Menurunkan Pengeluaran Rokok Keluarga

kurang beragam dan berimbang. Sumbangan energi terbesar berasal dari beras menunjukkan bahwa pola kebiasaan makan penduduk selalu mengutamakan beras. Sedangkan umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sayur dan buah hanya seadanya saja sehingga menyebabkan konsumsi pangan penduduk menjadi tidak beragam. Rendahnya skor PPH pada keluarga perokok dapat disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah. Dari tabel 4.32 di atas dapat dilihat bahwa seluruh keluarga dengan pendapatan di bawah UMR berada pada kategori segitiga perunggu skor PPH 78. Dari 100 keluarga perokok hanya 3 keluarga 3,0 berada pada kategori segitiga emas skor PPH 87. Dan ketiga keluarga tersebut merupakan keluarga dengan pendapatan di atas UMR. Ini berarti bahwa pendapatan keluarga dapat memengaruhi skor Pola Pangan Harapan keluarga. Pendidikan terakhir ibu juga memengaruhi skor PPH keluarga. Pada tabel 4.32 di atas dapat dilihat bahwa dari 64 keluarga, sebanyak 2 keluarga 2,0 berada pada kategori segitiga emas skor PPH 87. Sedangkan jumlah anggota keluarga dalam penelitian ini tidak memengaruhi skor PPH keluarga. Dapat dilihat pada tabel 4.32 di atas yang menunjukkan bahwa Dari 58 keluarga kecil ada sebanyak 51 keluarga 51,0 berada pada kategori perunggu 87.

5.3 Menurunkan Pengeluaran Rokok Keluarga

Tingginya pengeluaran rokok pada keluarga perokok Di Kecamatan Berastagi dapat dilihat pada tabel 4.12 di atas yang menunjukkan bahwa sebanyak 4 keluarga 4,0 mengeluarkan uang lebih dari Rp. 1.000.000 untuk konsumsi rokok saja. Dan sebagian besar keluarga perokok yakni sebanyak 62 keluarga 62,0 menghabiskan uang sebesar Rp. 500.000 – 1.000.000 untuk konsumsi rokok. Pengeluaran rokok Universitas Sumatera Utara tersebut sudah hampir sama, bahkan sebagian telah melebihi pengeluaran pangan keluarga. Sebagian besar keluarga perokok yakni sebanyak 55 keluarga 55,0 mengonsumsi rokok sebanyak dua bungkus per hari. Apabila diakumulasikan, maka pengeluaran rokok keluarga dalam kurun waktu satu tahun saja sudah mencapai Rp. 7.200.000. Kebanyakan anggota keluarga yang merokok tersebut telah merokok selama lebih dari 10 tahun, seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.14 di atas. Dengan demikian, uang yang sudah dikeluarkan oleh keluarga hanya untuk rokok saja selama ± 10 tahun adalah Rp. 72.000.000. Sangat disayangkan apabila uang sebanyak ini hanya dihabiskan untuk rokok yang dapat menimbulkan berbagai penyakit pada orang yang mengonsumsinya, bahkan bisa berujung pada kematian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saliem dan Ariningsih 2008 dalam Sudaryati 2013, menunjukkan bahwa pengeluaran rokok pada rumah tangga rawan pangan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga tahan pangan. Ini mengindikasikan bahwa rumah tangga rawan pangan telah mengalihkan pendapatannya yang terbatas untuk membeli rokok dibandingkan dengan kebutuhan pangan untuk ketahanan pangan keluarga. Pengeluaran rokok masyarakat yang cukup besar sebenarnya mempunyai opportunity cost yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan yang lebih esensial seperti makanan bergizi untuk keluarganya. Kebiasaan merokok yang didukung oleh lingkungan bahkan oleh adat istiadat akan sangat sulit untuk diubah. Sehingga Dinas Kesehatan perlu melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat ataupun pemuka-pemuka agama untuk Universitas Sumatera Utara bekerja sama mencari solusi guna menurunkan kebiasaan merokok masyarakat di Tanah Karo khususnya Kecamatan Berastagi. Karena tokoh masyarakat dan pemuka agama merupakan figur yang dihormati dan diteladani oleh masyarakat. Oleh sebab itu diharapkan bahwa dengan melibatkan mereka, masyarakat akan lebih mudah untuk menerima dan melakukan hal-hal yang perlu mereka lakukan guna mengurangi kebiasaan merokok tersebut. Beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu memberikan penyuluhan mengenai bahaya rokok dengan disertai gambar-gambar yang menunjukkan akibat dari konsumsi rokok dalam waktu yang cukup lama. Memberikan gambaran mengenai gizi kurang atau gizi buruk yang bisa dialami oleh anak akibat kekurangan pangan. Bekerja sama dengan Dinas Pertanian untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan serta menyediakan bibit gratis bagi masyarakat agar dapat memanfaatkan pekarangan mereka menjadi tempat untuk bercocok tanam, sehingga bisa menambah ketersediaan pangan keluarga. Selanjutnya yaitu memberikan penyuluhan mengenai pangan beragam, bergizi, dan berimbang. 5.4 Pangan Beragam, Bergizi, dan Berimbang Pangan Beragam, Bergizi, dan Berimbang 3B adalah aneka ragam bahan pangan baik sumber karbohidrat, protein, maupun vitamin dan mineral yang bila dikonsumsi dalam jumlah berimbang dapat memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan, yang artinya pangan tersebut dapat memenuhi kaidah triguna makanan yaitu: sebagai sumber zat tenaga, zat pembangun dan sumber zat pengatur. Pangan 3B ini sangat diperlukan karena: 1 Tidak ada satu jenis pangan yang gizinya lengkap untuk mencukupi semua kebutuhan gizi; 2 Makin beragam pangan yang dikonsumsi, Universitas Sumatera Utara makin tinggi kualitas zat gizi yang diperoleh; 3 Mencegah timbulnya penyakit degenatif Lembata, 2009. Menurut Badan Ketahanan Pangan Subbid Konsumsi dan Keamanan Pangan 2013, pangan beragam artinya pangan yang dikonsumsi beraneka macam baik hewani maupun nabati, baik sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, maupun mineral. Karena setiap jeniskelompok pangan mempunyai kelebihan dan kekurangan zat gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi pangan yang beragam maka zat gizi dari berbagai jenis pangan tersebut saling menutupi sesuai kebutuhan tubuh. Pangan bergizi adalah pangan yang dikonsumsi harus mengandung zat gizi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Konsumsi pangan yang bergizi dapat menunjang kesehatan dan produktivitas dalam melakukan setiap kegiatan. Sedangkan pangan berimbang yaitu pangan yang dikonsumsi dari berbagai jenis pangan harus seimbang dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing orang. Standar konsumsi pangan Beragam, Bergizi, dan Berimbang telah diatur dalam susunan pangan dalam Pola Pangan Harapan PPH seperti dalam tabel 2.2 di atas. Universitas Sumatera Utara 80 BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan