Berikut rumus untuk menghitung AKPK dan AKPRK: Universitas Sumatera Utara = 50 = 50 Keterangan: AKPK = Angka Kecukupan Protein Keluarga AKPRK = Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga UPi = Faktor Unit Konsumen Protein bagi anggota keluarga ke-i n = Jumlah anggota keluarga 50 = Nilai UP sama dengan 1,00 Tabel 2.4 di bawah ini merupakan faktor unit konsumen protein UP yang dihitung berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1988 dengan patokan kecukupan protein pria dewasa, berat badan 56 kg. Tabel 2.4 Faktor Unit Konsumen Protein UP Menurut Kelompok Umur Kelompok Umur tahun Kecukupan Protein grorghr Faktor Unit Konsumen Protein 1,00 = 50 0,5 – 1 15 0,30 1 – 3 23 0,46 4 – 6 32 0,64 7 – 9 36 0,72 Pria 10 – 12 45 0,90 13 – 15 57 1,14 16 – 19 62 1,24 20 – 59 50 1,00 = 60 50 1,00 Wanita 10 – 12 49 0,98 13 – 15 57 1,14 16 – 19 47 0,94 20 – 59 44 0,88 = 60 44 0,88 Tambahan: Hamil 0,24 Menyusui 0,32 Sumber: Hardinsyah Martianto, 1992. Keterangan: = Faktor Unit Konsumsi UP ini dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988 Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan

Skor mutu PPH dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut: pertama, mengelompokkan bahan makananmakanan yang dikonsumsi menjadi 9 kelompok pangan; kedua, menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan dengan bantuan Daftar Komposisi Bahan Makanan DKBM; ketiga, menghitung presentase kontribusi energi menurut AKG tiap kelompok pangan terhadap total energi; keempat, prentase masing-masing kelompok dikalikan dengan rating bobot menurut FAO BKP, 2013.

2.4 Keluarga Perokok

Menurut Hasibuan 1994, keluarga adalah ayah, ibu, dan anak-anak serta famili yang menjadi penghuni rumah. Sedangkan menurut BPS 2000 dalam Arbaiyah 2013, keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup dalam satu rumah tangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera NKKBS yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN, sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak. Fungsi keluarga sebagai tempat belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat sangat tepat dijadikan sebagai filter utama untuk membentuk pola hidup sehat guna menjaga ketahanan keluarga. Keluarga yang dibangun dengan dasar yang kuat dan memiliki individu yang sehat akan menjadi keluarga yang berpengaruh kuat dalam pembangunan semua bidang. Karena dengan kondisi keluarga yang sehat, sebuah keluarga akan mencapai tahapan kesejahteraan Sudaryati, 2013. Universitas Sumatera Utara Keluarga yang sehat pada masa sekarang ini sulit untuk dicapai khususnya keluarga kelompok rawan seperti memiliki balita dalam keluarga tersebut. Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa balita mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat kurang gizi. Kekurangan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Anak yang mengalami keadaan seperti ini berat badan dan tinggi badan menurut umurnya rendah Hardinsyah Martianto, 1992. Keluarga perokok adalah sebuah keluarga dimana satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun laki-laki. Merokok saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah. Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun yang berasal dari asap rokok akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Selain itu, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok juga dapat masuk ke dalam tubuh yang masih menyusu dari ibu yang telah terpapar oleh asap rokok tersebut. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh bayi dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil Hidayat, 2005 dalam Trisnawati Juwarni, 2012. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviasari 2010, menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan terhadap kebiasaan ayah Universitas Sumatera Utara kepala keluarga dengan status gizi balita. Sehingga menurutnya, perlu adanya kesadaran orangtua terutama ayah untuk dapat membatasi pengeluaran rokok dan kebiasaan merokok agar anak bisa mendapat asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya. Kebiasaan merokok yang lama dan merupakan suatu kebudayaan bagi Suku Karo akan sulit untuk diubah. Namun jika tidak segera diubah maka akan berdampak bagi kualitas SDM di masa depan yang akan terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena itu sebuah keluarga yang mempunyai anggota perokok perlu diperhatikan bagaimana pola konsumsi keluarga tersebut. Karena jika kebiasaan merokok ditambah dengan pola konsumsi yang tidak baik dan tidak sesuai dengan yang dianjurkan akan memperburuk status gizi keluarga nantinya. Menurut Hardinsyah 1996 dalam Baliwati 2004, konsumsi pangan yang beragam dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan yang berasal dari pangan. Jadi ketika keluarga perokok mempunyai pola makan yang sehat dan beragam akan dapat mengurangi dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Namun meskipun demikian mengurangi atau bahkan berhenti untuk merokok akan jauh lebih baik.

2.4.1 Karateristik Keluarga Perokok

Setiap keluarga mempunyai perbedaan dalam hal konsumsi pangan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan karateristik setiap rumah tangga, seperti pengeluaran pangan dan non pangan, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan penelitian Akmal 2005 mengenai analisis pola konsumsi keluarga di Kecamatan Tallo menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor kondisi sosial ekonomi keluarga Universitas Sumatera Utara pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, dan ukuran keluarga dengan pola konsumsi keluarga. Pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang diduga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi pangan. Pendapatan dikaitkan dengan daya beli pangan yang biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumah tangga untuk memeroleh bahan pangan berdasarkan besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota rumah tangga Hardinsyah, 2007 dalam Arbaiyah, 2013. Apabila tingkat pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik pula. Peningkatan pendapatan tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi di luar rumah. Jika pendapatan meningkat maka presentasi pengeluaran untuk pangan semakin kecil Suhardjo, 1986. Menurut Marsetyo 1995, pendapatan yang dihasilkan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga yang bekerja harus dibagi-bagi untuk berbagai macam keperluan. Akibatnya, nominal untuk pangan semakin kecil. Apalagi untuk rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang merokok, akan menurunkan pengeluaran terhadap pangan akibat pengeluaran rokok yang tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan pada keluarga perokok. Selain pendapatan, pendidikan seorang ibu rumah tangga juga ikut memengaruhi pola konsumsi pangan dalam rumah tangga. Menurut Hardinsyah 2007 dalam Arbaiyah 2013, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akses Universitas Sumatera Utara terhadap informasi mengenai gizi juga semakin tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi lebih tinggi. Sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan ibu yang semakin bertambah mengenai gizi akan memengaruhinya untuk mengubah pola pangan keluarganya ke arah yang lebih baik. Marsetyo 1995 mengatakan bahwa meskipun sebuah keluarga berpenghasilan rendah namun apabila mereka berpendidikan dan memiliki pengetahuan mengenai gizi maka mereka akan dapat menyusun suatu hidangan makanan yang mempunyai kandungan dan nilai gizi tinggi. Demikian pula sebaliknya, walaupun sebuah rumah tangga berpenghasilan tinggi tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai gizi maka makanan yang mereka konsumsi meski kelihatan lezat namun dapat merusak tubuh mereka. Demikian pula halnya dengan keluarga perokok. Meskipun kebiasaan merokok memang sulit untuk dihilangkan namun jika ibu rumah tangga yang berperan banyak terhadap konsumsi pangan keluarga memiliki pengetahuan mengenai gizi yang tinggi akan dapat menyusun menu keluarganya dengan baik dengan meningkatkan pangan sumber antioksidan untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya. Jumlah anggota keluarga juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dalam keluarga. Menurut BPS 2001 dalam Arbaiyah 2013, besarnya keluarga atau rumah tangga menyatakan seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam keluarga tersebut yang dapat memberi indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi besaran keluarga berarti semakin Universitas Sumatera Utara banyak anggota keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan berat beban rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhannya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara laju kelahiran tinggi dengan gizi kurang. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa zat gizi yang diperlukan oleh anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan pada umumnya memerlukan pangan bergizi yang lebih banyak daripada anggota keluarga lainnya Suhardjo, 1986. Berbagai kajian telah membuktikan semakin besar sebuah keluarga maka angka kejadian gizi kurang semakin tinggi. Pada umumnya kasus ini terjadi pada keluarga miskin. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pembagian makanan semakin sedikit sehingga tidak akan mungkin untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

2.5 Kerangka Konsep

Pola konsumsi pangan keluarga perokok dipengaruhi oleh karateristik keluarga tersebut seperti pendapatan pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, dan pengeluaran rokok, pendidikan ibu, dan jumlah anggota rumah tangga. Pola konsumsi pangan terdiri dari jenis pangan, jumlah pangan dalam bentuk kecukupan energi dan kecukupan protein rata-rata keluarga, dan frekuensi makan keluarga. Sedangkan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga akan memengaruhi tinggirendahnya skor PPH pada keluarga perokok. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Pola Konsumsi Pangan Keluarga Perokok Skor PPH Jenis Pangan Jumlah Pangan 1. Tingkat kecukupan energi rata-rata keluarga 2. Tingkat kecukupan protein rata-rata keluarga Karateristik Keluarga Perokok 1. Pendapatan a. Pengeluaran pangan b. Pengeluaran non pangan c. Pengeluaran rokok 2. Pendidikan ibu 3. Jumlah anggota keluarga Frekuensi Makan Universitas Sumatera Utara 31 BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan metode survei untuk menggambarkan situasi pola konsumsi pangan dengan pendekatan pola pangan harapan pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Kecamatan Berastagi dengan alasan kecamatan ini adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Karo yang sebagian besar penduduk merupakan Suku Batak Karo. Rokok merupakan salah satu syarat dalam kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo, sehingga merokok menjadi kebiasaan bagi sebagian besar penduduknya. Waktu pelaksanaan pengumpulan data dilakukan mulai Februari sampai Juli 2014. 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi